“Yes” Vania berteriak sambil bergoyang. Di tangannya tergenggam remot wii. Goyangan tubuhnya membuat kedua susunya yang basah dipenuhi peluh berguncang tak mau diam.
Ifan menjatuhkan diri ke sofa hitam di belakang mereka. Kepalanya menunduk sambil duduk.
Vania membungkuk menyentuh jemari kaki sambil melemaskan perut dan ototnya. Sedang di belakangnya, anaknya sedang disuguhi pemandangan indah, berupa pantat montoknya yang ditutupi celana biru muda. Namun, dari sela kakinya Vania melihat anaknya hanya melempar remot wii dan menyandarkan kepala ke sofa.
Pun Vania mendekati anaknya lalu ikut bersandar di sebelahnya.
“Ada apa sih? Tumben cuekin pantat mama.”
“Entahlah mah. Rasanya kesal banget nih.?”
“Kesal kenapa?”
“Bener mama mau tau?”
“Iya dong sayang,” kata Vania sambil melingkarkan lengannya di bahu anaknya.
“Ifan seneng mau liburan sama mama, juga sambil ngajakin temen. Tapi di sisi lain, Ifan merasa gak seneng juga temen Ifan ikut.”
Semakin hari Vania merasa anaknya semakin Dewasa, semakin berpandangan terbuka. Kesepakatan ini sepertinya hal yang sangat disukuri Vania.
“Kok gitu?”
“Mama kan mama kandung Ifan. Akhir – akhir ini Ifan bener – bener seneng main sama mama. Tapi, tentu ini gakkan selamanya. Apa pun yang terjadi, Ifan tetap anak mama, gak akan pernah jadi pria, atau bahkan suami mama. Tapi tentu teman Ifan gak akan seperti Ifan. Apalagi saat kita liburan nanti.
“Emang kamu mau mulai ngerayu mama ntar pas liburan?”
“Ya enggak dong. Ifan juga kan tau batas. Meski kadang tak kenal kompromi, keras hati dan setegar besi. Cuma, Ifan akui, dan juga meski sama – sama kita akui, rasanya sangat berat dilarang menyentuh apalagi membicarakannya kepada seseorang. Meski kini bu Dewi tahu, tapi itu kan temen mama.”
“Memang kenapa? Hanya karena mama bisa dengan mudah hidup tanpa sehelai benang di sini, bukan berarti di tempat lain juga sama. Lagian, tubuh ini telah mengalami pelbagai macam cobaan hidup. Tubuh mama kini tak seindah tubuh mama yang dulu.”
“Omong kosong. Justru mama sangat seksi. Coba perhatikan. Tiap kali kita jalan, pasti banyak mata lelaki menatap mama. Apalagi temen Ifan pasti juga suka.”
“Kamu mau mama batalin ngajak temenmu gak?”
“Entahlah. Kalau batal ngajak mereka, mungkin Ifan jadi bakal terlihat brengsek di mata mereka. Tapi kalau jadi, mungkin bisa memulai ke hal – hal lain.”
Hening. Keduanya menghela nafas berbarengan meski tak pernah membuat janji. Menyadari itu keduanya pun saling menatap.
“Gimana semalam, kamu seneng kan liat dua wanita telanjang?”
“Yang satu sih gak telanjang. Apa bu Dewi bener – bener pingin ngulang lagi?”
Vania memukul anaknya, “Kamu gak pernah puas ya?”
“Ifan hanya gak enak sama Dewo,” kata Ifan sambil menunduk.
“Tinggal kamu pikir aja sama Dewi. Memang gak enak nutupin sesuatu dari seseorang. Bahkan pada titik tertentu, bisa membuat seseorang kecewa dan atau marah. Meski kamu tak bisa disebut curang. Mending kamu biarkan bu Dewi menanganginya. Lagian, dia lebih paham hal ginian disbanding kamu. Mama yakin kalau memang sudah pada waktunya, dia bakal memberi tahu Dewo.
“Main kartu lagi, cuma ditambah Dewo. Ifan sih seneng, kecuali liat Dewo telanjang. Najis tralala…”
“Mama yakin bu Dewi juga bakalan kembali seperti dulu. Kayak mamamu ini.”
“Maksud bu Dewi tentang ganti pasangan tuh apaan sih mah?”
“Ya beberapa pasangan bersetubuh bersama, kadang saling berbagi pasangan. Namanya swinger.”
“Emang di sekitaran kita ada mah?”
“Iya dong. Kami kadang melakukannya. Anggap saja hiburan orang dewasa.”
“Trus kira – kira ke depan bakal ngelakuin kayak gitu lagi gak?”
“Mama ragu. Kita gak semuda kayak dulu lagi. Sekarang udah pada sibuk sama keluarga masing – masing. Mama kira kamu hanya akan melihat hal kayak semalam aja, serta yang kita sering lakuin.”
“Kalau bu Yanti gimana mah?”
“Haha… Kamu gak puas ya cuma liat dua wanita…”
“Gaya hidup dia udah bikin dia bahagia. Mama ragu dia mau ngikuti mama sama Dewi. Dewi sama Jefri mungkin saja bisa diajak tukar pasangan. Kalau sampai terjadi, emang kamu mau?”
“Apa? Ifan sama bu Dewi? Entahlah mah, bisa – bisa Ifan dimutilasi Dewo. Tapi tak mungkin, ku tak berdaya, hanya mampu menunggu jawabnya.”
“Mari berandai – andai. Kita anggap tiada yang namanya Dewo. Setau mama, Dewi bahkan kemungkinan besar gak keberatan.”
“Entahlah mah, aneh juga kalau Ifan pikir. Terlalu ganjil. Bu Dewi memang masih menarik, tapi rasanya pasti aneh. Mungkin juga mama bakalan marah, iya kan?”
“Pertanyaan yang bagus. Yang pasti mama gakkan cemburu. Mama masih menunggu seseorang yang tepat untuk mengisi hidup mama. Mumpung kamu masih perjaka, sebaiknya wanita yang bakal jadi istrimulah yang jadi yang pertama dan satu -satunya bagimu. Biar lebih intim. Itulah alasannya mama sama ayahmu tak pernah berbagi pasangan.
Meski ayahmu bukanlah yang pertama, tapi dialah satu – satunya lelaki mama. Tapi kalau kamu memang mau sama bu Dewi, mama takkan melarang kamu. Bukan juga berarti mama menyuruh kamu. Mesti kamu ingat, dia itu masih punya suami juga ibu dari temenmu. Meski kamu pikirkan Dewo jika kamu ingin pertemanan abadi.
“Itulah yang bikin Ifan bingung.”
“Mama bangga sama kamu nak. Apa yang telah kita lalui kamu lakukan tanpa melanggar aturan awal kita.”
Tangan Vania kini bergerak membuat anaknya kini berada dalam pelukannya. Namun setelah beberapa saat, anaknya berontak hingga pelukan itu pun lepas.
Vania menatapnya.
“Ifan juga normal mah. Ifan gak bisa lama – lama bersentuhan sama susu kembar mama tanpa didinginkan dulu. Mandi misalnya.”
Ifan tertawa mendengar penjelasan anaknya lalu menatap payudaranya sendiri. Meski tidak besar, namun terlihat pas proporsional. Sambil melihat putingnya, Vania melirik benjolan di celana anaknya yang baru saja disadarinya kini muncul.
“Nih special buat kamu lihat,’ kata Vania sambil mengangkat susu dengan tangannya lalu mengarahkannya ke anaknya. “Emang kamu rela berbagi pemandangan ini ntar?”
“Udah ah. Mending maen lagi yuk.”
Keduanya bangkit lalu mengambil remot wii masing – masing. Keduanya kembali bermain voli sambil jingkrak – jingkrak.
Namun Ifan terus kehilangan point karena matanya tak bisa berkonsentrasi. Mata muda itu terpecah perhatiannya antara boli voli di monitor dengan bola daging di dada mamanya yang berkilauan karena penuh peluh bercucuran. Vania tahu anaknya sedang memperhatikannya. Namun, bukannya risih, Vania malah sengaja bergerak kian kemari supaya susunya ikut bergerak – gerak.
Pertandingan menjelang detik – detik terakhir. Saat Ifan akan melakukan upaya terakhir, tiba – tiba mamanya memanggil membuat Ifan menoleh. Saat Ifan menoleh, terlihat mamanya sedang nungging dimana celana dalamnya melorot sebatas lutut sehingga nampaklah pantat mamanya yang basah oleh keringat itu bergerak – gerak ke kiri kanan sambil bergoyang.
“Yes, mama menang lagi,” teriak Vania kegirangan sambil menggoyangkan pantatnya.
“Mama doyan bener nampilin asset mama. Bikin Ifan mesti kerja keras nih di kamar,” kata Ifan sambil melangkah meninggalkan mamanya.
“Tunggu nak.”
Ifan menghentikan langkah lalu berbalik menatap mamanya.
“Mama paham betapa kerasnya,” kata Vania sambil menatap gundukan yang tiba – tiba muncul di celana anaknya, “kamu mencoba menahan diri. Mama tahu kamu gak mau melewati batas perjanjian ini, baik itu perjanjian lama maupun perjanjian baru, apalagi melewati batas cakrawala. Tapi mama justru bangga dengan sikapmu yang tak kenal kompromi, keras hati dan setegar besi.
Vania menghentikan dulu ocehannya sebentar, nampak berhati – hati sebelum memulai lagi.
“Maka, atas dasar keteguhanmu itu membuat mama ingin memberi hadiah. Suatu hadiah yang secara teknis tidak melanggar atau bahkan menembus batas – batas yang telah kita sepakati bersama. Kalau kamu mau, kamu boleh mengolah ragakan tanganmu di sini sambil melihat mama yang mencoba memberi inspirasi.
Setelah berkata – kata, Vania lalu membalikan badan hingga membelakangi anaknya. Setelah itu tangannya mengelus – elus pantat dan sesekali meremasnya.
Mata Ifan membesar dan tangannya reflek mengelus selangkangannya yang masih terbungkus celana.
“Udah gak usah malu, lepas aja tuh celananya. Kayak mama gak pernah lihat aja,” kata Vania sambil terus meremas pantat. Namun kini tangan kanan Vania mulai bergerak ke arah susunya dan terus bermain di situ sementara tangan kirinya tetap di pantatnya.
Ifan menggeleng sambil melepas celananya hingga nampaklah teman kecil mamanya itu.
Vania menatap kontol anaknya lalu berlutut di depannya. Ifan terlihat sekali ingin menyentuh tubuh mamanya namun berusaha semaksimal mungkin untuk tidak melakukannya.
“Dasar kamu nakal. Sekarang hadiah yang tadi mama janjikan. Ingat gak kesepakatan kita. Kamu sama sekali gak boleh menyentuh. Tapi gak ada poin yang melarang mama. Jadi dengan kata lain, kamu gak boleh menyentuh sedang mama boleh. Paham?”
“Enggak mah, Ifan gak paham. Tapi terserah mama dah.”
“Dasar kamu kalau udah nafsu otaknya mendadak buntu. Nih liat, tangan mama gak menyentuh kamu.”
Vania lalu memengan susu kanan dengan tangan kanannya. Serta susu kiri dengan tangan kirinya. Lalu belahan susunya itu dimajukan hingga kini menempel ke kontol anaknya. Tak hanya itu, kini ditekannya susu itu hingga kontol anaknya berada di antara susunya. Setelah berada di antara susu itu, tangan Vania bergerak – gerak seolah menekan membuat kontol itu seperti diremas – remas oleh susunya.
Gosokan serta remasan susu mama pada kontolnya membuat Ifan serasa melayang. Meski Ifan sadari dia tak pernah melayang. Ingin tangan Ifan mengelus dan meremas rambut mamanya, namun Ifan tak ingin menembus batas. Alhasil, tangan itu kini meremas rambutnya sendiri menahan kenikmatan tak tertahankan yang dihadiahkan mama kepadanya.
Vania terlihat bersemangat saat memainkan kontol anaknya dengan susunya. Suara anaknya makin tak jelas namun nalurinya sebagai seorang ibu membuat Vania paham bahwa anaknya akan segera orgasme. Begitu muda, begitu penuh semangat, batin Vania. Vania merasakan kontol anaknya mengejang, lalu sekejap kemudian menyemburlah lahar panas dari kontol anaknya yang langsung mendarat di rambut serta pipinya.
Vania mundur sedikit hingga lepaslah kontol anaknya dari susunya. Vania menyentuh peju anaknya lalu meratakannya hingga seluruh susunya terolesi. Vania agak lama mengusap – usap putingnya. Vania lalu menyeka peju yang ada di pipi dan rambutnya dengan jemari. Setelah jemari itu dipenuhi peju, jemari itu lantas dijilatinya hingga bersih.
“Mama suka banget ya peju Ifan?”
Vania menatap kontol anaknya yang masih bergetar. Vania lalu kembali membungkuk mendekatkan kepalanya ke kontol anaknya. Vania lalu menjilat kontol anaknya sebentar lalu menatap anaknya.
“Yah, kamu orang ketiga yang pernah mama cicipi rasanya tapi, mama ya suka aja.”
Kontol Ifan tekejut hingga kembali tegang dibuatnya setelah mendapat kejutan jilatan meski hanya sekejut saja.
Akhirnya Vania menyenderkan tubuh ke sofa sambil melihat kontol anaknya yang kembali tegang dan berkedut – kedut. Vania lalu memberi ciuman lembut di bibir anaknya. Setelah itu Vania bangkit menuju kamarnya.
“Udah ah mama mau mandi dulu. Ntar mau ngumpul sama temen mama. Kalau kamu belum puas, lanjutin aja sendiri.”
Mamanya pun hilang dari pandangan. Kini pandangan itu beralih ke kontolnya sendiri. Ifan langsung duduk di sofa.
Hm… Meski hanya berdua dengan mama, namun sepertinya takkan sampai bosan hidup.
***
“Gimana penampilan mama?” kata Vania sambil berdiri di pintu kamar anaknya.
“Tergantung. Kalau mama ingin menggaet lelaki, pasti banyak yang tertarik sama penampilan mama. Tapi kalau mau ngumpul sama temen, mungkin ya biasa aja.”
“Tapi kan mama hanya pake blus dan jin,” kata Vania sambil melihat tubuhnya yang berbalut blus dan celana jin.
“Kalau pake jaket tambah cantik deh.”
“Dasar kamu. Eh, lagi liat apa tuh?”
Ifan menggeser tubuhnya sehingga mamanya bisa melihat dirinya sendiri di monitor sedang masturbasi.
“Kok kamu gak bosen sih nonton gituan terus?”
“Bosan? Liat mama kayak gini? Tentu tidak.”
“Ntar malam kamu mau ngapain?” Vania berjalan dan duduk di kasur.
“Munkin maen sama temen mah, kan mama juga mau ngumpul sama temen mama. Makan mungkin, kan Ifan gak bisa masak.”
“Kayaknya kamu mesti nikah sama yang pintar masak dan suka beres – beres.” Vania diam saat menatap adegan kursinya penuh dengan baby oil di monitor. “Bahkan gak keberatan sering beres – beres.”
“Lho, itu kan ulah mama, bukan Ifan.”
“Ya selama kamu mau bantu beres – beres, mama gak keberatan bikin ulah lagi.”
“Besok Ifan gak ada acara mah.”
Vania tertawa mendengarnya.
“Ya udah. Selamat bersenang – senang mah,” kata Ifan sambil menepuk pantat mamanya.
Beberapa saat kemudian, Ifan sedang berada di jalan, di luar sebuat restoran. “Cari yang lain aja yuk!”
“Yang lain gimana? DI sini enak makanannya.”
“Lagian, pelayannya bening – bening di sini.”
Akhirnya mereka memutuskan duduk di sudut. Pelayan datang membawa menu. Ternyata yang melayani merupakan pelayan yang dulu melayani Ifan dan mamanya.
“Tuan celana. Pacarnya mana?” kata pelayan kepada Ifan.
Ifan menatap pelayan itu, melotot sambil menggeleng.
“Eh, maaf. Saya kira teman saya.” Rupanya pelayan itu paham arti tatapan Ifan. “Mau pesan apa?”
“Mau pesan no hp anda boleh?” kata Cipto bersemangat.
“Tidak boleh, maaf. Silakan dipilih, menunya ada di daftar, bukan di dada saya.” Kata pelayan sambil menatap Cipto. Setelah itu pelayan itu pergi.
“Pantes lu gak pernah punya pacar,” kata Dewo pada Cipto.
“Lu bikin masalah aja. Ntar gw ngomong dulu sama dia minta maaf.” Kata Ifan sambil berdiri, lalu pergi.
Agak jauh dari mejanya, Ifan mendapati pelayan itu dekat dapur.
“Makasih tadi udah bilang gitu.”
“Jadi, yang dulu binor ya? Bahaya…”
“Binor, apaan tuh?”
“Bini orang.”
“Oh, enggak dong. Dia janda.”
“Oh, kamu punya pacar, jadi kamu gak mau temenmu kasih tau ini ke pacarmu ya.”
“Gak juga. Saya masih lajang kok.”
“Trus, wanita yang kemarin?”
“Dia itu spesial. Hubungan kami memang rumit. Lagian dia gak mau mereka tahu.” Kata Ifan sambil menunjuk ke mejanya.
“Jadi, biar gak ada kesalah pahaman diantara kita. Kamu punya hubungan dengan wanita cantik berumur, namun kamu gak mau temanmu tahu. Jujur saya akui saya terkesan. Biasanya cowok suka koar – koar omong kosong sama temennya. Tenang saja, saya gak akan buka mulut.
***
Cipto dan Dewo menatap Ifan saat kembali.
“Gimana?”
“Gw udah minta maaf. Gw takut dia nambahi sesuatu ke makanan kita kalau gak minta maaf.”
***
Sementara itu, Vania sedang bersenang – senang di sebuah tempat hiburan malam bersama teman – temannya.
“Lu kok keliatan seneng sih, kayak Vania?” Tanya Yanti ke Dewi.
“Ya seneng dong. Kita kumpul lagi kayak dulu.”
“Hanya saja, sekarang kayaknya gakkan ada yang sampai teler,” kata Lisa.
***
“Lu ngerti gak maksudnya celana kata si pelayan?”
“Mungkin dia kira petinju.”
“Gak bakal ada yang percaya lu bisa tinju,” kata Cipto tertawa.
Dewo menunjuk pintu, menatap Ifan, “Lu mau gw bawa dia keluar, biar kita tentuin siapa yang lebih jago kelahi?”
“Ntar, kalau dia ngomong aneh lagi ke cewek saat liburan ntar.”
“Bahkan, gw bisa bantuin pegangin dia nanti.”
“Gw masih gak percaya kita bakal liburan bareng. Apalagi sama mamanya Ifan. Seksi bro.”
“Kayak mama lu pada jelek aja.”
“Serius, ruginya kita.” Dewo tertawa. “Lagian lu pikir, mamamu bakal bebasin kita gak?”
“Maksudlu?”
“Ya, misalnya cewek, minum. Kan lagi liburan.”
“Kayak bakal dikasih aja.”
“Gw gak tau gimana mama. Tapi kayaknya mama gakkan larang selama kita gak bikin kacau.”
Pelayan tadi mendekat dan memberi bill. Anak – anak itu mengumpulkan uang, lalu Ifan pergi ke kasir. Dewo dan Cipto keluar. Setelah membayar, pelayan tadi sedang berdiri diam. Ifan menghampiri. Dia melihat tag nama bertuliskan Sendi di dada pelayan itu.
“Makasih ya atas pelayanannya. Sendi ya.”
Sendi tersenyum. “Iya, sama – sama.” Sendi lalu menarik bon dari tangan Ifan. Mengambil pulpen dari sakunya dan menuliskan sesuatu di bon itu.
“Jangan sampai temenmu dapat nomor ini. Kalau kapan – kapan bosen main sendirian, hubungi aja nomer ini.”
***
“Dah malem nih. Gw mesti pulang dulu.” Kata Dewi.
“Iya, setuju. Kalian sih enak gak punya laki.” Yanti menimpali.
“Ya udah, sekali lagi aja.” Kata Lisa lalu bangkit.
Rupanya Lisa memesan minuman lagi. Namun saat minuman siap, dia mengambil sesuatu dari tasnya dan memasukan ke minuman. Lisa kembali, memberikan minuman itu ke Ifan. Ifan langsung menelannya.
“Gw juga mau cabut ah.” Kata Vania.
Lisa panik. Lisa gak menyangkan Vania bakal langsung pulang. “Jangan dulu don Na, temenin gw dulu.”
“Lain kali aja.”
Yanti mulai membenahi pakaiannya, Dewi menatap Lisa yang kebingungan. Sedang Vania sudah mulai melangkah keluar.
“Sialan.”
“Lu kenapa sih?” tatap Dewi ke Lisa.
Lisa mengabil botol yang sudah setengah isi dari tasnya, lalu menyerahkan ke Dewi. “Gw udah kasih Vania ini. Biar dia bisa agak relaks. Eh malah pulang duluan.” Ngocoks.com
“Lu bener – bener sial ya. Sengaja lu bawa ginian? Pantes aja lu sendirian terus. Lu bener – bener butuh bantuan. Gw cabut dulu.”
Dewi ingat, Vania akan pulang. Dewi tahu kesepakatan mereka. Kini Dewi juga tahu Vania sedang dibawah pengaruh sesuatu. “Sial. Kacau.” Bisiknya.
***
Ifan menutup telepon saat mendengar pintu dibuka.
“Gimana acaramu nak?” kata Vania berseri – seri.
“Ifan dapet cewek mah. Barusan abis telepon – telponan.” Ifan berhenti bicara saat melihat mamanya berjalan sempoyongan. “Mama kenapa nih? Mama mabuk ya?”
“Enggak. Mama cuma minum tiga sloki. Tapi mama merasa aneh, melayang bagaikan terbang ke awan.”
“Apa mama ditraktir minum pria?” Ifan menghampiri mama dan memegangnya.
“Gak ada yang nyamperin mama. Mereka pecundang, gak kayak kamu. Mungkin mama cuma capek. Anter mama ke kamar sayang.”
Vania dibimbing anaknya ke kamar. “Makasih nak.”
Ifan duduk di kasur mengamati mamanya. Vania menatap dan tersenyum. “Kamu cemas ya? Jangan khawatir, mama gak apa – apa kok.” Kata Vania sambil berputar.
“Mama bener – bener cantik.”
“Makasih sayang,” kata Vania sambil melepas pakaiannya. Kini bhnya pun dilepas. “Para wanita pasti seneng liat kamu.” Vania terus tersenyum hingga telanjang.
Vania menghampiri anaknya lalu mendorongnya hingga terlentang di kasur. Vania lalu menaiki tubuh anaknya. Lengan Ifan bergetar menahan hasrat untuk menyentuh mamanya. Vania merasakan getaran tubuh anaknya.
Ibu dan anak itu tak mendengar suara pintu terbuka dan tertutup.
Ifan melingkarkan tangan untuk memeluk mamanya. Dapat Ifan rasakn sisa – sisa al – qohol di bibir mamanya. Ifan berguling sambil tetap mencium mamanya.
“Ifan sangat mencintai mama. Tapi Ifan gak bisa gini. Gak sekarang.”
“Gak apa – apa nak. Mama gak teler. Mama ingin ini.” Tangan Vania mengelus tubuh anaknya yang penuh peluh.
Ifan melepas pelukan dan berguling hingga berbaring di samping mamanya. Tangan Ifan memegang pundak mama, lalu turun hingga mengelus – elus susu mama. Ifan mendekatkan mulut lalu mencium mamanya, “sebaiknya kita bicara mah.”
“Kenapa nak?” kata Vania sambil tetap mengelus – elus tubuh anaknya.
“Apa yang kita lakukan merupakan sebuat langkah besar mah. Sebaiknya kita nikmati dulu momen ini. Mama juga dulu gak langsung gini dengan papa kan?”
Tangan Vania berhenti mengelus, “Tentu tidak. Butuh waktu lama bagi kami.” Vania tersenyum. “Mama kasih tahu rahasia ini, sebenarnya papamu bersikeras agar mama menunggu hingga kami menikah.”
Ifan melihat mama mulai menangi, “Mama bener – bener rindu papamu nak.”
Ifan merangkul mama hingga kepala mama berada di bahunya. Air mata mama menghangatakn bahu Ifan seiring dengan isak tangisnya. Ifan hanya memeluk mamanya. Saat Ifan menggerakan kepala, Ifan melihat Dewi sedang berdiri di ambang pintu menatap mereka.
Dewi melihat mereka dengan keprihatinan yang mendalam. Namun Dewi memutuksan untuk tidak berkata “Saya prihatin.” Dewi hanya menggeleng sambil mengacungkan jempol ke arah Ifan. Setelah itu Dewi tersenyum, mundur lalu menutup pintu kamar.
Sebelum Dewi keluar dari rumah itu, Dewi menulis catatan untuk Ifan. Dia menjelaskan apa yang terjadi serta merasa bangga akan sikap Ifan.
Ifan diam di kasur hingga mama berhenti menangis dan tertidur. Setelah itu Ifan bangkit dan keluar kamar. Namun, hingga Ifan ke kamarnya sendiri, Ifan tak menemukan catatan yang dibuat Dewi.
***
Ifan terbangung esok paginya. Beberapa saat kemudian, mama datang sambil tersenyum. “Mama baik – baik saja?”
Vania mendekati Ifan. Vania memakai daster pendek sambil memegang kertas. Tangan satunya membelai rambut anaknya. Vania menatap anaknya yang khawatir akan dirinya. “Mama gak apa – apa kok. Makasih kamu udah peduli sama mama.”
Vania memutuskan untuk duduk di kasur anaknya, “kamu baca catatan bu Dewi?”
“Catatan apa? Enggak tuh mah.”
“Sepertinya semalam mama dalam pengaruh sesuatu.”
“Sebaiknya kita segera ke dokter mah.”
“Gak perlu. Dewi udah nanya Lisa. Katanya tanpa efek samping. Tidak seperti efek rumah kaca.
“Kenapa bu Lisa ngelakuin itu mah?”
“Maksudnya biar mama relaks dan bersenang – senang. Mama jadi kecewa dibuatnya.”
“Maafin Ifan mah.”
“Kamu hebat nak, gak perlu minta maaf. Kamu benar – benar dewasa, lebih dewasa daripada mama. Mama bangga padamu.”
Ifan melihat daster mamanya. “Tau gak mah. Mama mending pake baju kok. Kita sebaiknya gak ngelakuini ini. Liat akibatnya ke mama. Apa yang hampir mama lakuin. Memang menyenangkan, tapi harus kita hentikan sebelum menembus batas.”
Vania berdiri dan tersenyum ke anaknya. “Mama senang dengan pikiranmu. Tapi mama pake baju bukan karena itu. Mama takut Dewi masih di sini.”
Vania melepas daster hingga telanjang, lalu naik ke kasur.
“Mah?”
Vania tertawa. “Liat ekspresimu. Mama serius kok, mama udah gak dibawah pengaruh lagi. Lagian ini hampir siang. Kamu aja yang suka malem bangun.”
“Iya deh. Tapi, mama ngapain sih?”
“Kamu benar – benar luar biasa, selain papamu. Kamu selametin mama dari kemungkinan rasa bersalah. Kini mama benar – benar bisa mempercayai kamu. Kita tak lagi butuh aturan dan kesepakatan. Apa pun yang terjadi, mama yakin kamu bisa mengatasinya. Apalagi yang kita lakukan ini penuh cinta dan kepercayaan.
Vania menatap mata anaknya dalam – dalam. “Maka dari itu, gak usah lagi ada kesepakatan.” Setelah itu Vania menindih tubuh anaknya lalu menciumnya.
Ifan balas mencium. Namun kira – kira satu menit kemudian, Ifan menghentikan ciumannya. “Udah dulu mah. Mama jangan marah ya, tapi Ifan rasa Ifan belum siap untuk seks mah. Kayaknya terlalu cepet.”
Vania menatap anaknya sambil tersenyum, “udah mama duga kamu bakal ngomong gitu. Kamu bener – bener mirip papamu. Bukan berarti kamu mesti jadi penggantinya. Kamu harus jadi diri sendiri.
Vania merebahkan kepalanya di dada Ifan sambil mengusap tubuh anaknya. “Banyak hal yang bisa kita lakukan nak.”
Ifan meletakan kepala di bantal sambil menikmati sensasi berbaringnya mama ditubuhnya. Ifan sangat menikmati elusan tangan mama.
Pelan saja, Vania berbisik, “mama suka elusan tanganmu semalam nak.”
Ifan terkejut, tangannya langsung bergerilya mencari susu mama. Setelah dapat, dieluslah susu mamanya itu. Sambil mengelus, Ifan menggerakan kepala hingga kembali mencium mamanya. Kali ini lidahnya disambut lidah mama. Sedang kontolnya dielus tangan mama.
Vania merasakan anaknya mulai bergetar, maka dia hentikan ciumannya. Vania lalu menatap anaknya, “ini caranya biar kita gak mesti beres – beres lagi.” Setelah itu Vania mengangkat kepalanya hingga mendekat ke selangkangan anaknya.
Vania langsung memasukan kontol ke mulutnya sambil mengelus peler anaknya. Saat itu juga Vania merasakan semburan peju di mulut yang langsung dia telan.
Setelah itu, Vania kembali berbaring di tubuh anaknya. Kepalanya di dada hingga bisa merasakan detak jantung anaknya. “Jadi, hari ini kamu mau ngapain?”
“Gak tau mah. Tapi Ifan udah gak sabar nih.”
Ifan memasuki dapur. Ifan melihat mamanya sedang mencuci piring dengan telanjang. Ifan merasakan tubuhnya seperti dijalari perasaan hangat. Sudah sering Ifan melihat mama telanjang, tapi kali ini beda. Ifan melihat mama dengan peraasaan yang lain. Dengan penuh cinta.
Ifan kemudian berpikir tentang pelayan dan malam penuh percakapan telepon. Ifan benar – benar ingin mengenal Sendi lebih jauh lagi. Tapi kenyataan ini tak menghilangkan perasaan cinta kepada mamanya. Ifan memang cinta mama, tapi Sendi, Sendi merupakan hal lain.
Ifan mulai membayangkan seandainya Sendi melalukan semua yang mama lakukan. Tapi pertama – tama Ifan ingin kenal dahulu.
Ifan kembali memperhatikan mama. Mama bahkan bersenandung. Ifan sungguh beruntung pagi ini, bahkan mama tak minta apa – apa setelah itu. Tapi Ifan merasa berutang nikmat, dan ingin membalasnya. Pelan – pelan Ifan mendekati mama dari belakang, lalu langsung memegang susunya.
“Aw..” Vania terkejut hingga membuat piring yang dipegangnya terjatuh.
Tangan Ifan mengelus susu mama. Jemarinya pun tak lupa memainkan pentilnya. “Mmm.. Geli nak…” Kata Vania sambil memutar kepalanya lalu mencium leher anaknya. Ifan lalu mengangkat tangan untuk meraih dan mengelus rambut anaknya.
Lembutnya sentuhan anaknya membuat Vania tak tahan untuk menggigit kecil leher anaknya sambil mengerang. Vania mulai menggesekkan pantatnya yang menempel pada kontol anaknya. Akhirnya Vania melepas tangan anaknya lalu berbalik menghadapnya. Vania menatap mata anaknya.
“Oh… Sudah sangat lama mama menanti. Kamu udah bikin mama kayak gini.”
Ifan menyeringai. “Duduk mah di meja.”
Vania lalu duduk di meja. Ifan berada diantara dua kaki mama yang terjuntai. Ifan meraih kepala mama lalu menciumnya sambil meremas rambut mama. Tangan Vania pun meremas rambut anaknya. Elusan tangan Ifan bermain di susu mama, lalu beranjak turun ke perutnya. Vania mengerang di sela – sela ciumannya.
“Oh.. Oh…” Nafas mama mengenai bibir Ifan. Ciumanya makin liar. Tubuh merespon kenikmatan yang ia terima. Tubuh Vania bergetar saat jari anaknya mencoba memasuki memeknya. Ifan merasakan kaki dan tubuh mama bergerak seirama gerakan jari di memek mama. Ifan menambah satu jari lagi, hingga kini dua jari sedang bermain di memek mama.
“Aaaahhhh,” teriakan Vania teredam oleh mulut anaknya. Vania mengangkat tubuh hingga membuat Ifan jatuh. Keduanya lalu terduduk di lantai, Vania gemetar. Kepalanya kini disandarkan di bahu anaknya.
“Dimana kamu belajar itu nak?” Vania mencium bahu anaknya.
“Dari imaji nasi dong mah.”
“Cewek yang nanti kamu ajak tidur pasti gak kan biarin kamu lepas. Makasih nak.” Vania menoleh menatap anaknya.
“Mama berhak menerimanya kok.” Ifan kembali menggerakan tangan membelai punggung mama. “Gimana rasanya mah setelah bertahun – tahun?”
“Kayak disurga. Mama gak mau pindah lagi.”
Ifan memeluk mama erat, “Ifan gakkan kemana – mana mah.”
Vania kembali menjilati leher anaknya, “Mama sangat mencintaimu.”
Ibu dan anak itu tetap pada posisi untuk waktu yang cukup lama. Setelah itu, keduanya tertawa, merasa canggung lalu berdiri.
Telepon tiba – tiba berbunyi. Vania menyadari mata anaknya menyipit, “Semalam kamu ngomong sesuatu tentang cewek ya?” Kata Vania sambil melihat anaknya yang berlari menuju telepon.
Ifan lari lalu mengangkat telepon, “Iya bu, mama gak apa – apa kok. Mah, telepon dari bu Dewi.”
Vania menatap anaknya kecewa, “Jangan kabur dulu. Mama mau dengar ceritamu.” Lalu mengambil telepon dari anaknya. “Halo… Gw normal kok. Udah gak ngefek lagi… Gak, gw gak marah… cuma kecewa… Gw jadi males liat dia… Ifan… Ya dia luar biasa… Apa, lu liat? Hehehe… Gw kasih tau, perjanjian gw sama anak gw udah tamat.
Gw udah yakin ama anak gw, jadi gak perlu aturan lagi. Lagian tadi gw dibikin lemes ama dia. Apa? Gak, pake jari doang. Lu mesti liat wajah dia sekarang. Apa, lu juga mau? Ah gak percaya gw. Inget Wi, gw udah kasih tau lu. Lu juga mesti cerita abisnya. Si Ifan mesti cerita, kayaknya ada cewek baru nih.
Vania menutup telepon sambil tersenyum ke arah Ifan. “Ada kabar baru nih. Kamu mau yang mana dulu, kabar aladin atau kabar aladin?”
Ifan mengernyitkan alisnya, “kabar aladin?” Ifan lalu tertawa, “kabar aladin dulu deh.” Ifan kembali mengernyitkan alisnya, seperti bingung. “Kabar aladin dulu.”
“Ternyata, bukan kamu saja yang aladin beruntung.”
“Mama ngomong apaan sih mah? Aladin siapa sih?”
“Ntar sore, Dewi sama lakinya, Jefri, bakalan ngajak si Dewo main kartu, kayak kita semalam.”
Ifan tertawa, “Aladin,” katanya sambil mengacungkan jempolnya.
“Kayaknya virus kita mulai menyebar.” Vania mendekati anaknya lalu memeluknya. “Sekarang cerita atau mama paksa kamu.”
“Iya deh, Ifan nyerah.” Kata Ifan sambil mengajak mamanya duduk di sofa.
Bersambung…