“Wo, sini Wo.”
Dewo sedang duduk di depan monitornya. Namun bukannya senang, Dewo malah merasa jenuh. Tak ada lagi yang dapat diperbuatnya selain bengong, gak ada kerjaan. Bingung apa yang harus dia lakukan. “Beri aku uang… Beri aku uang…” Pikirnya saat suara mamanya memanggil. “Daripada terbunuh sepi…” Pikirnya sambil melangkah.
Dewo mencari sumber suara itu. Ternyata mama sedang sama ayah di meja. “Apa mah?”
“Lagi sibuk gak?”
“Emang kenapa mah? Gak sibuk sih.” Kata Dewo sambil duduk di kursi.
“Kamu bosan gak?” mama mengedipkan sebelah mata pada ayah.
“Iya.”
“Mau main gim gak?”
Dewo menatap ayahnya. Heran karena dia tertawa.
“Widia lagi pergi, mama juga bosan sama kayak ayah. Kamu mau ikut maen kartu gak? Yang kalah mesti buka pakaian?”
Dewo terkejut, “apa?” Dewo menatap ayah dan mama bolak – balik.
“Kamu kan udah besar,” ayah akhirnya angkat suara. “Ayah denger kamu dan temenmu suka bicarain mamamu dan mama temenmu. Nah, sekarang kamu punya kesempatan. Tapi, kalau gak mau ya gak apa – apa.”
“Pasti bercanda nih.” Dewo mulai senyum.
“Mama yakin kamu bakal telanjang duluan sebelum bisa liat mama,” kata Dewi sambil mengambil kartu. Lalu mulai mengocok.
“Jangan gitu. Meski ayah seneng liat anak kita dipermalukan, tapi ayah ingin liat mama telanjang lebih dulu.” Kata ayah sambil menepuk bahu Dewo.
“Silakan berharap. Ingat aja yang, mama bisa nelanjangin si Vania sama anaknya sebelum akhirnya mama telanjang.”
“Apa?” Dewo lemas hingga menggelosor ke lantai dari kursinya. Ayah tertawa melihatnya.
“Mama lagi ngobrolin kamu. Terus Vania malah nantangin main sama anaknya.”
“Bajingan itu malah gak kasih tahu Dewo.” Dewo memukul meja.
“Jangan marah sama dia. Dia gak salah, mamanya otak dari semua ini.”
“Kacau… Bener – bener kacau…”
Ayah kembali bicara, “Bukan kacau Wo, tapi menikmati hidup. Kayak ayah dan mamamu dulu, sebelum pada punya anak.”
“Gak usah terjebak masa lalu Yah. Pasti ntar Vania sama Ifan juga kebagian lawan ayah.”
“Yakin?”
“Iya dong. Mama yakin kalian akan segera telanjang asal kamu bisa tutup mulut,” Dewi menatap Dewo. “Jadi cepat ambil kartu dan mainkan.”
Ketiganya lalu bemain hingga Dewo dan Jefri hanya tinggal bercd saja. Sedang Dewi hanya memakai cd dan bh.
Putaran berikutnya Dewi kalah. “Sial,” katanya sambil tangannya menjangkau punggung untuk melepas bh. Akhirnya susu Dewi terlihat oleh anaknya untuk kali pertama.
Dewo hanya bisa melongo melihatnya.
Dewi meraih pentil susu dan menariknya, “kamu ingat dulu gak?” katanya sambil menatap anaknya.
“Ayah gak inget terakhir anak kita gak bisa bicara gitu. Hehehe.”
Dewo geleng – geleng sambil meraih lalu mengocok kartu. Setelah pertarungan yang cukup sengit, Dewi kalah. Jefri tertawa senang. Dewi lalu berdiri, melepas cd, menggoyang – goyangkan pantatnya ke arah anaknya. Setelah itu kembali duduk.
“Ee… Sekarang apa?” bengong Dewo.
“Karena mulut mamamu gak ada gunanya lagi, gimana kalau mama kalah mesti nyepong dia yang menang. Setuju sayang?” jefri menatap Dewi.
Dewi menatap anaknya, “semoga aja Dewo menang,” lalu menatap suaminya, “karena kalau ayah menang, mama pake gigi mama.”
Dewo kembali terjatuh dari kursi akibat lemas. Ayah dan mama hanya tertawa.
Kartu kembali dibagikan. Namun yang menang adalah Jefri. Jefri lalu berdiri dan menatap anaknya, “perhatikan nak. Liat bagaimana ahlinya mamamu!” Jefri berharap soal gigi tadi hanyalah candaan.
Dewo melihat pantat mama bergoyang – goyang saat mulut mama sibuk di selangkangan ayah. Dewo mendekati mama biar bisa lebih jelas melihat.
Mama melepas kulumannya lalu menoleh ke anaknya, “pantat bergoyang artinya undangan. Kamu gak homo kan?”
“Tentu tidak.”
Jefri tersenyum pada anaknya, “lepas celanamu nak. Ayo lakukan.”
Dewo langsung melepas celana hingga telanjang lalu berlutut di belakang mama. Dewo memasukan kontol ke memek mamanya.
“Oh…” kata Dewi di sela sepongannya.
Dewo merasakan betapa nikmatnya memek mama hingga mulutnya mengerang dengan sendirinya. Pompaan kontol Dewo semakin lama semakin cepat. Tangan ayah memegang kepala mama saat ayah orgasme di mulut mama. Aku pun orgasme dibarengi mama yang bergetar. Rupanya mama ikut orgasme.
Dewo mencabut kontol lalu duduk dikursi sambil memperhatikan lepasnya kontol dari mulut mama. Mama lalu menatap ayah, “gimana, senikmat imajinasimu?”
“Iya sayang.”
Dewi duduk lalu menatap anaknya. “Setelah mama main sama Vania dan Ifan, mama langsung pulang dan bergumul sama ayahmu. Abis itu mama ceritain semua. Terus ayahmu malah punya ide ini.”
Jefri menatap anaknya, “jadi, kira – kira setelah ini kamu bakal sering bosan gak?”
“Tidak komandan!” jawaban Dewo membuat ayah dan mama tertawa.
***
“Maksudmu, gadis yang dulu nganter makanan ke rumah kita trus ngelayanin kita di restoran?”
“Iya.”
“Gila, terus gimana caranya kamu mau nerangin kalau saat itu kamu sama mama?”
“Entahlah. Biar waktu yang menjawabnya.” Mata Ifan menerawang sambil mengelus meja
“Gimana kalau mama kembali berpakaian aja dan kita kembali normal seperti dulu?” Perut Vania bereaksi melihat anaknya yang jelas sedang jatuh cinta.
“Tentu tidak.”
Vania tertawa, “Terserah kamu. Kita tunggu saja, jika hubungan ini makin serius, maka kamu mesti memikirkan cara untuk memberitahukannya. Gak boleh ada rahasia jika mau berhubungan, bisa ricuh.”
“Ifan tahu. Ntar Ifan pikirkan suatu cara.”
Vania bangkit lalu mendekati anaknya. Vania duduk di pangkuan anaknya lalu menciumnya. Beberapa saat kemudian Vania melepas ciuman lalu menatap anaknya. “Mama sangat cinta sama kamu. Tapi suatu saat jika kamu sudah menemukan belahan jiwamu, mama akan merelakanmu. Gak perlu kamu khawatirkan perasaan mama.
Tangan Ifan mengelus bahu mama, sedangkan tangan lainnya memainkan jemari di susu mama. Mata Mama mulai terpejam. Erangan kecil mulai keluar dari mulut mama.
“Ifan sangat bersyukur punya mama seperti mama.” Ifan lalu mencium leher mama.
Vania menjerit saat Ifan merangkulnya lalu mengangkatnya hingga ke atas meja. Ifan lalu melebarkan kaki mama, “kamu mau lagi ya?” kata mama.
“Tentu.”
Kring… Kring…
“Biarkan saja mah.”
“Kalau dari sendi gimana?”
“Oh iya,” Ifan bergegas meraih telepon.
“Halo, Cip,” mata Ifan menatap betis mama. Meski betis mama tak bercahaya seperti ibu para raja zaman dahulu, namun sungguh terlihat seksi. “Gak, gw udah siapin semua. Tinggal lu aja sama Dewo. Telpon aja sama lu. Gw kira cewek. Ya cewek asli lah. Gak, gw gak bakalan cerita sekarang. Yo.”
Tubuh mama masih tergeletak di meja, menatap jalang pada anaknya. Ifan menghampiri dengan antusias. Tangan Ifan mulai mendekati kaki mama…
Kring… Kring…
“Sial… Sial…” Ifan kembali meraih telepon.
“Halo. Oh, kamu Sen. Iya, aku juga seneng semalem ngobrol sama kamu. Apa? Iya sip. Jadi besok, jam tiga. Sampai jumpa.”
“Wah.. wah… Ada yang janjian nih?” tawa Vania menggoda anaknya saat anaknya mendekat.
Ifan tersenyum, “hehe…”
Masih berbaring di meja, Vania melorotkan celana pendek anaknya, “berarti kamu milik mama malam ini.” Vania menjulurkan lidah perlahan untuk mengenai kontol anaknya.
Kring… Kring…
Vania melepas kontol dari tangan dan menjatuhkan kepalanya saat Ifan memukul meja. “Hehehe…” Vania cengengesan.
“Apa lagi? Eh, halo bu Dewi. Tidak, sedang santai kok. Mau ngomong sama mama? Kata mama ibu lagi main kartu? Sudah? Siapa yang menang? Maksudnya, semua? Mantap. Tentu, ada rencana sih. Ya seperti itu. Ibu kan temen mama, rasanya obrolan ini agak janggal. Ibu yakin? Tentu Ifan percaya. Siap bu. Iya.”
Ifan kembali menghampiri mama. Tangan mama disilangkan di meja, dan dagu mama bersandar di tangan itu. “Katanya bu Dewi sekeluarga mau ke sini ntar malem.”
Vania langsung duduk, kakinya menjulur dari meja. “Mau ngajak keluar?”
“Enggak, katanya mau makan di sini.”
“Apa kamu yakin gak keberatan kita kedatangan tamu?”
“Gak, bu Dewi kedengeran semangat. Katanya bakal tak terlupakan bagi kita.”
“Bisa jadi malam yang sangat menarik. Kamu siap?”
“Mungkin saja, kita lihat nanti.”
***
Saat yang dinanti para pembaca pun tiba, pintu diketuk. Ifan membuka pintu. Munculah bu Dewi dan suaminya, paman Jefri. Ifan menyalami mereka. Vania lalu datang. Jefri memandang Vania yang memakai kaos penuh keringat.
“Ku akui, aku mesti berterimakasih atas bantuanmu,” senyum Jefri saat menyalami Vania.
“Pantesan kamu senyum terus…” balas Vania.
“Jadi, tumben – tumbenan nih maen ke sini…”
“Iya, gw inget lu tanya apa gw pingin balik lagi kayak dulu. Nah gw omongin dah ke laki gw. Kalau lu oke, setidaknya gw dan laki mau ngucapin makasih udah nyalain lagi api yang pernah pudar.”
Vania menatap anaknya, “Ifan baru dalah hal ini. Jadi kalau lu setuju, kita pelan – pelan saja. Gw juga gak mau sampai main kecuali sama anak gw. Gw baru sadar, rasanya gw sengaja nunggu. Duh.”
Ketiga orang paruh baya tertawa, sementara Ifan celingukan sendiri bingung.
“Dari dulu juga gw tau lu orangnya punya komitmen. Gimana anak lu, apa dia udah punya inceran buat masa depannya? Kalau anak gw sih, tadi sore gak kesulitan.” Dewi tertawa menatap Ifan yang makin merah karena malu.
Jefri tertawa, “Jangan biarkan mereka melahapmu nak. Udah tugas wanita buat bikin kita senang – senang, setidaknya salah satu wanita ini udah melakukannya. Si Dewo mulai beruntung sama mamanya, Paman jadi khawatir.”
“Dewo sih gak pernah susah kalau soal cewek, tapi jangan bilang kalau saya kasih tahu,” kata Ifan terlihat kikuk.
“Jadi, mau di mana nih?”
“Di dapur aja, sambil duduk. Kita ngobrol normal – normal dulu. Pelan – pelan untuk remaja kita.” Dewi sambil menggandeng bahu Ifan.
“Mana makanannya, katanya lu mau bawa?” Vania meyiapkan piring ke meja.
“Udah gw pesen.” Tok.. Tok… “Nah, itu datang pesenannya.” Jefri menarik uang dari dompet sambil berjalan menuju pintu
“Tunggu, pesan dari mana paman?” Ifan meraih tangan Jefri hingga
“Tempat rekomendasi Dewo, kenapa emang?” Jefri menatap Ifan heran.
“Oh, pacarnya kerja di sana. Suka nganterin juga,” Vania menimpali sambil tersenyum.
Jefri menyerahkan uang ke Ifan, “kalau gitu, kamu ambil saja.”
Saat pintu dibuka, Ifan dan Sindi sama – sama tersenyum.
“Hay, aku ingat alamat ini, jadi sengaja aku antar.”
“Ya, setidaknya kali ini aku sengaja berpakaian kumplit.”
Sindi tertawa. Ifan melirik ke samping melihat mamanya pun tertawa.
“Bener – bener gak ada privasi di sini ya?”
Vania mengangkat tangannya, “cuma ngecek, kali aja butuh bantuan bawain makanan.”
“Ya… ya… percaya deh…”
Sindi memandang ke dalam, “bilang padanya agar jaga tangannya di tempat yang terlihat,” tawa Sindi.
Vania lalu muncul di pintu, antara Ifan dan Sindi. “Halo, kamu pasti Sindi ya.”
“Ya, kalau anda?”
“Vania, tenang saja cantik. Saya bukan sainganmu dalam remaja ini.”
“Udahlah Na, mending sana deh.”
Bukannya menghilang, Vania malah membuka pintu lalu meraih makanan dari Sindi. “Tante tau tante gak diharap ada di sini. Tapi jangan ngambek kalau nanti kamu kembali makanan udah gak bersisa.” Vania lalu masuk sambil tertawa.
Ifan memperhatikan mama hingga berada di dapur, lalu kembali ke Sindi.
“Dia makan sebanyak itu, tapi masih kelihatan cantik?” tatap Sindi ke Ifan.
“Oh, tentu tidak. Di dalam ada teman kami.”
“Kami? Aku tak sabar dengar ceritanya. Dia tampak menawan.”
“Ya, dia hanya senang saat tahu aku lagi dekat sama wanita. Tapi dia juga enak orangnya. Eh, ntar mau nonton apa?”
“Gak tahu, kita liat aja nanti apa yang sedang diputar. Terus kita putuskan bareng, biar sama – sama menikmati.”
“Bagus. Oh iya, nih uangnya. Mumpung ingat.” Ifan mengeluarkan uang lalu memberinya ke Sindi.
“Makasih. Aku mesti kembali, biar tetap kerja. Hehehe…”
Tanpa berpikir, Ifan mendekati Sindi lalu mencium pipinya. Setelah itu Ifan melihat Sindi berbalik dan menjauh, langkah Sindi seperti langkah mama saat mama senang. Saat akan masuk, Ifan melihat sesuatu di jendela.
“Tukang intip di mana – mana.” Teriak Ifan, Dewi dan Vania hanya tertawa.
“Paman udah bilang ke mereka jangan ngintip,” kata Jefri dari dapur.
“Iya, makasih udah ngelarang mereka paman.”
“Jangan marah dong, lagian siapa yang tahan liat anak lucu…” kata Dewi sambil memeluk Ifan.
“Makanan udah mulai dingin nih,” teriak Jefri sambil mengunyah.
Ketiganya lalu menuju dapur. Makanan sudah tersaji di meja. Ada satu botol kosong dan satu botol penuh.
“Lu minum sendirian?” tanya Vania ke Jefri yang sudah agak mabuk.
“Kan mau ngajarin anak ini. Pelan – pelan saja kan.”
Vania tertawa, “putar botol?”
Dewi tersenyum pada Vania, “pelan – pelan saja.” Lalu menatap Ifan, “Gimana nak, tertarik?”
“Boleh bu, tapi jangan harap Ifan mau menyetuh paman Jefri, najis tralala…”
“Tenang, ini versi pasangan. Makanya kami gak bawa Dewo.”
“Entahlah… Ifan masih merasa gak enak sama Dewo.”
“Gak usah khawatir, sore tadi Dewo udah bahagia. Apalagi esok lusa. Siapa tahu kapan – kapan kita main gim ibu dan anak bareng.”
Ifan menggeleng, “Kacau… bener – bener kacau…”
“Ngeluh? Kayak yang iya aja,” Vania tertawa.
Keempat insan itu makan, minum dan tertawa. Setelah makan selesai, meja dikosongkan hingga hanya terdapat satu botol. Dewi memutar dan botol itu berhenti tepat menunjuk Ifan.
“Cium sang gadis,” teriak Dewi.
Vania tersenyum lalu mencium anaknya.
Jefri menyeringai, “setelah bertaun – tahun, lu gak lupa caranya kan?”
Setelah beberapa saat, Vania dan Ifan kembali duduk di kursi masing – masing. Ifan memutar botol. Botol menunjuk ke mama temannya.
“Gantian,” tawa Vania.
Jefri dan Dewi berciuman. Terkadang lidahnya menjulur keluar.
“Babak pertama usai. Selanjutnya yang kalah mesti lepas pakaian. Jika kembali kalah, maka lanjut ke tes jujur.” Cukup bicara, Dewi lantas memutar botol. Ironisnya botol itu mengenai dirinya sendiri.
“Sial, gw mesti pertama telanjang lagi .” Dewi lalu melepas kaosnya. Tangan Dewi meraih ke punggung lalu melepas bh. Setelah itu Dewi berdiri dan melepas celana jins, akhirnya Dewi melepas cdnya. Ifan dengan antusias melihatnya.
Botol kembali diputar, berhenti menunjuk Vania. Vania berdiri lalu melepas bajunya. Kedua pria bertepuk tangan.
Jefri tertawa, “masih seperti dulu, liar dan cantik.”
Berikutnya Ifan yang harus melepas pakaian.
“Sejauh ini masih aja pemalu?” jefri geleng – geleng melihat Ifan yang terlihat malu. Para wanita hanya cekikikan.
Akhirnya giliran Jefri yang melepas pakaian. “Kali ini yang tertunjuk mesti ngocok atau ngelus pasangan dengan tangannya. Katanya kamu pintar Dan.” Dewi merujuk kepada Ifan sambil memutar botol. Botol menunjuk Ifan.
Vania berdiri dan jalan mendekati meja lain, “kita ulangi saja yang tadi.” Vania lalu duduk di meja dan melebarkan kaki, sementara Ifan kini berdiri diantara kaki Vania.
Vania lalu membungkuk untuk mencium anaknya. Tangan anaknya mengelus susu Vania, serta punggungnya.
Dewi menggeser kursi hingga di sebelah suaminya. Tangan Dewi lalu mengelus kontol suami, sementara tangan Jefri memainkan pentil istrinya. Cerita dewasa ini di upload oleh situs ngocoks.com
Perlahan tangan Ifan menuruni tulang rusuk hingga berputar di perut mama. Sementara tangan satunya membelai pantat mama.
Dewi bisa mendengar erangan Vania, “Enak nak.”
Vania mengejang kembali saat jemari anaknya mengelus memek sambil tetap berciuman. Vania lantas membuka mata melihat Dewi sedang memainkan kontol suaminya, “Woy, sabar dong tunggu giliran.”
“Gak usah didengar, terus sayang hhh,” rintih Jefri. Dewi memajukan kepala untuk mencium suaminya.
Vania merebahkan kepala di bahu anaknya sambil menonton temannya. Kini Vania memeluk erat anaknya sambil gemetaran dan menggigit bahu anaknya saat Vania akhirnya keluar.
Perlahan Vania turun dari meja dan kembali mencium anaknya. Kini semua orang kembali duduk. Karena terkena guncangan oleh salah – satu tubuh, botol menggelinding. Sebelum jatuh, Vania menangkap botol.
“Rehat dulu, gw mau ke kamar mandi. Ntar gw ada ide buat ronde akhir.”
Semuanya kembali ke meja. Vania berdiri lalu menunjuk Jefri, “lu hutang muasin bini lu, tapi sebelumnya gw mau lanjutin apa yang tadi dipotong sama telepon.”
Vania lalu naik meja dan berbaring. Tangannya lalu meraih kontol anaknya dan menariknya hingga masuk ke mulutnya. Kontan saja Ifan terkejut atas aksi mama. Tangan Ifan memegang pinggir meja. Sementara matanya melihat kepala mama yang maju mundur. Tangan mama sepertinya memegang dan mengelus pantat Ifan.
Dewi bangkit, mendekati Vania lalu membungkuk untuk melihat temannya sedang nyepong anaknya sendiri. Jefri bangkit dan berlutut di belakang istrinya. Tangan jefri lalu mulai mengelus pantat istrinya.
Dewi mengerang saat lidah suaminya mulai bergerilya. Erangan Dewi menyebabkan Vania berhenti, mencabut kontol anaknya lalu mencium Dewi. Kontol yang masih dalam pegangan Vania diarahkan ke mulut Dewi. Dewi menghirup kontol teman anaknya, lalu menoleh ke belakang, “masukin ke anus yang.” Setelah itu, Dewi memasukan kontol teman anaknya ke mulutnya.
Jefri berdiri, melebarkan pantat istrinya lalu mulai menusuk kontol ke pantatnya. Dewi melepas kontol dari mulut, bangkit berdiri lalu mencium mulut teman anaknya sendiri. Sementara kontol Ifan kembali bersarang di mulut mamanya.
Ifan mengerang di sela ciumannya saat kontolnya menyemburkan peju di mulut mama. Dewi meracau tak jelas saat keluar. Jefri makin cepat memompa hingga menyemburkan peju di anus istrinya.
Mereka lalu berbaring di lantai. Vania kembali mencium Ifan, Jefri mencium punggung Vania. Ifan lalu melepas ciuman dan memandang ketiga orang itu, “Ifan jadi penasaran, pelan – pelan saja sudah gini. Gimana kalau yang ekstrim?”. Ketiganya tertawa mendengar pertanyaan remaja itu.