DEBAR MASA LALU
Setiap orang di dunia ini pasti ingin menikah hanya sekali seumur hidup. Tidak ada orang yang menikah hanya untuk menciptakan perpisahan. Jika ada problem dalam rumah tangga, semestinya mereka harus bisa mencoba untuk meluruskan, bukan membiarkan.
Sama dengan Shanum. Dia ingin menikah hanya sekali seumur hidup bersama pria yang sama. Namun, Shanum tidak bisa mengharapkan apa-apa dari pria yang sekarang menjadi suaminya.
Kadang dia berpikir apakah perpisahan adalah ending terbaik untuk kisah mereka. Mungkin benar sejak awal mereka memang tidak berjodoh.
“Shanum.”
Oh, ternyata mama mertuanya. Shanum menoleh ke arah wanita tersebut yang melambai di depan pintu. Posisi Shanum sekarang tengah berada di bangku halaman rumah orang tua Sabda.
“Ada apa, Ma?”
Diana tersenyum. “Sini, ikut Mama.”
Dahi Shanum berkerut ketika sang mama menariknya pergi tanpa mengatakan maksud dan tujuan beliau.
Tiba di ruang tengah, mama mertuanya itu menyuruh Shanum duduk di sebelah beliau. “Coba liat ini.” Diana membuka ponselnya, kemudian memperlihatkan beberapa foto padanya.
Foto perhiasan.
Kembali Shanum mengerutkan dahinya, bingung. “Maksudnya apa, Ma?”
“Ah, kamu. Tadi pagi ‘kan Mama sudah bilang, perusahaan suamimu mengeluarkan beberapa produk baru. Salah satunya cincin ini.”
Diana kembali menunjukkan cincin mewah yang terbuat dari platinum dengan pilinan bunga melingkar berhiaskan safir biru.
Shanum tersenyum, lembut. “Kalau Mama yang pakai pasti semakin bertambah cantik. Cincin serta kalung ini pas untuk dipakai ke pesta iya, ‘kan, Ma? Biasanya Mas Sabda sering menyarankanku pergi ke pesta memakai cincin atau kalung seperti ini, tapi aku kurang cocok memakainya.”
“Ih, kamu.” Diana menepuk pelan lengan sang menantu. “Kata siapa kamu tidak cocok pakai ini? Mama lihat kamu selalu cocok pakai perhiasan apa pun, tubuhmu juga mungil. Sangat cantik.” Pujinya berlebihan.
“Waktu itu Mas Sabda membelikan kalung paling mahal untukku. Aku kaget dengan harganya.”
Diana tertawa menanggapinya. “Tentu saja harus mahal. Lagipula Sabda tidak mungkin memberimu perhiasan murahan. Mama juga akan marah jika dia memberimu barang-barang murahan atau palsu.” Mertuanya kembali teringat sesuatu. “Mama punya beberapa perhiasan, siapa tahu cocok untukmu. Tunggu sebentar.”
Diana segera bangkit dari kursinya meninggalkan Shanum sebentar. Wanita itu tak sempat mencegah karena beliau sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar.
Di sisi lain, Shanum merasa sangat beruntung. Memiliki mertua yang baik adalah impian semua wanita. Meskipun Diana bukan ibu kandungnya, tapi dia yakin Diana tidak akan memberikan kesakitan padanya.
Tidak berapa lama, Diana keluar dari kamar seraya membawa kotak perhiasan. Di sana ada kalung, cincin, sampai gelang. Semuanya berbahan platinum. Shanum yakin harganya sangat fantastis.
Shanum mengambil sebuah gelang kecil yang sangat lucu. Perempuan itu segera beralih pada mertuanya.
“Lucu sekali. Ini gelang bayi, ‘kan, Ma? Mama punya anak perempuan?” tanya Shanum seraya memainkan gelang berukuran mungil di tangannya.
“Dulu mama berharap punya anak perempuan, tapi dua anak mama laki-laki. Jadi, gelang itu mama simpan. Kamu suka? Ambilah, siapa tahu nanti anakmu lahir perempuan.”
Shanum menatap mama mertuanya dengan ragu. Dia belum tahu jenis kelamin anaknya secara jelas.
“Benarkah? Boleh aku menyimpan ini, Ma? Tapi, bagaimana kalau yang lahir ternyata anak laki-laki?”
Diana menggeleng. “Laki-laki atau perempuan sama saja, yang penting dia tumbuh sehat.”
Shanum mengangguk, dia menatap kembali gelang itu, seolah tertarik. Jika benar anak yang dikandungnya perempuan, dia akan sangat senang.
Diana menatap menantunya dengan ekspresi penuh iba. Meskipun beliau tampak baik-baik saja. Namun, perasaan seorang ibu tidak bisa dibohongi. Jujur saja dia sedih.
“Bagaimana hubungan kalian, apakah sudah membaik?”
Pertanyaan Diana tiba-tiba menjurus pada kondisi rumah tangganya. Entahlah, Shanum bingung menjawabnya. Mereka memang sudah tidak bertengkar lagi, tapi hubungan mereka pun tidak sebaik itu. Keadaannya terasa dingin jika mereka berada di satu ruangan yang sama.
Melihat keterdiaman Shanum, Diana mengerti. Beliau lekas menggenggam erat tangan menantunya.
“Mama bahagia punya menantu baik seperti kamu, tapi jangan terlalu baik saat suamimu berbuat kesalahan, kamu harus bisa menegurnya.”
‘Itu bukan kesalahan biasa lagi, Ma. Aku tidak tahan setiap kali melihat Rania di sekitarku. Aku masih tidak mengerti dengan pernikahan ini … apa dia benar-benar menginginkan pernikahan ini?’
Kalimat itu hanya terucap dalam hati Shanum. Seandainya dia bisa berkata demikian secara langsung pada sang mama, mungkin sudah sejak awal pernikahan dia mengatakannya, tapi Shanum tidak ingin membuat orang tua dan mertuanya merasa bersalah karena pria itu sudah melukai hati Shanum dengan banyak kebohongan.
***
Tidak buruk bagi Shanum jika harus menjalani aktifitasnya selama kurang lebih tujuh hari di rumah sakit. Selama dia menikmati rutinitasnya, tentu tidak akan ada beban yang menyiksa.
Rumah tangganya sedang dalam ambang keretakan. Tak lupa ujian tambahan lainnya yakni kondisi sang suami. Belum lagi mengenai kondisi tubuhnya yang mudah lelah selama masa kehamilan. Dokter sudah memperingatkan dari jauh hari supaya Shanum menjaga emosi dan kesehatan. Penyakit yang dialaminya jelas bukan penyakit sepele.
Shanum tidak diperbolehkan kelelahan, atau bahkan menginap terlalu lama di rumah sakit. Diana mewanti-wanti itu. Dia tidak memperbolehkan Shanum merawat Sabda lebih lama karena Diana tahu Shanum perlu menjaga emosinya.
Sabda ingin bilang bahwa dia merindukan senyum dan suara Shanum. Meskipun sering bertengkar, tapi Sabda rindu. Kapan keindahan itu akan tiba?
“Tadi pagi dokter bilang kamu sudah boleh pulang,” kata Shanum di hadapan Sabda yang seolah enggan memandangnya.
Shanum lega dengan kabar itu, Sabda bisa menjalani proses pemulihan di rumah. Suasana tenang dan damai, itulah yang dibutuhkannya. Tentu itu suatu kabar baik bagi mereka. Setidaknya, Shanum tak harus mendengarkan ocehan ibu mertua ketika dia memaksakan diri ingin merawat sang suami yang terbaring sakit.
“Aku sudah hubungi Papa, nanti beliau yang akan menjemput kita,” ucap Shanum di sela kegiatannya melipat dan memisahkan pakaian Sabda ke dalam tas.
Sedari tadi, wanita itu sudah sibuk menyiapkan barang barang yang harus dibawa pulang. Mulai dari selimut, baju ganti, handuk, dan lain-lain.
“Oh, ya, katanya ayahku mau bicara empat mata denganmu. Kamu sudah merasa baikan? Kurasa ayah akan datang tak lama lagi.”
Shanum baru ingat bahwa ayahnya bilang ingin bicara dengan menantunya sebentar. Shanum tak keberatan. Sejak Sabda sakit beliau hanya dua kali menjenguk. Bukannya tak ingin, tapi terlalu banyak pekerjaan yang harus beliau selesaikan.
Sabda hanya mengangguk, dia tidak keberatan untuk bicara empat mata dengan ayah mertuanya. Sebab mungkin saja ada hal penting yang ingin beliau sampaikan.
“Setelah ini jangan dulu kerja. Kamu lupa dengan janjimu ketika sakit dulu? Sebaiknya memulihkan diri dulu di rumah.”
Shanum begitu telaten merawat Sabda, meskipun aura dinginnya masih terasa. Kadang Shanum tak mengerti, di lain waktu dia akan sangat merindukan suaminya dan tak lama kemudian kerinduan itu berubah menjadi kebencian.
Shanum berusaha mengenyahkan pikiran buruk tersebut. Dia tidak boleh bersikap egois sekarang. Sabda baru saja sembuh, dan dia tidak mau memperumit keadaan yang sudah sangat rumit ini.
“Kau baik-baik saja?” tanya Sabda begitu melihat penggerakan dan raut wajah sang istri yang mulai tak biasa.
Shanum menoleh sebentar dan kembali pada pekerjaannya merapikan pakaian.
“Kepalaku sakit.”
“Bukankah mama sudah bilang padamu untuk diam di rumah dan jangan kelelahan. Kenapa kamu keras kepala?” Sabda akhirnya bersuara, kali ini kalimatnya terdengar lebih panjang.
Jika yang mengatakan itu orang lain, Shanum mungkin sudah marah besar, tapi berbeda jika Sabda yang mengatakannya. Shanum sudah sangat terbiasa dengan pertengkaran. Dia bahkan tak terlalu ambil pusing dengan ucapan suaminya, meskipun niat Sabda baik untuk kesehatan wanita itu sendiri.
“Kalau aku berada di sini, artinya kondisiku sudah baik-baik saja. Aku bisa pulang kalau memang benar-benar capek.”
“Lihat, sekarang kau sangat pintar melawan perkataan suami.”
Kalimat dari Sabda membuat Shanum yang sedang memandangi sebuah tas besar di sampingnya menghela napas panjang.
“Aku harus bersikap bagaimana? Diam salah, bicara pun salah juga. Aku yang sedang hamil, kenapa kau yang sensitif?” kesal Shanum dengan manik yang menusuk.
“Memangnya aku begitu sensitif terhadapmu?” Sabda berucap dingin seraya menatap sang istri yang juga tengah menatapnya dengan ekspresi kesal.
“Kamu protes tentang semua hal yang kulakukan. Padahal aku sudah sukarela menjagamu seharian, tapi malah dimarahi. Kalau bukan sensitif, apa namanya?” tanya Shanum lagi.
Sabda diam kali ini, dia sadar ucapannya hanya akan semakin membuat Shanum tersakiti. Dia berusaha untuk tidak mendebat wanita itu seperti yang sudah-sudah. Sabda berusaha berbaikan dengan istrinya, meskipun Shanum tampak begitu acuh.
Ruangan tersebut kembali hening, Shanum tidak mau mempermasalahkan ucapan Sabda tadi. Dia juga sedang tak ingin bertengkar di hari pertama Sabda sembuh.
Sabda menatap Shanum yang kembali memunggunginya karena sibuk melipat selimut yang lain. Sejenak Sabda melihat ada yang berbeda dari wanita itu, bukan karena badannya yang sedikit berisi di bagian tertentu. Namun, penampilannya yang membuat Sabda teringat akan sesuatu.
Shanum mengenakan dress abu-abu dengan jilbab berwarna senada. Sesuatu yang membuat Sabda seakan terdorong ke masa-masa di mana mereka saling bertemu untuk pertama kalinya.
Kenangan itu tiba-tiba berputar, ketika dua keluarga datang dengan maksud tertentu, yakni menguatkan ikatan kekeluargaan dengan pernikahan, di sanalah Sabda bertemu Shanum. Sebelumnya Sabda tak pernah bertemu perempuan itu, dia hanya mendengar namanya saja dari sang papa.
Ini juga kali pertama Shanum bertemu langsung dengan Sabda, pria yang akan menjadi tunangannya secara resmi hari itu. Pria dalam setelan jas navy itu berdiri tepat di hadapannya, menatap Shanum dengan begitu intens.
Shanum memiliki kulit putih yang begitu kontras dengan warna pakaiannya yang berwarna abu-abu. Sementara itu, Sabda memiliki postur tubuh yang tinggi terlihat begitu sempurna dalam balutan jas. Sabda benar-benar terlihat seperti adonis yang tak nyata. Pria itu seperti pangeran dalam dongeng.
Jika Shanum perempuan lain mungkin dia akan langsung jatuh cinta kepada Sabda, atau Shanum akan menjerit ketika pria itu memasangkan cincin pada jari manis tangan kirinya. Tetapi semua itu tidak berlaku untuknya.
Kembali ke tempat di mana Shanum dan Sabda berada, kini wanita itu sudah selesai merapikan pakaian. Dia sempat teringat sesuatu, jadilah wanita itu menghadap Sabda terlebih dahulu.
“Mas, aku harus menelepon ayah, hari ini aku ada janji dengan beliau. Tidak apa-apa kalau aku tinggal sebentar?”
Sabda mengangguk sebagai jawaban, Shanum segera keluar dari ruangan untuk bicara dengan ayahnya. Alhasil, hanya ada Sabda sendirian di sana. Pria itu duduk di ranjang dengan pakaian lengkap. Dia tak memakai baju pasien lagi seperti kemarin.
Kepalanya masih diperban, tubrukan keras yang melukai kepalanya jelas membuat Sabda trauma.
“Mas Sabda!”
Suara yang familier itu membuat Sabda menoleh ke arah pintu. Matanya membulat ketika melihat siapa yang memanggil.
Bagaimana tidak kaget, di ambang pintu ada Rania tengah berdiri di sana. Gadis itu mendekat ke arahnya, seperti mimpi. Apakah Sabda tengah melamun? Kenapa Rania tiba-tiba datang? Untung saja suasana ruangan tempatnya dirawat sedang sepi, Shanum juga tengah keluar.
“Bagaimana kondisimu? Apakah membaik? Katanya kamu sudah boleh pulang, tapi apa kamu benar-benar sudah pulih?” Rania langsung memberondong dengan banyak pertanyaan.
“Aku sudah membaik, tapi sedang apa kamu di sini?”
Rania menatap Sabda dengan ekspresi khawatir. Bisa Sabda lihat dari pancaran matanya, sekuat apa pun Rania berusaha untuk pergi, dia tetap tidak bisa menjauhi pria itu. Dua tahun juga bukan waktu yang singkat. Wajar kalau Rania khawatir.
“Kamu dengan siapa ke sini?
Pertanyaan Sabda seolah tak digubris. Sabda cemas jika ada orang yang melihat kedekatan mereka, dia juga tak bisa menduga kalau gadis itu akan datang menemuinya. Semoga saja Shanum tidak memergoki mereka yang sedang berduaan seperti ini.
“Aku mau bicara sekaligus melihat kondisi kamu, Mas. Aku tidak tahan setiap kali aku datang, Mbak Shanum selalu mengusirku dengan banyak alasan. Aku hanya ingin tahu keadaanmu. Apakah tindakanku salah?”
Rania menatap Sabda dengan mata berkaca-kaca, pria itu kini dibuat bimbang. Di sisi lain dia takut Shanum melihatnya dan Sabda takut akan kembali terjadi keributan. Namun, dia juga tak bisa melihat Rania seperti ini. Jujur, dia ingin pergi dari hidup gadis itu. Namun, tak semudah itu menghilangkan sisa-sisa perasaan yang sudah tertanam cukup lama.
“Terakhir kali, aku bilang kalau aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita. Aku benar-benar tersiksa, Mas. Aku pikir dengan selesai, kalian bisa hidup bahagia, tapi ternyata aku belum rela. Jujur, apa aku salah kalau aku merindukanmu? Aku hanya tak ingin perasaan ini menjadi luka untukmu.”
Kejujuran yang cukup menohok, tadinya Sabda sudah yakin kalau Rania benar-benar mengakhiri hubungan mereka. Namun, ternyata Sabda salah. Dia dibuat bergeming dengan kejujuran itu.
“Aku hanya ingin memastikan kalau Mas Sabda sudah bahagia, tapi justru kamu sakit. Maaf aku terlalu cemas.”
“Rania, aku mengerti kalau kamu khawatir, tapi aku baik-baik saja sekarang. Tolong jangan bersedih lagi.”
Mereka seolah sedang mencurahkan perasaan satu sama lain. Rania mulai menangis, sebab sulit merelakan perasaannya. Sabda juga bingung, dia tidak bisa terus-terusan seperti ini.
Di saat keduanya tengah saling mengungkap rasa, Shanum tiba-tiba masuk ke dalam. Dia terpana melihat Rania sedang berduaan dengan suaminya. Entah kenapa, nyeri itu kembali menusuk hati.
Rania dan Sabda menoleh aecara bersamaan, di ambang pintu sudah ada Shanum yang baru saja selesai menelepon. Wanita itu tidak menyangka kalau Rania akan satang menemui suaminya.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” Shanum berusaha menahan diri untuk tak marah.
Sabda mewanti-wanti Rania untuk segera keluar dari ruangannya. Namun, Rania justru menghadap Shanum, kali ini ekspresi wajahnya tak sesendu kemarin. Seolah dia memiliki keberanian untuk berhadapan langsung dengan wanita yang tak lain adalah istri sah Sabda.
“Mbak, maafkan aku. Ternyata aku tidak bisa menahan diri untuk tak datang ke sini.”
Shanum menghela napas. “Kamu tahu sendiri kondisinya, Rania. Aku tidak bermaksud melarang, tapi aku tidak bisa membiarkan kalian berduaan seperti ini. Terlebih sebentar lagi orang tua Sabda akan datang. Dia hanya diperbolehkan dirawat oleh istrinya, bukan orang lain.”
Shanum tengah memberikan ancaman. Dia memperingatkan Rania tentang statusnya yang tabu itu. Rania bukanlah siapa-siapa.
“Aku tahu,” kata Rania, seolah tanpa diberitahu pun dia sudah mengerti. “Kalau Mas Sabda hanya boleh dirawat oleh istrinya, kalau begitu … bolehkah aku menawarkan diri untuk menjadi istri kedua?”
Bak mendengar petir di siang bolong, Sabda dan Shanum melotot mendengar ucapan Rania.
AKHIR SEBUAH PERJALANAN
“Bagaimana perjalanan liburan kalian di Turki, kalian berdua bahagia, kan?”
Sinar menyuguhkan teh hangat di atas meja tidak lupa disusul setoples kue kering buatannya. Wanita itu duduk di hadapan Shanum.
Shanum tersenyum sembari mengangguk. “Alhamdulillah, aku gak merasa kesulitan sama sekali, Sin. Kapan-kapan kita main bareng, yuk. Lama kita gak ketemu. Aku kangen.”
Sinar tersenyum mendengar ucapan Shanum, memang sudah tiga bulan lamanya mereka tidak bertemu. Setelah melewati banyak sekali tikungan tajam, Shanum memutuskan untuk kembali meniti karirnya. Dia memulai usaha baru dengan membuka sebuah toko butik di pusat kota.
Shanum membuka lembaran baru, semua rasa sakit yang dia dapatkan di masa lalu ditutupnya rapat-rapat. Shanum sekarang lebih fokus dengan kehidupannya. Semua orang menghormati keputusan Shanum. Termasuk Sabda.
“Boleh aja kalau kamu gak sibuk, nanti kita ajak yang lain, ya.”
“Iya, barengan kan lebih asyik!”
Sinar sangat senang karena Shanum bertandang ke rumahnya siang ini. Matanya kemudian beralih pada halaman depan yang dihiasi rumput hijau.
“Shaka, jangain adeknya. Jangan sampai jatuh, ya!” seru Sinar pada Shaka anak pertamanya yang berusia lima tahun.
“Iya, Ibu!” jawab Shaka ceria.
Sinar dan Shanum tengah memperhatikan kegiatan dua anak kecil beda usia yang sibuk bermain-main di sana. Beruntung siang ini tak terlalu terik, jadi anak-anak bebas bermain tanpa kepanasan.
“Kenapa dia gak mirip sama kamu aja, ya,” kata Sinar pelan.
Pandangan Sinar tertuju pada anak berusia dua tahun yang sedang lucu-lucunya. Gadis kecil itu memiliki wajah mirip ayahnya. Dari ibunya dia hanya mewarisi kulit putih yang indah. Perpaduan yang sangat pas, membuat anak itu tampak menggemaskan.
“Di mana-mana anak perempuan itu selalu mirip bapaknya, yang penting sifatnya kayak aku, Sin.” Shanum berkilah.
“Iya, sih. Arumi sudah besar, ya. Aku masih inget perjuangan kamu saat ngelahirin dia tuh gimana. Aku bangga sama kamu, Sha. Kamu sanggup melewati semua ini sendirian, padahal itu bukan hal yang mudah buat kamu.” Sinar prihatin.
Shanum berhasil melahirkan seorang anak perempuan yang cantik lewat operasi caesar. Kondisi Shanum yang kritis kala itu nyaris membuatnya kehilangan Arumi, tekanan hebat semasa hamil membuat bayi itu lahir dalam kondisi prematur. Namun, berkat kegigihan dan dukungan dari banyak orang, Shanum mampu merawat Arumi dengan baik.
Arumi Nisa Nayaka.
Nama itu Sabda berikan padanya tepat ketika si bayi lahir ke dunia. Sabda tak lagi berstatus sebagai suami Shanum. Namun, Sabda ingin menyematkan nama indah itu untuk anaknya, nama yang sudah dia siapkan jauh-jauh hari sejak Shanum hamil.
“Arumi memiliki makna keturunan yang baik dan harum namanya. Aku ingin kelak dia tumbuh menjadi perempuan dengan akhlak yang baik, meskipun aku bukan suami yang baik untukmu, aku ingin menjadi ayah terbaik untuknya. Aku tahu, aku tak pantas berkata begini, anggap saja ini permintaan terakhirku.”
Sabda mengatakan itu ketika Shanum berada di rumah sakit dan sedang dalam masa pemulihan.
Sabda tidak masalah jika Shanum menolak nama itu. Dia sadar bahwa selama ini Shanum tak mendapatkan satu pun peran suami dari dirinya.
“Namanya cantik. Terima kasih sudah memberikannya nama itu.” Shanum tersenyum.
Shanum memilih untuk menyerah pada pernikahannya. Sabda tetaplah ayah Arumi, dia tidak memisahkan anak dari ayahnya sendiri. Shanum hanya memilih jalan untuk tak lagi tersakiti. Tak ada manusia yang menikah hanya untuk saling menyakiti. Untuk apa melanjutkan perjalanan jika dua orang dalam satu bahtera pernikahan tak lagi sejalan?
Mungkin di luar sana ada beberapa orang yang bertahan, tapi Shanum tak bisa. Dia memilih menyerah sebab tak mau terluka lebih parah.
Kenangan itu berputar begitu saja, Shanum tersenyum lagi. Menurut kabar yang Shanum dengar, Sabda sekarang tengah sibuk membangun perusahaan baru. Dia banyak bergabung dengan perusahaan lain dan memajukan bisnisnya sendiri.
Permintaan Rania untuk menjadi istri kedua jelas tak diterima oleh keluarga Sabda, pada akhirnya hubungan mereka berakhir secara bersamaan dengan Shanum yang memilih mundur.
“Arumi belum bertemu sama Sabda lagi sejak beberapa bulan yang lalu. Kami sudah sepakat untuk berdamai dengan cara baik-baik demi Arumi.”
Sinar mengangguk mendengar ucapan Shanum. “Apa pun itu, kudoakan yang terbaik untuk kalian berdua. Semoga kalian menemukan kebahagiaan masing-masing, dengan apa pun atau siapa pun.”
“Jangan dulu, aku gak kepikiran buat nikah dulu. Aku cuma mau fokus membesarkan Arumi saja. Sumber kekuatanku adalah dia.”
Sinar mengangguk mengerti. “Setiap anak adalah pelita bagi orang tuanya. Ngomong-ngomong, dia pasti merindukan ayahnya, Sha. Apakah Sabda belum mengabarimu lagi?”
Shanum menggeleng mendengar pertanyaan itu.
***
“Tumben kamu datang, memangnya kamu tidak sibuk?”
Shanum duduk di atas karpet tebal di ruang tengah, tepat di hadapannya Arumi asyik bermain-main dalam pangkuan ayahnya sendiri.
Anak itu sangat lengket dengan ayahnya. Setiap anak perempuan memang selalu butuh figur ayah.
“Meskipun aku jarang datang ke sini, bukan berarti aku nggak melihat perkembangan Arumi. Aku selalu memikirkan anak ini. Hanya saja, aku nggak berani jika terus menerus datang dan menemuimu, aku nggak ingin membuat kamu berang dengan kemunculanku.”
Shanum masih terdiam.
“Maka dari itu, aku sangat berterima kasih sama kamu, Sha, karena mengijinkanku bertemu Arumi lagi hari ini. Maaf jika aku jarang berkunjung dan terlalu sibuk dengan pekerjaan.”
Kedua bola mata Sabda berkaca-kaca. Suaranya bergetar. Shanum memerhatikannya dengan mata memicing. Hanya sekedar memastikan jika saat itu Sabda sedang tidak bermain peran.
Namun, ketika getaran suara itu berubah menjadi isakan kecil yang berusaha ditahan, Shanum menjadi yakin jika Sabda sedang tidak bermain peran sekarang.
Shanum bersyukur jika Sabda benar-benar telah berubah menjadi seseorang yang lebih baik dari sebelumnya. Tapi, untuk menerimanya kembali sebagai suami, Shanum masih pada keputusan lama. Ia tak siap. Entah sampai kapan.
Shanum hanya ingin fokus membesarkan Arumi. Lagipula gadis kecil itu masih bisa bertemu dengan ayahnya. Shanum tidak memisahkan mereka, hanya saja keduanya tak lagi bersama dalam status pernikahan.
Sabda biasanya akan menemui Arumi dua Minggu sekali, dia akan mengajak Arumi ke tempat bermain anak-anak dan menghabiskan waktu berdua. Shanum tidak keberatan, setidaknya dia merasa terbantu dengan kehadiran Sabda.
Tapi beberapa bulan ini pria itu tak bisa datang karena banyak sekali urusan yang harus dia kerjakan. Shanum memaklumi itu, tapi Arumi merasa kesepian.
“Iya aku tahu, hanya saja belakangan ini Arumi sering nanyain kamu. Gak apa-apa kalau kamu datang kalau hanya untuk menengok dia.”
“Terima kasih, Sha.”
Shanum mengangguk. Di hadapan Arumi mereka harus tampak baik-baik saja. Meski dalam hati Shanum masih tersimpan kekecewaan yang mendalam. Pada akhirnya pernikahan yang diharapkan oleh semua orang itu kandas.
Orang tua Sabda sudah pasti menerima keputusan itu dengan lapang dada meskipun mereka juga merasa bersalah karena sudah membuat Shanum tersakiti.
“Apa kabar Rania? Kudengar dia sudah lulus kuliah.”
Topik pembicaraan Shanum kini beralih pada Rania, hal itu membuat Sabda mendongak. Entah kenapa mendengar nama Rania membuatnya merasa begitu bersalah pada Shanum.
Tapi dia sadar, sebesar apa pun rasa bersalahnya tidak bisa membuat Shanum kembali. “Iya, dia pulang ke kota kelahirannya. Aku tidak tahu lagi kabarnya setelah itu.”
Shanum mengangguk mengerti, Sabda yang dulu sudah berubah. Setidaknya itu cukup bagi Shanum. Mereka memilih berdamai dengan takdir masing-masing.
Di balik semua kehancurannya, kebahagiaan yang tidak diduga akhirnya datang dan mampu membawa perubahan baik dalam kehidupan Sabda.
Shanum tak butuh cinta jika pada akhirnya hanya akan membawa kesakitan. Biarlah cinta itu tumbuh dan menjadi fitrah di hati masing-masing. Shanum, Sabda, dan Rania. Masing-masing memiliki cinta pada dia yang dipilih sang hati.
TAMAT