SABDA MABUK
Sabda memasukkan nomor sandi pada pintu apartemen sebelum membukanya, begitu masuk dia melihat teman-temannya tengah duduk bersila di atas karpet bulu di ruang tengah. Mereka sudah lebih dulu tiba di apartemen.
Sabda tak lantas menghampiri. Pria itu melepas sepatunya terlebih dahulu, lalu meletakkan tas kantor di atas meja, baru bergabung dengan kedua temannya yang ada di sana.
“Maaf aku terlambat. Di kantor sedang banyak urusan,” ujar Sabda seraya duduk di seberang Andi dan Kara. “Maaf juga karena tak membawa apa pun ke sini. Rasanya terlalu mendadak.”
“Tak perlu membawa apa pun karena aku sudah memesan banyak makanan untuk menemani minum kita malam ini,” kata Andi. Sang pemilik acara segera menuangkan whiskey ke dalam gelas.
Sabda menerima uluran gelas kecil berisi minuman keras dari Andi, dia bersulang dengan kedua sahabatnya tersebut. Isi gelas tersebut ditenggaknya sampai habis, rasa panas dan kecut menyapa kerongkongannya yang kering. Sabda pikir keputusannya untuk minum-minum bersama dua orang ini adalah rencana yang tepat.
“Kenapa tiba-tiba mengajak kami minum?” Kara mengajukan pertanyaan setelah meneguk habis whiskey dalam gelas, pria itu mengambil kentang goreng dan segera melahapnya.
Sabda memang tak terbiasa berkumpul dengan teman-temannya setelah menikah, dia hanya keluar sesekali itu pun karena urusan pekerjaan. Mereka heran ketika Sabda mengajak untuk minum bersama. Padahal mereka pun tahu, Sabda tidak kuat minum. Pria itu sudah lama menghilangkan kebiasaan minumnya semenjak menikah dengan Shanum.
Tapi hari ini dia mengajak Andi dan Kara untuk minum bersama. Sabda tidak peduli kalau dia harus mabuk malam ini, sebab yang pria itu inginkan hanya melupakan problem rumah tangganya yang tak juga selesai. Sabda kembali menuangkan cairan beralkohol tersebut ke masing-masing gelas kosong.
“Aku merindukan kalian. Sudah dua bulan lamanya kita tidak bertemu dan jarang bertukar kabar. Aku ingin kita berkumpul lagi. Akhir-akhir ini banyak masalah menimpaku, tidak ada salahnya ‘kan kalau aku menghabiskan waktu dengan kalian?”
Kara dan Andi terkekeh, mereka mengerti dengan maksud Sabda. Padahal pria itu sedang ingin melepas kepenatannya karena masalah rumah tangga yang semakin retak akibat kata cerai yang dilontarkan Shanum. Meskipun begitu, Sabda tidak mau menyerah.
Ini sudah gelas keempat yang Sabda teguk. Bohong jika masalah akan terlupakan setelah dia memilih untuk minum-minum dengan sahabatnya. Bahkan dalam kondisi setengah mabuk saat ini, Sabda tak bisa melupakan masalah rumah tangganya bersama Shanum.
Rasa sakitnya seakan semakin menyesakkan menghunus dada, lalu merambat ke kepalanya. Sabda sudah berjanji akan menikahi Rania, tapi dia juga bimbang, haruskah menceraikan Shanum? Terdengar egois, tapi dia memang tidak akan semudah itu melepaskan Shanum dari hidupnya.
“Pasti ada masalah besar yang mengganggumu, jangan terlalu sibuk dengan tumpukan pekerjaan. Jadi, cepat ceritakan masalahmu. Jangan membuatku dan Andi menduga yang tidak-tidak.” Kara memulai obrolan.
Sabda mengulum bibir bawahnya. Menuangkan whiskey dan meneguknya sekali lagi. Memejamkan mata saat rasa pahit menyapa kerongkongan untuk yang ke sekian kali, lantas pria itu mengembuskan napas dalam.
“Kalian tahu, aku dan Shanum sudah lama bersama bukan?”
Andi dan Kara mengangguk mendengar pertanyaan Sabda. Tentu saja mereka tahu pria itu sudah menikah.
“Aku bahkan iri dengan pasangan yang satu ini.” Andi terkekeh dengan ucapannya sendiri. “Kalian sangat serasi. Sepertinya Tuhan sangat baik padamu, kau menikah dengan perempuan yang sangat cantik dan cerdas.”
Sontak Sabda tertawa hambar. Seperti biasa, semua orang selalu menyangka bahwa mereka pasangan serasi, rumah tangganya terlihat utuh dan harmonis, padahal di dalamnya sangat rapuh. Sekali sentuh bisa langsung hancur dan luruh.
Sabda menjatuhkan tatapan pada gelas kosong yang kembali diisi oleh Kara, lalu mereka segera meminumnya dalam sekali teguk.
Sabda menepuk dada saat napasnya tersengal.
“Dulu, kupikir dengan menikah lebih cepat akan membuat hidupku bahagia. Namun, seiring berjalannya waktu… kami mulai paham bahwa menikah bukan lagi soal cinta. Menjalani pernikahan ternyata tidak mudah. Menyatukan dua orang dengan sifat dan isi kepala yang berbeda justru sulit. Kadang rasa itu terasa hambar dalam beberapa keadaan.”
Tangan Sabda memainkan cincin pernikahannya. Memandang benda itu dengan tatapan sayu sembari mengingat kembali masa-masa penuh perdebatan yang dilaluinya bersama Shanum di tahun-tahun mereka hidup bersama.
“Masalah akan selalu ada dalam pernikahan, kalian tidak salah,” kata Kara.
“Kau tidak ingin bilang bahwa salah satu dari kalian sedang memutuskan untuk berpisah, bukan?” ucap Andi perlahan.
Sabda sontak menggeleng. Andi dan Kara mengembuskan napas lega ketika melihat respons Sabda, mereka juga menyadari kalau rumah tangga sahabatnya itu berjalan dengan baik. Namun, mereka tersentak setelah mendengar jawaban Sabda yang tiba-tiba.
“Kami saling melukai. Sampai saat ini orang tuaku terus mengeluh karena selama lima tahun hidup bersama, aku dan Shanum belum mendapatkan keturunan. Kalian tahu rasanya mendapatkan tekanan tersebut, ‘kan?”
Sabda mulai menyimpulkan bahwa kebahagiaan pasangan berkeluarga tak lagi terletak pada saling menerima dan terbuka satu sama lain. Namun, kebahagiaan diukur dari kapan kau bisa mendapatkan keturunan.
“Apa Shanum menyalahkanmu hanya karena dia belum juga hamil?”
Sabda menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Kara. Kesalahan besarnya bukan pada Shanum, melainkan dirinya sendiri. Bagaimana wanita itu bisa hamil jika sang istri tidak pernah disentuh oleh suaminya?
“Tidak, Shanum bukan wanita seperti itu. Hanya saja, masalahnya ada wanita lain yang lebih bisa menuruti kebahagiaanku, sementara aku tidak bisa melepaskan Shanum, yang kulakukan hanyalah diam karena tak bisa melakukan apa-apa.”
Andi dan Kara mendadak marah mendengar Sabda mengatakan hal itu. Mereka tidak menyangka Sabda dengan tega menduakan Shanum. Hanya saja, mereka berdua juga tak bisa bertindak apa-apa untuk hubungan rumah tangga Sabda, sebab itu bukan ranah mereka untuk ikut campur. Jadi yang dapat keduanya lakukan hanyalah menemani Sabda yang terus meracau di bawah pengaruh alkohol.
“Ini sangat berat,” tutur Kara. Tangannya menepuk punggung Sabda. “Aku bahkan tidak tahu lagi harus berbuat apa untukmu. Ini pasti sangat sulit.”
“Sikap manusia memang tidak pernah berubah. Seseorang akan memilih barang baru yang jauh lebih unggul dari barang yang telah dia miliki sebelumnya. Memandangnya seolah hanya barang baru itu yang membuatnya puas, tapi ketika semua tak sesuai dengan ekpektasi, dia akan melepasnya dan kembali pada barang lamanya.”
Kalimat bernada sindiran itu keluar dari mulut Andi. Sabda sempat menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan. Dia sadar kalau dirinya memang berengsek, beberapa detik kemudian Sabda terkekeh miris.
“Aku tidak mengerti kenapa Shanum masih bertahan di sisiku.”
“Maksudmu?” tanya Andi bingung.
“Kami tidak bercerai saat dia tahu aku mencintai wanita lain.”
Andi dan Kara saling pandang, lantas berdecak kaget. “Kau bercanda, ‘kan?” tanya Kara memastikan.
Sabda menggelengkan kepala dan menertawakan dirinya sendiri. “Aku tidak ingin melepasnya untuk pria lain yang belum tentu bisa menjadi rumahnya. Bukankah aku begitu menyedihkan dan pengecut?”
“Kau sudah mengkhianatinya, apa yang kau pikirkan, Sabda? Pergilah. Minta maaf pada istrimu, seharusnya kau temukan kebahagiaan bersamanya,” kata Andi. Pria itu menuangkan minuman keras lagi, Sabda dengan cepat meneguknya.
Berdesis saat rasa pahit kembali menyapa rongga mulutnya. “Bukan bahagiaku sendiri yang kupermasalahkan … tapi Shanum. Aku bisa saja pergi meskipun aku tidak benar-benar sanggup meninggalkannya. Lima tahun dia menjadikanku sebagai tempat persinggahan terakhirnya, dan dia yang telah membawa kuncinya. Jadi, seluruh kebahagiaanku ada di dalam sana.”
***
Sabda benar-benar mabuk saat jarum jam menunjuk angka satu dini hari. Shanum mendatangi apartemen Andi dengan tatapan kesal yang ia lemparkan kepada dua pria yang terus membuat Sabda meneguk cairan beralkohol tersebut.
“Apa yang kalian lakukan pada suamiku?”
Sabda sudah tak lagi sadar akibat pengaruh alkohol. Andi dan Kara hanya meringis ketika melihat wanita itu datang dan memijat kepalanya setelah mengetahui lelaki yang masih menjadi suaminya tengah mabuk berat.
“Aku dan Kara juga sedang mabuk, jadi tidak bisa mengantar Sabda pulang. Makanya kami menghubungimu.” Andi menjelaskan.
“Aku tidak mabuk!” Sabda mengoceh.
Shanum dihubungi oleh Andi kalau suaminya tidak bisa pulang. Shanum sebenarnya ogah menjemput pria itu karena merasa tidak ada urusan apa pun lagi. Namun, Andi terus meneleponnya dan mengatakan kalau Sabda tengah mabuk berat, mendengar hal itu, Shanum ingin marah sekaligus penasaran. Kenapa tiba-tiba Sabda kembali minum alkohol?
Setelah dibujuk beberapa kali, akhirnya Shanum berkenan menyusul Sabda ke apartemen milik Andi.
Shanum menarik tangan Sabda dan membantunya berdiri. Shanum mendadak pening ketika mencium bau alkohol yang menyengat dari tubuh pria itu. Sabda benar-benar menyedihkan.
“Aku pulang, nanti kita bertemu lagi,” kata Sabda pada dua sahabatnya.
Pria itu meraih tas jinjing di atas meja lalu berjalan keluar dari apartemen dengan langkah sempoyongan. Shanum mengikuti Sabda dari belakang.
“Bagaimana bisa kamu menyetir dalam keadaan mabuk begini?”
Sabda mendengkus lirih. “Sudah kubilang, aku tidak mabuk. Aku masih sadar dan masih bisa berjalan dengan benar. Sedang apa kamu di sini?”
Shanum mendengkus kesal, dia segera mengambil alih kunci mobil Sabda. “Biarkan mobilmu di sini. Besok aku yang akan mengambilnya.”
Keluar dari lift, mereka berjalan menuju tempat parkir. Gadis itu kemudian menyuruh Sabda untuk masuk ke dalam mobil SUV berwarna hitam milik Shanum. Sabda dengan langkah gontainya hanya bisa menuruti ucapan Shanum.
“Itulah kenapa aku selalu melarangmu untuk minum-minum. Kamu tidak kuat minum dan ini merepotkan!”
Shanum membantu Sabda untuk masuk ke dalam mobil. Meskipun kesal, tapi Shanum tetap saja melakukannya.
“Kamu masih sayang padaku, ya?” tanya Sabda dengan kedua tangan terlipat di atas perut. Menyandarkan kepala pada jendela mobil, tapi tatapan matanya tetap ia berikan ke arah sang istri.
“Ya, aku mencintaimu.” Shanum menyahut datar.
“Tapi juga membenciku?”
Shanum tidak menjawab apa pun, dia fokus menilik jalanan malam yang mulai sepi. Mobil tersebut melaju meninggalkan apartemen menuju rumah mereka.
“Kalau kamu mencintaiku … kamu pasti akan setia di sampingku, tidak peduli aku sedang bersama siapa.” Sabda masih sibuk mengoceh. “Aku paham. Kamu pasti membenciku karena aku pergi liburan bersama wanita lain.”
“Jangan bicara omong kosong, aku malas berdebat denganmu!”
Sabda kini menyandarkan kepala pada sandaran kursi. Memejamkan mata saat ia mulai merasakan pening.
“Ini bukan kali pertama kamu menyakitiku, tapi sekarang kamu berhasil menghancurkan nyaris seluruh hatiku,” kata Shanum.
Tak berapa lama mobil itu memasuki kawasan rumah, sontak Sabda menyingkap mata dan sadar jika Shanum telah memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Shanum melirik ke arah suaminya yang tampak menyedihkan, sekarang dia harus memapahnya ke dalam.
“Diamlah, aku akan memapahmu. Kamu sudah mulai mabuk.”
Pria itu keluar dari mobil dipapah oleh istrinya sendiri. Melepas sepatu sembarangan ke atas lantai garasi, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah menuju kamar utama. Shanum sedikit kewalahan karena tubuh Sabda cukup berat. Shanum mendorong Sabda hingga pria itu terbaring di ranjang. Setelahnya, Shanum melangkah mundur sembari menghela napas kelelahan.
“Kamu memang menyedihkan!” Shanum memutuskan untuk pergi. Namun, belum sempat pria itu meraih gagang pintu. Suara serak Sabda memanggilnya.
“Sha ….”
Langkah Shanum terhenti mendadak, dia menoleh pada Sabda yang telah bangun dengan posisi duduk.
“Haus.” Sabda bergumam seraya menatap Shanum dengan mata sayu.
Menghela napas berat tanpa banyak berkata, Shanum melangkah ke arah nakas samping ranjang dan menuangkan secangkir air putih lalu menyodorkannya pada Sabda.
Sabda meminum air putih yang Shanum berikan, setelah isinya tandas dia menyerahkan kembali gelas tersebut pada Shanum.
“Rania … kamu di sini?”
Mendengar nama itu, Shanum membulatkan matanya kaget. “Aku bukan Rania!”
Sabda tiba-tiba mencengkeram tangan Shanum kuat, membuat wanita itu mengaduh.
“Lepaskan aku, aku bukan perempuan murahan itu!”
Masih dalam kondisi mabuk, Sabda tak menuruti apa yang Shanum katakan. Pria itu tiba-tiba membanting tubuh istrinya ke atas kasur.
5 TAHUN YANG SINGKAT
“Rania ….”
Ucapan Sabda terdengar sangat berat di telinganya. Sesaat Shanum meneguk ludahnya. Dari dasar diri gadis itu, muncul sebuah kehangatan yang meledak. Lagi-lagi jantung Shanum berdetak di luar kendali.
Shanum berusaha untuk meloloskan diri dari Sabda yang berada dalam pengaruh alkohol, tapi tenaga pria itu cukup kuat untuk Shanum. Dia tidak bisa melakukan apa-apa. Shanum beberapa kali meronta berusaha untuk melepaskan diri.
Panas. Panas sekali.
Sabda sudah berpindah posisi menjadi di atas tubuh istrinya. Secara lambat, wajah Sabda terdorong ke wajah Shanum. Akal gadis itu seketika kosong, bahkan dia nyaris kehabisan oksigen.
Tatapan matanya semakin intens dan diselubungi gairah mendamba.
“Rania.”
Darah Shanum mulai berdesir sekaligus marah karena yang diucapkan Sabda berkali-kali adalah nama wanita lain. Shanum muak sekali mendengar nama itu. Shanum sakit hati karena merasa diperlakukan dengan tidak adil.
“Aku bukan Rania, lepaskan aku!”
“Maafkan aku, Rania.”
Entah kenapa mata Shanum memanas, air mata mengenang di sana. Seolah ada rasa sakit yang menyelusup ke dalam dada. Tatapan Sabda begitu sayu, bisa Shanum rasakan napasnya yang memburu, membuat jantung gadis itu kian bertalu.
Bibir itu mulai mendekat dan terjatuh di atas bibirnya. Butuh beberapa detik bagi Shanum untuk menyadari hal itu. Dia bahkan tidak mengerti maksud ucapan Sabda yang tadi.
Ini adalah ciuman pertama yang Shanum dapatkan di usia lima tahun pernikahan. Hangat dan mendamba. Mereka bertautan dengan cukup intens, berpagutan tanpa tuntutan. Shanum tidak bisa mengendalikan Sabda, dia hanya bisa terdiam ketika pria itu mencium bibirnya untuk pertama kali.
Sabda semakin menekan tangannya pada tengkuk Shanum, membuat ciuman itu semakin dalam. Sabda semakin tak terkendali dan Shanum mulai kehabisan oksigen. Perempuan itu terkejut saat tangan kekar Sabda mengangkat badannya dengan mudah lalu menempatkan kepala gadis itu di bantal dan membetulkan posisi mereka di ranjang.
Shanum masih terkejut dengan apa yang Sabda lakukan. Sebelah tangan Sabda mengunci tangannya di samping. Sampai sesuatu membuatnya tersadar. Pipi Shanum menghangat. Ada cairan bening yang mengalir. Wajah Shanum menjadi basah karena salah satu dari mereka menangis.
Sabda menangis, entah karena apa. Ini pertama kalinya dalam lima tahun mereka bersama, Shanum melihat Sabda menangis dengan mudahnya.
***
Shanum duduk dengan wajah ditekuk. Sisa air mata membias di wajahnya yang memucat. Dia berusaha menutupi tubuhnya dengan jubah yang semalam dipakai, tapi tetap terbuka di bagian paha. Di sebelahnya ada Sabda yang baru saja terbangun.
Shanum masih terlalu shock dengan apa yang terjadi. Memori menegangkan tadi malam masih terekam jelas dalam otaknya. Shanum masih tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi juga.
Sabda menggeliat dari tidurnya, matanya mengerjap enggan terbuka. Saat kesadaran Sabda sudah pulih, barulah dia terkejut melihat keadaan kamar yang begitu berantakan dengan baju yang tercecer di mana-mana.
Sabda menoleh ke arah samping, keterkejutannya tak sampai di situ. Sang istri yang tengah duduk di sampingnya jauh lebih kacau daripada dirinya. Mata Sabda membelalak, dia nyaris tak mengingat apa yang sudah terjadi semalam?
Sabda tidak ingin menebak kalau semalam mereka habis melakukan sesuatu.
“Apa yang terjadi?” tanya Sabda dengan bodohnya. Dia bangun sambil bertelanjang dada, menatap Shanum tak yakin. “Jangan bilang kalau semalam kita sudah melakukannya.”
Shanum menoleh ke hadapan Sabda, pria itu tidak mengingat kejadian semalam. Padahal Shanum sudah menyuruhnya untuk berhenti.
“Kenapa masih bertanya padaku? Apa kamu benar-benar tidak ingat kejadian semalam?”
Sabda menggeleng. Dia sudah berusaha mengingat kejadian tadi malam. Seingatnya, dia mabuk dan akhirnya tertidur. Sabda hanya bisa mengingat sampai ke sana.
Shanum menghela napas, percuma saja membuat Sabda mengerti. Mau bagaimana lagi, mereka berdua sudah melakukannya.
“Sudahlah, ini sudah terjadi. Lagipula yang kau pikirkan saat meniduri istrimu adalah wanita lain.”
Sabda membenci intonasi wanita itu saat menyebut namanya. Dia masih linglung dan tidak bisa membaca situasi. Benarkah yang dikatakan Shanum? Atau justru wanita itulah yang memancingnya untuk ditiduri?
“Kenapa kamu menerima begitu saja, saat ada pria me ….” Sabda menghela napas lalu melanjutkan ucapannya. “Menyodorkan diri padamu.”
“Bagaimana caraku melepaskan diri? Kamulah yang terus menahanku, kamu pikir aku tak kesakitan karena kamu terus melakukannya sambil menyebut nama wanita lain?”
Jawaban Shanum membungkam mulut Sabda dan membuatnya makin merasa gugup. Cahaya matahari yang terbias dari jendela kaca di belakang Shanum, membuat wajah wanita itu terlihat bersinar. Entah kenapa aura Shanum tampak berbeda sekali pagi ini.
“Mas—“
Sabda mengangkat tangan. “Stop! Kita nggak usah bahas ini lagi. Jika bisa, aku mohon padamu untuk lupakan.”
“Kamu berkata begitu seolah menyesal sudah meniduriku. Apa bagimu aku ini orang asing?”
Sabda memijat kepalanya pening. Bagaimana bisa dia kebablasan membayangkan Rania yang semalam dia tiduri, padahal wanita itu adalah Shanum, bukan Rania si selingkuhan.
Sabda masih berusaha mengumpulkan setiap keping ingatannya semalam, yang dia tahu malam itu, dia dibawa pulang oleh Shanum, kemudian dibaringkan di kasur dan akhirnya … Sabda tak bisa menyangkal bahwa dia benar-benar sudah meniduri wanita itu.
Sabda tidak mengerti, kenapa dia harus gelisah. Padahal yang dia tiduri adalah istrinya sendiri, bukan orang lain. Justru seharusnya Sabda gelisah jika yang dia rusak kehormatannya adalah Rania yang jelas-jelas tidak sah di mata negara dan agama.
Tidak ada yang lebih canggung dari keadaan sekarang. Saat Shanum harus berhadapan dengan laki-laki yang mencumbunya tadi malam. Mereka duduk berhadapan dan membahas sex seolah-olah bukan hal besar. Sedangkan jauh di lubuk hati mereka tahu, apa yang mereka lakukan tadi malam itu tabu.
“Aku harus kerja.”
Bangkit dari ranjang, Sabda berusaha menghindari Shanum. Pikirannya buntu, kepalanya pusing sehingga harus berpegangan pada sandaran ranjang. Shanum memperhatikan penggerakan pria itu tanpa berani menginterupsi.
Sabda tak mau mengungkit hal ini lagi. Bahkan ada satu hal yang membuat Sabda benar-benar takut. Dia lebih dulu memunguti pakaian yang tercecer di lantai. Sebelum melangkah menuju kamar mandi, Sabda berbalik menghadap istrinya yang masih setia duduk di ranjang.
“Kamu masih perawan, ‘kan?” ucap Sabda tiba-tiba.
Shanum tak menjawab, dia hanya berpaling pada seprai di ranjangnya. Ada sedikit noda darah di sana, melihat arah tatapan wanita itu, Sabda langsung terbungkam.
“Lalu, bagaimana kalau terjadi hal yang tidak diinginkan?”
Shanum tahu ke mana arah pembicaraan Sabda. Dia pun bukan tidak memikirkannya. Bagaimana kalau dengan kejadian ini dia hamil. Tapi, bukankah itu kabar yang bagus? Inilah yang dinantikan oleh keluarganya. Apa yang harus Shanum cemaskan?
Tentu saja Shanum mencemaskan nasib anak dalam kandungannya nanti. Dia tidak akan memiliki figur ayah yang utuh.
“Aku berharap itu tidak terjadi.” Sabda menjawab pelan.
Shanum menghela napas, dadanya terasa berat. Dia menatap pria itu yang kembali lanjutkan langkahnya memasuki kamar mandi. Tidak ada percakapan lagi di antara mereka.
“Tapi seandainya terjadi sesuatu, bisakah kamu memberitahuku?” kata Sabda tiba-tiba.
Berat rasanya untuk menjawab ‘iya’ karena membayangkan sesuatu yang buruk akan terjadi sudah membuatnya takut. Bagaimana kalau Sabda berencana menggugurkan bayinya hanya karena dia tidak menyukai Shanum hamil?
Sejak awal sebelum menikah, Sabda sempat menolak. Dia berdalih tak akan bisa memberikan keturunan untuk Shanum terlebih dia tak mencintainya. Namun, Shanum selalu mengatakan baiklah.
Bahkan dia tak pernah sekalipun menuntut Sabda untuk memberinya keturunan. Shanum sadar, Sabda tak akan bisa menjadi sosok ayah yang baik.
***
Suara ketel adalah penanda pertama kekosongan pagi ini. Ditemani seduhan kopi hitam, juga sayur sop sebagai pengisi perut, Shanum melangkah perlahan menuju ruang makan.
Tidak ada yang spesial. Sabda baru saja berangkat ke kantor karena sibuk dengan pekerjaan. Sementara yang membuat Shanum asing dengan pagi ini adalah rasa sakit yang mendera pusat tubuhnya. Dia harus berjalan perlahan karena rasa perih yang ditimbulkan oleh pria itu semalam.
“Apakah memang begini rasanya baru pertama kali melakukannya?”
Shanum berusaha untuk menahan rasa sakit dengan cara duduk merapatkan kaki, dia kesulitan untuk sekadar buang air kecil karena ini adalah pertama kali dalam hidupnya selama Shanum menikah dengan Sabda, wanita itu tidak menyangka rasanya akan seperti ini.
Sementara itu, Sabda pergi begitu saja tanpa rasa bersalah, dia tidak memikirkan perasaan Shanum. Setelah membuat istrinya kesakitan karena kesalahan tak disengaja itu, Sabda masih saja bersikap ketus padanya.
Sejenak menggesekkan kedua telapak tangan untuk mencari kehangatan, netranya lekas jatuh pada pintu kaca bening di halaman belakang yang tengah menunjukkan suasana pagi yang damai. Shanum jadi ingin keluar rumah hari ini demi menetralkan pikiran.
***
Sabda mengacak rambutnya frustrasi. Dia beberapa kali mendengkus kesal dan menyalahkan diri karena kecerobohannya yang tak termaafkan.
Bagaimana bisa semalam dia mabuk berat dan meniduri Shanum? Sabda tak bisa mengingat kejadian itu dengan cukup jelas. Melihat kondisinya tadi pagi, mana mungkin Shanum berbohong.
“Kenapa semalam aku mabuk berat? Dan kenapa Shanum menjemputku?”
Sabda yang uring-uringan terus meracau, dia memikirkan hal buruk yang akan terjadi ke depannya nanti. Bagaimana kalau Shanum hamil?
Sabda memang pria paling buruk di dunia. Bagaimana bisa dia takut Shanum hamil, padahal yang dia tiduri jelas adalah istrinya sendiri. Bukankah itu bagus? Sabda jadi bisa membungkam mulut orang tuanya supaya berhenti merecokinya tentang anak.
Kekalutan Sabda tidak kunjung selesai sampai di situ, dia teringat pada Rania yang hendak dia nikahi, haruskah Sabda benar-benar menikah dengan gadis itu setelah dia berhasil meniduri Shanum?
“Ah, berengsek!”
Sabda melempar berkas yang ada di hadapannya. Kepala pria itu benar-benar sakit karena dipaksa untuk bekerja pasca mabuk semalam. Belum lagi dengan masalah Shanum yang membuatnya antara percaya dan tidak.
Entah langkah mana yang harus diambilnya sekarang, Sabda jadi gelisah. Haruskah malam ini dia pulang ke rumah? Jika dia pulang, Sabda pasti akan bertemu dengan istrinya dan dia bingung harus bersikap bagaimana nanti.
Bersambung…