BERTEMU SHANUM
Rania baru saja pulang dari kafe tempatnya bekerja lebih awal hari ini. Dia ingin beristirahat dan mengerjakan tugas kuliah sebelum pergi makan.
Dia sudah menghubungi Sabda. Namun, ponsel pria itu kembali tidak aktif. Lagi-lagi Rania cemas, ke mana pria itu pergi, sejak dua hari yang lalu Sabda tak menemuinya. Apakah mungkin dia sedang sibuk?
Rania kembali melanjutkan langkah, dia ingin segera mengistirahatkan tubuhnya yang letih. Tak berapa lama langkahnya langsung terhenti ketika melihat wanita yang pernah memakai mobil milik kekasihnya turun dari dalam mobil. Wanita itu berpakaian elegan. Outer coklat dipadu inner dan celana kain berwarna senada.
Satu tangannya menempelkan ponsel ke telinga sementara tangan lainnya menenteng kantong belanjaan.
Melihat sosok tersebut suasana hati Rania langsung berubah. Rania memperhatikannya dari jauh, wanita itu tidak pergi dengan memakai mobil milik Sabda.
Dia sempat mencurigai Shanum adalah salah satu simpanan kekasihnya.
Jika seandainya hal itu benar, Rania akan meminta penjelasan pada Sabda. Dia takut kekasihnya bermain api di belakang.
“Aku habis membeli roti, kamu sudah makan? Aku sedang dalam perjalanan ke rumahmu. Banyak yang ingin kuceritakan sama kamu.”
Rania masih mengawasi wanita itu, dia tidak tahu siapa yang tengah bicara dengannya di telepon. Apakah Sabda, atau orang lain.
“Mau minum kopi? Kalau lambungmu bermasalah lagi, aku tidak mau tahu.”
Rania yakin bahwa sosok yang sedang ditelepon oleh Shanum bukanlah Sabda. Tapi, Rania ingin memastikan sendiri selagi wanita itu tidak menyadarinya sebagai kekasih Sabda.
“Lebih baik kita makan ramen saja, ditambah bubuk cabe lebih oke. Tidak perlu repot-repot membeli bahan. Aku sudah belanja banyak.”
Rania tidak kehilangan kesempatan. Dia sangat ingin menghentikan segala kecurigaannya pada Sabda, karena itulah dia seperti penguntit. Berjalan diam-diam mengikuti langkah wanita itu.
Shanum menutup teleponnya dan memasukkan ponsel ke dalam tas selempang. Mulai melanjutkan langkah. Dia tersenyum semringah menuju salah satu tempat, tanpa menyadari ada sosok Rania yang mengikuti di belakangnya.
Rania masih kesal bila mengingat kejadian waktu itu. Tak salah lagi wanita itulah yang membuat Sabda berbohong padanya. Bila memang tidak ada hubungan yang ditutup-tutupi, kenapa Sabda harus berdusta?
Rania mengekori Shanum yang berbelok menuju gang lebar. Dia tak mengetahui ke mana tujuan Shanum. Langkahnya berhenti di jalan utama mengarah pada distrik perumahan. Rania terus membuntuti dan bersembunyi tak jauh dari sana.
Tak berapa lama Shanum tiba di depan sebuah rumah sederhana bercat biru. Rania bersembunyi di samping mobil yang terparkir tepat di depan rumah itu. Memperhatikan Shanum dalam diam yang tengah menekan passcode gerbang, tidak butuh waktu lama, seorang perempuan berambut sebahu membuka pintu rumah dan tersenyum semringah.
“Sudah kuduga, kamu akan jauh-jauh datang ke sini, Sha,” kata wanita itu semangat. “Mana Sabda? Kamu gak ngajak dia?”
Mata Rania melotot saat gadis tersebut mengucapkan nama kekasihnya. Dia jadi tambah curiga dengan apa yang sedang terjadi. Apakah Sabda dan wanita itu benar-benar ada hubungan lain?
“Dia sedang bekerja, Sinar. Aku datang sendiri agar kita bisa leluasa bercerita.”
Sinar terkekeh. “Ya sudah, ayo masuk.”
Rania menatap kedua wanita itu yang kemudian menghilang dari hadapannya, kedua wanita itu masuk ke dalam rumah. Rania menatap nanar. Dia tidak percaya apa yang barusan didengarnya. Apakah Rania salah mendengar?
Rania jadi bimbang harus mengambil tindakan bagaimana. Apakah dia harus bertanya langsung kepada Sabda mengenai hal ini?
***
“Mukamu makin lama makin pucat.” Sinar menatap prihati pada sahabatnya. “Makan kagak, sih?”
Shanum tergelak. “Makanlah, emang lagi berasa capek aja.”
“Dua hari lalu aku datang ke rumah, kamu nggak ada. Ke mana?” tanya Sinar memastikan.
“Oh, ke rumah orang tua.”
Sinar mengernyit, menatap Shanum yang sedang meneguk teh-nya. Mereka duduk di bagian belakang rumah yang teduh. Menikmati teh hijau hangat yang dibuat Sinar.
“Ada masalah lagi sama suamimu?” Bahkan tanpa Shanum jelaskan pun, Sinar sudah mampu menebak sendiri.
“Biasa.”
Shanum kembali terdiam, malas untuk menjelaskan. Dia menunduk, menghela napas panjang. Satu-satunya orang yang mengetahui keretakan rumah tangganya hanyalah Sinar seorang. Wanita itu juga sering menjadi tempat Shanum meminta saran atas semua kegundahan hatinya.
“Serius, mukamu pucat Shanum. Kelihatan lelah. Apa yang terjadi di rumah?”
Shanum memejamkan mata, menyandarkan kepala pada punggung kursi. Benar yang dikatakan Sinar, ia memang cenderung mudah lelah akhir-akhir ini. Dia mengkhawatirkan sesuatu dan berharap itu benar. Mendadak ia membuka mata dan bertanya serius pada sahabatnya.
“Sin, kamu dulu berapa kali bercinta sampai hamil anak pertama?”
Sinar mengernyit, kenapa tiba-tiba Shanum mengatakan hal itu? “Kami dulu bulan madu tiga hari, bercinta bagai sepasang orang gila. Tapi, hamil enam bulan kemudian. Kenapa?”
Ah, masih ada harapan. Shanum mulai parno sendiri, ketakutannya tidak beralasan. Shanum menyimpan harapan tersebut di dada. Belakangan ini dirinya mudah lelah, hal itu membuat Shanum berpikiran yang tidak-tidak. Terlebih malam itu dia memang sedang berada dalam masa subur.
“Kenapa mendadak tanya soal hamil? Bukannya kalian sepakat untuk tidak saling bersentuhan? Atau jangan-jangan, kalian benar-benar sudah melakukannya?”
Menggigit bibir, Shanum menimbang perkataan. Dia bingung, apakah harus berterus terang pada Sinar atau tidak. Namun, dia tidak sanggup menahan sendiri. Shanum sudah cukup stres dengan berbagai konflik dalam rumah tangganya.
“Sebenarnya, ada satu cerita penting yang kamu nggak tahu.”
Sinar mengernyit. “Ada apa? Hal penting apa?”
Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hati tersirat rasa malu. Namun, Shanum berusaha mengabaikannya. Dia menoleh ke belakang. Sekadar mencari tahu tidak ada yang mendengar mereka bicara. Terdiam sesaat, menatap wajah Sinar yang tidak sabaran, akhirnya Shanum mulai bercerita.
“Malam itu, Sabda meniduriku.”
Selanjutnya, kata per kata dia ucapkan dengan hati-hati. Berusaha untuk mengesampingkan resah dan malu yang menggelayut di hati. Saat kalimat terakhir selesai dia ucapkan, Sinar melongo dan tak mampu berkata-kata. Dia terkejut bukan main.
“Serius? Sabda benar-benar menidurimu kemarin? Setelah lima tahun hubungan antara kalian berjalan?”
“Ssst!” Shanum menempelkan jari di bibir. “Iyaa, jangan kenceng-kenceng ngomongnya.”
“Kok bisa, sih? Sabda dapet hidayah?”
“Huft, mau bagaimana lagi? Waktu itu Sabda tidak sengaja melakukannya. Nasi udah jadi bubur, ’kan?”
“Bubur sih enak kalau pakai ayam dan sate, tapi dalam hal ini kok aku kasihan sama kamu, ya? Aduh, gimana ini?”
Sinar memiliki pikiran yang sama dengan Shanum, hanya karena masalah itu dia menjadi resah dengan kondisi mental sahabatnya. Sebenarnya Sinar senang saat mendengar Sabda akhirnya bisa menyentuh Shanum, tapi ternyata pria itu tak sengaja karena semalam mabuk berat.
“Aku nggak tahu,” ucap Shanum pasrah. “Yang aku pikirkan sekarang adalah, gimana nanti ke depannya kalau sampai aku—“
“Hamil!”
Keduanya berpandangan dalam satu pemahaman yang sama. Memikirkan tentang kemungkinan yang akan terjadi. Entah harus bahagia atau sedih. Shanum memegang pelipis, memikirkan jalan keluar tentang ketakutannya. Di berharap Sinar akan membantunya mencari jalan keluar, nyatanya sahabatnya malah ikut bingung sepertinya.
“Semoga saja kamu hamil sesuai harapan kamu. Bagaimana tanggapan Sabda? Apa kalian sudah bertemu?”
Shanum menggeleng, ini sudah hari kedua dia tidak bertemu Sabda. Pria itu tidak kunjung pulang atau mengabarinya. Sekadar bicara empat mata pun dia seolah enggan. Sabda seperti sedang menghindar.
“Dia … Kamu tahu sendiri, kan, suamiku itu kayak apa, Sin.”
Sinar mengangguk. “Suami laknat!”
***
Sudah seminggu berlalu semenjak Shanum terakhir kali bertemu Sabda. Hubungan yang mereka bina selama lima tahun lamanya, kini kembali renggang. Shanum berusaha untuk tidak menyesali diri, meski hatinya remuk redam.
Selama ini, meski bisa dibilang hubungan mereka tidak terlalu harmonis, tapi harus diakui Sabda laki-laki yang baik. Dia bisa memahami, kenapa Sabda menolak jika Shanum mengandung anaknya. Pria itu merasa belum bisa menjadi suami dan ayah yang baik.
Beberapa kali Sabda menelepon, Shanum tidak pernah mengangkat. Pesan pun tidak dibalas. Bahkan pernah satu kali Sabda datang mencarinya ke rumah sang ibu, dengan tegas Shanum menolak bertemu. Setelah itu, laki-laki itu tidak datang lagi. Hingga siang ini, kedatangan mama mertua membuat Shanum susah untuk menolak.
Wanita setengah baya itu mengamati rumah Shanum yang lumayan asri. Shanum meletakkan segelas teh hangat di meja setelah itu dia duduk di hadapan ibu mertuanya dengan canggung.
Diana mengamati Shanum dari atas ke bawah. “Kamu kurus, pucat pula. Apa kamu sakit, Shanum?”
Shanum menggeleng, dia tersenyum canggung, berusaha untuk tidak membuat beliau curiga.
“Kamu kena anemia, Sayang?”
“Bisa jadi, Ma.”
“Makanya jaga kesehatan. Jangan sampai sakit lagi. Baru kemarin kan kamu sembuh, masa habis ini sakit lagi. Sayangi diri kamu.”
“Iya, Ma.” Shanum tak bisa menolak perhatian dari ibu mertuanya.
Sesaat mereka terdiam, Diana melirik Shanum sesaat. “Sayang, kenapa kamu memutuskan untuk pindah ke rumah orang tua kamu? Mama berkunjung ke rumah kalian dan di sana tidak ada siapa-siapa. Apa yang terjadi dengan kalian?”
Shanum menahan napas, dugaannya benar kalau Diana datang demi memastikan hubungannya dengan Sabda. Menggigit bibir bawah, dia menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan sebelum menjawab pelan.
“Nggak ada apa-apa, Ma. Memang aku sedang butuh suasana baru. Aku lagi kangen keluarga aja.”
“Jujur sama mama!” sergah Diana. “Bisa-bisanya kamu memendam semuanya sendiri. Ada apa? Apa Sabda kurang memperhatikan kamu saat sakit? Dia memang kayak gitu. Nanti mama bakal bilang sama dia untuk mengurangi kesibukannya di kantor.”
Shanum menggeleng. Bagaimana mungkin ia jujur tentang selingkuhan suaminya. Dalam hal ini, dia tidak mungkin menyalahkan Sabda. Apalagi jika sampai sang ibu tahu bahwa Sabda baru menyentuhnya kemarin malam.
“Shanum! Apa kamu dengar?”
Mengangguk dengan berat hati, Shanum berucap pelan. “Iya, Ma.”
“Jawab, kenapa kamu malah diam? Ada apa sama kalian? Kenapa?”
KENYATAAN PAHIT
Rania tengah melamun sejak tadi pikirannya tidak tenang. Ini sudah hari kelima, Sabda lagi-lagi tak ada kabar. Dia bimbang, haruskah dia menelepon pria itu? Tapi, Rania takut akan mengganggunya.
Pikirannya kembali berkelana pada wanita yang dia ingat hari itu, wanita cantik yang pergi ke toko roti menggunakan mobil Sabda. Juga menyebut nama kekasihnya ketika bertemu dengan seorang teman. Dia masih penasaran ada hubungan apa di antara mereka.
“Apa aku memang harus mencari tahu semuanya sendiri?” gumam Rania penuh kebimbangan.
Pada akhirnya Rania memberanikan diri untuk pergi ke luar. Tak ingin dihantui perasaan bersalah terus menerus, dia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika Sabda tak mau mengatakannya, maka Rania yang akan mencari tahu semuanya.
Rania berbelok gang lebar mengarah pada distrik perumahan. Dia ingat Shanum sempat ke rumah ini hari itu. Rania masih mengingat dengan jelas lokasinya. Ya, Rania ingin bertanya pada seseorang. Siapa tahu orang tersebut bisa memberi Rania informasi.
Gadis itu menekan bel dan langsung berseru, “permisi.”
Rania menekan bel itu kembali, dan pemilik rumah tersebut keluar dari dalam. Ekspresinya langsung terkejut saat melihat siapa orang yang datang ke rumahnya.
“Ya?”
Rania melihat perempuan berambut pendek membuka pintu rumah. Awalnya, dia ragu untuk bertanya, tapi Rania tidak punya pilihan. Rasa ingin tahunya terlalu mendominasi. Jadi, lebih baik dia menahan rasa malu ketimbang terus merasa bimbang.
“Maaf, kalau saya lancang, tapi ngomong-ngomong apakah Anda punya waktu? Bisa kita bicara sebentar?” pinta Rania tulus.
“Siapa, ya?” Nada Sinar terdengar ragu. Namun, sopan.
“Mungkin kita bisa bicara dulu,” tawar Rania sedikit tergesa.
Sinar menimbang dan mengangkat sebelah tangannya yang dibelit arloji, lalu kembali menatap Rania.
“Tapi saat ini aku tidak punya banyak waktu. Ada urusan penting yang harus kukerjakan. Mungkin kita bisa bertemu lagi kapan-kapan.”
Sinar menolak permintaan Rania secara halus, wanita itu hendak kembali menutup pintu rumahnya. Namun, sebelum dia benar-benar masuk, suara Rania membuat penggerakannya berhenti.
“Sebentar saja. Mbak kenal Mas Sabda, kan? Aku ingin bertanya soal itu, Mas Sabda adalah kekasihku.”
Kata-kata itu tanpa bisa Rania cegah langsung menyeruak ke permukaan.
***
“Kamu tunggu di sini, aku ke dapur dulu untuk membuat minuman.”
Rania hanya membalas ucapan Sinar dengan seulas senyum kikuk. Sejak Rania mengakui bahwa dirinya adalah kekasih Sabda, wanita itu tidak punya pilihan lain selain membiarkannya masuk.
Entah apa yang ingin Rania sampaikan. Namun, Sinar punya firasat lain. Sinar merasa bahwa kedatangan Rania ke rumah ini karena suatu hal, dia tidak bermaksud jahat.
Dia mengizinkan Rania duduk di sofa sementara dirinya pergi ke dapur untuk membuat teh dan camilan. Sementara itu, Rania melihat-lihat semua perabotan di rumah ini kurang dari dua puluh detik.
Rania bisa melihat dari balik pintu geser dua sisi yang terbuka dan menampilkan kebun asri yang terurus, berdiri satu pohon rindang, usianya mungkin sudah puluhan tahun. Ada pot-pot bonsai berjajar di lantai kayu serta empat tiang jemuran. Rumputnya terawat, mirip artifisial, tapi Rania tahu itu asli. Percikan sinar matahari pagi yang masih muncul malu-malu membuat segalanya lebih cantik seperti ilustrasi buku dongeng.
Selagi menunggu wanita itu kembali, pandangannya berkeliaran lagi. Banyak barang seperti kursi, meja, jam antik sudut, dan rak ukuran delapan puluh senti penuh buku. Dari deretan buku itu dia mampu menemukan beberapa judul dongeng anak-anak.
Bertepatan ketika Rania tengah memandangi foto-foto keluarga kecil Sinar yang menyebar di dinding, pemilik rumah tersebut membuka pintu dengan membawa nampan kecil. Rania hendak berdiri membantunya.
“Tidak apa-apa, duduk saja.” Sinar menahan lebih dulu saat pantat Rania baru menjauhi sofa beberapa senti.
Sinar mengambil tempat di depannya. Hanya ada satu minuman yang dia bawa. Artinya, Sinar hanya menyediakan minuman untuk Rania.
“Minumlah dulu.”
Meskipun sedikit segan, tapi Rania memilih menurut, dia meminumnya seteguk. Tidak menampik.
Sinar memperhatikan penampilan Rania, cukup menarik. Pantas saja Sabda bisa jatuh cinta padanya. Rania tidak berlebihan, Sinar tahu itu.
“Jadi, kamu Rania?”
Sinar membuka obrolan, lantas tersenyum dan menempatkan sebelah kaki jenjangnya ke atas paha kiri sambil menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Rania meletakkan kembali gelas itu ke atas meja sebelum menjawab pertanyaan Sinar.
“Ya. Benar.” Rania terkejut karena Sinar mengetahui namanya lebih dulu. Dia bahkan belum memperkenalkan diri. Apakah wanita ini sahabat Sabda atau siapa?
Rania ikut diam ketika Sinar diam. Sesungguhnya Sinar menunggunya mengatakan sesuatu. Ada banyak sekali hal yang ingin Rania tanyakan. Namun, entah kenapa semua pertanyaan itu seperti tercekat di kerongkongan.
“Jadi, kamu tidak ingin tanya siapa namaku? Apakah kita harus mengobrol tanpa saling mengenal?” tanya Sinar.
Pertanyaan menjebak. Rania tidak tahu harus bagaimana bereaksi ketika melupakan etika berkenalan. Dia merasa sangat gegabah untuk pertemuan pertama.
“Maafkan aku. Iya, namaku Rania. Nama Mbak siapa, ya?”
“Tidak masalah. Aku Sinar.” Dia menarik napas lega. “Senang akhirnya kita bisa bertemu. Aku sering dengar banyak hal tentangmu.”
“Ah, benarkah? Terima kasih.”
Walaupun Rania tidak tahu apa yang harus dia terima kasihkan dari semua itu dan dia tidak tahu siapa orang yang sudah sering menceritakan tentangnya pada Sinar.
“Kamu masih kuliah, benar?”
Rania hanya mengangguk. Dia sedikit jengkel karena Sinar malah berbasa-basi. Rasa penasarannya sudah di ujung tombak sekarang.
“Sebetulnya kedatanganku ke sini karena suatu hal, aku ingin bertanya tentang sesuatu,” celetuknya. “Ini mungkin terdengar sangat tidak sopan tetapi aku pernah melihat sahabatmu memakai mobil kekasihku. Aku hanya penasaran ada hubungan apa mereka? Karena ini selalu mengusikku.”
Rania berkata to the point. Dia benar-benar tidak bisa terus mengulur waktu, dia ingin tahu kebenarannya. Apakah benar Sabda berselingkuh darinya?
“Jadi maksud kamu menemuiku hanya untuk menanyakan hubungan wanita itu sama Sabda?”
“Ya, begitulah.” Rania terlihat sedikit putus asa.
Sinar terus tersenyum. “Aku tidak tahu harus jawab gimana, ya. Soalnya, ini hal yang cukup sensitif dan rumit.”
“Kenapa?” Rania semakin penasaran.
“Nanti kamu akan sangat terluka. Aku tak bisa bertanggung jawab.”
“Ada apa? Paling tidak berikan aku jawaban logis.”
Sinar menggeleng. “Sebaiknya kamu tanyakan langsung pada kekasihmu.”
Sinar tidak mau ikut campur dalam masalah rumah tangga sahabatnya. Meskipun dia sendiri gemas ingin membongkar semua kebusukan Sabda, tapi dia tak bisa melakukan apa-apa tanpa seizin Shanum.
“Aku hanya ingin jawabannya dari Mbak Sinar. Kenapa? Karena ada sesuatu di antara mereka? Tolong aku, Mbak. Aku bingung dengan semua ini, aku hanya butuh kejujuranmu. Mas Sabda akan menikahiku tak lama lagi. Jadi, tolong katakan yang sejujurnya padaku.”
Sinar terkejut mendengar ucapan Rania barusan. Apa tadi katanya? Sabda akan menikah? Apa Sinar salah dengar? Jantung wanita itu berdebar tak keruan. Apakah Shanum tahu hal ini?
“Apa maksud kamu? Sabda mau nikahin kamu?”
Rania mengangguk. “Ya, begitulah. Cuma … akhir-akhir ini ada yang gak beres, aku jadi sering kepikiran.”
Sinar menghela napas cukup berat, matanya terpejam seolah tengah menahan rasa kesal yang membara. Sinar ingin sekali membunuh Sabda dan memotong tubuhnya menjadi beberapa bagian. Kenapa ada suami sekejam itu? Dia berniat menikahi selingkuhannya di belakang istri sah? Apa tidak gila namanya?
Sinar sempat sesak napas dibuatnya. Belum reda keterkejutannya tentang Shanum yang pertama kali disentuh oleh suaminya, sekarang dia kembali mendengar kabar buruk tentang suami Shanum yang ingin menikah lagi.
Sinar tidak mengerti rumah tangga macam apa yang tengah dijalani oleh dua orang tersebut.
“Mbak, tolong aku, ya. Aku janji gak akan bilang apa-apa ke Mas Sabda atau siapa pun kalau memang tak boleh.”
Rania masih terus memaksa, dia hanya ingin tahu kebenarannya. Nurani Sinar langsung goyah, mendengar hal ini jelas dia tak bisa diam saja. Shanum pasti akan sangat terluka.
“Baiklah, karena kamu yang meminta, aku akan menjelaskan semuanya padamu, tapi aku mohon apa pun kalimat yang aku ucapkan, kamu harus percaya. Kumohon, aku tak bermaksud membuatmu terluka, karena memang sudah banyak yang terlukai di sini.”
Sinar berusaha untuk meyakinkan Rania terlebih dahulu, dia sebenarnya kesulitan untuk menjelaskan hal rumit seperti ini.
“Pertama-tama, Rania kamu harus mengerti bahwa kekasihmu ….”
Rania menyimak dengan serius ucapan Sinar, dia tidak sempat menyiapkan hati terlebih dahulu, tapi semoga saja dirinya kuat.
“Kekasihmu bukan pria lajang, dia pria beristri.”
DOUBLE KILL!
Kepala Rania refleks terangkat, mulutnya tersingkap dan Rania bisa merasakan ada getaran dalam tenggorokannya. Sakit, apakah wanita ini sedang bercanda?
“Jangan bohong padaku!”
Rania menatap Sinar dengan sorot tidak percaya. Entah kenapa dia tidak bisa mempercayai apa yang wanita itu katakan, sekalipun benar, tidak mungkin Sabda bisa berbohong sekeji itu padanya.
Rania berusaha mencari celah kebohongan pada diri Sinar. Dia harap apa yang didengarnya barusan hanyalah gurauan semata, meskipun benar tidak dia temukan satu keraguan di diri Sinar. Wanita di depannya justru tersenyum. Dia sudah bisa menebak kalau gadis itu akan menyangkal kenyataan yang ada.
“Kenapa tidak percaya? Begitulah kenyataannya, Sabda dan Shanum sudah menikah selama lima tahun. Mereka sah di mata negara dan agama. Namun, seperti yang kamu lihat, dia malah berselingkuh.”
TRIPLE KILL!
Rania masih diam, tidak tahu harus menjawab apa. Seandainya benar apa yang Sinar katakan, ini semua terasa menyakitkan baginya. Rania bahkan sempat beberapa kali meminta pria itu untuk segera memberi kepastian. Dia tak tahu kalau Sabda sudah memiliki istri.
Ternyata keraguannya selama ini adalah bukti bahwa dia benar-benar tidak pernah serius pada Rania. Pantas saja Sabda selalu banyak alasan. Terlalu banyak kejanggalan yang dia rasakan. Namun, kemarin Sabda datang ke rumah dan merencanakan pernikahan pada sang ayah. Apakah ini artinya Rania akan dijadikan istri kedua?
“Bagaimana bisa? Bagaimana bisa pria itu sudah lama menikah, tapi malah berselingkuh denganku?”
Sinar menaikkan bahunya acuh. Dia sendiri tidak mengerti isi kepala pria itu, padahal Shanum jelas lebih cantik. Dia wanita mandiri dan cerdas, tapi kenapa takdir hidupnya begitu menyedihkan.
“Ya, aku sendiri pun tak bisa menyalahkanmu sebab kamu sendiri saja baru tahu kalau Sabda selingkuh. Shanum menyuruhku untuk diam saja saat itu karena mereka sudah bersepakat untuk tidak bercerai, tapi mendengar dia akan menikahimu. Sepertinya tak lama lagi mereka akan bercerai.”
Rania terdiam mendengar ucapan Sinar. Apa benar yang dia katakan tadi? Apakah dia tanpa sadar sudah menjadi penghancur kebahagiaan orang lain? Apakah semua ini sepenuhnya salah Rania?
“Tapi jika kamu pun sangat mencintai Sabda, aku tak bisa memaksamu untuk meninggalkannya. Justru aku senang, setidaknya Shanum bisa lepas dari suami laknat seperti dia!” Sinar mulai gusar.
Rania tak banyak bicara, dia masih sibuk mencerna apa yang terjadi. Hatinya begitu sakit. Dia seperti hilang pijakan. Bagaimana Sabda bisa membohonginya selama itu?
Melihat Rania yang terus diam, Sinar lama-lama merasa serba salah juga. Dia yakin gadis itu pun terkejut mendengar kenyataan ini. Dia hanya korban dari keegoisan Sabda. Tidak sepantasnya Sinar marah padanya.
“Bicaralah pada Sabda. Katakan yang sebenarnya, aku yakin jika kamu yang bicara, dia tak akan mengelak lagi,” putus Sinar akhirnya.
Bersambung…