CINTA ITU LUKA
Sepulang dari dokter, Shanum tidak dapat menahan perasaan kalutnya. Bagaimana bisa tenang jika saat ini dia sedang mengandung anak dari laki-laki yang tidak menginginkannya? Kehamilan ini membuat Shanum senang sekaligus sedih. Tadinya, dia sudah memutuskan untuk berpisah dengan Sabda. Namun, Tuhan sepertinya punya rencana lain.
“Kapan kamu berencana mengatakan semua pada Sabda?” tanya Sinar padanya.
Shanum menggeleng. “Aku belum tahu.”
“Setidaknya, Sabda harus tahu lebih dulu. Anakmu itu anaknya.”
“Sekarang aku belum bisa mikir apa pun. Tolonglah, Sinar.”
Shanum menahan tangis. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang masih rata. Ada kehidupan baru di sana, dan dia sama sekali tidak tahu harus bersikap bagaimana. Terjebak dalam situasi yang di luar kendalinya.
Sinar sengaja pergi ke rumah Shanum untuk mengajak perempuan itu bicara. Namun, begitu sampai di sana dia melihat sahabatnya sedang muntah-muntah di kamar mandi, dengan lemas Sinar memapah Shanum yang pucat pasi ke kamarnya. Naluri Sinar sebagai seorang wanita langsung muncul, tentu saja dia sudah menduga kalau hal ini akan terjadi.
Setelah mendesak Shanum untuk pergi ke dokter, akhirnya wanita itu mau pergi juga. Hasil diagnosa dokter sungguh membuat kebingungan Shanum makin menjadi.
Shanum hamil.
Menatap sahabatnya dengan prihatin, Sinar meraba dahi Shanum. “Aku buatkan teh hangat. Kamu istirahat dulu.”
Shanum tidak menjawab perkataan sahabatnya. Dia memilih untuk berbaring dengan pikiran tak menentu. Kepalanya terasa berat, Shanum memejam. Berharap tidur dapat menghapus kegalauannya. Dia butuh menenangkan diri saat ini.
Shanum berharap dia tidak menangis. Namun apa daya, air mata tidak dapat dibendung. Terlalu banyak lika-liku perjalanan rumah tangganya. Bukan berarti Shanum tidak bahagia dengan kehadiran bayi di perutnya. Shanum benar-benar bahagia, sebab itulah yang dia inginkan sejak lama.
Pikirannya tertuju pada Sabda, apa yang akan dia katakan nanti pada pria itu? Apakah Sabda akan menerimanya?
***
Hujan telah berhenti turun sejak se-jam yang lalu. Shanum tengah menatap bayangan dirinya di depan cermin, memandangi kondisi wajahnya yang memucat dan sedikit tirus. Kantung matanya tampak terlihat karena dia kurang tidur.
Shanum bukan tipe perempuan yang cengeng. Dia pantang menunjukkan sisi lemahnya, tapi sepertinya tembok ketangguhan itu perlahan retak dan roboh. Terlalu banyak kejadian tak terduga yang menimpa pernikahan mereka.
Ah, memang persis sinetron.
Saat Shanum sibuk bercermin, Sabda masuk ke dalam kamarnya, dia terkejut saat melihat keberadaan Shanum di rumahnya.
“Sha, kapan kamu datang?” tanya Sabda. Dia terkejut antara percaya dan tidak.
Shanum pulang ke rumah mereka, tujuannya tak lain dan tak bukan untuk membicarakan hal serius dengan pria itu. Dia merasa sudah cukup lama diam dan menghindar. Entah sampai kapan Shanum harus menghindari Sabda, jujur dia lelah.
“Satu jam yang lalu.” Shanum menjawab singkat.
Canggung. Satu kata yang bisa menggambarkan kondisi mereka sekarang.
“Maaf, aku pulang terlambat hari ini, aku tidak tahu kamu ada di rumah. Kamu tak menelepon lebih dulu,” kata Sabda seraya melepas dasinya.
“Tidak apa-apa, aku tahu kamu sibuk.”
“Tidak juga, hanya sedang banyak urusan.”
Shanum mendesah. Dia menatap Sabda dengan pandangan prihatin, tidak heran melihat pria itu pulang dengan kondisi kacau seperti ini. Dia tampak tidak bisa mengurus diri.
“Kerja atau pergi jalan-jalan dengan kekasihmu?”
“Shanum, jangan mulai!”
Shanum menarik napas sangat panjang, menghentikan ledakan emosi sekejap. Dia kembali menarik napas untuk meyakinkan diri sebelum menegakkan tubuh.
“Boleh aku menanyakan sesuatu padamu?”
Sabda mengangguk mendengar pertanyaan tersebut. Melihat wajah istrinya yang sendu, Shanum tampak berbeda dari biasanya. Meski Sabda tahu bahwa istrinya pasti akan mengajak ribut lagi seperti biasa.
Shanum menghela napas dalam-dalam. Ada perasaan dingin di sudut hatinya.
“Kau ….” Suara Shanum terdengar sayup-sayup. “Masih mencintainya?”
Rasa sakit mulai menjalar di sekujur tubuh Shanum. Entah kenapa dia sedikit menyesali pertanyaan tersebut. Sebab dia terlalu lemah untuk menerima kenyataan yang keluar dari mulut Sabda.
Shanum menggigit bibirnya selagi menunggu Sabda menjawab. Sejujurnya masih ada begitu banyak pertanyaan dan dugaan. Namun, penjelasan untuk pertanyaan tadi saja sudah mahal harganya.
“Kalau kamu bertanya, maka jawabannya tentu saja.”
“Jadi kamu masih mencintai kekasihmu itu, ya. Bagaimana kalau sekarang kamu memilih.”
Sabda terdiam, dia tidak mengerti apa yang Shanum katakan dan apa maksud wanita itu mengatakannya.
“Jujur saja. Aku hanya ingin tahu dan memastikan hal ini …” Shanum menelan ludah saat pandangannya kembali mengabur, hanya berani menatap dada bidangnya.
“Kamu akan menikah dengannya, kan? Kenapa tak bilang? Bukankah sudah kubilang, tak ada yang harus kita sembunyikan. Kalau memang memilih dia, ceraikan saja aku.”
Sabda mengepalkan tangan. Tinju di samping tubuhnya mengeras. Dia tidak menyangka Shanum mengetahui hal ini, dari mana wanita itu tahu?
Sabda semakin serba salah menghadapi Shanum, rahasianya sudah lebih dulu diketahui oleh wanita tersebut. Dia sadar tak akan bisa beralasan apa pun. Sabda jelas salah.
“Mas Sabda.” Shanum menginterupsi karena hanya ada kekosongan yang menyergap ruangan tersebut. “Tak ada lagi alasan untukku bertahan di rumah ini. Jadi untuk apa ada aku?”
“Aku mohon jangan membahas hal ini, sudah cukup orang tuaku bertanya tentang kondisi rumah tangga kita. Aku tidak mau mengecewakan semuanya. Biarkan aku bernapas sebentar.”
Sabda kali ini memohon dengan sangat, Shanum bergeming. Darah di sekitar kepalanya terasa menguap. Jiwanya hampa mendengar pengakuan Sabda, karena rasanya masih terlalu takut mendengar hal yang sudah dia duga sebelumnya.
Jadi benarkah kenyataan ini? Apakah Shanum sedang bermimpi?
Shanum kehilangan keseimbangan. Di saat dia bahagia dengan kehadiran calon bayi dalam perutnya, sebuah kabar menyakitkan tentang Sabda yang hendak menikah lagi dengan Rania membuat pertahanan Shanum runtuh.
Dia datang demi memastikan hal tersebut. Namun, respons Sabda yang seperti ini membuatnya semakin yakin bahwa Shanum memang tak salah dengar. Hal ini memang terjadi. Semua terasa tidak begitu adil untuknya.
Apa yang lebih menyakitkan ketika mendengar suami sendiri ingin menikah lagi wanita lain tanpa sepengetahuannya?
Mungkin benar, dia tidak akan pernah sebanding dengan wanita itu, tapi apa yang Sabda harapkan dari selingkuhannya? Wanita yang itu bahkan tidak melakukan apa pun untuknya. Selama ini hanya Shanum yang setia menemani Sabda sejak pertama kali mereka berdua tak saling menginginkan.
Pria yang selama ini dia pikir tak akan pernah menyakiti sampai sejauh ini, baru saja menyakiti dengan cara yang tak pernah Shanum duga sebelumnya.
Sejujurnya Shanum sangat benci pria itu sekarang.
“Sha, apakah ak—“
“Nanti, biar kupikir dulu.”
Shanum menyela ucapan Sabda, padahal pria itu belum menyelesaikan bicaranya. Shanum tidak bisa menolak kemungkinan terburuk dalam hubungan mereka. Kemungkinan terburuk akan selalu muncul dalam pernikahan. Sabda mencintainya. Masih mencintai sang kekasih dan ingin menikahinya.
Shanum sendiri berusaha menerima kenyataan tersebut dengan lapang dada. Dia paham, sisa cinta itu pasti selalu membekas dalam hati setiap pria pada pasangan yang dia suka. Shanum mencoba tegar dengan kenyataan semacam itu.
“Pembohong.” Shanum tak bisa menahan sesak di dada.
“Shanum ….”
“Dasar pembohong! Bagaimana bisa kau hendak menikahi wanita lain saat masih memiliki istri dan tidak mau menceraikannya? Kau anggap pernikahan itu apa? Oh, iya aku lupa. Kamu kan tidak tahu cara menghargai sebuah kesakralan pernikahan.”
Shanum marah pada Sabda, dia marah kenapa laki-laki itu tega menyakitinya sampai sejauh ini. Padahal mereka sudah sepakat tak akan ada yang disembunyikan.
“Aku sangat kaget melihat betapa beraninya dirimu. Aku sedikit tidak percaya bahwa kau memanipulasi pernikahan ini, bahkan kau bertingkah di depan gadis itu seolah-olah belum pernah menikah. Itu jahat sekali, Mas.”
Apa kau tahu rasanya sakit? Sakit yang tak berupa, tak berdarah, tak tampak lukanya. Sesak seperti tenggelam. Untuk berenang dan bernapas ke tepian pun rasanya tak sanggup lagi.
Itu yang Shanum rasakan sekarang.
“Aku tidak percaya dengan kejujuranmu itu, Mas. Sudah berapa lama kita bersama? Semua yang kulakukan untukmu, kasih sayangku, hidupku, untukmu, semuanya. Tidak berarti apa-apa bagimu.”
Shanum menatapnya dengan air mata yang perlahan mengalir. Tidak tahu harus apa, tidak tahu harus bagaimana. Untuk pergi pun rasanya sangat sulit.
Shanum sangat kecewa. Tidak ada wanita yang benar-benar kuat, dia hanya terbiasa, terbiasa dengan berbagai kejutan yang Sabda suguhkan. Bahkan terbiasa dengan kenyataan yang selalu siap menohok kapan saja.
“Aku kecewa padamu. Tidak cukupkah untukmu semua itu? Aku begitu terluka, Mas. Terluka karena ternyata sampai saat ini aku tidak mampu memenangkan hatimu, tapi aku pun tak bisa meninggalkanmu.”
Shanum terlalu lemah untuk menjalani hidup tanpa Sabda. Ya, dia memang mulai mencintai pria itu. Hari ini Shanum meminta untuk diizinkan agar tetap mencintai Sabda meski harus jatuh dan mencintai sendirian.
“Nyatanya, meskipun bisa bersama, aku tak sanggup membagi cinta, tapi di sisi lain aku tak punya kemampuan membersamaimu. Di saat hatimu telah terisi oleh selainku. Aku begitu terluka karena yang kita rangkai bersama harus berantakan karena dia yang ketiga!”
Shanum pikir dia sudah berhenti membuat Sabda mencari. Namun ternyata, Shanum saja yang merasa terlalu percaya diri. Sehingga apa yang dia beri justru membuatnya tersakiti.
Sabda masih diam mematung tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, matanya menatap lurus sang istri. Ingin mengatakan sesuatu, tapi sayangnya suara tersebut tertahan di kerongkongan.
“Aku akan baik-baik saja,” kata Shanum meyakinkan seraya mengangguk. “Sudah pernah kukatakan padamu, Mas. Buatlah pernikahan kita setara. Bukan hanya tentang perasaanmu saja yang harus dijaga. Aku juga, aku juga bisa sakit!”
“Berhenti menangis!” Sabda menegur Shanum yang mulai menangis.
Hanya itu? Sabda tidak ada kemampuan untuk menjelaskan atau menenangkan istrinya yang mulai menangis. Sabda sendiri masih mencintai Rania, mencintainya.
Tidak ada yang mudah dari yang namanya kehilangan.
Sabda terus menatap Shanum dengan perasaan bersalah. Dia terlalu lemah jika harus melepas wanita itu pergi. Sungguh, Sabda tidak pernah menginginkan wanita itu meninggalkannya.
“Sekali saja, tolong jangan menyakitiku,” kata Shanum pelan. Dia meraba perutnya sendiri. “Di sini, ada anakmu yang harus kamu lindungi juga, Mas. Aku hamil.”
Mendengar ucapan Shanum, mata Sabda membulat seketika.
BOLEH KITA BICARA
Mengetahui bahwa sang istri hamil, Sabda tidak bisa menahan rasa keterkejutannya. Dia berjalan mendekati Shanum yang mulai tidak acuh. Perasaan wanita itu sakit. Sabda berusaha memastikan sekali lagi, tapi tampaknya wanita itu tidak peduli.
“Aku kehilangan setengah harapan darimu,” kata Shanum berterus terang. “Kamu tahu ‘kan apa akibatnya bila berbohong di pengadilan?”
Sabda tiba-tiba meremas tangan Shanum dan meminta wanita itu untuk menjelaskan apa yang terjadi.
“Kumohon jelaskan padaku, apa maksud kata-kata kamu tadi?”
Shanum melepaskan pegangan tangan Sabda, alih-alih mengulang kalimatnya, wanita itu justru marah.
“Kenapa harus berbohong sejak awal, Mas?” Shanum mencoba tidak goyah. “Kenapa terus menambal satu kebohonganmu dengan kebohongan lain? Kamu bilang akan menjauhi wanita itu, tapi ternyata kamu masih saja bertemu dengannya. Kalau masih mencintainya kenapa tak ajak dia hidup bersama kembali?”
Sungguh, Sabda bukan ingin mendengar kalimat itu, tapi kalimat Shanum tadi tentang kehamilan. Apakah wanita itu benar-benar mengandung anaknya? Apakah Sabda sedang bermimpi? Atau Shanum salah bicara?
“Aku telah bekerja sepanjang hidupku. Aku bisa menghasilkan uangku sendiri. Aku punya cukup tabungan. Bahkan jika malam ini aku harus melarikan diri, aku tahu ke mana harus pergi.”
Mata Sabda kembali tertuju pada Shanum, wanita itu benar-benar sudah menyerah. Dia merasa rumah tangganya bukan lagi di ambang kehancuran, tapi memang sudah retak luar dalam.
Keinginan Shanum untuk berpisah semakin kuat, tapi saat hal itu terjadi dirinya malah hamil. Shanum sendiri bingung harus bagaimana, terlebih dia malah mengetahui kabar bahwa suaminya akan menikah lagi.
“Aku bukan jenis wanita yang menumpang hidup pada pria kaya sepertimu. Aku bisa saja pergi jika terus menerus disakiti begini, tapi ….” Shanum tersendat oleh kata-katanya, dia menutup mulut dengan gemetar. Tak mau menangis, tapi dia terlalu cengeng.
“Mengapa aku dibohongi? Kenapa tidak katakan sejak awal tentang pernikahanmu? Kenapa tidak ada yang satu pun yang mengatakan padaku? Bukankah kita sudah sepakat tidak akan ada yang disembunyikan?”
“Kamu harus percaya ….” Sabda nyaris frustrasi dalam kalimatnya. “Semua kulakukan untuk menjaga hubungan rumah tangga ini, termasuk perasaan orang tuaku. Aku tidak bisa berterus-terang karena hal lain.”
Shanum terkekeh mendengar jawaban Sabda. Lucu sekali. Sesaat kemudian Shanum mengangkat wajahnya menengadah dengan kedua tangan, lalu menatap sang suami dengan datar.
“Jangan seperti ini. Alasanmu sangat tidak jelas, Mas. Adakah alasan lain yang bisa kauberikan? Pernikahan ini … apa kau memang menginginkan pernikahan ini? Bukan soal penyesalan, Mas. Melainkan semua yang kau lakukan. Ucapanmu, tindakanmu, pesan-pesan manismu, pujianmu, kau melakukan itu hanya pada kekasihmu.”
Shanum menelisik ke dalam matanya dan nyaris menjerit. Namun, yang keluar justru nada serak yang semakin menipis. “Aku tak berharap diperlakukan sama dengan kekasih simpananmu itu. Aku hanya tidak bisa menerima jika kita harus berpisah seperti ini!”
Tangannya gemetaran. Shanum terdiam dan menyimak tatapannya dengan sungguh-sungguh. Dia sudah cukup lelah menghadapi semua hal sendiri. Benar-benar tak bisa dipercaya.
“Apakah kamu berniat untuk mengajaknya menikah kembali?” Shanum tampak bergetar mengatakannya.
“Shanum.” Sabda langsung menepis tegas. “Kubilang hentikan!”
“Jujurlah.” Suara Shanum mulai melambat dan pelan. “Katakan saja yang sejujurnya.”
“Aku sedang tak ingin membahas ini. Kita sudah berjanji untuk tak membahasnya.”
“Kamu akan jadi orang pertama yang dibunuh ayahku jika dia tahu apa yang telah kau perbuat pada putrinya selama ini.”
Sabda ingin membawa Shanum pada pelukannya. Namun, wanita itu telanjur mati rasa. Dia menghindari Sabda, Shanum tidak butuh pria dalam hidup jika hanya membuatnya menderita lebih banyak.
“Aku sakit,” Shanum masih histeris. “Aku tidak suka sakit!”
Shanum memukul dada bidang Sabda berulang kali, melampiaskan amarah dan kesedihan yang meruntuhkan pertahanannya. Shanum selalu berpikir bahwa dirinya kuat dan mampu melewati semuanya sendirian. Namun, ternyata sulit.
“Aku hamil. Kamu tidak boleh menyakitiku,” katanya nyaris kehilangan suara. “Jangan jahat padaku, Mas. Ini peringatan terakhirmu.”
***
Shanum meminum banyak air untuk membantunya kembali bernapas lega. Kemudian berdiri diam menatap keran wastafel setelah meletakkan gelas.
Dia meremas ujung jari mengingat pengakuan Sabda. Shanum ingin melupakan suara pria itu dalam kepalanya. Dia ingin mengganti kata-katanya dengan tangisan. Rasa marah, bingung, sedih, dan kalut. Kenapa Sabda tidak pernah mengerti?
Untuk saat ini Shanum membencinya. Dia marah pada Sabda, tetapi Shanum lebih marah pada dirinya sendiri saat menyadari betapa besar rasa sayang itu padanya.
Shanum kesal karena pada kenyataannya hati kecilnya menyimpan ruang untuk mencintai suami pembohong.
Malam itu dia memutuskan untuk pergi dari rumah naik taksi meninggalkan Sabda dan semua kenangan yang ada di rumah itu. Tidak ada kenangan manis yang tertinggal, selama mereka hidup berdua, hanya ada amarah dan air mata.
“Sha, setidaknya tunggulah besok. Kenapa kamu gak mau denger penjelasanku sedikit saja?”
Sabda membuntuti Shanum sampai ke luar, pria itu berusaha mencegahnya untuk pergi.
“Mas, tolong. Jangan membuatku semakin membenci calon ayah dari anakku. Mulai sekarang biarkan aku sendiri. Kita urus urusan kita masing-masing. Aku yakin kamu bisa jaga diri, tolong biarkan aku pergi.”
Shanum tidak boleh menyesal, keputusannya sudah bulat. Mulai sekarang dia akan putus komunikasi dengan Sabda, entah sampai kapan. Shanum tidak ingin memikirkan hal itu, sekarang ada hal lain yang harus lebih dia perhatikan. Menghindari Sabda adalah satu-satunya cara untuk lepas dari penderitaan.
Namun, entah sampai kapan.
***
Tiga hari berlalu setelah insiden perdebatan yang terjadi antara Shanum dengan Sabda. Wanita itu benar-benar pergi meninggalkannya begitu saja. Terlalu menyakitkan untuk bertahan. Namun, tak sedikit pun dihargai.
Shanum berusaha menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Seperti saat ini, dia tengah menatap lurus ke arah jajaran mie aneka merk dan varian rasa dengan tatapan sedikit enggan. Meskipun begitu, semua keriuhan di tempat tersebut tampak tidak menarik untuknya.
Shanum rasanya ingin makan mie goreng dengan cabai yang banyak ditemani segelas es jeruk dengan separuh kesadaran. Dia stres dan butuh pelarian sekarang.
Pelariannya pada makanan pedas.
Suasana minimarket siang itu lumayan penuh. Namun, Shanum merasa benar-benar kesepian. Dia mencoba tidak melirik betapa ramainya orang-orang berbincang. Hanya berdebat dalam hati dan melamun.
Bahkan dia mencoba abai pada sepasang suami istri yang tengah berbelanja bersama. Terlihat bahagia dengan bayi di tengah-tengah mereka. Sungguh jauh dengan kehidupan Shanum yang sunyi, sekarang dia hanya tinggal berdua saja bersama janin dalam perutnya.
Shanum mengalihkan tatapannya dari keluarga bahagia itu, mencoba menepuk kedua pipinya sendiri seraya memasukkan beberapa barang kebutuhannya dalam keranjang belanjaan.
“Sejak kapan Nyonya direktur suka makan mie instan?”
Celetukan itu membuat Shanum menoleh ke arah samping. Di sana sudah ada Sinar dengan tatapan datarnya menatap lurus keranjang belanjaan milik Shanum.
“Kenapa kamu belanja makanan tak sehat semua? Apa jangan-jangan kamu sedang ngidam?”
Shanum menghela napasnya. Dia memang tidak pergi sendiri, ada Sinar yang setia menemani ke mana saja. Namun, hal itu membuat Shanum kesulitan untuk leluasa belanja. Dia terlalu banyak aturan dan cerewet seperti ibunya.
“Hentikan, Sinar!”
Sang lawan bicara spontan tergelak sembari terus memegang kendali pada keranjang miliknya sendiri, mencoba mengamati raut datar yang tengah berusaha mengabaikannya.
“Aku tahu ibu hamil pasti punya banyak pikiran, tapi gak makan pedes juga dong,” guraunya bersama dengan nada prihatin yang dibuat-buat.
“Aku cuma kangen makan mie instan. Aku tidak akan mati atau sakit perut hanya makan satu piring mie go—“
“Belum. Pokoknya ini tidak sehat. Jangan cari penyakit.” Sinar memotong ucapan Shanum dan mengambil mie dalam keranjang tadi dan menyusunnya kembali ke dalam rak. Shanum sangat kecewa.
“Sebaiknya kamu makan makanan lain saja. Beli sayur atau apa pun, asal jangan micin.” Sinar menambahkan, Shanum semakin kesal.
“Kamu juga pernah hamil, kenapa seperti ini? Kamu pasti lupa rasan—“
Kalimatnya terhenti manakala Shanum melihat sosok perempuan yang tampak tak asing di ingatannya. Perempuan itu berdiri tepat di antara rak roti dan makanan ringan.
Emosi Shanum jadi tidak terkontrol ketika melihat perempuan yang sejak tadi menatapnya datang mendekat. Menyadari bahwa Shanum tiba-tiba terdiam, Sinar ikut menoleh ke arah pandang Shanum dan dia pun terkejut melihat siapa yang datang.
Perempuan itu mendekati mereka dengan senyum mengembang, hal yang membuat Shanum kebingungan karena ini pertama kalinya mereka bertemu seperti sudah saling mengenal.
“Permisi, kamu pasti Mbak Shanum. Aku Rania, bisa kita bicara sebentar?”
Bersambung…