AMARAH ORANG TUA
“Sabda!!”
Tiba di rumahnya sendiri, Wiratama tak dapat menahan gelegak emosi yang sejak tadi berusaha dipendam. Begitu mobil yang dikendarai sang sopir tiba di parkiran halaman rumah beliau, Pak Wira turun sembari membanting pintu. Diana hanya menggelengkan kepalanya. Beliau juga marah, tapi amarah beliau tidak ditunjukkan seperti apa yang suaminya lakukan.
Meskipun Shanum sudah berusaha untuk menutupi keretakan rumah tangganya dari keluarga suaminya, tapi tetap saja badai itu berembus sampai ke telinga mereka. Kabar Shanum yang ingin bercerai, secepat kilat menyebar ke telinga setiap keluarganya. Termasuk orang tua Sabda.
Pak Wira yang mengetahui lebih awal hal itu bergegas memanggil anak dan menantunya ke rumah untuk melakukan pembicaraan. Semua akibat ulah yang dilakukan Sabda. Lelaki itu tidak menyangka putranya akan memperlakukan sang menantu seperti ini.
Betapa inginnya Pak Wira mengamuk dan memukul Sabda habis-habisan jika beliau tak ingat bahwa putranya itu bukan lagi anak kecil yang pantas diperlakukan demikian. Pak Wira ingat, bahwa Sabda sudah memiliki istri, dan Pak Wira tak ingin membuat Sabda malu atau merasa rendahan di mata istrinya sendiri.
Melihat kemarahan sang Papa mertua yang sangat menyeramkan, Shanum memucat. Baru sekarang Shanum melihat mertuanya tersebut dalam mode paling menyeramkan ketika sedang marah. Diana meremas tangan menantunya supaya tetap tenang. Anehnya, meskipun Pak Wira tengah emosi, Sabda tetap menunjukkan riak santai. Mungkin dia sudah terbiasa melihat papanya marah semenyeramkan itu.
Brak!
Kali ini Pak Wira melemparkan tas kerjanya ke atas meja ruang keluarga hingga menimbulkan suara derakan keras. Semua orang tak ada yang berani bersuara.
“Kamu pikir apa yang kamu lakukan, Sabda! Mau sampai kapan kamu mempermalukan keluarga ini? Papa tidak pernah menyangka kamu bisa melakukan hal kotor seperti ini pada istrimu sendiri. Kamu sudah bosan jadi anak kami? Jika iya, kamu bisa pergi dari rumah ini dan jangan pernah memunculkan diri di hadapan kami lagi!” marah Pak Wira.
Wajah lelaki paruh baya itu memerah akibat ledakan emosi. Susah payah dia mempertahankan harga diri keluarganya di mata publik, ketika putranya sendiri membuat skandal perselingkuhan. Hal itu tak bisa ditolerir lagi.
“Pa.”
Sabda tidak percaya jika papanya tega berkata demikian terhadapnya. Akibat teriakan dan amarah Pak Wira yang tak terkontrol, para pelayan rumah saling bersembunyi dan berhenti menguping dari arah dapur. Mereka semua takut akan terkena imbas kemarahan tuan besar yang sedang tak terkendali.
“Papa memberimu jabatan dan kepercayaan di perusahaan karena kamu anak sulung di keluarga ini. Kami sudah menaruh harapan besar padamu, Sabda. Tapi lihat sekarang, gara-gara kebodohan yang kamu lakukan, perusahaan dan keluarga kita terkena imbasnya. Apakah seperti ini caramu membalas budi pada orang tua?”
“Bukan begitu, Pa. Papa dengerin alasan Sabda dulu.”
“Halah, alasan!” Pak Wira berdecih.
Sabda berusaha menjelaskan, tapi sang papa sama sekali tak memberikannya kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Apa yang pria itu lakukan sudah sangat fatal. Pak Wira sudah kehabisan kesabaran menghadapi skandal memalukan tersebut.
“Papa nggak butuh penjelasan busukmu lagi. Sudah cukup kamu bikin keluarga dan perusahaan kita dipandang buruk oleh orang-orang di luar sana. Sebenarnya apa yang kau cari? Apakah satu istri tidak cukup untukmu, sampai hati kau berselingkuh? Mau ditaruh di mana muka Mama dan Papa, Sabda?” Napas Pak Wira naik-turun.
Shanum tak bisa menengahi pertengkaran antara ayah mertua dan suaminya sendiri. Mereka memiliki kemiripan yang sama. Sama-sama tidak mau mengalah dan keras kepala. Shanum pun tidak tega melihat Sabda dimarahi habis-habisan seperti itu oleh ayahnya sendiri. Meskipun Sabda bukan suami yang baik untuknya, tapi Shanum tidak bisa melihatnya diperlakukan serendah ini oleh orang tua pria itu.
“Papa menjodohkan kamu dengan Shanum bukan hanya untuk memperkuat hubungan kekeluargaan dengan Tirta saja. Lebih dari itu, kami ingin kalian bisa belajar satu sama lain. Papa sudah sangat yakin kalau Shanum bisa membimbing kamu sebagai pria yang sukses dan bertanggungjawab, tapi apa yang terjadi sekarang? Kamu melakukan hal murahan di belakang istrimu? Apa yang kamu pikirkan, Sabda?”
Sabda terdiam, dia tahu dirinya salah karena sudah menyakiti Shanum dan itulah salah satu alasannya tak bisa menceraikan Shanum. Lebih karena dia adalah harapan keluarganya, tapi haruskah Sabda terus memaksakan diri untuk menerima di saat hatinya tak saling menginginkan?
“Sekarang dia sudah meminta cerai, kamu pikir kami akan menerima begitu saja keputusan kalian untuk bercerai? Kalau sejak awal kalian bilang tidak saling mencintai, papa dan mama tidak akan memaksa kalian untuk bertahan sampai sejauh ini!”
Pak Wira masih dengan emosinya yang meledak-ledak. Shanum menenangkan Diana yang menangis, beliau sedih karena kehidupan rumah tangga putranya ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Lebih dari itu, dia sedih melihat nasib Shanum yang begitu menderita selama menikah dengan putranya. Namun, wanita itu seakan bersikap seolah tak terjadi apa pun.
“Pa. Apa yang Papa lakukan padaku itu sudah kelewatan, Pa. Aku ini anak kalian, bukan boneka mainan yang bisa kalian atur begini-begitu. Kalian yang tetap berkeinginan menjadikan Shanum sebagai istriku. Bahkan kalian mengatur perjodohan itu tanpa membicarakan lebih dulu denganku. Sekarang, saat semuanya sudah memanas, kalian tetap mau menyalahkanku juga? Aku menikahi dia karena Papa. Aku bahkan tak pernah mau menyentuh Shanum sama sekali, tapi begitu aku teringat bahwa kalian menginginkan kehadiran seorang cucu. Aku menyanggupinya. Semua yang aku lakukan pada Shanum itu karena ulah kalian. Semua karena permintaan konyol kalian. Aku nggak pernah berkeinginan menyakiti Shanum. Papa yang telah membuat Shanum tersakiti.”
Sabda meninggikan suara di hadapan orang tuanya. Napas pria itu naik-turun tak beraturan. Segala emosinya tercurah pada orang tuanya yang terlalu banyak menuntut. Cukup lama mereka bersandiwara tentang rumah tangga yang bahagia hanya demi kebahagiaan orang tuanya terpenuhi, meskipun harus mengorbankan banyak hati.
Semua orang terdiam mendengar ucapan Sabda, air mata Shanum juga menetes begitu saja. Kenapa rumah tangganya serumit ini? Apakah benar berpisah adalah salah satu jalan terbaik untuk mereka?
Shanum ingin sekali menampar Sabda dan berhenti berkata demikian pada orang tuanya. Dia ingin waktu berhenti begitu saja, dia ingin Sabda menarik lagi ucapannya. Bahwa semua itu tidak benar, bahwa meskipun Shanum menderita. Dia tetap pernah dibahagiakan oleh suaminya.
Diana dan Pak Wira seolah tersadarkan oleh segala perkataan penuh amarah dari Sabda. Selama ini beliau tidak pernah memikirkan dampak dari perbuatannya. Segala paksaan yang harus Sabda jalankan telah membuat putranya tersebut tersakiti. Tak hanya sang putra, bahkan Shanum juga turut menerima kesakitan itu.
Apakah salah jika selama ini beliau menginginkan sesuatu yang terbaik untuk putranya tersebut?
Cairan bening menggenang di pelupuk mata Diana. Beliau menghela napas, lantas mengusap air matanya sebelum bergulir jatuh membasahi kedua pipinya yang mulai berkerut.
Shanum menatap Diana dengan iba. Dia tidak menginginkan hal ini terjadi, tapi mau bagaimana lagi, Sabda sudah membuat orang tuanya terluka.
“Sudah cukup, Pa. Berhenti mendebat putramu,” kata Diana tiba-tiba. Wanita itu menghela napas sebelum berkata.
“Jika itu inginmu, mama dan papa akan berhenti ikut campur. Jika kamu ingin melanjutkan hubunganmu dengan wanita lain, silakan. Jika dulu kami yang pertama kali mempertemukanmu dengan Shanum, maka kali ini kami juga akan mengakhirinya. Kami setuju jika kalian bercerai. Setelah ini, jangan berharap bisa menemui Shanum lagi. Jika kamu nggak bisa bersikap baik pada Shanum, ceraikan dia. Ingat satu hal, menantu perempuan Mama hanya satu orang, yaitu Shanum. Tidak ada yang lain.”
Shanum dan Sabda terkejut mendengar suara Diana. Wanita itu memilih untuk bangun dari sofa dan berjalan menuju kamar. Kepergiannya menjadi akhir dari segalanya. Sabda berpikir, apakah keputusan yang diambil adalah jalan terbaik?
PERKELAHIAN
Semenjak mengetahui kenyataan bahwa orang tua Sabda mendukung keinginan Shanum untuk cerai, Shanum tak pernah mengharapkan kembalinya sang suami ke dalam hidupnya. Dua bulan kembali berlalu, kata ‘cerai’ juga belum ia terima dari Sabda. Kehidupan pernikahannya tengah digantung.
Akhir-akhir ini pula, Shanum selalu mengkhawatirkan Sabda. Jangan kira dia tak pernah peduli dengan pria yang selalu menyakitinya itu.
Shanum bahkan selalu memikirkan Sabda setiap saat meskipun dia yakin pria itu tidak memikirkannya atau mungkin saja sedang berusaha membujuk Rania agar kembali bersamanya.
Kadang Shanum juga cemas dengan kesehatan pria itu. “Apa Sabda sudah makan? Apa dia makan dengan baik? Apa dia menjaga kesehatan dengan baik?”
Terlepas dari Sabda yang selalu bersikap kurang ajar dan tipikal lelaki brengsek, Shanum masih sah menjadi istrinya dan tentu saja wanita itu selalu mengkhawatirkan Sabda. Sebuah nama yang selalu membuat Arsa cemburu.
“Sebaiknya kamu berhenti mencemaskan suami tidak tahu diri itu, cemaslah pada kondisi anakmu sekarang. Ibunya terlalu sering banyak pikiran,” kata Arsa seraya memotong buah apel di tangannya.
Alasan Arsa bisa berada di rumah Shanum karena beberapa saat yang lalu dia berkunjung ke rumah untuk mengantarkan roti pesanannya. Pria itu mengetuk pintu beberapa kali, tapi tak ada jawaban. Mengingat Shanum sedang hamil, pria itu memaksakan diri untuk masuk ke dalam begitu saja.
Saat pria itu masuk ke rumah, dia melihat Shanum tampak kesusahan berdiri dan butuh bantuan karena perutnya yang sudah tampak membesar. Saat itu di rumah sedang tidak ada orang. Akhirnya Arsa turun tangan untuk membantu.
“Aku tahu, kayaknya ini bawaan hamil, aja, ya.” Shanum beralasan.
Arsa hanya bisa tersenyum getir. Pria itu sudah tahu tentang Sabda. Semua yang pernah pria itu lakukan, Arsa tahu. Dia juga bilang pada Shanum bahwa, Arsa akan memukul Sabda jika suatu saat mereka bertemu.
Ada rasa tidak rela saat melihat wanitanya disakiti dan parahnya lagi, orang yang menyakiti tersebut adalah suami wanita itu sendiri.
“Tak ada yang boleh menyakitimu. Kalau saja aku tahu perlakuannya padamu memang seburuk ini, aku sudah memukulnya dari dulu.”
Tentu saja Shanum tak akan mengizinkan Arsa untuk membuat Sabda babak belur. Seburuk apa pun pria itu, Sabda tetaplah suaminya. Terlebih gugatan cerai itu tak kunjung didapatkan. Dua bulan tanpa kepastian, selama itu pula Shanum tak mengetahui kabar Sabda, dia seolah hilang ditelan bumi.
Shanum justru bersyukur karena masih ada yang peduli padanya. Di tengah keadaan rumit seperti sekarang, Shanum dikelilingi orang-orang baik.
“Makan buah ini, ingat. Kamu harus sehat dan kuat. Kamu tidak boleh sedih terus, katanya anak dalam perut bisa merasakan kesedihan ibunya juga.”
Arsa menyodorkan buah yang sudah dipotong sedemikian rupa ke hadapan Shanum. Dia ingin sekali menggantikan posisi Sabda di hati wanita itu. Andai bisa, pria itu akan menjaganya sepenuh hati.
“Terima kasih, bukankah kamu harus pergi bekerja, Sa? Kenapa masih repot-repot menjagaku di sini?”
“Aku Cuma sedikit khawatir ngeliat keadaan kamu, kalau aku pergi nanti kamu jatuh, gimana?”
“Ayolah, pergi kerja sana. Aku masih punya adik laki-laki yang bisa kujadikan babu.” Shanum mengusir.
“Baiklah, tapi habiskan dulu ini biar bayimu sehat. Atau kamu mau kubelikan yang lain? Bilang saja, ya? Aku akan mencarikannya untukmu.”
Arsa dan seribu perhatiannya. Sebenarnya Shanum tidak mau makan buah, dia ingin yang lain. Lebih tepatnya wanita hamil itu sedang mengidam dan hal paling menyebalkan yang tengah Shanum alami sekarang adalah; dia mengidam sesuatu yang tak mungkin didapatkan.
Sialnya, dia malah mengidam melihat Sabda sekarang. Dia ingin bertemu pria itu.
Bukankah itu tidak mungkin?
Shanum bisa saja meminta Arsa untuk membelikannya sesuatu, tapi jika dia meminta Sabda? Memangnya Arsa akan menurutinya?
“Ayo Sha, sedikit saja.”
“Nanti saja. Aku pasti habiskan.”
“Selalu saja seperti itu, ayo, Sha. Nanti aku-”
Dengan posisi mereka yang masih berada di ruang tamu, Arsa menghentikan ucapannya saat mendengar bel rumah Shanum yang berbunyi. Sepertinya ada tamu, mereka saling pandang sejenak.
“Sepertinya ada tamu,” kata Shanum.
“Biar aku yang memeriksa. Susu dan buah itu harus sudah habis saat aku kembali, ya?” ancam Arsa yang langsung berdiri dan pergi ke depan untuk membuka pintu.
Shanum tidak mau, dia masih mengidam ingin melihat Sabda. Meskipun rasanya akan sangat mustahil, dia benci pria itu, tapi Shanum tidak bohong kalau dia merindukannya.
Arsa berjalan menuju pintu dan membukanya, pria itu terkejut saat mendapati seseorang yang tengah berdiri tepat di hadapannya saat ini, bukannya menyambut tamu itu dengan senyuman, Arsa justru menatapnya tajam.
Meskipun baru bertemu sekali di toko saat itu, tapi Arsa masih ingat jelas wajah pria yang ada di depannya saat ini. Itu pria tak tahu diri yang selalu menyakiti Shanum. Sabda datang ke rumah wanita itu saat Arsa juga sedang berada di sana.
“Kau siapa? Mana Shanum?”
Sabda merasa asing dengan pria di hadapannya, padahal mereka sudah pernah bertemu sebelumnya, tapi Sabda tidak ingat sama sekali, dia terlalu acuh. Dia memang mudah lupa dengan hal kecil seperti itu.
“Kenapa kamu mencari Shanum?”
Sebelah alis Sabda terangkat. “Kenapa? Aku suaminya dan dia istriku.”
“Istrimu? Kamu yakin? Sepertinya kau salah alamat, Bung. Pergilah. Dia tak ada di sini.”
Ucapan Arsa yang barusan sukses membuat pria yang mengaku sebagai suami Shanum menatapnya tajam. Sabda sangat yakin, dia tidak salah rumah. Shanum tinggal di rumah ini semenjak pergi dari rumah Sabda. Dia ingin menemui istrinya bukan ribut dengan pria di hadapannya. Lagi pula ini bukanlah urusannya.
“Memangnya apa urusanmu?” tanya Sabda dingin.
“Jelas ini urusanku. Jika kamu datang ke sini untuk menyakiti Shanum lagi, kau pikir aku akan diam saja? Mau kau suaminya atau siapa pun aku tak peduli. Kau menyakitinya dan kau berurusan denganku.”
Mata Sabda memanas, tangannya mengepal. Mendengar ucapan Arsa yang cukup menantang emosinya menggelegak. Siapa pria ini? Berani-beraninya dia mendekati Shanum.
“Tak usah banyak bicara, di mana istriku?!”
“Kau salah rumah, Bung. Pergilah.”
“Ini rumah Shanum, brengsek!”
“Dia tak ada-”
Sebelum Arsa menuntaskan ucapannya, tiba-tiba saja Sabda mendorong pria itu lumayan keras. Sabda mencoba masuk tapi tentu saja pria itu kembali menahan Sabda untuk tetap di sana.
“Minggir!”
“Aku tak akan membiarkanmu bertemu dengannya!”
Shanum yang berada di dalam langsung terenyak mendengar suara gaduh dari pintu depan. Arsa belum kembali dari tadi. Shanum mulai berpikir, apa yang terjadi di depan kenapa terdengar suara keributan.
Hal itu membuat Shanum beranjak dari kursi untuk melihat siapa yang sedang Arsa temui. Begitu sampai di depan pintu, Shanum terkejut menyaksikan apa yang terjadi. Arsa dan Sabda saling dorong satu sama lain.
Melihat itu juga Shanum sedikit tak percaya karena ternyata di sana ada suaminya. Sabda, pria itu benar-benar datang.
“Hey, berhenti! Apa yang sedang kalian lakukan?”
Suara keras Shanum membuat kedua pria yang saling dorong itu otomatis berhenti dan menatap pada satu titik. Pandangan mereka tertuju pada Shanum.
Saat Sabda lengah, Arsa mendorong pria itu sampai terhuyung ke belakang. Sabda marah karena Arsa mendorongnya secara tiba-tiba.
“Kenapa kalian ribut-ribut di sini?”
“Shanum, apa yang kamu lakukan dengan pria ini!”
Sabda berteriak penuh emosi sambil menunjuk Arsa dengan jarinya. Hal itu membuat Shanum ketakutan.
Sabda memang sering berteriak pada Shanum setiap kali mereka bertengkar, tapi kali ini Shanum ketakutan saat mendengar suara itu. Seolah-olah yang berada di hadapannya sekarang bukanlah Sabda.
Tentu saja Sabda marah karena melihat sosok Arsa berada di rumah wanita itu saat dirinya masih berstatus sebagai suami Shanum. Dia bersikeras memperbaiki semuanya, tapi yang pria itu lihat sungguh di luar dugaan. Apakah Shanum tengah membalas rasa sakit hatinya pada Sabda dengan cara seperti ini?
“Bisakah kau tak berteriak? Istrimu tidak tuli. Dia ketakutan mendengarmu berteriak seperti itu.”
Seolah tak menghiraukan Arsa, kini Sabda melangkah masuk menghampiri Shanum, dan detik itu juga dia langsung menarik kasar tangan sang istri.
“Mas, sakit!”
“Ayo kita pergi, Sha. Kita harus bicara!”
Melihat Shanum yang kesakitan karena tangannya ditarik paksa oleh Sabda, Arsa merasa tak terima, dia pun langsung menahan bahu Sabda.
“Kau pikir kau mau ke mana, huh?”
“Ini bukan urusanmu!” Sabda kembali menarik Shanum, tapi Arsa juga kembali menahannya.
“Setidaknya tak usah menariknya seperti itu!”
Arsa sebenarnya tak masalah jika Sabda membawa Shanum karena dia tahu bahwa pria itu adalah suaminya, tapi bisakah dia tak menarik tangan sang istri sekasar ini?
Terlebih kondisi Shanum tengah hamil dan lemas, apakah pantas pria seperti Sabda disebut sebagai calon ayah bagi bayi yang dikandung Shanum?
“Kenapa? Kau keberatan?”
“Ya, aku keberatan. Kau tak bisa memperlakukannya seperti itu! Dia sedang hamil!”
Jantung Sabda terasa diremas, dia lupa dengan keadaan Shanum saat ini dan Arsa baru saja menyadarkan pria itu. Mengingat Shanum tengah hamil, hatinya sedikit tertohok.
Shanum menarik tangannya dari cengkeraman tangan Sabda. Dia mulai bersembunyi di belakang tubuh Arsa. Sabda tampak sangat mengerikan ketika marah. Shanum yang biasanya sering membalas sikap temperamen Sabda, mendadak tak punya nyali sedikit pun untuk melawan yang dia lihat hari ini sepertinya orang lain.
“Pergi, aku tak mengenalmu. Kamu bukan Sabda. Keluar!” Shanum mengusir dengan wajah ketakutan.
“Sha, jadi begini maumu? Berpisah denganku agar kau bisa bersama dengan pria ini. Itu yang kamu mau?” tanya Sabda berusaha menahan rasa kesal di hatinya.
Sabda mulai berpikir, selama Shanum tak bersamanya, dia bermain dengan pria ini? Atau bahkan jangan-jangan sudah dari lama?
Apakah ini artinya Shanum juga sudah lama selingkuh di belakangnya?
“Kau dengar ucapan Shanum? Sebaiknya kau pergi. Atau kami akan panggil satpam untuk menyeretmu keluar?” usir Arsa dengan tatapan tajam dan menusuk.
Rahang Sabda tiba-tiba mengeras, pria di depannya seolah tak berhenti ikut campur. Sabda heran, apa urusannya dengan mereka. Shanum masih istrinya, dia berhak bicara dengan wanita itu, tapi Arsa bersikap seolah dia memiliki hubungan dengan wanita ini.
“Berhenti ikut campur!”
Suaranya benar-benar menakutkan. Salah satu alasan Shanum meminta Arsa pergi karena hal ini, dia takut akan ada banyak orang yang salah paham. Sekarang pun demikian, Sabda menganggap kedekatan mereka itu lain.
Perlakuan Sabda selanjutnya membuat Shanum maupun Arsa terkejut, pria itu mencengkeram kerah baju Arsa dengan kuat dan kasar.
“Hey, lepaskan!” Arsa berteriak lantang.
Shanum bisa melihat kilatan amarah dari sorot mata pria itu. Sabda menyeret Arsa keluar dari rumah, seolah bersiap untuk menghajarnya sampai babak belur.
“Kau! Kau mau berurusan denganku?”
Sabda diliputi kemarahan, dia menatap Arsa dengan tatapan tajam dan penuh amarah, seolah siap menghabisinya.
“Mas Sabda, hentikan! Apa yang kau lakukan?”
Arsa pun sama saja, dia tak bisa menahan emosinya, tapi dia menahan diri agar tak membuat keributan, Arsa takut Shanum panik atau ikut terluka karena keributan ini. Cukup lama Arsa terdiam sampai akhirnya Sabda memukulnya sampai tersungkur ke lantai.
“Kau berselingkuh di belakangku sejak lama dengan pria ini? Jadi ini maumu, Shanum? Kau mengkhianatiku, tapi bersikap seolah aku yang salah. Apa maumu ha?!”
Shanum mengalami hal ini lagi. Sabda kembali menyakiti tanpa mengetahui kebenarannya. Apa dia pernah mengatakan jika Arsa adalah selingkuhannya? Shanum merasa tidak pernah berselingkuh, pikiran Sabda sendiri yang terlalu berlebihan sehingga menuduhnya telah berselingkuh dengan Arsa.
“Hentikan, Mas! Berhenti bicara omong kosong!”
Ucapan Shanum tak digubris, selanjutnya kedua pria itu malah saling terlibat adu jotos. Terlebih Sabda yang merasa tak terima jika Arsa mengusirnya.
Shanum hanya bisa menangis dan berusaha melerai Sabda karena terus memukuli Arsa yang sulit melawan.
“Mas Sabda, hentikan!” Shanum susah payah menahan tubuh pria itu. “Mas!” Pria itu masih tak mau mendengar.
“Mas Sabda hentikan! Kau menyakitinya!”
“AKU AKAN MEMBUNUHMU!”
Shanum yang tak tahan melihat Arsa terus dipukuli oleh Sabda masih terlihat panik. Dia tak tahu bagaimana cara menghentikan suaminya yang membabi buta dan terus memukuli Arsa tanpa ampun.
Dia tak pernah berpikir untuk selingkuh dari Sabda, Arsa bahkan tak pernah melakukan apa pun padanya. Bagaimana bisa Sabda menuduh istrinya berselingkuh dengan lelaki lain?
“Mas Sabda, kumohon hentikan!”
Sabda yang emosi melihat istrinya dekat dengan lelaki lain dan Arsa yang tidak terima melihat Shanum diperlakukan secara kasar. Kedua pria itu seolah bertarung memperebutkan sesuatu yang memang tidak seharusnya menjadi bahan rebutan.
“KALIAN BERDUA, TOLONG BERHENTI!” jerit Shanum murka. Tatapan tajamnya kini mengarah pada Sabda. “Bagaimana bisa kau menuduhku berselingkuh sedangkan anak yang sedang kukandung ini adalah darah dagingmu!”
Napas Shanum tersengal, dia memberanikan diri untuk berteriak pada Sabda. Teriakan nyaring Shanum berhasil membuat Sabda teralihkan, dia yang tadinya akan memukul Arsa kembali, otomatis berhenti.
“Kenapa kamu tak bertanya pada dirimu sendiri apa yang sudah kamu lakukan padaku? Kamu yang terang-terangan masih mencintai kekasih simpananmu itu. Arsa bahkan tak pernah melakukan apa pun padaku! Kenapa kamu menuduhku berselingkuh?!”
Shanum tak tahu apa yang ada di pikiran Sabda sampai hati dia menuduh istrinya berselingkuh dengan Arsa. Padahal pria itu tak pernah macam-macam padanya.
“Dia selalu menjagaku, Mas, dan bayi yang aku kandung bukan anaknya! Tapi anakmu!”
Bersambung…