SELINTAS KENANGAN
Cahaya putih berseri memancarkan keindahannya. Menerangi seisi ruangan besar tanpa tiang penyangga. terdengar deru-deru angin membawa pergi awan yang saling berarak teratur menciptakan lukisan terindah-Nya.
Tempat itu terasa sepi dan sunyi. Hanya suara alat-alat di sana yang berbunyi mengisi kekosongan yang tercipta. Seolah mereka adalah satu-satunya penghuni yang menempati tempat tersebut.
Di salah satu ranjang rumah sakit, seorang pria tengah terbaring tak sadarkan diri. Meskipun lukanya sudah diobati. Namun, kondisinya tak kunjung mengalami kemajuan. Rafalan doa tak henti keluar dari mulut seorang perempuan yang duduk tepat di sampingnya.
“Kamu gak lelah tidur selama dua hari ini?”
Shanum bertanya dengan nada putus asa. Menatap lekat pria yang masih terpejam dengan beberapa luka di wajahnya.
“Aku janji setelah ini gak akan memarahimu lagi hanya karena Rania. Maafkan aku. Tolong bangun, Mas Sabda.”
Kondisi Sabda yang sangat jauh dari kata baik-baik saja membuat air mata Shanum terus berjatuhan, dia menatap Sabda yang terbaring lemas dengan penuh kekhawatiran.
Meskipun Shanum sudah terbiasa merawat Sabda di kala sakit, tapi kondisi kali ini lebih menyakitkan lagi. Shanum masih tak menyangka Sabda akan mengalami sebuah kecelakaan tragis.
Sudah dua hari Sabda tertidur, dia belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Dokter bilang kepalanya mengalami benturan cukup keras sehingga hal tersebut menyebabkan Sabda belum sadar sampai saat ini. Shanum tetap setia menunggu.
Bayi dalam perut Shanum tampaknya memahami kondisi sang ibu, Shanum tidak merasa kesakitan atau lemas ketika berada di rumah sakit menjaga Sabda selama dua hari.
Setelah cukup lama menjaga suaminya, Shanum memilih untuk keluar dari ruangan di mana Sabda berada. Tepat saat Shanum keluar, seorang gadis duduk seorang diri di salah satu kursi tunggu rumah sakit. Dia mendongak saat mendengar pintu ruangan tersebut ditutup.
Shanum terkejut melihat keberadaan Rania di sana. Shanum bertanya-tanya sejak kapan gadis itu berada di sini. Apakah Rania menunggu Sabda seperti dirinya?
Rania bangkit dari duduknya lantas menghampiri Shanum dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Mata Rania tertuju pada perut wanita itu yang mulai membesar, melihatnya saja sudah cukup membuat hati Rania tersayat.
“Mbak, sepertinya Mbak butuh istirahat. Sebaiknya Mbak Shanum makan dulu, biar aku yang berjaga di sini. Mertua Mbak Shanum masih belum datang, kan?”
Rania berkata tanpa beban. Shanum mengernyit mendengar ucapan gadis itu. Entah kenapa Rania begitu berani mendatangi rumah sakit. Bagaimana kalau keluarganya bertemu dengan Rania? Wanita itu tak habis pikir.
“Tidak apa-apa, Rania. Kamu sedang apa di sini? Sebaiknya kamu pulang. Justru lebih berbahaya kalau kamu ada di sini berduaan dengan Mas Sabda.”
“Kemarin aku sudah pulang, tapi aku tak bisa tidur karena terus mencemaskan kondisi Mas Sabda. Setidaknya izinkan aku untuk melihat Mas Sabda sadar kembali, Mbak.”
Sungguh pengakuan yang sangat di luar dugaan. Mungkinkan Rania masih mencintai Sabda, karena itu dia sangat cemas padanya. Shanum paham itu, tapi dia malas untuk membuat keributan di rumah sakit.
“Istirahatlah. Jangan lupa, Mbak. Kamu sedang hamil.”
Bukannya Shanum tidak peduli pada janin di dalam perutnya, tapi bagaimana dia bisa tenang karena keberadaan Rania? Rumah tangga yang berantakan, orang ketiga, dan kondisi Sabda yang belum sepenuhnya sadar membuat Shanum benar-benar kewalahan.
Seharusnya Rania mengerti untuk tidak menambah beban Shanum.
“Aku tidak bermaksud mengganggu hubungan rumah tangga kalian. Aku terlalu cemas dengan kondisi Mas Sabda. Begitu pihak rumah sakit menghubungiku kalau dia kecelakaan. Dunia seakan runtuh tepat menimpa kepalaku.”
Rania menjelaskan kegelisahan yang tengah menimpanya kini, meskipun benar mereka sudah berpisah, tapi perasaan Rania tak seutuhnya pergi. Ada ruang khusus di hatinya meskipun dia tahu Sabda tidak mungkin bisa dimiliki.
“Aku berterima kasih padamu karena sudah bergegas ke sini ketika tahu Mas Sabda kecelakaan.” Shanum berkata penuh ketulusan.
Meskipun sakit karena bukan dirinya atau pihak keluarga yang dikabari lebih dulu tentang hal ini. Shanum tetap bersikap tegar seolah dirinya tak merasakan sakit sama sekali.
Shanum malah kesal sendiri, kenapa ada perempuan yang begitu menginginkan Sabda? Padahal orang itu tahu Sabda sudah beristri. Dulu mungkin Shanum bisa memaklumi alasan Rania sangat mencintai Sabda. Namun, sekarang dia sudah tahu bahwa Shanum adalah istrinya.
Kenapa Rania masih terus menempel pada Sabda, bukankah dia bilang ingin mengakhiri hubungan mereka?
Mereka berbincang sebentar. Shanum bersikeras menyuruh Rania untuk pulang saja karena tak lama lagi keluarga suaminya akan datang. Meski kerap sebal dengan perselingkuhan kotor antara suaminya dan wanita ini. Namun, Shanum masih punya nurani. Dia tak ingin Rania menjadi bulan-bulanan amarah ayah Sabda.
“Baiklah aku akan pergi, tapi kabari aku kalau Mas Sabda sudah sadar, Mbak. Aku mohon.”
Rania memohon dengan sangat, seolah kesadaran Sabda adalah satu-satunya hal yang paling berharga untuknya. Tidak hanya bagi Shanum.
“Tentu, mungkin dia akan sadar sebentar lagi. Dokter bilang begitu.”
Rania menghela napas, tersenyum pahit mendengar jawaban Shanum yang kelewat dingin. Dia sadar dirinya sangat tak tahu diri, tapi Rania tidak punya pilihan. Hatinya terus gelisah menunggu Sabda.
“Rania, pulanglah lebih dulu. Aku akan memastikan Mas Sabda sehat kembali. Jangan khawatir, kamu juga butuh istirahat.”
Secuil perhatian dari Shanum membuat Rania mendongak. Shanum tak bermaksud untuk berbaik hati pada selingkuhan suaminya, dia hanya mengusir Rania secara halus.
“Baiklah, tapi tolong kabar aku, ya, Mbak.”
Shanum hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. Perlahan Rania berbalik meninggalkan Shanum dengan langkah gontai. Setelah Rania pergi dari hadapannya, Shanum kembali masuk ke ruangan di mana Sabda masih terbaring.
Helaan napas keluar dari mulutnya. Shanum merasa seperti sedang berdiri di medan perang dan menghadapi musuh yang sangat sulit ditaklukkan. Semua kekuatannya seperti terkuras.
Shanum duduk kembali di samping ranjang, memperhatikan wajah suaminya yang tertidur. Sabda adalah pria yang baik, tapi buruk saat menjadi suami. Kenangan mereka saat hidup bersama kembali berputar seperti kaset rusak yang terus dipaksa menampilkan memori.
Tak ada kebahagiaan, Shanum tahu itu. Selama lima tahun hubungan mereka berjalan, kedamaian hanya bisa dihitung jari, sementara pertikaian hampir setiap hari mendominasi.
“Sabda, seandainya dulu kita tidak bertemu, mungkin kamu sudah menikah dengan wanita yang benar-benar kamu cintai. Bukan aku.”
Shanum paham betul bahwa sejak awal mereka tak saling mencintai, hubungan mereka berdasarkan perjodohan antar keluarga untuk memperkuat ikatan bisnis.
Kendati punya kuasa untuk menolak. Namun, Sabda tidak bisa begitu saja mengecewakan orang tuanya. Sementara Shanum, sejak awal dia tidak tertarik dengan pernikahan. Namun, begitu melihat Sabda, entah kenapa dia bisa menerima.
Shanum tidak kaget ketika di malam pertama pernikahan Sabda lebih memilih untuk tidur di sofa ketimbang menyentuh istrinya. Dia tidak pernah bersikap manis layaknya pasangan pengantin baru, dia bicara seperlunya pada sang istri.
Perlakuan-perlakuan dingin itu Shanum terima. Awalnya, dia memaklumi mungkin karena baru pertama kali saling mengenal. Shanum juga tak terlalu mempermasalahkan. Namun, siapa sangka. Ketidakwajaran itu berlangsung cukup lama.
Tahun demi tahun berganti, Shanum tak pernah sedikit pun mendapat cinta dari suaminya. Dia memendam semuanya sendiri. Puncaknya hal itu membuat Shanum lelah dan emosi bagaikan bom waktu yang suatu saat bisa meledak. Shanum menjadi lebih sering marah dan ribut.
Shanum benar-benar dibuat mati rasa.
Kata orang, wanita dengan basic yang terlalu independen atau mandiri akan lebih sulit untuk diarahkan, bahkan cenderung egois, ambisius, dan keras kepala. Perlu digaris bawahi bahwa ….
Tidak ada wanita yang terlahir dari basic seperti itu. Keadaanlah yang menuntunnya keluar dari fitrahnya sebagai seorang wanita.
Ruangan kembali menjadi senyap seperti semula. Tidak ada lagi suara gaduh yang terdengar. Shanum sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri.
Di saat tengah merenung, jari jemari Sabda tiba-tiba bergerak. Meski pelan, Shanum bisa menangkap penggerakan tersebut. Perempuan itu langsung bangun dari kursinya. Matanya membulat, dia menatap Sabda yang perlahan sudah siuman.
KESADARAN SABDA
Setelah sadar dari tidur panjangnya, Sabda menjadi sedikit pendiam dan tidak banyak bicara. Dia lebih banyak merenung, ketika orang lain bertanya, dia hanya menjawab dengan anggukan atau gelengan kepala.
Dokter bilang kondisi Sabda dan organ vitalnya stabil. Hanya saja, Sabda akan merasakan efek trauma setelah kecelakaan yang sempat menimpa. Shanum mengerti, dia akan menjaga Sabda selama pria itu dalam masa pemulihan.
Wajahnya masih pucat pasi. Setidaknya perkembangan ini yang dinanti Shanum. Mereka sedang berada di ruang perawatan. Diana pamit pulang untuk mengurus keperluan lain, membiarkan menantunya yang mengurus. Shanum mengerti dia menjaga Sabda sendirian sekarang.
Sebagai seorang istri dia diharuskan tetap berada di samping suami apa pun kondisinya. Baginya, keluarga tetap nomor satu. Karena kesibukan bekerja tidak mampu membayar kenikmatan bersama keluarga tercinta. Begitu prinsipnya.
Shanum belum mengabari Rania mengenai Sabda yang mulai siuman. Dia ingin mengabarinya nanti saja. Pasalnya, Shanum tak ingin berhadapan lagi dengan perempuan itu.
Shanum tengah menyuapi suaminya dengan bubur, setelah beberapa jam berkutat dengan berbagai pemeriksaan. Akhirnya Sabda sudah diperbolehkan makan. Semoga saja kedua pasangan itu bisa akur kembali, meskipun sebelumnya tidak pernah ada kedamaian dalam rumah tangga mereka.
“Satu suap lagi, ya?”
Shanum menyodorkan sesendok bubur ke hadapan suaminya. Hanya gelengan lemah yang dijawab oleh Sabda setelah beberapa kali Shanum menawarkan bubur itu padanya. Hingga akhirnya Shanum menyerah. Ditaruhnya mangkuk berisi sisa bubur di atas nakas. Lalu mengambil segelas air mineral untuk diminumkan pada pria yang sedari tadi hanya duduk bersandar di atas ranjang.
Mata pria itu menatap kosong sang istri yang sibuk membujuknya untuk makan dan minum. Sabda tak bisa mengingat dengan jelas kejadian waktu itu. Meskipun demikian, bayang-bayang kecelakaan tragis hari itu masih sering masuk ke alam bawah sadarnya. Seakan memancing trauma pria itu untuk datang lagi.
“Ayo sekarang berbaringlah.”
Shanum menuntun Sabda untuk segera mengubah posisinya. Sabda menahan tubuhnya. Menolak perlakuan itu. tak peduli bagaimana rasa sakit yang menimpa. Dia merasa tidak tenang setelah sadarkan diri.
“Kenapa? Apa tubuh Mas sakit? Kalau sakit akan kupanggilkan dokter.”
Shanum tidak tahu harus bersikap bagaimana pada Sabda. Di sisi lain dia kesal pada pria itu yang masih saja dekat dengan Rania, tetapi di sisi lain pun dia masih mencintainya. Kadang Shanum ragu dengan perasaan cinta yang muncul di hatinya. Entah kenapa Shanum bertahan sejauh ini, apakah itu selaras dengan perasaannya?
“Aku baik-baik saja.”
Ucapan Sabda begitu datar dan dingin, seperti es. Shanum tak bisa berbuat banyak. Sabda memang terbiasa sedingin ini padanya. Namun, setelah semua hal yang terjadi, baru sekarang dia benar-benar terluka karena pria itu acuh padanya.
“Baiklah, kalau sakit akan kupanggilkan dokter.” Shanum menjawab sekenanya. “Sebaiknya kamu beristirahat. Mama sedang ada urusan. Mungkin dia akan datang nanti sore.”
Sepasang iris cokelat itu menatap Sabda teduh dengan tulus. Sabda masih saja terdiam, kondisi ini membuat mereka menjadi sangat canggung. Shanum ingin bersikap biasa saja, tentu saja itu suatu hal yang sulit bagi Shanum.
Apalagi setelah Rania datang tadi. Ada sesuatu yang mengganggu perasaannya sejak melihat gadis itu berada di sana, tetapi dia selalu mencoba menepis perasaan tidak masuk akal itu.
“Apakah kamu sudah mengurus proses penceraian kita?”
Sabda bertanya tiba-tiba. Namun, pertanyaannya seolah merobek paksa hati Shanum. Mereka sekarang sedang berada di rumah sakit, tidak seharusnya Sabda bertanya tentang hal itu.
“Ke-kenapa kamu membahas soal penceraian sekarang?” tanya Shanum hati-hati.
Sabda terdiam, dia tak menjawab apa pun. Hal itu membuat Shanum ikut terdiam. Sepertinya Sabda memang butuh istirahat. Mungkin benturan keras di kepalanya membuat jalan pikir pria itu terganggu sehingga dia memikirkan hal yang tidak-tidak.
“Kenapa harus membahas penceraian di saat kamu baru siuman? Jangan memikirkan hal itu dulu.”
Shanum bertanya balik dengan tenang. Sabda tak menjawab semua ucapan Shanum. Dia sebenarnya tidak mau membahas hal ini, haruskah Sabda membahas Rania di saat keadaannya belum sepenuhnya pulih?
Sabda mengatupkan bibirnya. Seperti menahan segurat rasa gelisah yang menjalar. Dia gelisah bukan karena sisa-sisa perasaan yang lalu belum mau pergi, tapi pada keadaan rumah tangganya kini yang seperti di ujung tanduk.
Tidakkah dia tahu bahwa sangat sulit membuang perasaan itu? Dia bahkan sudah berusaha menjauh dari Rania. Sabda bukannya ingin kembali pada gadis itu, dia hanya memikirkan ucapan ayahnya tempo hari tentang dirinya yang sebaiknya bercerai saja dengan Shanum daripada membuat wanita itu semakin tersakiti.
Sabda merasa apa yang dia alami sekarang adalah sebuah teguran akibat semua kesalahan yang dia lakukan pada Shanum.
Shanum sendiri tak mengerti apa yang ada di pikiran Sabda. Apakah pria itu mau melayangkan gugatan di saat dirinya tengah terbaring sakit? Seharusnya izinkan Shanum merawatnya terlebih dahulu.
“Pergilah istirahat atau makan. Aku sudah baikan,” kata Sabda sekaligus berusaha mengalihkan topik yang terasa tidak menyenangkan.
“Aku makan nanti saja, aku masih kenyang” tolak Shanum.
“Kenyang makan apa?”
Alih-alih menjawab, Shanum malah mengarahkan pandangannya ke arah suaminya. “Dengan melihatmu sudah sadar, rasa lapar dan lelah pun seakan enyah begitu saja, tapi alasanku tidak mau makan pun sebenarnya bukan hanya itu, Mas. Aku tak terbiasa makan makanan rumah sakit, anak ini menolaknya.”
Sabda terhenyak, di saat dirinya sibuk memikirkan masalah penceraian, Sabda lupa bahwa Shanum tengah berbadan dua. Ada kehidupan baru dalam perutnya, dan itu adalah hasil dari perbuatan Sabda.
Rasa canggung kembali terasa, Shanum mengerti kalau pria itu pasti tak nyaman dengan kondisi seperti ini.
“Oh iya, tadi Rania ke sini. Dia ingin tahu keadaanmu. Dia juga yang pertama dihubungi pihak rumah sakit saat kamu kecelakaan.”
Shanum memasang ekspresi tenang ketika mengatakan hal itu, Sabda mendongak. Dia jadi merasa tak enak pada istrinya. Untuk ke sekian kalinya, Sabda menyesal karena sudah membuat Shanum lagi-lagi berurusan dengan Rania.
“Tolong makan,” kata Sabda akhirnya. Suaranya terdengar berat. Sabda ingin Shanum berhenti mengungkit hal itu.
“Nanti saja, aku benar-benar tidak lapar.”
Shanum kembali merebahkan tubuh Sabda di ranjang, kali ini tanpa penolakan apa pun. Dia seolah-olah melupakan kondisinya yang juga butuh istirahat. Shanum tidak terbiasa makan makanan rumah sakit, di rumah pun dia mual terus, apalagi di tempat ini.
Keadaan semakin canggung ketika Sabda berhenti memaksa Shanum untuk pergi makan. Dia tak bisa mengatakan apa pun ketika istrinya sudah kekeuh pada pendiriannya.
Rasanya seperti ditarik kembali pada dimensi lain, saat-saat di mana Sabda terbaring sakit karena demam berdarah yang menyiksa. Shanum adalah orang pertama yang harus merawat dan menjaganya selama seharian di rumah sakit. Bahkan Shanum sering kedapatan tengah tertidur di sisi Sabda seraya merebahkan kepalanya di sisi ranjang.
Meski terkesan kasar dan dingin, tapi Shanum juga seorang wanita. Dia seorang istri yang mengerti dengan kewajibannya sendiri.
“Aku mau pergi ke luar menemui mama Diana, kayaknya beliau sudah tiba. Nanti aku kasih tahu kalau kamu sudah makan.”
Shanum pamit pada suaminya yang masih terbaring lemah. Sabda tak menahan, dia membiarkan Shanum pergi. Sabda juga menyadari perubahan pada badan Shanum, dia yang dulu berisi, sekarang tampak sedikit kurus, ditambah perutnya yang sudah mulai terlihat membesar.
Sabda benar-benar menyayangkan hal ini, kenapa Shanum harus hamil di saat keadaan rumah tangganya tengah retak dan nyaris hancur.
Sabda jadi penasaran, apakah dia makan dengan baik? Apakah Shanum tidur dengan baik?
Sepeninggal Shanum dari dalam ruangan, Sabda termenung menatap langit-langit dalam ruangan tersebut. Dia bingung harus bersikap bagaimana. Sejujurnya, Sabda tak bisa terus mempertahankan Shanum, wanita itu layak bahagia. Dia tak ingin terus menyakiti perempuan yang selama lima tahun ini menemaninya.
Tapi … Sabda juga masih berat untuk menerima keputusan tersebut. Mungkin benar apa yang Shanum katakan tempo hari. Sepertinya Sabda mulai jatuh cinta padanya.
Bersambung…