QUALITY TIME
“Hari ini kudengar papa akan datang ke rumah.”
Sabda berujar di sela-sela mengancingkan kemeja miliknya. Sementara itu, Shanum di belakang sedang sibuk mengemasi barang. Sabda tampak frustrasi. Sesuatu yang membuat Shanum heran, tidak biasanya Sabda secemas itu.
“Memangnya kenapa kalau papa akan berkunjung ke sini?”
“Masalahnya, aku tidak punya waktu untuk bicara dengan papa.”
Tentu saja Sabda cemas. Hari ini, Sabda akan berangkat ke luar kota karena urusan pekerjaan, tapi barusan papanya memberi kabar bahwa beliau akan bertandang ke rumah untuk membahas hal penting terkait saham yang mereka bicarakan tempo hari.
Sabda yang saat itu tengah terburu-buru terpaksa membatalkan niat papanya untuk datang. Dia bilang akan menemui beliau begitu pekerjaannya di luar kota sudah selesai.
Sabda harus berangkat hari ini, beberapa pakaian dan barang lainnya sudah Shanum masukkan ke dalam koper. Wanita itu tampak repot memastikan tak ada satu pun barang penting yang tertinggal.
“Aku tidak bisa menemui papa sekarang karena jadwalku bentrok.”
“Oh begitu,” jawab Shanum. “Kalau ini memang sangat mendesak, lebih baik kamu segera pergi saja, biar aku yang bilang ke papa kalau kamu sedang ada urusan bisnis.”
Mantel tebal berwarna cokelat yang Shanum temukan di rak gantung menjadi pilihan. Wanita itu membawanya pada Sabda, tidak peduli dengan pekikan protes dari pria itu.
“Bisakah kamu tidak memilihkan pakaian yang warnanya norak? Itu alasanku tidak pernah suka memakai pakaian yang kamu siapkan,” protes Sabda.
“Aku lebih mementingkan kegunaannya ketimbang warna. Lagipula kota tempatmu bekerja itu cuacanya sangat dingin saat malam hari. Kamu juga butuh kehangatan.”
Shanum tetap berdalih, dia tidak peduli dengan pekikan protes dari Sabda. Memangnya kapan Shanum peduli dengan itu? Dia akan melakukan apa pun yang dia mau tanpa mempedulikan Sabda suka atau tidak.
Sebenarnya Sabda tak terlalu menyukai warna cokelat. Namun, karena mantel tersebut adalah pilihan istrinya, tak ada salahnya ia mencoba, bukan?
Ayah mertuanya pernah berkata, “terkadang, pilihan istri adalah pilihan terbaik yang sebenarnya jarang para suami sadari. Nanti, kalau kamu sudah menikah, dengarkan saja apa kata istri. Jangan kata-katamu saja yang harus didengarkan. Sama-sama membina rumah tangga, sama-sama memahami pasangan kita. Itu salah satu resep dari Ayah, agar pernikahan kita kekal sepanjang hayat.”
Teringat dengan pesan tersebut, mau tak mau Sabda menerima pilihan istrinya. Lagipula dia tidak punya waktu untuk berdebat lebih lama.
“Terima kasih,” kata Sabda datar. Namun, hal itu tidak mengurangi rasa bahagia Shanum.
Bahagia sebab semakin ke sini Sabda tak sekeras biasanya, meski terkadang Shanum masih suka kesal setiap kali Sabda membantah semua ucapannya. Untung saja Shanum sudah terlatih menghadapi itu.
Sabda menarik kopernya sambil melangkah keluar dari kamar. Persiapan perjalanan beberapa minggu sudah Shanum taruh di dalam koper besar itu.
Shanum benar-benar sudah terbiasa dengan kepergian Sabda. Pekerjaan suaminya cukup menguras waktu dan tenaga, Shanum selalu bersikeras ingin ikut ke mana pun Sabda pergi. Namun, pria itu tidak pernah mengizinkan.
“Bagaimana, apakah ada yang tertinggal?” tanya Shanum memastikan.
Sabda memeriksa jas yang dia kenakan. Dia pikir semuanya sudah lengkap dan tak ada barang penting yang tertinggal.
“Haruskah aku ikut saja denganmu seperti usul Mama?” tanya Shanum begitu melihat Sabda keluar dari kamar.
“Sudah kubilang jangan suka membantah ucapanku. Aku bisa jaga diri.”
Sabda menanggapinya dengan sinis, padahal Shanum hanya bercanda. Pria itu sangat kaku dan Shanum memahaminya. Entah Shanum yang salah bicara, atau Sabda yang tak bisa diajak bercanda. Setiap kali Shanum menyinggung hal remeh, pria itu selalu menanggapinya dengan emosi. Untung saja dia sudah benar-benar terbiasa.
Lagipula yang selalu menyarankan Sabda agar pergi ke luar membawa istri adalah ibunya sendiri. Kenapa pria itu marah hanya karena ditemani?
“Bisakah kamu menjawab dengan lemah lembut? Aku cuma bertanya saja. Kenapa responsmu selalu menyebalkan sekali, Mas? Lagipula aku tidak peduli dengan hal-hal bodoh yang kamu lakukan di luar sana!”
“Untuk apa kamu ikut? Bukankah kita memiliki kesibukan masing-masing? Baiklah, untuk seminggu ini kamu bisa melakukan apa pun yang kamu suka selama aku tak ada. Aku pergi sekarang. Hati-hati di rumah.”
Bagi Shanum, ini adalah pesan termanis yang suaminya ucapkan setelah lima tahun mereka hidup bersama. Hal itu sukses membuatnya melebarkan senyum.
“Kamu juga hati-hati di jalan. Jangan lupa mengabariku kalau sudah sampai.”
***
“Kita pergi ke tempat lain dulu, bagaimana?”
“Ke mana? Jangan bilang kamu mau mengajakku naik ke puncak gunung.”
Sabda menarik dagu Rania kemudian tersenyum. “Aku ngajak kamu seneng-seneng kok,” ucap Sabda kemudian melepaskan tangannya dari dagu sang kekasih.
Sabda dan Rania kini sedang dalam perjalanan menuju bandara, mereka berdua hendak pergi ke suatu tempat. Tempat yang tentunya jauh dan bebas dari teror Shanum.
Ya, Sabda bohong soal kepergiannya ke luar kota untuk bekerja. Dia pergi ke luar kota untuk liburan bersama Rania. Hal itu dilakukannya agar Shanum tidak mengamuk seperti biasa. Terlebih dia sudah berjanji pada kekasihnya untuk pergi jalan-jalan.
“Aku ingin memperlihatkanmu sesuatu. Sesuatu yang belum pernah kamu lihat sebelumnya.” Sabda tersenyum penuh arti.
“Apa itu? Jangan bilang kamu mau bawa aku ke hutan,” kata Rania sedikit khawatir.
Sabda tertawa mendengar kecemasan Rania, kepala gadis itu dipenuhi tanda tanya tentang rencana Sabda kini. Dia senang bisa menghabiskan waktu bersama pria itu setelah cukup lama dibuat overthinking mengenai siapa wanita di belakang Sabda.
Sebenarnya Rania masih suka kepikiran tentang perempuan cantik yang dia temui tempo hari dan perempuan itu menyebutkan nama Sabda. Rania selalu berharap dia hanya salah dengar, ada banyak sekali nama Sabdatama di dunia ini.
“Setelah satu bulan ini terlewati, aku sadar belum pernah ngajak kamu ke luar pulau menikmati keindahan di sana. Aku sadar kalau kamu butuh refreshing juga.”
“Tumben kamu ngajak aku refreshing, biasanya kamu lebih ngutamain pekerjaan daripada aku.” Rania sedikit cemberut ketika mengatakan hal itu.
“Iya, karena itu aku minta maaf. Mulai sekarang, aku tidak akan mengabaikan kamu dan aku akan membawa kamu ke mana pun kamu mau. Jangan memikirkan soal biaya.”
Rania sedikit tertegun. Setiap hari libur tiba, biasanya dia lebih senang menghabiskan waktu dengan tidur atau nonton drama Korea.
“Jadi, aku tak menerima penolakan sekarang,” ucap Sabda. “Karena pesona pariwisata negara kita itu, bukan Cuma indah. Tapi … bikin nagih.”
Rania hanya mengernyitkan dahinya. Sebagai seorang introvert, dia tidak terlalu peduli dengan alam atau apa pun. Bisa tidur di rumah, nonton TV, dan baca novel tanpa gangguan adalah kebahagiaan yang hakiki untuknya.
Akan tetapi, usul Sabda tidak terlalu buruk. Liburan sesekali juga perlu, mereka belum pernah jalan-jalan di luar kota sebelumnya. Mungkin akan menyenangkan jika menghabiskan waktu sejenak bersama Sabda seharian.
“Tapi serius, ‘kan, kamu gak ada pekerjaan penting dari kantor? Atau kamu sengaja ambil cuti?”
Sabda tertawa. “Tidak, aku memang sudah menyelesaikan semuanya, makanya bisa ngajak kamu liburan. Jangan cemaskan soal pekerjaanku, kamu hanya perlu menerima saja.”
Mendenga jawaban Sabda, Rania mulai tersenyum antusias. Akhirnya hari indah itu tiba. Dia bisa melakukan quality time bersama kekasihnya. Bahkan lebih membahagiakan lagi, Sabda hendak membawanya ke tempat yang sangat jauh.
“Kalau bohong lagi, aku gak mau diajak jalan-jalan sama kamu,” kata Rania sedikit mengancam.
“Oke, Nyonya Nayaka. Aku akan memastikan liburan kali ini kondusif. Jangan cemas.”
Rania tertawa mendengar ucapan Sabda, dan tanpa diduga Sabda mengecup pipi Rania. Membuat wanita itu terkejut.
SHANUM SAKIT
Sabda dan Rania sampai di Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, pada pukul empat sore waktu setempat. Di mana Sabda membawa Rania untuk menginap di sebuah hotel yang tidak terlalu jauh dari kawasan pantai.
Keduanya beristirahat sejenak di hotel sekaligus berbenah diri. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan karena hari semakin malam. Sabda hanya mengajaknya melihat pantai, kemudian mengajak sang kekasih makan malam di sebuah resto hotel tempat mereka menginap.
Malamnya, mereka kembali beristirahat. Untuk melepaskan kepenatan dari perjalanan yang cukup panjang yang sudah mereka lalui.
“Tidak apa-apa kalau kita liburan jauh begini? Tapi, bukankah seharusnya kita tidur beda ranjang.”
Sabda yang tengah melepas penat langsung menoleh pada Rania yang telentang di kasur. Dia kelelahan karena perjalanan panjang dan tidak sesuai rute. Rania sendiri tidak menyangka bahwa dirinya akan dibawa liburan sampai ke luar kota oleh kekasihnya.
Sabda terkekeh mendengarnya kemudian beringsut naik ke ranjang. Kali ini debaran jantung Rania makin terpacu di dalam sana, terlebih Sabda yang seenaknya mendekat tanpa memakai pakaian.
“Hey, Mas Sabda. Pakai dulu pakaianmu. Jangan tidur dengan bertelanjang dada seperti itu!” omelnya.
Bukannya mendengarkan perintah Rania, Sabda justru semakin mendekat sehingga membuat Rania bingkas duduk di atas ranjang.
“Aku mau minta maaf,” katanya pelan. “Maaf sudah membuatmu kecewa. Ingatkan aku untuk tak lagi mengulanginya “
Rania tertegun mendengar kalimat itu, bersamaan dengan tatapan teduh yang Sabda berikan. Rania seperti dihipnotis. Pesona sang kekasih memang terlalu meluap-luap.
Shanum yang merupakan istri sah saja mengakui kharisma seorang Sabda, apalagi Rania yang hanya sebatas kekasih simpanan.
“Maaf untuk apa?” pancing Rania.
“Untuk semua hal yang membuatmu kesal dan sedih belakangan ini.”
Rania tertegun, dia memang sedih dan kesal pada Sabda. Namun, dia sendiri tidak pernah membayangkan bahwa pria itu akan melakukan hal di luar dugaan demi bisa dimaafkan.
“Aku sudah memaafkanmu.”
“Jangan marah lagi, kadang aku lebih suka cemburumu. Daripada senyum yang mewakili kepergianmu.”
Rania tersenyum geli mendengar kalimat tersebut. Dari mana Sabda punya kosa kata hiperbola macam itu? Rania hanya bisa menatapnya dengan wajah sayu karena lelah.
“Tidur saja, ya, besok perjalanan kita akan lebih panjang. Pasti banyak juga tempat yang mau kamu tuju, ‘kan?
Rania tidak tahu apa rencana mereka esok pagi, mungkin hanya sebatas jalan-jalan saja di pantai. Lagipula dia belum tahu mau pergi ke mana karena diajak secara mendadak oleh Sabda.
“Mas, hentikan!”
Rania mendorong tubuh Sabda saat pria itu dengan nakal mencubit hidungnya sampai sesak napas. Rania tidak mau mengambil risiko dengan hubungan mereka yang saat ini terlalu dekat.
“Habisnya kamu menggemaskan saat sedang bingung. Apa yang kamu cemaskan, hm?”
“Tidak ada, katamu kita harus segera tidur sekarang. Cepat sana pergi, lebih baik kamu tidur di sofa!”
Mengabaikan ucapan Rania, tanpa aba-aba Sabda justru menggelitiki pinggang Rania sampai gadis itu terpingkal karena geli.
“Mas Sabda, hentikan. Ini geli!”
***
Shanum menengok ke arah jam dinding, pukul delapan malam. Sudah lebih tiga jam dia terbaring di ranjang tanpa bisa melakukan apa-apa, sekujur tubuhnya pegal, suhunya cukup panas. Shanum demam.
Dia berniat untuk menelepon Sabda dan memberitahu kondisinya. Namun, sampai panggilan yang kelima, ponsel pria itu masih tidak aktif. Shanum menghela napas. Untuk sebatas membuka mata pun rasanya cukup berat.
“Kenapa aku harus sakit di saat Mas Sabda tak ada? Apakah aku masuk angin karena kemarin pulang malam?” Shanum bermonolog sendirian.
Gadis itu berusaha untuk bangkit dari tidurnya. Namun, setiap kali memaksakan diri untuk bangun, kepalanya mendadak sakit luar biasa. Hal itu membuatnya mengurungkan niat dan memilih untuk merebahkan diri kembali.
Di rumah ini hanya ada dirinya dan beberapa pelayan. Bukannya Shanum tidak mau dirawat oleh pembantu di rumahnya. Hanya saja, setidaknya Sabda harus tahu kabar istrinya kalau dia sedang jatuh sakit dan demam tinggi.
“Kayaknya Mas Sabda memang benar-benar sedang sibuk dengan urusan kantornya, sampai-sampai nomornya tidak aktif.”
Shanum memilih untuk beristirahat kembali. Selimut tebalnya dia tarik sampai leher, guna mengusir rasa dingin yang mendera. Shanum harap besok dirinya sudah membaik.
***
Ada satu hal yang paling membuat Rania malas ke luar dan lebih memilih menghabiskan waktu dengan menonton drama Korea di dalam kamar. Salah satu hal itu adalah, cuaca panas. Matahari yang membuat silau pandangan dan membuat kulit terancam gelap.
“Mau ke mana sih, Mas? Panas sekali di sini,” tanya Rania sedikit menggerutu dan memasang wajah cemberutnya. Dia melangkahkan kaki mengikuti langkah Sabda dengan berat hati.
Sabda menggenggam tangan Rania dan tersenyum pada wanita itu. Membuat Rania mencebikkan bibir menatap tingkah aneh sang kekasih.
Sayang, Sabda tak menanggapinya. Dia menarik tangan Rania dan melanjutkan langkah.
“Mas, kamu denger aku, kan?” tegur Rania sekali lagi karena Sabda tak kunjung menggubris perkataan Rania.
Rania mengernyitkan dahinya dan meneguk saliva saat matanya mendapati sebuah tempat yang sangat indah melebihi perkiraannya. Langit yang cerah dengan hamparan pasir dan laut biru, benar-benar memanjakan mata. Sabda membawa Rania ke sebuah pantai yang sepi.
“Kamu suka tempat ini gak?” tanya Sabda tiba-tiba.
Sekali pun Sabda tak cukup baik untuk Rania. Akan tetapi, rasa ingin membuat Rania bahagia berhasil menepis segala ketakutan tersebut. Tanpa Sabda sadari, Rania menjadi salah satu alasannya untuk kuat dan mampu melewati semuanya sampai di titik ini.
“Nggak mau foto?” tanya Sabda ketika mereka berdiri tepat di depan lautan.
Sabda menoleh ke arah Rania yang tak menjawab. Wanita sibuk sedang menatap lautan luas yang ada di hadapannya ini. Pesona pantai yang berada di hadapannya sungguh indah dan jernih.
“Hei!” seru Sabda membuat Rania terkejut.
Rania menoleh ke arah Sabda, sepasang matanya membola tak percaya. “Kita bener-bener lagi di Bali, Mas?” tanyanya terkejut dengan pertanyaannya sendiri.
“Menurut kamu ini di mana?”
Rania tak bisa menahan senyum bahagianya. “Aku gak nyangka bisa ke sini. Di sini indah banget, Mas. Aku suka!”
Sabda tersenyum sambil mengangguk. “Mau foto denganku?” tanya Sabda sekali lagi.
Rania langsung mengangguk antusias. Dia segera maju mendekati laut dan meminta Sabda untuk memotretnya sedemikian rupa. Sabda layaknya fotografer yang sibuk mengarahkan gaya, sementara Rania hanya manut saja.
“Cantik sekali,” kata Sabda dengan senyum merekah ketika melihat hasil jepretannya.
“Lautnya?”
“Bukan, tapi kamu.”
Jawaban Sabda membuat Rania tersenyum malu-malu. Dia berusaha menahan diri untuk tidak salah tingkah, meskipun sikapnya terlihat menggambarkan itu.
Mereka pun berfoto bersama, mengabadikan momen dengan hasil foto berdua yang tampak lucu, Rania tertawa melihat hasilnya. Sabda benar-benar romantis.
“Rania.”
Sabda menatap Rania dengan teduh, matanya seolah memancarkan kebahagiaan di sana. Pria itu tak hentinya terpesona oleh sosok Rania. Sesekali dia merasa takut dengan posisinya sekarang.
Rania menoleh dari kamera milik Sabda kemudian menaikkan alisnya. “Ada apa?”
“Maaf untuk keterbatasan waktuku. Kalau seandainya aku tidak bisa mengajakmu keliling dunia. Aku mungkin bisa mengajakmu keliling Indonesia.”
Rania tertawa menanggapi ucapan manis tersebut. Baginya, menghabiskan waktu bersama Sabda di hotel pun tidak masalah. Asal bersama Sabda, itu sudah cukup.
Rania sudah sedikit melupakan prasangkanya kepada Sabda, melihat sebesar apa cinta pria itu padanya Rania merasa tidak seharusnya dia berpikiran buruk tentangnya.
Sabda tersenyum simpul. Dia kemudian mengangkat kedua tangan Rania yang ada di genggamannya. Mengecupnya dengan tulus, hingga matanya terpejam.
Rania menggulum bibirnya menahan senyuman. Sepertinya dia mulai terbawa perasaan akan perlakuan Sabda yang sungguh manis.
“Mulai dari sini. Aku, Sabdatama Nayaka, akan menjadi pendamping seorang Rania mengarungi puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan kilometer jalan kehidupan bersama. Mulai dari sini bahkan di setiap kilometer yang kita jalani.”
Sabda mengecup kembali kedua tangan Rania dan meremasnya lembut. Seolah meyakinkan gadis itu bahwa sebesar apa pun cobaan dan rintangan dalam hubungan mereka Sabda tidak akan pernah meninggalkan kekasihnya.
“Secepatnya aku akan memberikanmu kepastian. Jadi, jangan pergi dariku, ya. Kamu mengerti? Bukankah kita berjanji untuk tetap bersama apa pun alasannya?”
Jantung Rania berdetak kencang mendengar kata-kata manis sang kekasih. Dia tidak menyangka, pria dingin dan kaku seperti Sabda bisa bersikap sangat romantis.
“Tidak akan!” jawab Rania menganggukkan kepalanya penuh semangat.
Sabda menarik pelan kepala Rania dan mengecup dahinya. Mereka berpelukan, wanita itu langsung memejamkan mata dengan erat.
Untuk sementara, Sabda ingin melupakan segala problemnya dengan Shanum. Dia ingin menghabiskan waktu bersama Rania. Berada di rumah hanya membuat kepalanya sakit karena perdebatan yang tak pernah selesai.
Padahal Shanum di rumah jatuh sakit, Sabda pun sengaja menonaktifkan ponselnya dan memakai ponsel cadangan selama berjalan-jalan dengan Rania. Dia tidak ingin kehadiran Shanum menghancurkan acara liburannya bersama si gadis pujaan.
Bersambung…