SUARA SHANUM
Shanum mengerjap sedikit kaget ketika sebuah lagu mengalun dari atas nakas tempat tidur. Ia sedang menyisir rambutnya di depan kaca rias, sedangkan si empunya ponsel masih melakukan ritual mandi.
“Mas Sabda, ponselmu bunyi!”
Tak ada sahutan apa pun dari arah kamar mandi. Shanum mengedikkan bahu, tidak mau ikut campur dengan urusan suaminya, tapi semakin lama bunyi dering ponsel itu semakin mengganggu. Shanum tidak tahan lagi dan meraih ponsel milik Sabda yang terus-menerus berbunyi.
‘Summer’ tertulis di sana. Wow, ini pasti Rania yang menelepon, pikir Shanum. Nama kontaknya sendiri di ponsel Sabda saja tidak semanis ini.
Shanum menggeser tanda hijau di layar ponsel sebelum mendekatkannya ke telinga kiri. Terdengar suara manja begitu telepon diangkat.
“Mas Sabda, kenapa lama sekali menjawabnya? Aku kangen. Kamu udah sampai di rumah?”
Shanum mengerjap dua kali ketika suara melengking seorang perempuan terdengar dari seberang sana. Begitu manja, begitu manis.
Jantung Shanum berpacu dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Lidahnya kelu, otaknya gagal memproses informasi. Selama beberapa saat ia mematung sebelum berdehem singkat mengenyahkan sesuatu yang mengganjal di tenggorokan.
Rania tidak mengenal Shanum, gadis itu sama sekali tidak tahu bahwa Sabda sudah beristri, yang gadis itu tahu; Sabda dijodohkan oleh orang tuanya, tapi dia menolak.
Sebenarnya Shanum ingin sekali melabrak perempuan itu, tapi rasanya percuma saja. Suaminya akan marah besar.
Shanum jelas tahu sesayang apa Sabda pada perempuan simpanannya.
“Sabda sedang mandi,” kata Shanum akhirnya diiringi nada ketus.
Bisa Shanum tebak, gadis yang sedang meneleponnya saat ini pasti terkejut setelah mendengar suaranya. Shanum tidak peduli kalau Sabda akan marah karena gadis itu sudah lancang menyentuh ponselnya.
Terdengar lagi suara Rania dari seberang sana. Sedikit gugupm “Ma-maaf, i-ini siapa, ya?”
“Saya adalah–”
Satu sentakkan kasar membuat ponsel yang menempel di telinga Shanum beralih tangan. Wanita itu terkejut saat melihat Sabda berdiri di belakangnya dengan mengenakan sehelai handuk yang menutupi pinggang sampai lutut. Tetes-tetes air yang mengucur dari badannya mengindikasikan kalau ia keluar kamar mandi dengan terburu tanpa mengeringkan tubuh dengan benar.
“Maafkan aku, tadi itu bibiku.”
Shanum membulatkan mata saat Sabda mengatakan hal itu pada wanita di seberang sana. Bisa-bisanya pria itu menganggapnya sebagai bibi.
Sabda berbalik menatap istrinya lembut tapi menusuk. Tatapan matanya lebih dingin dari yang Shanum biasa lihat. Pria itu kesal padanya.
“Ya aku juga kangen. Aku sudah sampai rumah tadi. Oke sekarang tidurlah, kamu pasti lelah karena sudah bekerja seharian ini.”
Shanum muak sekali melihat tingkah sok perhatian Sabda. Selalu, Sabda selalu saja begini. Dingin pada dirinya, tapi hangat ke wanita lain, tak ingin membahas lebih lanjut. Wanita itu memilih untuk kembali duduk di kursi rias, melanjutkan kegiatannya yang tertunda.
Tak dihiraukannya suara dengkusan Sabda di belakang. Tidak lama lagi mereka akan bertengkar. Shanum sudah kebal dengan teriakan Sabda yang seperti orang kesetanan.
“Sha, berhenti ikut campur!”
Sudah Shanum duga, Sabda bersuara lantang saat panggilannya dengan Rania berakhir.
Shanum menoleh pada Sabda yang masih memaku dirinya di dekat nakas tempat tidur. Ekspresi pria itu sudah tak sedingin tadi, tapi tetap saja. Aura mengintimidasi itu masih terasa.
“Aku sudah manggil Mas sejak tadi, tapi gak ada jawaban. Cewekmu berisik banget, Mas. Lain kali bawa saja ponsel itu ke kamar mandi.”
Shanum ikut menatap Sabda dengan tajam, menantang, dia menarik napas panjang ketika mendadak oksigen terasa menyusut di sekitarnya.
“Kita udah sepakat. Kamu juga bilang gak akan ikut campur, kan? Jadi jangan coba-coba memberitahu dia soal apa pun.”
“Tentu.”
Keadaan kembali hening. Shanum memilih untuk menghiraukan Sabda. Sampai kapan pun, berdebat dengan pria itu tidak akan ada ujungnya. Sabda tidak akan mudah mengalah secepat itu.
Biarlah Shanum yang mengalah kali ini, pria pengecut memang cocok dengan wanita murahan, begitu katanya.
“Terus, apa yang kamu lakukan tadi gak keterlaluan? Aku udah memperingatkan kamu dari awal untuk gak menyentuh ponselku.”
“Kalau begitu, bawa saja ponselmu itu ke mana-mana. Aku tidak peduli dengan perempuan yang kau namai Summer itu, aku lebih terganggu dengan suara berisik di kamar ini!”
Bagi sebagian orang, pernikahan adalah hal sakral yang keutuhannya harus dipertahankan. Jangan membiarkan orang lain masuk dengan mudah dan menghancurkan ikatan itu.
Rumah tangganya dengan Sabda adalah salah satu hal yang sempurna di mata banyak orang. Terlebih di mata keluarga besarnya, semuanya selalu membanggakan mereka adalah pasangan serasi yang sudah berjodoh sejak lahir.
Mungkin begitulah yang orang lain lihat, terlihat utuh dan harmonis, tapi kenyataannya mereka hanyalah dua orang asing yang hidup satu atap selama bertahun-tahun.
***
Waktu mendengar suara perempuan lain di seberang sana. Ekspresi wajah Rania langsung berubah, dia terus kepikiran sampai telepon singkat dari Sabda berakhir, dia sudah menebak pasti ada yang tidak beres.
Rania langsung mengenyahkan pikiran aneh itu. Meskipun Rania sudah berusaha untuk berpikir positif, tetap saja dia takut kalau sabda menyembunyikan sesuatu di belakangnya. Tapi, selama ini perasaan Sabda pada gadis itu cukup besar. Mustahil dia bermain-main di belakangnya.
Karena ia percaya kalau hubungannya dengan Sabdatama baik-baik saja. Lagipula kalaupun pria itu benar-benar punya perempuan lain di luar sana, bukankah sekarang ia harusnya sudah meninggalkan Rania untuk perempuan itu?
Tidak, Rania menggeleng. Ia adalah satu-satunya perempuan yang Sabda cintai, dan itu adalah mutlak. Terlihat dari bagaimana Sabda memperlakukannya, dia memperlakukan Rania seperti ratu. Membelikan apa pun barang kesukaannya, sama seperti waktu mereka pacaran dulu.
“Aku menyukaimu.”
Itu adalah kalimat yang diucapkan Sabda setahun yang lalu saat mereka bertemu di salah satu taman kota untuk pertama kalinya.
Waktu itu Sabda sedang ada urusan bisnis ke luar kota, mereka bertemu karena suatu insiden. Sabda tersesat dan justru Rania yang menjadi penolongnya. Dia membantu pria itu dan menghantarkannya sampai ke hotel di mana Sabda menginap.
Rania pun dengan polosnya menerima setelah melihat segala ketulusan Sabda. Awalnya dia tidak tahu bahwa pria yang menembaknya itu ternyata adalah sosok pria kaya raya. Berbeda dari dirinya.
Kekayaan Sabda yang tinggal diumpamakan uangnya cukup untuk membeli tiga gedung, itu juga masih kembalian kayaknya. Rania masih tidak menyangka. Bahkan untuk urusan beli saham mall besar di ibukota adalah hal kecil untuk seorang Sabda.
Dia merantau ke kota ini untuk kuliah sekaligus mendapatkan pekerjaan demi membantu perekonomian keluarga. Siapa sangka Sabda justru membantunya. Sempat pria itu menawari Rania untuk bekerja di salah satu cabang perusahaan miliknya yang ada di kota kelahiran Rania. Namun, gadis itu menolak.
Rania diberi supir sendiri juga kartu ATM dari berbagai bank berikut black card sakti, tapi Rania jarang memakai semua fasilitas yang diberi Sabda. Dia lebih sering naik taksi online atau bus. Setiap hendak berangkat kerja maupun ke kampus. Bukannya tak menghargai, kadang dia tahu diri untuk tidak terlalu bergantung pada pria itu.
Karena itulah Rania langsung down ketika mendengar suara wanita lain di rumah kekasihnya, meski Sabda berdalih bahwa itu adalah suara bibinya. Tetap saja … Rania jadi kepikiran.
PERANG DINGIN
Sabda duduk di tepi ranjang, berkali-kali pria itu melirik jam dinding. Menunggu sang istri pulang. Kalau bukan karena hal mendesak, pria itu tidak sudi menghabiskan waktunya untuk duduk diam dan mengabaikan tumpukan dokumen yang harus dikerjakan dalam waktu singkat.
Tak berapa lama telinganya mulai mendengar suara ketukan sepatu semakin mendekat menuju kamar. Begitu pintu kamar dibuka, wanita berjilbab marun itu tersentak kaget.
“Apa yang kamu lakukan, Sha?” tanya Sabda to the point nadanya dingin, membuat Shanum mengerutkan keningnya bingung.
Ekspresi Shanum berubah drastis. Netranya mendapati raut tak menyenangkan dari Sabda yang terlihat marah sambil bergumam tak jelas, enggan menatapnya sedikit pun.
“Sebutkan kesalahan apa lagi yang telah kuperbuat?”
Dengan santainya Shanum berjalan menuju nakas dan meletakkan tas di sana, melepas jilbabnya, seolah tidak peduli dengan kemarahan Sabda. Ya, dia sudah sangat terbiasa.
“Jelaskan padaku apa ini? Apa maksudmu?”
Sabda langsung berdiri dan tiba-tiba melempar sebuah amplop cokelat berisikan beberapa lembar kertas tepat di wajah Shanum.
Sabda mencoba bertanya dengan nada tenang sekalipun wajahnya menunjukkan kemarahan yang tertahan.
Alis Shanum bertaut saat mendengar kalimat Sabda. Dia mulai mengambil amplop cokelat yang jatuh ke lantai. Wanita itu langsung duduk di tepi ranjang. Ia jelas tahu amplop tersebut berisi apa.
“Kenapa kamu menyembunyikannya dariku?” tanya Sabda lagi, penuh penekanan. “Apa sebenarnya yang lagi kamu rencanakan di belakangku.”
“Kupikir kamu gak akan peduli dengan hubungan ini, Mas,” kata Shanum berusaha tenang meski sedikit tak mengerti.
Dia baru saja pulang dan langsung disambut amarah. Ini memang bukan pertama kalinya Sabda bersikap emosian padanya, tapi hari ini pria itu tampak sedikit berbeda. Shanum seolah telah melakukan hal yang sungguh fatal sampai memancing emosinya.
Kali ini Sabda memijat kepalanya yang terasa pening. Pria itu sangat ingin meremas wajah istrinya sampai puas. Namun, faktanya, ia tidak mampu melakukan tindakan kasar pada wanita itu.
“Ada apa denganmu, Mas? Katamu aku bisa melakukan apa pun yang aku suka.”
“Tapi tidak dengan surat penceraian ini! Untuk apa kamu melakukannya?!” Matanya melotot seperti siap keluar dan Shanum bersaksi kemarahan Sabda lebih mengerikan dari senyum Annabelle.
“Karena aku butuh,” sahut Shanum jengkel, bisa-bisanya hal seperti ini saja diributkan.
“Lalu kita berpisah, dan kamu bebas mengencani pria mana saja, begitu?” Sabda memotong, kali ini dia kembali menyulut kekesalan sang istri.
“Astaga! Aku sama sekali gak berniat demikian!” kilah wanita itu dengan mata melotot tak terima. “Aku bahkan gak peduli kamu melakukan hal-hal kotor di belakangku. Terserah kamu mau ngapain, aku gak peduli. Kamu marah saat menemukan surat ini, tapi kamu … istri macam apa yang kamu perlakukan jahat begini?!”
Sabda benar-benar sosok suami yang egois. Dia bebas berkencan dengan wanita mana pun, Shanum bahkan tak pernah mempermasalahkannya, tapi kenapa untuk masalah dokumen penceraian saja pria itu marah besar? Bukankah seharusnya dia senang karena bisa terbebas dari belenggu pernikahan yang rusak ini?
Kadang Shanum tidak mengerti dengan jalan pikiran Sabda, kenapa pria itu tetap kekeuh mempertahankan pernikahan mereka. Padahal sudah jelas tak ada cinta di sana.
“Aku hanya menyimpannya. Aku bahkan sudah lupa telah menyimpan surat ini.” Shanum kembali menatap Sabda dengan ekspresi tak kalah dingin.
Sabda mendekat dan meraih dagu istrinya cepat, menyorot ke dalam manik cokelat itu untuk menemukan kebohongan kemudian melipat bibir rapat-rapat sebab tak mendapati kelicikan apa pun di dalamnya.
“Jika kamu berani macam-macam, aku pastikan akan menguburmu ke dalam tanah secara hidup-hidup!” kata pria itu, langsung memberi ancaman telak yang membuat Shanum merasa agak ngeri. “Aku juga akan membunuhmu. Aku tidak peduli jika tanganku harus kotor dengan darah.”
Apakah pria ini memang sakit jiwa, berhati dingin, dan tak tahu belas kasih? Shanum bahkan sempat berpikir kalau dia bukan menikahi manusia, melainkan malaikat maut.
“Baiklah. Jika memang itu keinginanmu. Mulai sekarang perlakukan aku seperti istrimu. Kita memang menikah karena perjodohan, tapi bukan berarti kamu bisa memperlakukanku seenak jidatmu, Mas!” serang Shanum lebih bergemuruh. Suaranya bahkan mulai serak karena dehidrasi ditambah teriakan seperti orang kerasukan arwah.
Anehnya, meski diserang kemarahan sang istri, Sabda masih sanggup mempertahankan sikap normal. Tidak gentar, tidak pula mencekik istrinya.
“Kalau begitu, aku juga berhak menuntut lebih. Singkirkan surat penceraian itu, dan jangan mengadu apa pun pada papa,” kata Sabda membangkitkan perkara baru sekaligus memancing keributan.
Sejak dulu Sabda paling malas jika harus berurusan dengan papanya sendiri. Beliau lah yang menjodohkan mereka berdua. Wiratama sangat menyayangi menantunya melebihi anak sendiri. Jika saja beliau tahu seperti apa perlakuan Sabda pada Shanum selama ini, mungkin pria itu sudah mati terpenggal.
Tak hanya kehilangan jabatan sebagai pemilik perusahaan, Sabda juga bisa mati tanpa kepala. Begitu dahsyat amarah dari sang ayah, karena itu dia paling malas jika harus membuat keributan dengan ayahnya sendiri.
Shanum benar-benar kesal dengan sikap Sabda yang selalu semaunya sendiri. Pria itu hanya memikirkan harga dirinya, tapi tidak pernah mau mengerti dengan kondisi Shanum yang memiliki banyak tekanan dari dalam.
“Apa maksudmu? Aku bahkan tidak berniat memberitahu orang tua kita.”
“Yakin kamu bisa dipercaya? Jangan-jangan kamu lagi menyusun rencana supaya semua orang termasuk keluargaku tahu kalau aku ini adalah pria bajingan yang tak bisa menghargai istri.”
Mendengar ucapan Sabda, Shanum terkekeh. “Memang benar kamu itu bajingan. Aku bisa saja mengatakannya, Mas. Tapi maaf, aku tidak setega itu untuk membuatmu jatuh miskin dalam waktu cepat.”
Perdebatan seolah sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Shanum yang menyedihkan, dan Sabda yang egois. Sampai kapan pun keduanya tak akan pernah cocok, tapi anehnya Sabda masih saja mempertahankan Shanum di sisinya.
“Bagus kalau begitu.” Sabda menghela napas, mereka sudah berada di puncak perdebatan. Pria itu mulai mengalah, dia pun mengatakan pada sang istri untuk bersiap-siap, karena malam ini mereka akan pergi ke suatu tempat.
Tidak mengerti siapa yang Sabda maksud, sebelah alis Shanum terangkat. Penasaran.
“Kamu gak baca pesan? Keluargaku mengadakan acara makan malam. Papa bilang ingin bertemu dengan kita malam ini, di rumahnya.”
“Itu saja?”
Sabda mengangguk. “Kita sudah terlatih bersandiwara di depan mereka bukan? Jadi, jangan pernah mengungkit benda menjijikkan ini di depan mereka,” kata Sabda. Pria itu membalik badannya seraya menghela napas.
Belakangan ini, Sabda memang paling susah jika diminta bertemu dengan ayah-ibunya dan Shanum tentu tahu alasannya adalah karena orang tuanya yang terus mendesak mereka untuk segera punya anak.
Siapa yang tidak mau punya anak? Shanum bukannya tidak mau. Hanya saja, jika melihat kondisi rumah tangganya yang bak kapal karam, terlalu mustahil untuk diharapkan.
Jangankan punya anak, bahkan Sabda tidak pernah menyentuh istrinya selama empat tahun ini. Benar, Shanum masih perawan. Anehnya perempuan itu masih sanggup bertahan.
Hanya gumaman ambigu yang bisa Shanum dengar, sebelum Sabda benar-benar menghilang dari kamar menuju dapur setelah mengakhiri perdebatan panjang mereka.
Shanum berdecak, dia menatap punggung suaminya yang menghilang di balik pintu.
“Mari bermain, Sabdatama. Mari kita lihat, siapa yang akan merangkak lalu bertekuk lutut dan memohon lebih dulu.”
Bersambung…