KAPAN PUNYA ANAK
Selain pintar memasak, Shanum juga pintar berakting. Di hadapan orang lain dia bisa memerankan sosok istri dan menantu yang baik. Orang lain akan mengira rumah tangganya sempurna dan utuh. Namun, hal itu hanya untuk menyembunyikan sisi lain dirinya sendiri.
Tak hanya Shanum. Di luar sana masih banyak orang yang berpura-pura baik. Kadang kita melihat seseorang yang ramah dan ceria malah sebenarnya merupakan seseorang yang paling menyedihkan di dunia.
Kadang orang yang terlihat baik-baik saja dari luar belum tentu bisa dikatakan baik-baik saja di dalam.
Begitu pun dengan Shanum. Meskipun dia seorang wanita sempurna dari keluarga terpandang, orang tuanya adalah pendiri perusahaan properti, pengembang real estate yang berbasis di Hong Kong. Hartanya lima kali lipat lebih banyak dari Sabda.
Tapi sayang di balik itu, dia juga menyimpan hal lain. Menikah dengan Sabda baginya merupakan sebuah bencana yang perlahan menghancurkan hidupnya.
***
Waktu menunjukkan pukul delapan malam ketika Sabda dan sang istri sampai di kediaman orang tuanya. Anggota keluarga itu berkumpul di ruang makan termasuk Sabda dan Shanum.
“Ingat, bersikap senatural mungkin. Jangan bersikap mencurigakan di hadapan orang tuaku,” kata Sabda sebelum mereka benar-benar masuk ke dalam ruangan besar yang sudah diisi separuh keluarga Sabda.
Sebenarnya tanpa diberitahu begitu pun Shanum sudah mengerti apa saja tugasnya. Tapi, lama-lama dia muak juga dengan semua skenario busuk Sabda.
Kedua orang tua pria itu tampaknya akan membicarakan suatu hal. Sabda yang duduk berdampingan dengan sang istri tampak acuh tak acuh, begitu pula sebaliknya.
“Mama seneng kalau kita semua berkumpul gini. Rumah Mama jadi ramai, biasanya ‘kan sepi.”
Sabda dan Shanum memenuhi undangan makan malam ini dan berkumpul di rumah atas permintaan mama mertuanya–Diana–beliau membuka obrolan sembari menyantap makan malam.
“Kalau ada si kecil di sini, mungkin rumah kita akan lebih lengkap lagi. Sudah empat tahun sejak kalian menikah, tapi belum ada tanda-tanda, ya? Jadi, kapan kamu akan memberi keluarga ini keturunan?”
Diana menatap Shanum, ada makna lain yang tersirat di wajah wanita itu. Diana adalah sosok ibu mertua yang baik, berbeda dengan anaknya yang seperti titisan Firaun. Shanum hanya bisa tersenyum menanggapi ucapan mama mertuanya, dia juga bingung harus menjawab apa.
Tidak mungkin Shanum menjelaskan pada mereka kalau sampai saat ini dirinya masih perawan dan tidak pernah disentuh oleh Sabda.
“Tidak terasa pernikahan kalian sudah empat tahun, ya.” Wiratama memalingkan wajahnya pada Sabda. “Dia yang menerimamu dalam kesederhanaan, layak dimuliakan dalam kebahagiaan. Dia yang menerimamu apa adanya, layak kau pertahankan selamanya. Dia yang sabar dengan kekuranganmu, layak mendapatkan semua keutamaan dari kelebihanmu.”
Suara berat sang kepala keluarga bergema di ruangan tersebut. Sabda terdiam, pria itu hanya memandangi ayahnya dengan tatapan penolakan.
Shanum juga terdiam, menatap hidangan yang menumpuk di atas piringnya. Ucapan ayah mertuanya sangat lembut dan berwibawa, tapi tidak sesuai dengan kondisi rumah tangga yang sesungguhnya. Entah kenapa Shanum merasa begitu sedih.
Selera makan itu juga mendadak lenyap saat topik obrolan mulai menjurus pada masalah cucu.
“Sabda, apa selama ini kamu memperlakukan Mahira dengan baik?”
Baru saja Shanum membatin, suara papa mertuanya langsung terdengar, Mahira adalah panggilan khusus mereka pada menantunya.
Sejak pertama kali masuk ke dalam keluarga ini, mereka sekali pun tak pernah memperlakukan Shanum dengan buruk. Seperti seorang anak, begitu perasaannya saat berada di tengah keluarga Sabda. Perhatiannya sama seperti orang tua kandung.
“Tentu saja, dia kan istriku,” jawab Sabda tenang.
“Sudah empat tahun kalian menikah. Kamu tahu sendiri, kalau Aksa Group perlu penerus, dan kamu itu putra sulung keluarga ini. Satu-satunya yang bisa papa andalkan,” katanya.
Sabda menghela napas sudah dia duga, obrolan ini pasti tidak akan jauh-jauh dari masalah anak dan keturunan.
Sabda menjilat bibirnya sebelum akhirnya bersuara, “aku masih mampu mengurus perusahaan ini tanpa penerus, Pa. Kalau memang sangat perlu, suruh saja Prama pulang dan meneruskan perusahaan kita.”
“Tapi kamu itu putra sulung di keluarga ini, Sabda!” potong sang Ayah. Nadanya naik sekitar dua oktaf. Ia marah ketika putranya lagi-lagi menyepelekan perintahnya.
“Memangnya kenapa jika aku putra sulung? Memindahtangankan perusahaan ke putra kedua dan seterusnya tak akan membuat perusahaan hancur, Pa.”
“Sabda, jangan bersikap kasar pada papamu.” Ibunya berusaha menjadi penengah.
Mata Sabda berkeliaran memandangi sekelilingnya seraya menghela napas, sebelum berhenti sejenak pada Shanum yang terlihat menunduk sembari memainkan jari tangannya yang lentik.
Diana menatap Shanum yang sedari tadi terdiam, beliau mengulurkan tangan untuk mengelus punggung tangan wanita itu dan berucap pelan.
“Kamu jangan anggapan ucapan orang-orang di rumah ini, ya.”
Shanum tersenyum. Dirinya yang tidak kunjung memiliki anak, membuatnya merasa gagal sebagai seorang istri. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Sabda soal pernikahan ini, dia tidak pernah merasa khawatir tentang apa pun.
Shanum hanya berpikir, meskipun sangat ingin memiliki anak. Dia tak ingin anak itu terlahir tanpa ayah. Sabda memang ada. Namun, hatinya mati. Di hatinya tak ada Shanum di sana.
“Sudah-sudah, ini kan lagi makan malam, jangan ribut di depan rezeki,” kata Diana. “Kapan rencananya mau berangkat liburan berdua?” tanya mama pada Shanum dan Sabda seraya mengaduk teh dalam cangkirnya.
Beliau berusaha untuk mengalihkan topik agar perdebatan antara ayah dan anak itu tidak terus berlanjut dan merusak acara makan malam mereka. Pembahasan lama itu mengambang lagi. Shanum menggigit bibir. Enggan bersuara.
“Jangan bikin alesan lagi banyak kerjaan. Mama ini gak mau dengernya.”
Shanum melirik teh dalam cangkirnya. Sebelumnya, ia memang sudah merencanakan untuk pergi liburan sendiri. Namun, entah pastinya kapan, yang jelas Sabda tidak boleh ikut dengannya.
“Mama gak akan nyerah buat doain kalian, semoga kali ini Mahira hamil.”
“Aamiin, makasih banyak, Mama.”
Shanum menyunggingkan senyum, dia mengusap punggung tangan mamanya dengan lembut, mengaminkan harapan wanita yang sudah empat tahun ini dianggap sebagai ibu.
“Jangan lupa atur jadwal liburanmu, ya,” kata beliau lagi.
“Baik, Ma. Mahira akan bicarakan ini dengan Mas Sabda.” Shanum tersenyum getir, untuk saat ini mengalah adalah jalan terbaik. Mereka tidak tahu sebegitu sulitnya membicarkan hal tersebut bersama sang suami.
“Itu tidak akan terjadi.”
Baru saja Diana hendak membuka suara, jawaban dari Sabda membuat seisi meja sontak menoleh ke arahnya.
Shanum sudah menduga bahwa Sabda pasti akan menolak usul sang ibu. Namun, telinganya langsung berdesing ketika Sabda mengatakan hal yang membuatnya terkejut.
“Aku tidak terlalu memikirkan keturunan. Bukankah sudah kubilang kalau Shanum belum juga hamil kita bisa adopsi anak?”
KERIBUTAN SUAMI ISTRI
Bunyi peralatan masak di dapur terdengar amat memekakkan telinga pagi ini. Sabda menutup telinganya dengan kedua tangan dan berkali-kali mengeluh kesal. Ingin rasanya dia datang ke dapur dan mengoceh pada sang istri yang sibuk memasak. Namun, seperti tak pernah beres.
Sepulangnya dari acara makan malam bersama orang tuanya, Sabda dan Shanum kembali ribut. Bagaimana tidak? Sabda dengan entengnya meminta Shanum untuk mengadopsi anak saja. Apa pria itu sudah sakit jiwa?
Shanum sehat, dia berkesempatan memiliki anak, tapi tanggapan Sabda malah begitu, seolah dia adalah wanita mandul yang susah mendapat keturunan. Padahal ini salah pria itu sendiri yang terlalu menjaga jarak.
Kekesalan Shanum jelas belum mereda. Karena itu, pagi ini dia melampiaskannya pada barang-barang yang ada di dapur.
Sabda semakin tak tahan mendengar suara barang-barang dapur yang saling menghantam bak rudal yang dijatuhkan ke tengah kota. Dia lekas keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menuju dapur.
Tak disangka-sangka, dia malah menemukan keadaan dapur yang sudah berantakan. Potongan sayur, botol saus, kecap, minyak, dan beberapa panci lainnya memenuhi permukaan lantai dapur. Pria itu membulatkan mata.
“Apa-apaan ini, Sha. Kamu gak bisa masak atau gimana? Kamu mau menghancurkan rumah ini?!”
Sabda mulai mengoceh. Dia mendekati Shanum yang masih sibuk dengan masakannya. Melihat ekspresi sang istri yang tampak menyeramkan, Sabda menebak dia tidak akan menemukan makanan enak di sana.
Mengabaikan kehadiran suaminya di dapur. Shanum fokus memotong sayuran secara asal-asalan. Sabda mengalah, dia tak mau ribut dengan Shanum pagi ini, banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan. Jika mereka ribut, sudah pasti Sabda akan terlambat.
Pria itu menduduki kursi makan, Shanum dengan wajah kusutnya berjalan mendekat dan menghidangkan sup yang-entah apa-berkuah bening dengan potongan wortel berukuran besar, sebesar jempol orang dewasa.
Sabda mulai mencicipi kuah masakannya dengan sendok kecil. Jika biasanya Shanum akan membuat masakan dengan cita rasa lezat bak koki terkenal dunia sekelas Gordon Ramsay. Kali ini tidak.
“Astaga apa ini?!” katanya dengan ekspresi yang benar-benar jelek, seolah menggambarkan penderitaan. “Kamu mau memberiku makanan beracun hari ini? Hei, cukup! Kemarin malam aku sudah meminta maaf padamu,” oceh Sabda kesal.
“Masih untung aku mau memasak makanan untukmu! Memangnya kenapa? Kau bisa makan di luar kalau tak suka. Apa selingkuhanmu itu tak bisa masak?!”
Shanum tak kalah garang, dia mematikan api kompor kemudian duduk di kursi sambil memegangi dahinya dengan kedua tangan.
Shanum benar-benar tak bisa melupakan ucapan Sabda tadi malam di depan mertuanya. Pria itu memang sudah kehilangan otak.
Sabda menghela napas, dia ikut duduk di samping wanita itu. “Aku sudah minta maaf padamu. Orang tuaku juga tak terlalu memusingkan hal ini. Ada apa denganmu, Shanum!” katanya tampak frustrasi. Shanum mendesah malas.
“Kamu masih selalu bersikap kayak gitu. Emang kamu gak pernah mikirin apa kesalahan kamu selama ini? Mulutmu itu memang minta dilakban, ya? Pokoknya kalau keluargamu tiba-tiba menuduhku mandul, semua ini salahmu!”
Shanum kembali mengungkit keributan tadi malam. Shanum masih tidak terima ketika Sabda mengatakan pada orang tuanya kalau mereka tidak bisa memiliki anak dan akan memilih untuk adopsi anak saja.
Istri mana yang tidak terluka mendengar ucapan seperti itu dari mulut suami sendiri? Shanum rasanya ingin sekali mencincang suaminya bak psikopat yang memutilasi tubuh korbannya.
“Astaga, Sha! Kamu pikir keluargaku sepicik itu? Aku yakin mereka tidak akan setega itu untuk membenarkan semua ucapanku. Jangan berlebihan, kita baru menikah empat tahun. Masih banyak perempuan di luar sana yang belum punya anak dan usia pernikahannya lebih lama dari kita!”
Ucapan Sabda terdengar menyakitkan di telinga Shanum. Pria itu memang tidak tahu cara menghargai perempuan, sampai sekarang Shanum penasaran apa yang sudah merasuki pria ini sampai dengan entengnya berkata demikian.
“Dasar sinting! Dua hal itu tidak bisa dijadikan perbandingan. Apa otakmu itu sudah kau buang ke tempat sampah sampai-sampai dengan entengnya kau bicara omong kosong? Dasar gila!”
Pagi yang cerah di kediaman Tuan Sabdatama diawali dengan perdebatan antar suami istri. Para pelayan di rumah itu seolah sudah paham dengan sifat masing-masing majikannya. Mereka semua hanya bisa diam, bersembunyi di tembok pembatas, atau justru kembali bekerja.
Tidak ada yang mau ikut campur atau sekadar menengahi pertikaian dua pasangan tersebut.
“Aku salah apa lagi, Sha? Bukankah kenyataannya memang begitu? Lagipula apa yang diharapkan dari pernikahan ini? Kamu berharap punya anak dariku? Mimpi!”
Shanum mendengkus, Sabda kembali bersikap congkak. Wanita itu sudah sangat lelah menghadapi sikap egois Sabda yang sudah kelewat batas, entah harus dengan cara apa lagi Shanum menyadarkannya.
“Kau masih bertanya apa salahmu? Banyak! Mau kusebutkan dari mana? Atau mau kuungkit kesalahan-kesalahanmu dari awal kita menikah sampai sekarang?” Shanum menantang Sabda, kedua matanya melotot garang.
Shanum bukan tipikal perempuan yang hanya bisa menangis ketika disakiti suaminya. Sebisa mungkin dia akan mempertahankan harga dirinya supaya tidak terlihat lemah di hadapan orang lain. Shanum benci terlihat lemah. Dia benci dikasihani.
“Kenapa menatapku begitu? Baru sadar kalau ucapanku benar? Kau memang lelaki bajingan. Suami tak bertanggung jawab!”
Sabda ikut melotot mendengar ucapan Shanum yang begitu keterlaluan. Bisa-bisanya dia merendahkan suaminya sendiri.
“Jaga ucapanmu, Sha!”
Sabda masih saja belum menyadari apa kekesalan Shanum. Sudah cukup. Wanita itu tidak tahan lagi. Dia melepas apron yang melekat di tubuhnya.
“Makan saja di luar. Aku lelah berdebat denganmu. Kau tidak pernah mengerti apa pun. Mas! Sekarang berhenti bersikap peduli,” kata Shanum malas. “Terserah mau pulang atau tidak. Aku tidak mau lagi berdebat denganmu. Pacaran saja dengan wanita yang kau anggap istimewa itu. Siapa tahu selama ini kalian memang berjodoh dan aku bisa pergi dari rumah ini.”
Dia lekas beranjak hendak meninggalkan Sabda. Namun, pria itu dengan cepat menahan pergelangan tangan sang istri.
“Hey. Apa maksudmu tadi?”
Shanum yang sudah habis kesabaran hanya bisa menatap Sabda dengan ekspresi seolah ingin menghajar pria itu sampai babak belur. Paling tidak, sampai Sabda mati kalau bisa.
“Lepaskan aku!”
“Jelaskan dulu maksud dari kata-katamu tadi.” Sabda bersikeras meminta Shanum untuk tidak pergi dari sana. Sementara itu sang istri sudah sangat pusing dan butuh tidur untuk menjernihkan pikiran.
“Lepaskan! Pergi saja ke mana pun, kalau perlu, hamili saja selingkuhanmu itu. Jadi, kau tak harus repot-repot mengadopsi anak!”
Sabda tidak sempat membalas ucapan Shanum karena wanita itu sudah lebih dulu melepas cengkeraman Sabda pada tangannya.
Sabda tersentak kaget mendengar ucapan Shanum yang benar-benar dipenuhi kemarahan. Masalah anak selalu menjadi topik yang sangat sensitif untuknya. Setelah cengkeraman itu terlepas, Shanum kemudian beranjak pergi dari sana. Benar-benar memuakkan.
Bersambung…