LEPASKAN AKU
“Kok malah diam?”
Lamunan Sabda disentak sampai bubar jalan oleh pertanyaan kekasihnya setelah beberapa detik dia habiskan tanpa jawaban.
Sabda lupa kalau saat ini dia sedang makan berdua dengan Rania di salah satu restoran. Imbas dari keributan yang terjadi tadi pagi benar-benar membuat mood Sabda memburuk, terlebih ketika Shanum meminta Sabda untuk menghamili Rania saja supaya dirinya senang.
Shanum memang selalu tampak mengerikan dan nekat saat marah. Mungkin itulah kenapa mereka berdua bisa berjodoh.
“Di kantor sedang ada masalah, ya? Tumben Ma—“
“Nggak juga, Rania.” Sabda memotong ucapan Rania, dia merubah ekspresinya sebelum Rania berpikiran macam-macam.
“Terus gimana? Tumben ngajak sarapan bareng, biasanya Mas Sabda kan ngajak makan siang di jam istirahat.”
Yah, kalau saja istrinya yang keras kepala sejagat raya itu tidak membuat masalah pagi-pagi, dia tidak akan makan di luar seperti ini. Sabda hanya ingin menenangkan pikiran sebelum dia kembali bekerja. Bekerja dengan mood yang baik jelas tidak akan membuat semuanya selesai.
Belum lagi masalah dengan orang tua, mereka berharap Sabda segera memberikan keturunan, tapi mana mungkin bisa. Dia dan Shanum kelakuannya sudah seperti dua kucing liar yang memperebutkan wilayah.
Pria berusia 30 tahun itu meraih cangkir kopi di depannya dan menyeruputnya pelan. Enggan memikirkan hal yang sudah terjadi dalam rumah tangganya pagi ini.
Dulu, sebelum kenal Shanum dan Rania, Sabda suka berpikir, sepertinya dia ingin hidup sendirian saja. Bukan apa-apa. Dia sudah terlalu sering melihat orang-orang yang mengaku saling sayang sehingga merasa tidak bisa hidup tanpa satu sama lain, perasaan mereka berubah seiring dengan waktu yang berjalan.
Kemudian, kata-kata sayang itu mulai terganti oleh hubungan yang renggang, konflik, ucapan-ucapan kasar, lalu tindakan yang saling menyakiti.
Mungkin benar, dia baru saja mengalaminya sekarang.
“Mau aja, emang gak boleh, ya, kita makan berdua kayak gini? Nanti kalo Mas sudah sibuk, kamu kangen.”
Mendengar jawaban Sabda, Rania langsung terkekeh malu. “Bukan gak boleh, Mas. Mas belum mau pergi ke kantor? Nanti telat loh kalo masih nongkrong di sini.”
“Nanti saja, Rania. Emangnya kamu gak kangen sama Mas?” tanya Sabda sok perhatian.
“Ya, kangen.”
Mereka berdua saling bercanda, perlahan Sabda mulai lupa dengan pertengkarannya tadi pagi bersama sang istri. Mungkin benar, pria itu hanya butuh dihibur, dan Rania adalah gadis yang selalu bisa membuat mood-nya kembali membaik.
Pukul sebelas malam, Shanum baru saja bangun. Kerongkongannya kering menahan haus. Dia berjalan dengan tangan meraba sepanjang dinding mencari panel lampu, dan keluar setelah lampu menyala.
Shanum tidak kembali ke kamar begitu menyadari di luar hujan turun cukup deras. Sabda sudah menghubungi istrinya jam tujuh tadi bahwa dia akan pulang telat. Sebenarnya Sabda mau pulang seminggu kemudian pun, Shanum tidak peduli.
Usai mengambil minum di dapur, sekitar enam-tujuh langkah beranjak ke ruang tengah, langkahnya terhenti. Tatapan wanita itu tertuju pada siluet seseorang yang terlelap di sofa. Meringkuk serta menyembunyikan kepala di antara siku dan lengan. Shanum terkejut.
“Kapan pria ini pulang? Dia tidur di sofa semalaman?” Shanum bergumam seraya geleng-geleng kepala melihat wajah pulas suaminya.
Tertidur di sofa tanpa bantal, selimut, dan lupa menyalakan pemanas ruangan. Kulitnya pucat. Tubuhnya menggeliat karena menggigil. Alih-alih membangunkannya, Shanum membiarkan Sabda menetap di sana.
Kertas dokumen berceceran di sekitar laptop yang terbuka. Laptopnya dalam keadaan hibernasi, hanya lampu LED-nya yang menyala. Mungkin Sabda meresetnya sebagai efisiensi waktu. Karena jika dimatikan dia harus menunggu laptop menyala, membuka folder, dan mengeklik dua kali file. Sungguh merepotkan untuk orang sesibuk Sabda.
Layar ponselnya berkedip. Menandakan pesan baru masuk dari salah staf divisi perusahaan, serta terdapat notifikasi puluhan pesan dan belasan panggilan tak terjawab.
Beberapa hari terakhir Shanum memang melihat suaminya lebih sibuk. Sabda akan mengerjakan tugasnya di mana pun. Kadang wanita itu mulai bosan.
“Kamu bekerja cukup keras. Apa kamu gak lelah, Mas?” Seperti mendapat pukulan telak yang seolah bisa menghancurkan rongga dada. “Aku membencimu. Jangan membahas perihal anak lagi.”
Shanum segera beranjak ke kamar mengambil bantal dan selimut. Dia membetulkan letak posisi kepala Sabda, menyusupkan batal, lalu menyampirkan selimut di tubuhnya. Pria itu tidur lelap sekali tidak merasa terusik olehnya.
Jelas saja, setiap hari Sabda hanya tidur kurang dari empat jam. Shanum sering berpikir bahwa suaminya itu robot perusahaan. Enggan berhenti sampai baterainya habis. Entahlah, Shanum tidak tahu apakah pria itu benar-benar sibuk dengan perusahaan atau dengan Rania.
Selang beberapa detik kemudian irama napasnya berangsur-angsur teratur. Kemudian Shanum berjongkok di depan Sabda dan mengamati wajahnya. Sabda yang tengah tertidur begitu polos dan lucu, berbeda saat dia bangun dan mencari keributan.
Mengingat pertemuan pertama dengan pria itu membuat sudut bibirnya terangkat.
Suatu hari, ketika Shanum ikut pertemuan antar keluarga dengan rekan bisnis ayahnya, dia agak kepayahan mengambil buku bersampul biru yang letaknya ada di bagian atas rak. Menyadari bahwa tubuhnya pendek dan tidak mampu menjangkau buku tersebut, Sabda tiba-tiba datang dan mengambil buku di atas sana.
“Kenapa tidak minta bantuan seseorang untuk membantumu?”
Dalam berbagai kesempatan, dia adalah pria baik seperti tokoh negeri dongeng. Terdengar mustahil, tetapi 1000:1 akan selalu ada pria seperti itu.
Shanum sempat mengira Sabda adalah playboy yang suka mempermainkan hati perempuan. Tak bisa Shanum duga, orang tua mereka malah setuju untuk menjodohkan keduanya agar menciptakan hubungan bisnis yang kuat.
Hingga tibalah hari itu. Di malam hari, dua keluarga yang sudah cukup dekat karena ikatan bisnis tengah makan malam di salah satu restoran, ayah Sabda mengulangi pertanyaannya terdahulu.
“Kalian sangat dekat, menikahlah.”
Pernikahan ini untuk memperkuat ikatan bisnis, atau karena mereka memang saling cinta? Shanum sebenarnya tidak yakin. Dia mencari tahu tentang Sabda lebih dulu. Mereka berkenalan lebih dekat selama dua minggu. Selama itu dia berhasil menilai Sabda pria dewasa, kaku, dan tidak peka.
Meskipun begitu, Shanum menemukan apa yang dia inginkan darinya. Dia bertanggung jawab, bukan hanya pada istri, melainkan keluarga, pekerjaannya, bahkan lingkungannya. Shanum percaya jika teori jodoh memang sulit ditebak. Dia bisa datang di waktu yang tidak menguntungkan sekalipun.
Pokoknya bagi Shanum hari itu, Sabda seperti malaikat yang dikirim Tuhan.
Mengingat itu semua membuat Shanum tersenyum hingga matanya sedikit berkaca. Diangkatnya tangan itu mengelus rambut Sabda yang halus. Wajah damainya membuat hati tentram.
Shanum ingin sekali menangis begitu menatap wajah suaminya yang tertidur pulas tanpa beban. Terlihat lebih tenang daripada saat mereka berdebat. Sabda tidak merasa terusik dengan isakan lirih istrinya.
Akan tetapi, semua kenangan indah itu perlahan surut. Berganti dengan rasa sakit dan amarah yang sulit sekali dijelaskan. Apalagi untuk sekadar bertanya langsung pada Sabda.
Shanum kembali mengingat dustanya hari itu, hari di mana dia berkata bahwa telah menjalin hubungan dengan wanita lain, kembali batinnya dirundung perasaan kecewa. Lagi-lagi pertanyaan itulah yang muncul.
“Kenapa? Kenapa kau tidak mau melepaskanku?”
ULANG TAHUN PERNIKAHAN
Sabda keluar dari kamar mandi dengan bathrobe hitam yang menutupi tubuhnya. Dia menatap setelan jas kerja yang disiapkan Shanum di atas tempat tidur lalu menghela napas panjang.
Sabda tidak pernah meminta Shanum untuk melakukan hal seperti ini untuknya. Tapi, wanita itu tetap melakukannya setiap hari walaupun sudah mendapat penolakan. Sabda kembali menyimpan setelan jas yang disiapkan Shanum kemudian memilih jas lain sesuai keinginannya di ruang pakaian. Dia tidak pernah memakai jas yang disiapkan sang istri untuknya karena ia tidak ingin.
Setelah selesai bersiap-siap, Sabda berjalan menuju ruang makan dan melihat Shanum sudah duduk di sana dengan setelan tak kalah rapi. Wanita itu duduk membelakanginya dengan tangan kanan sibuk menyendokkan makanan ke dalam mulut, sementara tangan kiri memegang ponsel.
“Kamu sudah siap? Aku sudah menyiapkan kopi dan sarapan untukmu, Mas. Makanlah,” ucap Shanum ketika menyadari Sabda berjalan mendekat.
Sabda duduk di meja makan lalu meminum kopinya tanpa mengatakan apa pun. Usai bertengkaran mereka kemarin, pasangan itu semakin membatasi jarak dan jarang bicara. Shanum masih begitu kesal pada suaminya karena masalah tempo hari di hadapan sang mertua. Sabda memang benar-benar tidak bisa diandalkan.
Setelah Sabda duduk, kini gantian Shanum yang berdiri dari kursi kemudian mengambil tas selempang miliknya yang diletakkan di atas meja makan.
Shanum tidak mengatakan apa pun, dia hanya melirik Sabda sebentar dan kembali berkemas. Hari ini ada salah satu tempat yang ingin dia tuju untuk sekadar memastikan sesuatu.
“Mau ke mana?” tanya Sabda tiba-tiba, setelah cukup lama saling diam satu sama lain, akhirnya pria itu berani untuk bertanya.
Sang istri melirik sekilas kemudian berujar ketus. “Pergi.”
“Mau ke mana?” Sabda kembali mengulang, tidak puas dengan jawaban Shanum yang tidak spesifik.
Padahal Sabda hanya takut Shanum pergi dari rumah dan tidak kembali pulang. Sabda tahu seperti apa sifat Shanum jika sudah temperamental. Dia bisa membuat kekacauan di hadapan khalayak ramai, tentu saja Sabda tidak mau, dia yang akan malu nanti.
Shanum memang pemarah, tapi itu semua karena Sabda yang selalu memicu kemarahannya. Tidak ada satu pun hari tanpa bertengkar dengannya. Mereka tidak tampak seperti suami istri, malah lebih persis idol dan haters yang tinggal dalam satu rumah.
“Sejak kapan kamu peduli aku mau ke mana dan ngapain?”
“Aku masih suamimu, aku berhak mengetahui ke mana kau akan pergi.”
Shanum tidak ingin menghabiskan separuh paginya yang damai dengan pertengkaran seperti yang lalu-lalu. Itu hanya akan membuat mood-nya semakin buruk.
Tanpa menjawab ucapan pria itu dia langsung berlalu pergi, meninggalkan Sabda di dapur seorang diri.
Sabda menghela napas dalam melihat Shanum yang menghilang di ambang ruang makan. Dia sudah terbiasa dengan sikap tidak sopan wanita itu.
“Wanita itu lagi-lagi mengabaikanku, dasar istri pemarah,” gumamnya menatap isi piringnya yang masih penuh. Dengan rasa bersalah kemudian melanjutkan sarapannya karena dia harus segera pergi ke kantor.
Tanpa sepengetahuan Sabda, Shanum pergi ke kafe tempat Rania bekerja. Wanita itu selalu memperhatikan gerak-gerik selingkuhan suaminya dari jauh. Padahal Shanum tidak perlu melakukannya. Toh, Rania saja tidak kenal siapa dia.
Shanum tidak mengerti kenapa harus melakukan hal ini. Kenapa dia harus peduli pada wanita simpanan suaminya. Meskipun begitu, Shanum selalu saja menyempatkan diri untuk datang ke kafe hanya untuk memperhatikan Rania.
Hari ini suasana kafe tidak terlalu ramai, Shanum duduk di salah satu kursi dekat jendela. Tak jauh dari sana, Rania sedang sibuk melayani pelanggan dari satu meja ke meja lain. Harus Shanum akui, gadis itu cukup cekatan, manis dan ramah, tidak seperti dirinya yang dingin dan pemarah.
Sekarang langkah Rania mendekat ke meja Shanum. Gadis dengan apron khas pelayan Cafe tempatnya bekerja itu memasang senyum seramah mungkin.
“Selamat siang, Bu. Mau pesan apa?”
Shanum melirik wanita itu lewat sudut mata, kemudian membuka buku menu yang tersedia di meja. Telunjuknya mengarah pada salah satu gambar minuman.
“Terima kasih, pesanan akan disiapkan sebentar lagi.”
Gadis itu pun undur diri dari sana. Hati Shanum sedikit memanas, dia bertanya-tanya, sudah sejauh apa hubungan gadis itu dengan Sabda. Apakah Sabda sudah pernah tidur dengan Rania?
Mata Shanum terus memperhatikan gerak-gerik Rania, seakan tengah mengamati mangsa buruannya. Rania menyadari itu. Namun, saat berbalik, Shanum pasti mengalihkan tatapannya ke arah lain.
Harus Shanum akui, Rania memang cantik, pantas saja Sabda tidak bisa melepaskan gadis itu. Shanum kadang selalu berkata tidak peduli pada hubungan mereka, tapi wanita itu pun selalu penasaran seperti apa sosok gadis yang sudah membuat suaminya seperti orang sinting belakangan ini.
“Pesanan Anda sudah siap.”
Suara Rania membuyarkan lamunan Shanum tentang gadis itu. Diletakkannya segelas espresso ke hadapan Shanum, dia selalu memesan minuman itu setiap kali berkunjung ke kafe. Pahitnya espresso tidak sebanding dengan pahitnya melihat kenyataan bahwa sang suami bermain mata bersama wanita lain.
“Terima kasih,” kata Shanum.
“Sama-sama, selamat menikmati.”
Rania tersenyum ramah dan kembali undur diri dari hadapan Shanum. Wanita itu tidak tahu apakah keramahan Rania hanya semacam formalitas belaka atau memang tulus dari hati.
Malam semakin larut, suasana rumah besar milik Sabda sangat hening. Lampu ruang tengah sengaja dipadamkan.
Sabda baru saja pulang, dia terlihat sangat lelah karena seabrek pekerjaan di kantornya. Pulang larut seakan sudah menjadi rutinitas setiap hari selama hidupnya. Bahkan Shanum sering mempermasalahkan pekerjaan pria itu. Shanum mengatainya gila kerja dan sempat membuat hubungannya dengan sang istri merenggang.
Sabda bukannya tidak ingin menghabiskan waktu dengan Shanum, tapi setiap kali Sabda mendekati perempuan itu, pasti pertengkaran yang akan terjadi. Hal tersebut tak hanya terjadi sekali, tapi sudah berkali-kali. Itu yang membuat Sabda malas untuk sekadar mengajak sang istri bicara.
Jadi, sebagian waktunya memang habis untuk Rania. Entah itu sebatas mengabari, atau mengobrol berdua setiap kali ada waktu luang. Rania jauh lebih bisa membuat Sabda nyaman dalam hal apa pun.
“Tuan baru pulang?”
Sabda terlonjak saat asisten rumah tangganya itu menegur. Sabda mengusap dadanya pelan. Rasa kantuk dan lelah membuatnya sulit berkonsentrasi.
“Iya, kenapa Bibi belum tidur? Istriku sudah tidur, kan?” Sabda mendekat untuk menggapai air putih yang berada di atas meja dapur.
“Saya sedang memasukkan kue dan puding ke kulkas. Nyonya sudah tidur sejak tadi,” tuturnya. Wanita itu sibuk memasukkan beberapa kue ke dalam kulkas empat pintu.
Mata Sabda sedikit membulat melihat banyaknya menu makanan yang terhidang. Shanum masak banyak untuknya hari ini? Tumben sekali dia membuat kue segala.
Biasanya wanita itu susah sekali jika disuruh membuat kue kesukaannya. Mereka akan berdebat dan berakhir dengan Sabda membeli kue itu sendiri ke toko terdekat.
“Kenapa istriku memasak banyak sekali menu makanan begini? Tapi ujungnya tetap tidak dimakan.” Sabda menunjuk tart red velvet dan brownies yang berada di atas meja. Semuanya utuh, beberapa yang lainnya tersisa sepotong.
Sabda sangat paham dengan kebiasaan Shanum. Dia tidak pernah bisa menghabiskan kue buatannya dan selalu menyuruh orang rumah untuk menghabiskan. Memasak sekaligus memotret dan diunggah ke sosial media sudah cukup membuat wanita itu kenyang.
Sabda memang harus membuat perhitungan dengan istrinya, uang yang sudah dicari susah payah dia hambur-hamburkan dengan percuma untuk makanan yang selalu berujung basi karena tidak dimakan sama sekali.
“Nyonya bilang, ini hari ulang tahun pernikahan, makanya Nyonya membuat banyak menu spesial hari ini,” terang Bi Asih pada Sabda yang seketika membuat pria itu tersentak.
“Ulang tahun pernikahan?” Sabda mengulang, “ini tanggal berapa?”
“Tanggal 20, Nyonya juga membagikan makanan ke anak yatim dan para tetangga tadi malam.”
Sabda benar-benar tidak ingat kalau hari ini adalah ulang tahun pernikahan. Selain karena pekerjaannya benar-benar menyita waktu, dia juga merasa Shanum tidak peduli pada makna pernikahan.
Wanita itu membencinya, Sabda sangat tahu. Tapi, untuk apa dia membuat perayaan seperti ini? Padahal Shanum sudah tahu, Sabda tidak akan repot-repot membuatkannya kejutan romantis seperti pasangan harmonis di luar sana.
“Ya sudah, bibi pergilah tidur. Besok bawa kue-kue ini.” Sabda berkata final dan bersiap untuk angkat kaki dari dapur.
“Nyonya bilang, Tuan akan pulang larut. Jadi, kalau masih mau makan dagingnya harus dihangatkan lagi. Tuan mau makan?”
Sabda menggelengkan kepala, dia bergegas keluar dari dapur dan masuk kamar untuk menemui Shanum. Sesampainya di sana, sang istri sedang tertidur pulas dengan posisi menyamping. Bahkan meski dalam keadaan tidak akur sekali pun, mereka masih betah berbagi ranjang berdua.
Sungguh, Sabda benar-benar tidak ingat. Lagipula pernikahan ini tidak berarti apa-apa. Shanum membencinya, bahkan Sabda sudah tega menduakan wanita itu. Entah apa yang ada di pikiran Shanum sekarang, sampai menyambutnya dengan banyak kue dan hidangan yang ujungnya berakhir di tempat sampah.
Tidak, tidak semuanya berakhir di tempat sampah. Sebagian memang Shanum bagikan. Tapi, untuk apa? Apa yang gadis itu syukuri dari pernikahan yang rusak ini?
Bersambung…