SUAMI VS ISTRI
“Mau sampai kapan menatapku dengan dingin begitu?”
Sabda menatap wanita di hadapannya lalu mengedikkan bahu merespon pertanyaan wanita itu.
“Memangnya kenapa? Aku juga punya mata.”
Pagi ini di meja makan, Sabda tampak tidak biasa, dia menatap Shanum terus menerus, bahkan pertanyaan Shanum ditanggapi dengan ketus oleh pria itu. Sang istri heran, apa lagi kesalahannya hari ini.
Sabda pulang pukul satu dini hari dan langsung tidur. Shanum tahu itu karena dia langsung terjaga saat mendengar pintu kamar mandi terdengar berdecit. Pria itu terlalu lelah untuk membahas maksud istrinya semalam, jadi dia memilih bicara esok hari.
“Sha, ayo kita bicara!”
“Tidak usah. Sebentar lagi kamu telat ke kantor!”
Ucapan Shanum benar-benar terdengar ketus, tidak peduli jika itu menyakiti perasan Sabda. Shanum tahu, pasti Sabda akan membahas maksud perbuatannya kemarin. Sebenarnya dia geli kalau harus mendengar ucapan Sabda tentang ulang tahun pernikahan.
Bahkan Sabda sendiri tidak ingat tanggal berapa dia melantunkan ijab sakral itu di hadapan penghulu. Hanya Shanum saja yang ingat.
“Kau ingat pesan mama tempo hari? Kita harus ke luar. Aku mau mengajakmu ke luar … ayo kita jalan-jalan.” Sabda tampak sedikit ragu mengatakannya, tapi demi membuat Shanum bicara, Sabda rela menyingkirkan sedikit egonya.
Shanum menoleh ke arah suaminya, masih dengan tatapan yang sama. Wanita itu memilih untuk menyesap kopi hangat miliknya. Tidak peduli dengan ucapan Sabda sedikit pun.
“Aku sedang tak mau ke luar. Ini musim hujan.”
Sebuah penolakan yang membuat harga diri Sabda terluka, selama ini tidak ada satu pun orang yang berani menolak tawaran Sabda, hanyalah Shanum seorang.
“Kita harus membahas ini.”
“Bahas apa? Kalau begitu, bahas di sini saja. Kenapa harus repot-repot ke luar?”
Sabda menghela napas lagi, Shanum sungguh keras kepala melebihi batu. Sekarang dia bersikap seolah tidak ada apa pun yang terjadi.
Memilih untuk menuruti keinginan istrinya, Sabda mengajak Shanum untuk bicara empat mata.
“Kamu pernah bilang padaku jika pernikahan ini tidak ada artinya. Kamu juga bilang tak bahagia setelah menikah denganku. Lalu, untuk apa kamu melakukan perayaan konyol seperti kemarin?”
Perayaan konyol katanya? Shanum tertawa, bahkan meski tidak bahagia dengan Sabda, dia harus berakting di hadapan banyak orang agar terlihat seperti istri yang beruntung karena memiliki suami setampan dan sekaya Sabdatama Dzuhairi Nayaka.
Usahanya memang tidak pernah dihargai oleh Sabda. Dia hanya bertindak sewajarnya orang-orang melakukannya. Sabda hanya peduli pada Rania, bahkan saat gadis itu berulang tahun, Sabda memberinya kado satu unit sepeda motor. Berbeda dengan Shanum, pria itu malah sering lupa kapan perempuan itu dilahirkan.
“Anggap saja aku sedang merayakan hari di mana kita resmi hidup satu atap. Jangan terlalu memikirkan makna pernikahan. Kamu juga gak suka, kan?” Shanum menjawab ketus. “Aku gak mau ngapa-ngapain sekarang. Kalau kamu mau kerja, pergi saja. Aku tahu kamu sibuk. Tidak perlu memaksakan diri untuk bicara denganku. Itu buang-buang waktu.”
“Baiklah, aku tidak akan membahas ini, tapi kumohon berhentilah membuang-buang uang jika pada akhirnya makanan-makanan itu akan kau buang ke tempat sampah!”
Shanum mendongak menatap Sabda, ada kilatan bahaya yang terpancar di sana. Pria itu lagi-lagi mengajaknya ribut. Apa uang selalu lebih penting daripada perasaannya? Benar, Sabda hanya perhitungan kepadanya, tapi tidak pada Rania. Seandainya gadis itu meminta satu gedung megah sebagai tempat tinggal, Sabda sudah pasti akan mengabulkannya.
Hal tersebut membuat Shanum muak, kentara sekali kalau pria itu pilih kasih.
“Berhentilah mengurus uangku. Ini uangku, bukan uangmu. Mau sampai kapan kamu di sini? Pergilah ke kantor!”
Shanum mengusir, ia bangkit dari kursinya lalu melangkah pergi meninggalkan dapur. Hal yang membuat Sabda benar-benar tersinggung, istrinya selalu seperti ini. Tidak sopan.
“Kamu memang susah diajak bicara baik-baik. Aku masih tidak mengerti kenapa orang tuaku bisa menjodohkanku dengan wanita keras kepala sepertimu. Sehari saja, bisakah kita tidak bertengkar dan memperpanjang masalah?”
Sabda seperti habis kesabaran, dia ingin sekali mencekik wanita itu. Sayangnya, Sabda masih punya nurani. Lagipula Shanum bukan wanita biasa, dia bisa balik menuntut Sabda jika pria itu melakukan kekerasan.
“Kamu yang mulai, kenapa malah aku yang disalahkan? Kamu tidak pernah sadar, ya, kalau kamu juga salah? Mau sampai kapan bersikap egois?”
Shanum menjawab dengan tak kalah marahnya. Lihat! Bahkan Sabda hanya mengatakan hal itu, tapi Shanum sudah balik menyerangnya. Shanum bukan tipikal perempuan yang mudah menangis hanya karena berdebat dengan suami.
Dia sudah kebal hidup dalam neraka bernama rumah tangga. Awal-awal dia memang banyak menangis karena Sabda tak bisa memahami perasaannya, tapi semakin ke sini, Shanum mulai bersikap abai pada semua rasa sakitnya.
“Baik, terserah padamu. Aku lelah setiap kali kita bicara pasti berujung perdebatan.”
Sabda menyerah. Meskipun dia kesal dengan sikap Shanum. Akan tetapi, Sabda memilih untuk mengalah saja selagi hal itu bisa membuat keduanya berdamai dan tidak memperpanjang masalah.
Padahal sesungguhnya, Shanum hanya ingin didengar dan ditenangkan perasaannya. Mereka sudah masuk lima tahun pernikahan, masa Sabda masih saja tidak peka pada keinginan sang istri.
Ah, pada kenyataannya Sabda memang tidak peduli, bukan tidak peka lagi.
BERKUNJUNG KE RUMAH IBU
Selepas kepergian Sabda yang super cerewet dan menyebalkan, Shanum mulai berfokus di dapur, dia mengeluarkan kue tart dari kulkas yang akan jadi buah tangan untuk mertuanya. Ya, Shanum memutuskan untuk berkunjung ke rumah orang tua Sabda hari ini.
Kue itu dihias krim putih serupa salju. Bagian atasnya diberi pemanis berupa serbuk oranye sepintas seperti serutan kulit jeruk, dan diberi sedikit warna cerah dengan potongan raspberry yang dicacah menyerupai permen kenyal.
Tart adalah kue kesukaan ibunya Sabda. Kalau dipikir-pikir, sudah lama Shanum tidak mengirimkan kue pada ibu mertua. Shanum terlalu sibuk sampai-sampai tidak sempat mengirim oleh-oleh.
Shanum pintar membuat kue, ibu mertuanya sempat meminta perempuan itu untuk membuka toko aneka cake sebagai pekerjaan sampingan. Namun, Shanum menolak dengan alasan bahwa membuat kue hanyalah sebatas hobi biasa.
“Selesai.”
Shanum bertepuk tangan melihat hasil jerih payahnya pagi ini. “Kelihatannya enak, haruskah aku membuat bolu kukus juga?”
Shanum langsung mengurungkan niatnya begitu melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.
Dia memasukkan kue tersebut ke dalam kotak, kemudian melepas apron yang tengah dipakainya. Dia harus segera bersiap-siap. Tentu saja Shanum pergi sendirian. Sabda tidak mungkin mengantarnya dan itu bukan sesuatu yang harus dibesar-besarkan.
Ketika Shanum berjalan melewati kamar mereka, aroma bunga peony, geranium, mawar Turki, dan freesia, dengan sentuhan raspberry dan musk menguar di seluruh penjuru ruangan. Aromanya masih terasa kuat dari dalam sana, meskipun pria itu sudah berangkat ke kantor sejak pukul tujuh pagi.
Shanum tahu bahwa sang suami sangat sempurna. Kemudian buruknya barangkali ketika menyadari yang menikah dengan pria itu adalah wanita konyol dan pemarah sepertinya.
“Lihatlah, rumah kita kedatangan si cantik.” Ibu Diana membuka pintu setelah Shanum membunyikan bel ke-empat.
Shanum tersenyum cerah, wanita itu berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan ibu mertua.
“Maaf sudah mengganggu Mama. Aku sudah kirim pesan, tapi Mama tak kunjung membalas.” Shanum mencium tangan ibu mertuanya dengan takzim, disusul sebuah pelukan hangat.
Senyum beliau mirip sekali dengan Sabda. Di badannya masih tersemat apron berwarna biru pilihan Shanum saat mereka berdua berbelanja ke mall untuk membeli perlengkapan rumah minggu lalu. Perempuan itu bisa menebak kalau beliau sedang kerepotan memasak.
“Mama sedang masak?”
Diana mengangguk ceria. Beliau terlihat awet muda dan hanya ada titik-titik kerut di bagian mata dan garis senyum. Benar-benar mirip dengan sosok Sabda saat sedang bersemangat. Lagi-lagi Shanum melihat bayangan menyebalkan pria itu dalam diri ibu mertuanya.
Pandangan beliau langsung tertuju pada bungkusan yang dibawa Shanum. “Hey Sayang, apa itu yang kau bawa?”
Shanum tersenyum dan mengangkat kotak berisi kue tart buatannya dengan senyum merekah.
“Aku membuatkan Mama kue tart dengan hiasan raspberry. Mungkin bisa menjadi teman minum teh.” Seperti dugaan Shanum, mata Diana langsung berbinar menatap kotak berisi kue tersebut.
Inilah yang membuat Sabda berbeda dengan orang tuanya. Mereka begitu sangat terbuka pada Shanum. Tetapi Sabda … entahlah. Kadang Shanum berpikir dia seperti menikah dengan psikopat atau pria gila.
Diana bilang pada menantunya tidak perlu repot-repot untuk membawa buah tangan, tapi Shanum sendiri bersikukuh bahwa dia senang membuat kue dan memberikan mamanya kejutan.
“Ayo masuk, kita makan rendang buatan mama.”
Kini gantian mata Shanum yang membesar mendengar kalimat itu. “Mama masak rendang?”
Mama mengangguk dan mengambil kotak di tangan Shanum, lalu menyerahkannya kepada salah seorang pelayan rumah.
“Letakkan kue ini di meja ruang tengah, siapkan beberapa piring kecil.”
Pelayan wanita berseragam itu mengangguk dan membungkuk pada mereka seraya tersenyum sebelum menjalankan tugasnya.
Shanum selalu suka dengan suasana hangat dan menyenangkan di rumah mertuanya. Berbeda dengan rumah sendiri, begitu sepi dan dingin, tidak ada satu pun kehangatan di sana. Apalagi suaminya lebih nyaman berada di kantor atau di rumah kekasih simpanan.
Mengingat hal itu, hati Shanum bergemuruh. Seharusnya dia tidak memikirkan hal itu saat sedang berada di rumah mertuanya. Tujuan Shanum bertandang untuk menenangkan hati usai perdebatannya dengan Sabda yang seperti tiada akhir.
Shanum meletakkan tas di sofa sebelum berjalan ke dapur. Rumah itu tak banyak berubah. Banyak perabotan tersusun rapi dalam lemari kaca. Warna catnya diperbarui beberapa bulan lalu menjadi beige perpaduan limestone.
Di dinding terdapat beberapa lukisan serta pigura berisi foto keluarga besar Diana. Tidak lupa dengan foto masa kecil Sabda, tampak menggemaskan dengan setelan jas yang rapi dan senyum menawan.
Di sudut lain juga ada foto pernikahan mereka. Shanum tersenyum melihatnya, tampak manis dan dan baik-baik saja. Namun, di dalamnya begitu rapuh sekali sentuh bisa langsung hancur dan luruh.
“Akhir-akhir ini mama rindu sekali dengan kalian, terutama putraku. Dia tidak menyulitkanmu, kan?”
Mama membuka pintu kulkas dan mengeluarkan seledri serta daun bawang. “Apakah Sabda masih pemilih kalau soal makanan? Kuharap kamu tidak keberatan dengan sifatnya yang seperti itu,” ucap beliau murung.
Shanum yang baru selesai minum segera meletakkan gelas dan menatap mama dengan bibir tertekuk ke bawah. “Mas Sabda baik-baik saja. Dia memakan apa pun yang kumasak untuknya. Jadi Mama jangan khawatir.”
Lalu dia berjalan ke belakangnya. Memberikan pelukan demi membuat perasaan beliau membaik. Shanum menyandarkan dagunya di bahu Diana sambil mengusap-usap lengannya.
“Mama senang kamu datang ke sini, kamu tampak berisi sekarang. Kamu bahagia bersamanya, ‘kan?”
Shanum langsung mengurai pelukan. Dia tersenyum mendengar ucapan itu, syukurlah Shanum terlihat bahagia, jadi dia tidak harus mengkhawatirkan perasaan mertuanya.
“Terakhir kali Sabda cerita pada mama, dia bersyukur bahwa dia bisa memilikimu.”
Mama mengambil pisau dan mulai memotong bawang. Shanum sempat terkejut mendengarnya.
Keputusan mereka untuk menikahkan Shanum dan Sabda memang tidak salah. Sejak awal, orang tuanya sibuk mengatur ingin calon menantu yang setara saja, yang pandai ini itu, yang sederajat, atau bahkan yang lebih tinggi untuk menaikkan pamor keluarga. Shanum adalah salah satu menantu yang masuk ke dalam kriteria itu.
Kebaikan Diana dan ayah mertua yang membuat Shanum bimbang untuk berpisah dengan Sabda. Diana bukan hanya ibu mertua, tapi sudah seperti ibu sendiri. Bukankah memiliki mertua yang baik juga sebuah anugerah?
Shanum menyingsingkan lengan pakaiannya dan mengambil pisau baru di laci, ikut membantu memotong bahan masakan lain.
“Mama mulai menyadarinya, Shanum.”
Kepala Shanum berpaling padanya sebelum berpaling kembali pada wortel yang tengah dipotong.
“Tentang?”
“Sabda yang lebih bahagia hidup bersamamu,” ucap Diana. “Kalau kalian dikaruniai anak, mungkin kehidupan kita jauh lebih lengkap sekarang.”
Pembahasan tentang anak kembali mencuat. Dan itu membuat Shanum sedikit tidak nyaman, tapi dia tak berani menginterupsi dan lebih memilih untuk menyimak cerita selanjutnya.
“Semalam Papa marah pada suamimu karena masalah anak. Papa menentang keras kalau kalian mengadopsi anak.”
Menilai ekspresi serius bercampur sedih di wajah Diana, semua jelas tidak baik-baik saja.
Kalimat itu mengingatkannya pada kilas balik kejadian semalam, Sabda bertingkah seperti orang linglung bahkan emosional. Shanum tidak tahu apa penyebab pria itu stres.
Shanum mengerti. Jadi, selama ini Papa mertuanya terus menekan Sabda agar memberikan mereka keturunan.
Bersambung…