SABDA JATUH SAKIT
Shanum menguap lebar. Kepalanya ia sandarkan di kaca mobil, matanya dengan sayu menatap jalanan yang sedang dihujani oleh air.
Dia sedang dalam perjalanan pulang ketika waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Diana sudah meminta Shanum agar tidak pulang dulu karena hari sedang hujan. Namun, Shanum beralasan harus segera pulang karena Sabda sudah menunggunya.
“Apa mertuaku begitu ingin memiliki seorang cucu?”
Shanum menggelengkan kepalanya ketika teringat dengan hal-hal konyol. Sejak tadi pikirannya berkelana memikirkan perkataan Diana tentang Sabda yang dimarahi papa mertuanya hanya karena masalah anak. Hal itu sedikit mengusik dirinya hingga kini.
Apakah dia harus bertanya pada Sabda secara langsung?
Tepat saat itu ponsel Shanum berbunyi, dia segera mengambil benda pipih tersebut dalam tas dan melihat satu pesan masuk, dari Sabda.
[Kau di mana? Cepat pulang!]
Kalimat bernada suruhan itu dibacanya dengan helaan napas pendek. Shanum lelah, dia memang ingin segera pulang. Namun, lampu lalu lintas masih berwarna merah, hujan pun turun begitu lebat sore ini.
Tumben sekali Sabda pulang di sore hari. Biasanya pria itu betah berlama-lama di kantor dan tidak pulang ke rumah lebih dulu, melainkan bertemu dengan pujaan hatinya. Ya, siapa lagi kalau bukan Rania.
***
“Sabda bangun, ayo minum obat.”
Shanum menyodorkan sebutir obat ke hadapan Sabda sedangkan tangan kirinya memegang segelas air putih untuk diminum oleh pria itu.
Shanum pulang ketika waktu menunjukkan pukul 17.08 Sabda sudah tepar di atas kasur, suhu tubuhnya meningkat drastis, Shanum kelabakan dan mengajak Sabda untuk pergi ke dokter. Namun, pria itu menolak dan memilih tidur.
Shanum sudah berusaha membujuknya untuk minum obat. Setidaknya cukup sebutir saja agar panas pria itu sedikit menurun. Namun, bukan Sabda namanya kalau tidak membuat Shanum kesal dan naik darah.
“Aku tidak suka minum obat!” Sabda melirik sinis istrinya. “Kita sudah menikah berapa lama? Apa kau lupa kalau aku benci minum obat itu?”
Ya, ya, ya. Shanum sangat tahu Sabda membenci obat. Dia bahkan tidak bisa meminum obat dengan baik dan benar, kalau dipaksakan, Sabda bisa muntah dan berakhir lemas di atas kasur berhari-hari.
“Baiklah, akan kuganti dengan obat sirup. Kamu sakit jadi minum obat dulu, ini tidak pahit,” bujuk Shanum sabar dan segera mengganti tablet penurun panas menjadi sirup rasa strawberry.
Shanum menyodorkan sendok berisi sirup merah ke hadapan suaminya, meminta Sabda untuk membuka mulut. Tapi, lagi-lagi Sabda menggeleng dan menjauhkan sendok berisi obat tersebut.
“Sudah kubilang, aku tidak mau minum itu!”
“Ini tidak pahit, Mas Sabda!”
“Aku tidak mau minum obat. Jangan memaksa!”
“Apa kamu mau selamanya tidur di kasur ini?” tanya Shanum emosi.
“Kubilang tidak!!”
“Mas!”
“OGAH!!”
Shanum menghela napas begitu usahanya memberikan obat pada Sabda tidak membuahkan hasil. Drama suami istri itu tidak kunjung berakhir. Itulah kenapa Shanum benci sekali melihat Sabda sakit. Jika sakit, dia sangat begitu merepotkan dan keras kepala.
“Tubuhmu panas, sudah seharusnya minum obat.” Shanum tetap sabar membujuk, pria itu tetap pada pendiriannya. Enggan meminum obat yang sudah disediakan oleh Shanum.
“Aku mesti bilang berapa kali kalau aku tidak suka obat!?” teriaknya dengan suara serak karena tengah flu. Pria itu berbalik lalu berbaring memunggungi Shanum, tidak peduli akan kekesalan gadis itu.
Sabda memilih untuk tidur, mengabaikan bujukan istrinya agar meminum obat cair yang menurutnya sangat menjijikan. Dia benci aroma obat.
Shanum menghela napas melihat sifat manja suaminya. Sabda yang terkenal cerdas dan sempurna sangat takut minum obat. Shanum menyimpan sendok di atas nakas, kemudian beralih menyentuh kening pria itu yang terpejam.
Masih panas, pantas saja Sabda terburu-buru pulang ke rumah sore ini. Dia bahkan tidak mampir ke rumah sakit. Sebenarnya Sabda jarang sakit, hanya satu kali dia terpaksa opname karena sakit DBD beberapa bulan yang lalu.
Jangan membayangkan bagaimana repotnya Shanum karena wanita itu harus mengurus semuanya sendirian. Sabda tidak mau dirawat oleh suster atau pelayan rumah ibunya, dia hanya ingin merepotkan Shanum seorang.
Sabda tidak menyahut setelahnya karena pria itu sudah kembali tertidur. Shanum mengalah, dia menaikan selimut sampai sebatas lekuk leher Sabda, kemudian membawa botol obat tadi ke dapur. Dia berniat membuat teh herbal untuk pria itu.
Tidak butuh waktu lama bagi Shanum membuat teh herbal. Hanya sebuah resep sederhana dari jahe, sereh, dan berbagai rempah lainnya. Sebenci apa pun Shanum pada sikap Sabda, tetap saja gadis itu ingin suaminya cepat sehat karena Sabda yang sedang sakit jauh lebih merepotkan.
Jika Sabda masih bersikeras menolak teh herbal buatannya, Shanum bertekad akan mencekoki pria itu dengan sebotol tablet obat penurun panas.
***
“Mas Sabda gak suka minum obat, karena itu demamnya belum juga turun. Untuk sementara aku hanya bisa mengompresnya dengan handuk basah … baiklah, nanti akan kusampaikan.”
Shanum menutup telepon ketika panggilan tersebut berakhir. Dia baru saja bicara dengan asisten Sabda di kantor, orang itu menelepon ke ponsel Sabda untuk melaporkan sesuatu terkait pekerjaan. Namun, karena suaminya belum juga bangun terpaksa Shanum yang menjawab.
Di kondisi seperti ini, dia tidak punya pilihan. Persetan dengan perintah mutlak pria itu yang melarang Shanum menyentuh ponsel pribadinya. Toh, Shanum sudah mengetahui semuanya, jadi tidak ada yang perlu disembunyikan.
Shanum tidak perlu menjelaskan betapa bencinya dia pada pria itu saat melihatnya menghabiskan waktu dengan ponsel setiap pulang kerja atau menjelang tidur.
Ponsel Sabda kali ini berbunyi lagi, ada sebuah pesan masuk dari sosok yang Shanum kenali. Sosok yang sudah beberapa tahun ini sukses membuat perasaannya naik turun karena kesal dan marah. Tentu, siapa lagi kalau bukan Rania.
[Mas, kamu pulang cepat? Mau menjemputku gak?]
Shanum sempat berpikir, sebenarnya Rania mengetahui kabar tentang Sabda sekarang tidak, ya? Apakah dia tahu bahwa Sabda sudah seperti orang sekarat?
Gadis itu sempat-sempatnya meminta dijemput oleh suaminya. Apa baginya pria itu adalah seorang ojek atau supir taksi? Shanum mendengkus kasar.
Dia tahu Sabda sering mengantar gadis itu ke mana pun. Tak terhitung berapa banyak kebersamaan mereka. Shanum bertaruh, seluruh waktu Sabda jauh lebih banyak dihabiskan untuk Rania. Ketimbang dirinya, Shanum hanyalah pajangan di rumah itu, dia hanya sebatas figuran yang mengisi status kehidupan Sabda, tidak lebih.
Sabda si pria egois, dan Shanum si wanita keras kepala. Tidak ada yang lebih buruk dalam hubungan mereka selain sifat keduanya.
Suara batuk memecah ketegangan yang terjadi di dalam kamar. Sabda terbangun, demamnya belum juga turun, wajahnya sampai memerah karena panas tinggi. Shanum mendekati pria itu dan mengganti handuk basah di atas keningnya.
Sebenarnya Shanum iba, seburuk apa pun perangai pria ini, tetap saja Sabda adalah suami yang sah di mata agama dan negara. Meski kadang sering terbersit keinginan untuk bercerai. Pada akhirnya Shanum harus kembali mengubur pemikiran itu jika mengingat harapan orang tua Sabda terhadapnya.
“Ke dokter saja, ya?” bujuk Shanum sembari menenangkan pria itu.
“Tidak.”
“Aku sudah menghubungi dokter. Diam dan jangan membantah ucapanku!”
Sabda kembali memejamkan mata, tidak punya tenaga untuk sekadar berdebat dengan sang istri. Shanum menyeka keringat di dahinya, sejak pulang dari rumah mertua, dia tak sempat beristirahat karena Sabda terus mengingau gara-gara suhu tubuhnya naik.
Kalau sekedar merawat Sabda, Shanum sanggup, masalah membujuknya minum obat itu yang membuat Shanum ingin melambaikan tangan pada kamera.
KELANA ARSALAIS
Mobil Pak Haris baru saja meninggalkan halaman rumah. Pak Haris merupakan dokter pribadi keluarga Sabda selama belasan tahun. Beliau bersedia datang malam-malam setelah Shanum menghubunginya.
Saat kembali masuk ke kamar, Shanum melihat Sabda sedang duduk tenang sambil menyandarkan punggung di kepala ranjang. Tatapannya mengarah pada jendela kamar, entah sedang merenungi apa.
Shanum berinisiatif membereskan meja nakas yang berantakan oleh piring dan gelas kotor. Dokter sudah meresepkan beberapa vitamin dan obat khusus, mau tidak mau Sabda harus bisa meminumnya. PR yang cukup berat untuk Shanum.
“Apakah tadi ada telepon dari kantor?” Sabda tiba-tiba bersuara, membuat penggerakan Shanum berhenti.
“Ya, ada. Asistenmu menanyakan dokumen akuisisi. Dia kerepotan karena dokumen itu tidak ada di kantor,” kata Shanum usai membersihkan meja nakas.
“Ya, karena dokumennya ada di rumah, dan itu harus diantar ke kantor.”
Seketika Shanum menghela napas tanpa mengatakan apa-apa, kemudian beranjak mendatanginya. Telapak tangan Shanum menyentuh kening Sabda. Untunglah panasnya berkurang setelah minum obat. Kondisinya beberapa jam lalu lebih buruk dari ini. Keringat dingin tak henti-hentinya mengalir.
“Berbaringlah.” Shanum berkata ketus, membuat Sabda mendongak ke arahnya. “Aku sudah menghubungi asistenmu. Kalau ada yang kau butuhkan dia pasti datang.”
“Sejak kapan kau peduli pada pekerjaanku? Bukankah sejak awal kaulah yang sering marah jika aku terlalu peduli pada pekerjaan?”
Bahkan dalam keadaan sakit sekali pun, pria itu sempat-sempatnya membantah perintah mutlak Shanum. Apakah Sabda tidak takut dicekoki obat oleh istrinya?
“Aku marah karena kau selalu sibuk kerja. Aku kesal karena kau selalu mengutamakan pekerjaan dibandingkan dirimu. Pada akhirnya aku sulit membujukmu istirahat.”
Sabda memijat pelipisnya, ucapan Shanum tidak salah. Dia memang terlalu gila kerja. Pria itu tidak pernah berpikir saat dirinya sakit, yang ikut susah adalah Shanum, bukan Rania. Selingkuhannya itu hanya bisa memberi ucapan cepat sehat lewat pesan, tidak bisa merawatnya secara langsung.
“Pada kesempatan-kesempatan tertentu aku jadi berpikir kau sedang menikahi pekerjaanmu.”
“Semua fasilitas yang kamu nikmati adalah hasil kerja kerasku, kamu gak akan menetap di sini kalau bukan karena aku. Ingat itu.”
Shanum menghela napas dengan kasar, menahan emosinya agar tidak tersulut lebih parah. Sabda benar-benar membunyikan genderang perang. Bagaimana bisa dia mengklaim semua fasilitas di rumah itu adalah hasil kerja kerasnya? Shanum juga berperan menaikkan ekonomi rumah tangganya, tidak hanya Sabda saja.
Sebelum egonya membengkak Shanum memilih untuk mengalah. Tidak mau memperpanjang masalah.
“Istirahatlah. Lupakan pekerjaanmu sampai sembuh.” Ketimbang memohon, suara Shanum barusan lebih terdengar seperti keluhan. “Aku sudah kehabisan akal, Mas. Aku tidak tahu bagaimana lagi caranya membuatmu diam di kasur atau bersantai melupakan berkas-berkas yang kau maksud.”
“Kau khawatir padaku? Tumben kau peduli,” kata Sabda lebih kepada sindiran.
Haruskah Shanum menjawabnya? Kalau dia tidak peduli, dia bisa saja membiarkan Sabda sekarat di rumah tersebut sampai mayat pria itu ditemukan keesokan harinya. Kadang Shanum berpikir, kenapa dia harus bersusah-susah merawat Sabda, padahal pria itu tidak pernah menghargai usahanya sedikit pun.
“Apa kau masih pusing?” Shanum mengalihkan topik.
“Sedikit.”
“Mualnya juga sudah berkurang, kan?”
“Membaik.”
Shanum bergegas menjauh dari hadapan Sabda, membawa piring dan gelas kotor yang ada di meja nakas untuk ditaruh di bak cuci piring.
“Istirahat saja. Kau merepotkan saat sakit.”
Sabda melotot, Shanum berlalu dari kamar. Sempat-sempatnya wanita itu mengeluarkan kalimat sarkas pada suaminya yang sedang lemah tak berdaya.
“Dasar wanita gila.”
***
Sudah tiga hari Sabda menghilang, Rania cemas karena pria itu tidak mengirimkan pesan atau meneleponnya. Setiap kali Rania menghubungi pria itu, nomornya selalu tidak aktif.
Dia juga jarang berkunjung ke kafe, entah apa yang sedang dilakukan Sabda, yang jelas Rania khawatir. Biasanya pria itu akan mengirimkan pesan untuk sekadar memberi tahu bahwa dirinya baik-baik saja.
Rania sampai tidak fokus bekerja karena terus dihantui kegelisahan. Kemarin Sabda sempat mengajaknya untuk makan malam di salah satu restoran ternama, tapi sekarang pria itu malah hilang selama tiga hari.
Rania sempat berpikir kalau Sabda bosan padanya, tapi dia segera menepis pemikiran tersebut. Rania percaya bahwa Sabda adalah sosok lelaki yang baik dan bertanggung jawab.
“Rania, apa kamu baik-baik saja?” Teguran Arya membuat gadis itu terlonjak kemudian menoleh ke arahnya, Rania tersenyum seraya mengangguk.
Arya bukannya tidak peka dengan perasaan gadis itu, dia tahu kalau Rania sedang tidak baik-baik saja. Hanya saja, Rania enggan untuk bercerita, jadi Arya memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh.
“Masih menunggu dia, ya?” tanya Arya akhirnya, mencoba memberanikan diri.
Rania tersenyum, itu semua sudah mewakili jawabannya. Dia sedang tidak mau membahas Sabda, entah kenapa perasaannya selalu tidak tenang setiap kali mengingat pria itu.
“Kamu sudah menghubunginya?”
“Belum.”
“Kenapa?”
Rania mengangkat bahu, dia memang sudah menghubungi Sabda, tapi sama sekali tak ada jawaban. Jadi, daripada harus kembali menghubunginya, lebih baik Rania menunggu pria itu mengabarinya duluan.
Tidak tega melihat raut gelisah yang terpancar dari wajah gadis itu, Arya akhirnya berinisiatif untuk menghiburnya.
“Mau pergi makan denganku usai istirahat?” tawar Arya, yang pada akhirnya dibalas dengan anggukan oleh Rania.
***
Waktu menunjukkan pukul 12 siang, Shanum memutuskan untuk mampir ke toko roti kesukaannya yang terletak tak begitu jauh dari rumah hanya dipisah oleh dua toko bunga.
Karena suaminya masih terbaring tanpa daya di kasur, dan tidak berselera untuk memakan apa pun jenis makanan yang Shanum masak, maka gadis itu memilih untuk membeli roti saja. Ditambah Jun’s Bakery sedang mempromosikan salah satu menu terbarunya.
Hanya butuh waktu satu menit bagi Shanum melangkah memasuki toko roti tersebut. Penghidunya segera disapa oleh aroma khas roti sebelum ucapan selamat sore dari bibi pemilik toko membuat gadis itu lantas melebarkan senyum.
“Selamat sore juga, Bibi! Aku mau roti cokelat seperti biasa.” Shanum melihat-lihat beberapa menu roti di sana. Kemudian maniknya tergiur dengan salah satu Snowy Blueberry dan Cheese Bun. “Bibi, kurasa roti ini bisa menemaniku malam ini. Aku mau dua untuk dibawa pulang,” katanya sekali lagi membuat Bibi Hana terkekeh.
Wanita setengah baya itu menyerahkan pesanan Shanum. “Bonus Taro Blossom, Rocky Matcha, dan satu gelas es cokelat untuk pelanggan setia Jun’s Bakery!” Mata Shanum berbinar senang. Kata bonus dan gratis memang selalu diharapkan semua orang.
“Apa ini tidak terlalu banyak? Pesananku saja tak seberapa.”
Bibi Hana mengibaskan tangannya. “Tidak apa, suamimu juga sangat suka dengan Rocky Matcha ini. Dia sering datang setiap minggu. Apakah suamimu masih sibuk seperti biasa?”
Shanum menggeleng dan tersenyum manis. “Dia sedang sakit, kemarin suhu tubuhnya cukup tinggi.”
Shanum dan Sabda memang langganan toko tersebut, ditambah Sabda yang sangat baik selalu membagi-bagi bonus berupa uang setiap hari raya atau tahun baru.
Shanum menerima pesanannya, lantas duduk di salah satu bangku di dalam toko yang telah disediakan. Dia belum mau pulang karena di luar hujan turun cukup deras, lebih baik dia menunggu di toko seraya menyantap pesanannya.
“Kau sedikit berisi, Shanum. Suamimu pasti menjagamu dengan baik.”
Shanum tersenyum mendengar komentar tersebut, memangnya kebahagiaan dan berat badan saling berhubungan? Dirinya memang merasa agak gemuk. Mungkin karena pola makan yang tidak dijaga. Sial, Shanum harus diet.
“Tentu, aku selalu baik-baik saja, Bibi.”
Obrolan mereka terhenti manakala pintu toko roti terbuka. Muncul sosok pria tinggi dan kelihatan kekar di mata Shanum, mereka saling pandang beberapa saat, pria itu langsung tersenyum ke arah Shanum.
“Bu ….”
Bibi Hana segera berdiri dan menghampiri pria itu.
“Astaga, kenapa tidak bilang akan ke sini, Sa?!” Wanita setengah baya itu memukul bahu pria tadi sambil menunjukkan air muka terkejut. Shanum bisa melihat pancar mata kebahagiaan di sana. “Kemarilah. Kenalkan, ini teman Ibu.”
Shanum refleks berdiri dan tersenyum ramah padanya dengan sopan, lantas mengulurkan tangan hingga pria tersebut menerima uluran tangannya. “Saya Shanum.”
Ada jeda setidaknya satu menit setelah Shanum mencoba untuk mengenalkan dirinya kepada pria asing yang tak lain adalah seorang putra dari pemilik toko roti kesukaannya. Maniknya mengamati paras cantik wanita di hadapannya seolah tengah terbius. Kemudian pria itu berdeham ketika Bibi Hana menepuk pundaknya.
“A-ah, Kelana Arsalais. Panggil saja Arsa,” jawabnya mempersingkat. Tautan tangan mereka terlepas, lantas membuat Shanum kembali duduk. “Kita pernah bertemu, ‘kan? Bukankah kau wanita yang ada di toko kue waktu itu?”
“Maaf?” Pikiran Shanum menerawang, apakah dia pernah bertemu dengan sosok Arsa sebelumnya. Ketika pria itu hendak angkat bicara Shanum tiba-tiba saja menyadarinya.
“Oh, kita pernah tabrakan sebelumnya.”
Shanum ingat, waktu membeli kue di toko langganan untuk merayakan ulang tahun pernikahan, dia tak sengaja bertabrakan dengan Arsa. Shanum tidak mempermasalahkan karena dia juga sedang buru-buru dan tidak melihat keadaan.
Bibi Hana langsung membelalak dan menatap pria itu dengan tegas. “Kenapa kau menabraknya?”
Pria itu lekas terkekeh melihat ekspresi kesal sang ibu. Dia menaikkan bahu seraya menyeringai sampai gigi gingsulnya terlihat.
“Gak sengaja, Bu.”
Shanum ikut mengiyakan melihat drama yang tengah berlangsung di depannya. “Salahku juga terlalu buru-buru.”
“Apa kue milikmu baik-baik saja? Tidak rusak atau semacamnya, ‘kan?”
Shanum menggeleng, sedangkan bibi Hana menghela napas panjang. “Lain kali jangan terburu-buru saat masuk ke toko.”
Obrolan hangat langsung mengalir sampai Shanum tidak menyadari bahwa hujan sudah mulai reda. Perempuan itu melirik arloji di tangannya, sebentar lagi malam menjelang. Dia mulai berpamitan pada dua orang tersebut, dan berterima kasih pada bibi Hana atas roti yang dia berikan.
Arsa mengulas senyum manakala
Berselang enam langkah Shanum menjauh, bibi pemilik toko itu bicara lagi. “Haduh, orang-orang zaman sekarang itu cantik dan tampan atau bagaimana? Hasil operasi atau bukan?”
“Dia secantik itu, ya?” tanya Arsa, matanya masih menatap kepergian Shanum menuju mobilnya.
Arsa tersenyum maklum. Dia mulai beranjak untuk memesan roti hangat yang terhidang, sedangkan bibi Hana menggosok-gosokkan bagian depan apronnya dan berjalan ke balik etalase.
Bersambung…