KEGELISAHAN RANIA
“Bagaimana, apakah makan roti membuat perasaanmu membaik?” tanya Arsa dengan nada yang sengaja direndahkan saat Shanum menggigit roti kedua miliknya.
Shanum hanya manggut-manggut mengiyakan semua ucapan Arsa. Perasaannya sudah tidak sesedih tadi, dia bahkan bisa menikmati makanannya dengan tenang.
Kedua orang itu masih mengobrol bersama, mereka berada di Jun’s Bakery dan membahas banyak hal tentang roti.
“Kalau perasaanmu kembali tidak nyaman, pergi ke sini saja, ya. Aku jamin. Roti buatan ibuku akan membuatmu bahagia.”
Shanum terkekeh mendengar ucapan Arsa, ucapannya tidak salah. Lagipula Shanum sudah sering memuji roti buatan Bibi Hana yang selalu pas di lidahnya.
Tak hanya rasanya yang lezat, bahkan bentuknya sangat cantik. Shanum selalu memotret terlebih dahulu roti tersebut sebelum dia menyantapnya sampai habis.
“Setidaknya kamu kamu harus mencoba varian lain. Setidaknya cobalah salah satu, atau karirmu sebentar lagi akan tamat kalau tidak mencobanya.” Arsa malah menakut-nakuti.
“Kamu pikir roti ini mengandung kutukan?”
Tentu tidak. Aku hanya mengancam saja.”
Shanum memutar bola matanya malas, apakah bicara dengan Arsa memang setidak nyambung ini? Tapi kalau dipikir-pikir, dia masih lebih baik daripada Sabda.
Tentu saja, tidak ada yang lebih buruk di dunia ini selain komunikasi dua pasangan suami istri tersebut.
“Dulu cokelat juga rasa favoritku, tapi setelah varian lainnya keluar, aku lebih suka rasa matcha. Meskipun begitu, rasa cokelat tetap menjadi primadona di toko ini.” Arsa berkomentar.
Shanum mengangguk, dia juga setuju bahwa rasa cokelat memang tidak ada tandingannya. Bahkan meski varian lain sudah naik daun menyaingi rasa kesukaannya.
“Kalau begitu, kamu bukan tipe laki-laki yang setia, bagaimana mungkin kamu dengan cepat berpaling?”
Arsa mendengkus pendek. “Kalau kamu tidak mau mencoba rasa yang lain dan hanya bertahan dengan rasa yang ada, kamu tidak akan tahu bahwa perbedaan itu indah.”
Shanum mendongak saat Arsa mengatakan hal itu. Entah kenapa seperti ada makna lain yang tersirat di sana. Shanum hanya bisa meringis dan mengangguk sebagai jawaban.
Selagi mereka makan, Arsa terus memperhatikan Shanum tanpa gadis itu sadari. Shanum terlalu fokus dengan makanannya sampai tidak sadar kalau Arsa menatapnya sejak tadi, mungkin karena Shanum kelaparan setelah menangis.
“Ngomong-ngomong, apa benar kamu sudah baik-baik saja?” tanya Arsa, membuat Shanum menoleh padanya.
“Ya, aku baik-baik saja, kenapa?”
Entah hanya perasaannya atau bukan, tapi Arsa melihat ada ekspresi lain di wajah Shanum. Lebih tepatnya gadis itu tengah berbohong.
“Sepertinya kamu habis menangis.”
Shanum terkesiap, kunyahan dalam mulutnya mendadak berhenti. Dia sedikit salah tingkah ketika Arsa mengatakannya. Kepekaan pria itu jauh lebih kuat dibanding dugaannya.
Bukan apa-apa, Shanum hanya benci ketika orang lain mengetahui sisi lemahnya.
Shanum yang dikenal tegas dan berjiwa independen, mendadak terlihat lemah hanya karena Arsa seolah bisa membaca semua kebohongan yang selama ini selalu Shanum sembunyikan. Tidak, Shanum tidak akan pernah membiarkan seorang pun tahu mengenai kondisi hatinya sekarang.
“Ah, kamu ini sok perhatian sekali, mungkin hanya perasaanmu saja.” Shanum berusaha mengubah topik.
“Sedang ada masalah, ya, dengan suamimu?”
“Kenapa menyimpulkan seperti itu?”
“Karena ….” Arsa menjeda sejenak kalimatnya. “Karena kamu perempuan yang sudah menikah.”
Shanum menghela napas. “Kupikir masalah dalam rumah tangga itu lumrah, tentu saja setiap pasangan punya masalah dan wajar kalau mereka berbuat salah, tapi bukan karena itu dan aku baik-baik saja.”
Shanum berusaha untuk menghentikan Arsa bertanya lebih jauh mengenai masalahnya sebelum Shanum benar-benar risih. Arsa seolah mengerti. Dia kembali melanjutkan makannya yang sempat tertunda.
Shanum lega karena Arsa tidak bertanya lebih jauh mengenai masalah rumah tangganya. Itu berbahaya, tak boleh ada seorang pun yang tahu kondisi rumah tangganya yang rusak sejak lama.
“Benar, setiap pasangan pasti pernah melakukan kesalahan. Hanya saja, tidak semua kesalahan dari pasangan harus dinormalisasi. Ada jenis kesalahan yang tidak boleh dimaafkan karena itu bisa menjadi penyakit dalam pernikahan,” kata Arsa tiba-tiba.
“Seperti apa?”
Arsa tersenyum simpul. “Perselingkuhan.”
***
[Mas Sabda, kamu sedang di mana? Kenapa tidak membalas pesanku?]
Rania mengirimkan pesan pada Sabda. Tumben sekali hari ini pria itu tidak menghubunginya, bahkan nomornya tidak aktif sejak pagi.
Rania tahu bahwa Sabda jarang menonaktifkan ponselnya. Dia hanya sering mengaktifkan mode silent. Makanya terasa janggal ketika Sabda menghilang dari peredaran seperti sekarang.
Meski Rania tidak tahu pesan tersebut akan dibaca atau tidak, yang penting Rania sudah mengirimnya demi memastikan sesuatu.
Tidak berapa lama setelah Rania mengirim pesan itu pada kekasihnya. Sebuah panggilan telepon tiba-tiba masuk. Rania sempat terkejut saat melihat nama si penelepon yang tertera di sana.
Kenapa baru sekarang Sabda menelepon, kenapa tidak sejak pagi? Sebenarnya apa yang sedang pria itu lakukan di luar sana?
Rania lekas mengangkat panggilan tersebut dan menginterogasi Sabda.
“Kenapa baru menghubungiku?” tanya Rania sebelum Sabda membuka suara dan sepertinya dia memang takkan memulai.
“Maaf.”
“Apakah aku mengganggumu?” tanya Rania lagi.
“Tidak.” Terdengar suara serak Sabda dari seberang sana.
Rania sempat ragu mengatakan ini, dia hanya ingin bertanya sesuatu dan memastikan kalau kekasihnya tidak sedang berbohong. Hanya itu cara membuat Rania tenang.
Entah kenapa dia masih saja kepikiran dengan wanita yang waktu itu memakai mobil Sabda. Instingnya mengatakan bahwa ada hal lain yang sedang terjadi di antara mereka.
“Kapan kamu mau menemuiku?” Rania menggigit bibirnya. “Apakah kamu akan menjemputku nanti malam.”
Dua detik Sabda baru menjawab. “Maaf, aku sedang tidak bisa pergi ke mana pun. Pekerjaan di kantorku cukup banyak, untuk sekarang aku tak bisa pergi menjemputmu. Maaf, ya.”
Hancur.
Nyeri.
Bagai ada beban besar menghimpit dada. Sebelah tangan Rania yang mencengkeram ujung pakaiannya langsung terkulai lemas, tidak menyangka Sabda baru saja mengabaikannya.
Hubungan mereka bahkan tidak bisa dikatakan sebentar lagi. Rania mendadak diliputi perasaan tak enak. Dia ingin sekali menemui Sabda, mengeluarkan unek-unek atau menangis meminta penjelasan.
Mata Rania mulai berkaca-kaca. Namun, mencoba tak menangis dalam situasi tersebut. Rania meneguk ludahnya dengan perasaan sesak mencoba tenang. “Begitukah?”
“Ya. Maaf.”
“Baiklah. Kalau begitu. Katamu kita akan pergi makan malam. Apakah kamu sudah melupakan janji itu, Mas?”
Sabda berdehem lagi. “Ya. Terima kasih, nanti akan kukabari lagi, ya. Aku tidak akan bohong, untuk sekarang waktunya tidak pas saja.”
Rania bisa menangkap suara Sabda lebih mudah ketimbang suaranya sendiri. Baru kali ini dia mendengar pria itu menanggapi kalimatnya dengan nada datar, biasanya Sabda akan sangat antusias saat bersamanya.
Rania merasa hancur. Dia benar-benar tidak bisa berpikir, prasangka buruk bergentayangan di kepalanya. Dia ingin sekali menanyakan Sabda tentang sosok wanita yang dilihatnya waktu itu.
Barangkali ini hanya perasaannya saja, mungkin wanita itu adalah saudara Sabda, bukan selingkuhan atau kekasih. Rania berusaha untuk tetap optimis. Dia tidak ingin terlalu terbawa emosi.
Hal berikutnya yang mereka lakukan adalah kembali bekerja dan tidak banyak bicara. Lambat laun, sejak kejadian siang tadi Rania mulai menyalahkan keadaan. Kenapa dia merasa tidak mengetahui apapun tentang Sabda?
HADIAH SABDA
“Jadi bagaimana, Sha? Apa kamu mulai sering muntah atau sensitif terhadap bau yang menyengat?”
Shanum mengernyit menatap sang ibu yang duduk di hadapannya. Benar-benar tidak mengerti sehingga yang dia lakukan justru menatap Sabda balik dengan pandangan tak paham. Alisnya terangkat tinggi, berusaha mengirim sinyal pada sang suami untuk menjelaskan apa maksud ibunya.
Sabda berdeham kikuk. “Shanum selalu sehat, Bu. Dia tidak mabuk atau semacamnya. Justru aku yang sakit waktu itu.”
Sabda terlihat berwibawa meski sedang berada di dalam rumah sekali pun. Caranya berbicara; suara serak yang berat, pakaiannya yang selalu rapi, juga ketampanan yang tak pernah berhenti terpancar. Shanum yakin, keluarganya akan mengatakan hal yang sama, Sabda itu sempurna.
Ah, tapi di mata Shanum tetap saja pria itu punya perangai buruk seperti psikopat. Tidak. Mungkin lebih buruk lagi.
“Jadi belum ada kemajuan juga?”
“Kemajuan apa yang Ibu maksud?” tanya Shanum tidak peka.
Ibunya menghela napas. “Ibu hanya tidak sabar menunggu, kapan anak kalian akan keluar?”
“Bu, ayolah.” Shanum berusaha menyela lagi. Tidak sopan rasanya membicarakan hal tersebut saat sedang makan.
Shanum sempat terkesiap setelah kalimat Ibu mengudara, dia sudah pernah menduga kalau pertanyaan semacam ini akan terjadi jika dia bertamu ke rumah orang tuanya.
Apa yang harus Shanum katakan? Bahkan melakukannya dengan Sabda saja tidak pernah, mereka hanya sering bertengkar dan berdebat selama lima tahun ini. Bahkan hal kecil pun selalu dipermasalahkan.
Faktanya, mereka belum pernah melakukan hal lumrah yang biasa suami istri lakukan. Tidur saja dipisahkan dengan guling. Ya ampun, itu konyol!
“Kalian sudah berusaha dengan keras ‘kan?” Ibu menatap Shanum tegas, tajam. Membuat gadis itu risi karena suaminya sedang berada di sampingnya sekarang.
Baru ingin menjawab, teriakan nyaring dari Khalil-adiknya Shanum-sukses membuat beberapa orang di meja makan itu menoleh. Dia mengangguk mantap, dan Shanum bisa menebak kalau adiknya itu akan berbicara macam-macam.
“Tentu, tentu saja mereka pasti melakukannya dengan sangat baik. Kakakku perempuan yang seksi, tidak mungkin kakak ipar tidak tertarik.”
Khalil terdengar seperti pembual ulung. Sungguh! Dari mana bocah itu tahu hal-hal privasi seperti tadi? Dan dari mana dia tahu apa yang selama ini Shanum lakukan? Sok tahu sekali, gerutu gadis itu dalam hati.
Shanum hanya bisa mendengkus kesal merasa dipermalukan, terlebih saat suaminya tidak merespons apa pun. Dia seolah menikmati bualan adik iparnya.
“Ibu dan Ayah jangan khawatir. Aku akan berusaha memberikan kalian cucu yang lucu.”
Shanum tersedak kuah sup iga yang tengah diseruputnya. Gadis itu tidak percaya bahwa Sabda ikut mengisi drama yang tengah berlangsung. Apa-apaan ini?
Shanum langsung memukul lutut Sabda dari bawah meja. Dia merasa begitu malu sekarang, pria itu bersikap seperti orang paling bertanggung jawab di dunia, dan Shanum benci melihatnya seperti itu karena tidak sesuai dengan sifat aslinya.
“Bukankah kita sudah mengatur jadwal untuk pergi bulan madu ke luar negeri?” tanya Sabda, meski rasanya terdengar seperti kebohongan.
“Ah, ya. Mama juga sudah beberapa kali meminta kita untuk sering-sering berkencan sekarang.”
Shanum benar-benar sudah gila. Di mana kira-kira isi kepalanya berceceran? Sangat mudah sekali berakting menjadi pasangan suami istri yang romantis.
Sejurus kemudian, ibu tertawa terbahak-bahak bersamaan dengan Khalil dan ayahnya.
Tampaknya acara makan bersama hari ini berubah menjadi tempat stand up comedy. Sejak tadi mereka hanya menertawakan sesuatu yang bahkan Shanum risi mendengarnya. Begitu pun dengan Sabda, pria itu sangat jago sandiwara.
Meskipun Sabda terkesan dingin dan kaku di depannya, tapi bagi Shanum, Sabda lebih baik dari dirinya. Caranya menyayangi keluarga, caranya bersikap di depan ibu, bercanda dengan wanita paruh baya itu, dan semua perlakuan manisnya pada keluarga Shanum.
Dia sempurna bagi sebagian orang, tapi sangat kejam pada istrinya sendiri.
“Ayah akan menaikkan gaji karyawan di perusahaan dua kali lipat jika benar putriku hamil,” celetukan Tirta memecah suasana.
Itulah perbedaan orang tua Shanum dan orang tua Sabda. Ayah Sabda lebih sering menekan dan memaksa Sabda agar segera memberinya cucu. Sedangkan Tirta lebih santai dan tidak terlalu mempermasalahkan itu.
Dia sadar bahwa Shanum tidak boleh terlalu stres, semenjak putrinya mengabari mereka berdua sedang mengikuti program kehamilan, Tirta jadi begitu over protektif pada putrinya. Tentu saja program kehamilan itu hanyalah kebohongan semata agar mereka tidak terlalu menekan Shanum untuk segera hamil.
Keluarga Shanum begitu menyenangkan ketika berkumpul dan mereka selalu memiliki secuil topik pembicaraan hangat. Shanum lahir dari keluarga yang bahagia dan harmonis. Namun, dia tidak menemukan kebahagiaan dalam rumah tangganya sendiri.
“Jangan terlalu memikirkan ucapanku.”
Sabda berbicara pada istrinya setengah berbisik. Dia hanya tidak mau istrinya tertekan dengan ucapan sang ibu, yang terus memaksanya segera memiliki anak.
Gadis itu melirik ke arah sang suami, tak bohong bahwa hal itu mengirim perasaan hangat yang membuat Shanum cukup merasa terlindungi. Merasa aman. Merasakan sensasi bahwa semuanya mungkin akan baik-baik saja kendati dirinya tetap merasa kesal.
Sejujurnya, kalimat ibu masih terngiang jelas di dalam kepala. Seharusnya mereka sudah melakukan hubungan fisik supaya dirinya bisa memiliki keturunan seperti yang ibu inginkan, dia jadi tidak perlu merasa malu pada keluarga yang lain. Sabda juga jadi tidak perlu terus-menerus melindunginya seperti ini.
Tapi apa mereka bisa melakukan hubungan seksual tanpa melibatkan perasaan cinta satu sama lain?
***
Shanum mengantar suaminya sampai gerbang depan. Sabda harus berangkat ke kantor hari ini. Bersikap manis di depan keluarga memang melelahkan. Apalagi mereka tidak begitu terbiasa melakukannya.
Sebelum pergi, Sabda mengajak Shanum bicara. Dia sadar selama ini komunikasi mereka buruk. Mumpung sedang di rumah mertua, Sabda berusaha untuk mengajak Shanum bicara.
“Aku membelikan sesuatu untukmu.”
Shanum terkejut mendengar ucapan Sabda, pasalnya pria itu tidak pernah memberinya hadiah apa pun. Sabda hanya selalu memberi uang, membiarkan istrinya membeli apa pun dengan uang pemberiannya.
“Apa itu? Bukan perhiasan yang sempat kau beri pada gadis itu, kan?” tebak Shanum sinis.
SabdA menggeleng, berusaha agar tidak terpancing. Dia memang sudah berniat untuk berbaikan dengan sang istri.
“Jam tangan edisi terbatas, microwafe baru, tas branded baru, dan masih banyak lagi. Aku juga mau membelikanmu mobil baru tadinya.”
Mata Shanum membola mendengar penjelasan Sabda yang serba baru. Dia belum pernah membayangkan suaminya membeli barang sedemikian banyak, dan itu semua pasti memiliki harga yang cukup fantastis.
“Apa maksudmu? Kenapa membelikanku barang sebanyak itu? Lagipula aku sedang tidak ulang tahun. Microwafe-nya juga masih bagus.”
Shanum heran melihat Sabda hari ini. Dia tidak pernah habis pikir dengan suaminya. Pria itu tidak pernah memikirkan berapa uang yang harus keluar demi membeli semua barang-barang mewah.
Tak peduli seperti apa bentuk barang yang dia beli walau harganya sekitar 16 juta atau tiga milyar sekalipun.
“Benar. Semuanya masih bagus.”
Shanum masih tidak percaya dengan penjelasan Sabda tadi. Tumben suaminya membelikan banyak barang. Padahal pria itu selalu protes setiap kali Shanum berbelanja.
Shanum masih belum menyerah. “Itu semuanya mahal. Aku sudah punya satu. Kenapa harus membeli dua?”
“Hadiah pernikahan.”
Jawaban Sabda sukses membuat Shanum terbungkam beberapa saat, keajaiban dari mana lagi ini? Kenapa Sabda tiba-tiba peduli pada pernikahan? Apakah sup iga buatan ibu yang tadi dimakannya mengandung racun sehingga membuat sikap Sabda berbeda dari biasanya?
Bukankah menurut Sabda, pernikahan ini tidak berarti.
Shanum tahu sifat Sabda, dia tidak suka pamer. Orang sepertinya memiliki benda mahal bukan untuk dipamerkan. Pria itu punya banyak mobil bagus berjejer di garasi, tapi dia tidak pernah sekali pun membicarakan berapa banyak harta bendanya pada rekan atau keluarga sendiri.
Karena tanpa diceritakan pun, pria itu sudah terlihat benar-benar jutawan. Ah tidak, miliader.
Harus bagaimana Shanum berekspresi? Ini baru pertama kalinya Sabda memberikan hadiah.
Seharusnya beberapa saat lalu dia bilang ‘Ya ampun, ya ampun. Aku benar-benar terharu mendengarnya!’ atau juga ‘Suami tampanku ini memang sangat-sangat pengertian. Saranghae!’
Jangankan Sabda, Shanum saja risi kalau bersikap centil seperti itu dan sangat jauh dari kepribadian aslinya. Akhirnya yang keluar dari mulut Shanum adalah kalimat ….
“Terima kasih.” Nada suaranya terdengar lembut. Sangat lembut bahkan, berbeda dari biasanya. “Terima kasih.”
Shanum tahu suaranya terdengar payah dan sedih. Dia tidak sanggup bicara sambil menahan air mata. Melihat mata Shanum yang dipenuhi cairan bening, Sabda berdehem singkat.
“Jangan menangis, aku tidak sedang bersikap manis padamu. Aku hanya ingin memberi hadiah sebagai ucapan terima kasih karena kau sudah mau bertahan sejauh ini denganku.”
Entah Sabda sedang gengsi atau malu untuk sekadar mengucapkan kata maaf pada perempuan itu. Sebab belakangan ini dia menyadari sifatnya begitu keterlaluan. Bahkan menyebalkan. Sabda tahu, Shanum kelelahan menghadapinya.
Mengusap sudut matanya yang berair, Shanum langsung menghela napas dan mengungkapkan pengakuan paling jujur.
“Terima kasih karena sudah mau seterbuka ini.”
Bukan terima kasih atas hadiahnya. Tetapi yang membuat Shanum begitu bersyukur sekarang adalah, Sabda menyadari kesalahannya.
Bersambung…