Tiap hari dia mengunjungiku kapan saja dia mau. Kadang sekali, kadang bisa sampai tiga kali. Kadang di kamar mandi saat aku mandi pagi, kadang tengah malam saat dia pulang dalam keadaan mabuk dan kadang pagi-pagi buta di saat aku belum benar-benar sadar seperti yang terjadi sekarang.
Aku terbangun karena mendadak ada yang menekan dan menerobos mem*kku dengan paksa. Aku berteriak kaget tapi teriakanku tertahan karena dia memagut bibirku dengan lapar. Ditindih dan dipeluknya tubuhku dengan erat hingga aku tak bisa bernapas lega.
“Hek… hek… hek…”
Hanya desah tertahan yang keluar dari mulutku seiring genjotannya yang makin cepat. Aku menggeliat mencoba melepaskan diri. Kedua tanganku mendorong tubuhnya menjauh, mencakar wajahnya, tapi kukuku sudah dipotong rapi entah kapan – mungkin saat aku tertidur.
Kujambak rambutnya, kutonjok wajahnya, tapi dia bergeming dan malah menggerayangi serta meremas tubuhku yang telanjang dengan gemas sembari menjilati wajah dan menggigiti daun telingaku.
Duk! Duk! Saking serunya menggenjot, tubuhku bergeser sampai-sampai kepalaku menumbuk headboard ranjang, tapi dia tak menghentikan genjotannya. Percuma aku meneriakkan kata ‘Stop! Sudah! Aduh!” karena hal itu akan membuatnya makin bernafsu menggeluti tubuhku. Jadi terpaksa aku menelengkan kepalaku hingga leherku sakit.
Selangkanganku perih karena aku tidak pernah menerima rangsangan yang membuat cairan vaginaku keluar. Dia juga tak pernah melumasi kondomnya. Aku belum pernah merasakan nikmatnya orgasme. Yang kurasakan hanyalah sakit yang makin membuat dendamku membara sekaligus membuatku frustasi. Bagaimana caranya aku bisa membunuh jahanam ini?
Aku sudah pernah menyerangnya dengan garpu, mencoba mengepruk kepalanya dengan gelas melamin dan menusuk penisnya dengan tusuk gigi, tapi semuanya gagal. Reaksinya yang cekatan membuat berbagai seranganku tumpul dan berbalik menjadi senjata makan tuan.
Dia membalas semua seranganku dengan menyetubuhiku dengan paksa. Bila aku meludahinya, dia membalasnya dengan menyemburkan air maninya ke wajahku. Tapi tak sekalipun dia memukul atau menamparku.
Dia hanya suka memiting, menggencet atau menjambak rambutku, itu pun dilakukannya dengan setengah tenaganya. Dia senang mempermainkanku. Bila aku marah dan berontak, nafsu seksnya akan berlipat ganda.
Yang paling kubenci adalah kondom yang dipakainya. Ada yang bersungut, ada yang berbentuk ulir dan ada yang bervibrasi sehingga membuatku terlonjak-lonjak liar sambil meringis menahan geli tiap kali ujung kont*lnya yang bergetar kuat menekan mulut rahimku.
Yang sekarang dipakainya berbentuk mirip jamur, ujungnya membulat besar seperti hidung palsu badut yang merah sehingga membuat liang vaginaku mengembang. Tapi saat dia menarik kont*lnya, daging liang vaginaku seperti ikut tertarik keluar. Sakit sekali.
Untuk mengurangi rasa sakit tanganku mencengkeram seprai hingga robek. Lalu aku mencari-cari benda lain untuk kucengkeram. Yang kudapat lengan dan punggungnya.
“Hhhg! Ssshh! Hhhgh!”
BL mengerang dan mendesis saat kukuku yang pendek menembus kulit lengan dan punggungnya. Aku keliru. Perbuatanku memicu nafsunya makin menggila. Digenjotnya kont*lnya lebih kuat dengan kecepatan penuh. Mem*kku seperti ingin sobek rasanya.
“Aaargh! Aaaaah! Sakit! Sudah! Sudah!” teriakku sambil memukuli badannya.
BL berhenti dan mencabut kont*lnya di saat aku tak tahan lagi dengan siksaannya, tapi dia melakukan hal itu hanya untuk merubah posisi dari missionary position ke deep penetration.
Kedua kakiku disampirkan ke pundaknya sementara kon*lnya bersiap menyodok anusku. Agak susah menembus anusku karena ujung kepala jamur itu terlalu besar. Di samping itu aku terus meronta dengan panik dan menendang-nendang.
Ajaib. Kali ini perlawananku berhasil. Dia terpelanting jatuh ke lantai, tak sadarkan diri. Rupanya tendanganku mengenai mukanya dengan telak. Aku buru-buru menymbat mulutnya dan mengikatnya pada kaki ranjang dengan robekan kaus singletku. Ironis karena dia yang merobek kaus singlet itu.
Kemudian aku memakai kaus dan celana pendeknya yang agak kebesaran. Kubuka pintu kamar dengan pelan. Di luar gelap, tapi bunyi dengkuran keras nyaris membuatku memiawik kaget.
Aku menutup mulutku saat menyadari ada kursi di samping pintuku. Di sana duduk Aheng. Kepalanya terdongak, mulut lebarnya ternganga dan kakinya menyelonjor. Sejenak aku terdiam, mencoba berpikir dengan jantung berdebar keras dan kepala berdenyut kencang.
Aku tidak tahu tempat seperti apa ini dan di mana letaknya. Aku tidak punya uang dan tak tahu harus ke mana. Ke tempat kosku dulu? Atau kembali ke Sanctuary? Bayangan wajah babi tua mesum itu membuatku ingin muntah. Berarti aku terpaksa meminta bantuan keluarga besarku yang pengecut itu.
Setelah memantapkan diri aku menyelinap keluar dan berjalan berjingkat-jingkat. Baru lima langkah, aku baru sadar kalau aku belum menuntaskan misiku. Aku belum membunuh BL. Di saat aku ragu, terdengar bunyi gaduh dari dalam kamar disusul teriakan BL. Celaka, BL sudah sadarkan diri!
Aku langsung berlari mencari-cari jalan keluar dalam kegelapan. Ada begitu banyak pintu, aku membuka salah satu di antaranya dan segera menguncinya. Dari luar terdengar langkah-langkah kaki. Mereka mengejarku! Aku harus lari ke mana?
Mendadak aku merinding. Ada yang bernapas di belakangku. Dengusan napasnya yang dingin berhembus ke kudukku, menembus rambutku yang tergerai. Tubuhku gemetar. Astaga, apa ada setan di sini?
“Apa kau setan?”
Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, tapi malah aku yang ditanya. Nada suaranya kekanak-kanakan, penuh rasa ingin tahu. Aku menoleh perlahan dan rasanya jantungku berhenti berdetak. Persis di hadapanku berdiri Bandi. Cengiran lebar mendominasi wajahnya.
“Mukamu pucat, tapi kau bukan setan,” ujarnya sambil tertawa mengikik. Tawanya yang tak wajar membuatku takut. Aku beringsut mundur, tapi punggungku membentur pintu.
“Tadi aku mimpi apa ya sampai didatangi tamu penting sepagi ini. Apa BL lupa kalau hari ini bukan hari ulang-tahunku? Kau tahu, selama ini dia pelit sekali. Dia nggak pernah mau meminjamkan mainannya padaku apalagi memberikannya dengan gratis.
Padahal aku mau berbagi dengannya, tapi dia selalu bilang aku ini perusak. Apa kau pernah melihat museum Lego-nya? Dia mengoleksi mainan Lego dari umur empat tahun. Semuanya masih dibungkus rapi, seperti toko saja.
Bodoh sekali dia. Ngapain mainan cuma dipandangi saja. Nggak seru kan? Eh, kenapa kau diam saja?” Aku diam karena tidak tahu harus menyahut apa dan memilih berpikir bagaimana cara meloloskan diri dari si klemer psycho ini.
Bandi mulai membelai rambut dan wajahku. Belaiannya halus, seakan aku ini porselen yang mudah pecah. Begitu beda dengan sentuhan BL yang seakan ingin meremukkan tubuhku. Tapi sentuhan Bandi membuatku merinding dan menggigil.
“Mungkin dia sudah bosan padamu. Aku sih nggak keberatan dikasih barang bekas. Toh kau masih lumayan bagus.”
“Maaf, sudah mengganggu tidurmu. Tadi aku salah masuk kamar,” ujarku sesopan mungkin sambil membuka pintu.
“Nggak. Kau nggak salah kok,” bantah Bandi sambil menggenggam tanganku dengan mesra. Aku mencoba menarik tanganku, tapi tak bisa. Dia malah merangkul sambil mengelus-elus punggungku.
“Aku memang sedang butuh orang baru karena dia payah sekali,” keluhnya sambil melambaikan tangannya dengan santai.
Aku melirik ke arah tangannya melambai. Aku terkesiap. Dalam keremangan aku bisa melihat seorang gadis yang kedua tangan dan kakinya terikat pada keempat ujung ranjang. Tubuhnya yang telanjang penuh bercak mengkilat. Dari selangkangannya mencuat dua dildo.
Satu dari lubang vagina dan yang satunya dari lubang anus. Kedua dildo itu masih menyala hingga mengeluarkan suara mendesum. Sedangkan gadis malang itu sepertinya tak sadarkan diri atau jangan-jangan sudah mati.
“BL pasti sudah mencariku,” ujarku gemetar.
Aku mulai berpikir untuk berteriak minta tolong, tapi aku takut Bandi mendadak berbuat nekat. Bandi tertawa.
“Dia bisa mencari mainan baru. Orang macam dia bisa pesan apa saja lewat telepon. Dia bisa pesan lima cewek yang lebih cantik darimu dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Jadi kau nggak usah mikirin dia lagi. Sekarang kau milikku.”
“Tapi aku harus kemba…”
Kata-kataku terhenti karena Bandi tiba-tiba mencekikku. Mataku terbelalak dan aku meronta sekuat tenaga. Kutendang selangkangannya, tapi dia berkelit. Kucakar wajahnya, tapi dia mengelak. Dia terus menatapku sambil tersenyum manis dan sedetik sebelum aku tak sadarkan diri, dia mencium bibirku dengan lembut.
Aku tak tahu berapa lama aku pingsan. Tapi begitu sadar, mimpi buruk sudah menyongsongku. Aku berada dalam ruangan aneh, bukan kamar Bandi. Ruangan ini lebih mirip laboratorium daripada kamar tidur. Ada banyak rak berisi benda-benda aneh.
Aku berusaha bangun, tapi tak bisa. Tubuhku terikat pada ranjang. Kedua tanganku terikat jadi satu di atas kepalaku sedang kakiku terikat pada alat aneh. Aku tahu, ranjang ini adalah ranjang khusus untuk melahirkan di mana ada alat untuk menyangga betis pasien di ujung kiri-kanan ranjang bagian kaki.
Secara otomatis selangkanganku terbuka dan ya aku kembali telanjang bulat. Aku berteriak minta tolong, tapi lidahku terganjal dan mulutku tersumbat. Bukan kain, bukan kondom atau plakban. Kurasakan dengan lidah, sepertinya mirip bola golf, tapi berlubang-lubang sehingga udara bisa keluar-masuk dengan leluasa.
“Ah, akhirnya sadar juga,” sapa Bandi dengan ramah.
Tangannya membelai wajahku dengan lembut lalu turun ke payudaraku, perutku yang rata dan terakhir selangkanganku. Tubuhku tersentak-sentak, tiap kali dia menyentuh benjolan kecil di dekat lubang kencingku.
“Enak kan? Buktinya kau makin basah,” bisiknya sambil terus membuat lingkaran-lingkaran kecil di sana.
Aku belum pernah bermasturbasi jadi tidak tahu kalau klitorisku bisa dirangsang seperti ini. Lenguhan kenikmatan mulai keluar dari mulutku yang tersumbat. Vaginaku mulai terasa basah. Tanpa sadar aku memejamkan mataku untuk menikmati rangsangan ini. Rasanya aku sedang terbang ke langit ketujuh.
“Mmmh! Mmmph!”
Aku membuka mata dan berteriak kaget saat kurasakan benda keras dan dingin memaksa masuk mem*kku yang basah. Bandi tersenyum ramah dan mengeluarkan alat itu dari mem*kku dan menunjukkannya. Mirip gunting, tapi melengkung dan bercorong.
“Kau belum pernah melihat alat ini?”
Aku menggeleng ketakutan. Sepertinya alat itu mengerikan.
“Kalau begitu kau pasti belum pernah pap smear. Alat ini untuk membantu dokter membuka liang vagina sehingga bisa mengambil cairan dengan gampang.”
Aku makin ciut melihatnya memeragakan gunting aneh itu hingga membuka lebar. Astaga! Apa yang akan dilakukannya pada vaginaku? Aku berontak, mencoba beringsut saat Bandi kembali mencokokkan alat mengerikan itu ke lubang mem*kku.
“Mmmh! Mmmph! Mmmmmhhh!”
Aku berteriak sejadi-jadinya saat alat itu menyodok masuk hingga ke ujung dan membenggangkan lubang vaginaku lebar-lebar. Sakit dan linu sekali. Bandi menyeringai dan memasukkan empat jarinya sekaligus untuk mengobok-ngobok vaginaku hingga basah kuyup.
“Sepertinya deodoran ini muat kalau dimasukkan ke dalam situ.”
Aku menggeleng dan berteriak-teriak. Tapi percuma. Daguku malah berlumuran liurku sendiri yang mengalir keluar lewat lubang sumbatanku. Dan Bandi seperti anak kecil yang kegirangan menemukan mainan baru. Setelah puas dengan memasukkan dan mengeluarkan deodoran, dia beralih pada barang-barang yang lebih besar.
Botol minyak angin, thermometer digital lalu berganti botol aftershave dan yang terakhir senter yang berisi dua batere AA. Separuh batang senter plastik hijau masih menancap di vaginaku saat dia mengeluarkan speculum lain.
Rasanya aku ingin mati saja daripada anusku ikut dibenggangkan. Sekujur tubuhku bermandikan keringat dingin. Benar-benar mengerikan. Aku tahu aku sudah berjumpa dengan setan yang sesungguhnya.
BRAK! Mendadak pintu ruangan terbuka dan Aheng menerobos masuk ke dalam. Belum pernah aku merasa begitu gembira melihat Aheng. Apalagi gorila itu langsung melucuti benda-benda penyiksa yang tertancap di tubuhku.
“Eh, kau mau apa? Siapa yang mengijinkanmu mask kemari?” sembur Bandi murka sambil menyerang Aheng.
Dengan sekali tepak, Bandi tersungkur di lantai. Diambilnya pisau dan dihunjamkannya ke punggung Aheng.
“Awas!”
Aku ingin berteriak memperingatkan Aheng, tapi mulutku tersumbat.
“Bandi!!”
Bandi langsung mematung mendengar bentakan BL. Aku juga. Sedangkan Aheng terus berkutat membuka ikatan tanganku.
“Apa-apaan kau ini. Kau kan tahu kalau dia milikku!” sergah BL.
“Aku tidak pernah mengundangnya kemari. Dia sendiri yang datang,” bantah Bandi. “Lagipula kau juga sudah bosan dengannya.”
“Apa aku pernah merebut ayammu yang kabur ke tempatku?”
Kedua saudara itu bertengkar memperebutkanku. Tidak sampai baku hantam, tapi ribut sekali. Namun aku sama sekali tidak bangga diperebutkan dua orang sakit jiwa. Adu mulut akhirnya selesai dan dimenangkan BL. Bandi tampak kesal, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku memalingkan wajah dengan jijik saat melihatnya menjilati speculum yang berlumuran cairan vaginaku dengan haus. Saking lemasnya aku tak bisa berjalan sehingga Aheng harus membopongku. Sedangkan BL berjalan di depan kami. Tiba-tiba aku menangis. Awalnya terisak lalu tersedu.
Ini tangisku yang pertama sejak tiba di Sanctuary hingga sekarang. Kejadian horor tadi membuatku begitu terpukul. Aku mulai menyesali kenekatanku membalas dendam yang membuat hidupku hancur berantakan. Kata seandainya terus terulang di kepalaku, tapi percuma, aku tidak bisa memutar balik waktu dan merubah keadaan.
Aheng menurunkanku di ranjang, tapi aku terus memeluk lehernya erat-erat. Bagiku dia adalah pahlawanku. Kalau tidak ada dia, mungkin anusku sudah sobek dan aku mati kehabisan darah.
Bodohnya aku, berusaha menutupi kenyataan kalau BL-lah yang berjasa menyelamatkan nyawaku. Kalau tidak disuruh BL, mana mau Aheng bertindak. Tapi aku tak sudi berterimakasih pada BL. Gara-gara dia, aku jadi sial begini.
Aheng dengan perlahan namun pasti melepaskan pelukanku dan menyelimutiku. Setelahnya dia pergi meninggalkanku berdua dengan majikannya. BL langsung menyingkap selimut dan kembali menindihku.
Dia memakai kondom kepala jamur baru. Rupanya dia belum puas menggagahiku dengan kondom itu. Kali ini aku tak memberikan perlawanan apa-apa. Aku masih terlalu sibuk sesenggukan, tapi aku terkesiap saat BL meraba mem*kku.
“Becek banget. Jadi kau terangsang juga rupanya.”
Hatiku terluka mendengar hinaannya. Tapi makian tak mampu kuteriakkan lagi karena mulutku malah meneriakkan lenguhan penuh nikmat saat kepala jamur menggesek liang vaginaku yang basah. Belum pernah aku merasa senikmat ini digauli BL.
Aku tetap pasrah saat BL mengangkat kedua kakiku dan menyampirkannya pada pundaknya. Untung saja dia tidak jadi menyodomiku. Hentakan demi hentakan membuat tubuhku menggeletar. Ditambah lagi remasan pada pantatku dan lumatan pada payudaraku.
Desahan dan lenguhan kami saling bersahut. BL menekan pantatnya kuat-kuat dan pada saat yang sama aku merasa melayang. Jauh lebih tinggi dari saat Bandi mengelusku tadi.
Oh no! Ingatan pada Bandi membuat gairahku yang memuncak terjun bebas, tapi genjotan BL membuatku menggelinjang dan sesuatu seakan ingin membobol keluar dari dalam diriku.
“Ooooh! Ooooh! Oooaaah! Aaaah! Aaaaaaaaah!”
Aku berteriak panjang sambil terus menggelinjang sampai-sampai tidak menyadari BL melepaskanku. Aku baru tersadar setelah tersedak spermanya yang dipompakan ke dalam mulutku. Aku terkulai lemas tak berdaya sementara dia terus mengocok kont*lnya yang sepertinya tak henti-henti memuncratkan cairan.
Aneh, mengapa kami berdua begitu terangsang setelah campur tangan Bandi tadi? Bagaimana bisa aku mengalami orgasme setelah nyaris mati konyol? Apa aku juga mulai ketularan sakit jiwa?
BL berpakaian sambil memandangiku dengan dingin.
“Kau milikku,” begitu yang dikatakannya sebelum keluar dari kamar.
Meski papaku buaya darat paten alias kucing garong tulen, sejak kecil dia mencekokiku dengan segala aturan dan norma kesusilaan. Aku selalu dijaga dengan ketat dan dilarang bergaul dengan sembarang laki-laki. Bahkan aku tidak boleh pacaran sebelum umur dua puluh.
Dan ternyata hingga sekarang aku malah belum pernah punya pacar. Mungkin karena dulu tubuhku yang mirip karung beras dan wajahku yang biasa-biasa saja maka tidak ada yang tertarik padaku.
Memang ironis bila mengingat bagaimana papa mengkhotbahiku agar menjaga keperawanan baik-baik selama aku bersekolah dan kuliah di Ohio. Papa adalah lelaki yang brengsek, tapi dia papa yang baik.
Dia tak ingin putri satu-satunya akan bernasib sama dengan gadis-gadis yang sudah diperdayanya. Aku tak tahu apa karma itu benar-benar ada. Yang jelas aku penasaran, apa yang dipikirkan papa bila dia dapat melihat kondisiku kini.
Nasibku lebih parah dari ayam-ayam yang biasa dilahap papa. Gadis-gadis yang pernah dicicipi papa tak pernah merasakan penyiksaan yang aku alami karena sadomasokis bukanlah aliran seks yang dianut papaku.
Mereka lebih beruntung karena menerima bayaran yang tidak sedikit bahkan kalau Papa sedang murah hati, bonus berupa anting atau gelang berlian bisa didapat. Sedangkan aku, sudah tubuhku babak belur, uang sepeser pun tak punya.
Pakaian yang menempel di tubuhku saja hanya singlet kedodoran. Ditambah lagi aku seperti tidak punya tujuan hidup dan masa depan lagi. Rencana balas dendamku terancam gagal total. Niatku untuk menyudahi nyawa BL mulai tergerus oleh hasrat seksku yang sedang tumbuh.
Aku begitu terbuai dengan orgasme pertamaku sehingga yang ada dalam pikiranku hanyalah bagaimana bisa menikmatinya lagi dan lagi dan lagi. Aku bahkan sudah tak ingin melarikan diri lagi. Trauma yang seharusnya singgah setelah disiksa Bandi pun tidak kurasakan.
Sialnya, BL malah tak kunjung mengunjungiku. Sudah hampir dua minggu aku tidak melihat batang hidungnya yang mencuat angkuh itu. Aku tahu, konglomerat sekaliber dia memiliki jadwal superpadat. Semasa masih hidup, dalam seminggu papaku hanya berada di rumah dua-tiga hari saja.
Makanya aku heran melihat BL sempat meluangkan waktu untuk menyiksaku. Kurasa orang sakit jiwa itu sedang sibuk mencaplok perusahaan milik orang lain atau menyiksa mangsa baru. Lalu bagaimana dengan nasibku?
“Ngh…. Ooooh…. Aaaaah…”
Aku mengerang seiring gelinjang tubuhku lalu terkulai lemas dengan kaki mengkangkang lebar. Tubuhku bermandi keringat, selangkanganku basah kuyup dan dadaku naik-turun. Kupejamkan mata sembari mengatur napasku yang memburu.
Bila sebelumnya aku menghabiskan waktu dengan melamun atau tidur-tiduran, kini kegiatan utamaku adalah bermasturbasi. Di ranjang maupun di kamar mandi. Dalam posisi berbaring, duduk hingga menungging. Tiap kali usai orgasme, aku merasa lega dan lelah sekaligus mengantuk.
Aku pun tertidur pulas. Tapi begitu bangun, hal pertama yang kurasakan adalah ingin menikmati orgasme. Akibatnya klitorisku merah membengkak karena terus digosok. Perutku sampai kram dan kakiku pegal-pegal karena terus-terusan mengejang.
“Hmm? Ada apa sih?” gumamku kesal.
Guncangan keras di pundak, membangunkanku. Aku menggeliat sembari membuka mata dengan enggan. Ada seseorang berdiri di samping ranjang, berujar datar.
“Bangun dulu, Non. Sudah waktunya makan siang.”
Aku menggeleng. Tiba-tiba aku tersadar. Itu bukan suara Mbok Ti, pembantu yang biasa membangunkanku. Suara Mbok Ti medok, tidak serak begini. Tunggu dulu, aku kan sudah tidak punya rumah lagi. Aku kan tinggal di kamar kos sempit.
Tapi itu juga bukan suara Gina, teman sekamarku. Suara Gina mendesah manja, tidak serak menggeram begini. Ini suara laki-laki. Badannya saja besar. Ya ampun, itu kan Aheng. Kok tumben-tumbennya dia membangunkanku?
“Jangan ganggu aku. Aku masih ngantuk,” ujarku serak sambil memunggunginya.
“Sekarang sudah jam sembilan. Non harus sarapan. Lagipula seprainya harus diganti,” balasnya sambil menepuk punggungku.
Eh, kulit telapak tangannya yang kasar kok terasa? Apa punggungku telanjang? Aku menjerit kaget setelah menyadari tubuhku tidak ditutupi selembar benang pun. Aku lupa kalau tadi aku melepas seragamku dulu sebelum bermasturbasi. Aku ingin merangsang diriku sendiri semaksimal mungkin tanpa diganggu sehelai kaus singlet.
“Pergi! Pergi kau! Jangan sentuh aku!” usirku panik sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhku, tapi Aheng malah membuang selimutku dan mencengkeram lenganku.
Aku yang ketakutan langsung berontak. Kupukuli dan kutendangi gorila bermuka bopeng itu. Namun dengan sekali sentak, Aheng menyeretku turun dari ranjang. Astaga! Apa dia lebih suka main di lantai? Aku langsung ciut membayangkan sakitnya ditindih dan digenjot orang sebesar Aheng.
Ukuran kont*l BL yg kurus saja sebesar itu apalagi gorila ini? Belum lagi kalau dia main kasar. Di luar dugaanku, Aheng melepaskanku dan menyibukkan diri melepas seprai. Ngapain sih, kayak pembantu saja. Ya ampun! Aku ternganga melihat bercak merah besar di tengah seprai putih.
Seperti bendera Jepang saja. Aku menunduk dan melihat di lantai juga ada tetesan darah. Sumbernya dari selangkanganku! Aku mens!!
Aku langsung kabur terbirit-birit ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sialan! Aku lupa mengambil tampon dari lemari! Aduh, bagaimana ini? Mendadak pintu kamar mandi terbuka dan Aheng masuk menyodorkan sekotak tampon padaku. Aku hanya bisa duduk terlongong di atas kloset melihatnya mengeluyur keluar begitu saja.
Aku lebih melongo lagi setelah melihat ukuran tampon di tanganku. Tamponnya besar sekali, seukuran kont*l BL! Akhirnya aku memutuskan untuk tetap duduk di tempat daripada memerkosa diriku sendiri dengan tampon yang mungkin khusus untuk para ibu yang sudah melahirkan lebih dari lima kali.
Lagipula aku belum pernah memakai tampon karena dilarang keras oleh papa. Papa tidak mau aku diperawani oleh tampon. Dan sepertinya cara memakainya tidak mudah. Jadi aku duduk sambil memandangi darah menetes deras ke lubang kloset.
Setengah jam berlalu, pantatku sudah mati rasa dan perutku bernyanyi sumbang. Aku mulai berpikir untuk menyerah pada tampon raksasa agar bisa kembali ke kamar tidur untuk menyantap makan siang saat Aheng kembali masuk. Dia tertegun sejenak melihatku masih memegangi tampon lalu tertawa geli.
“Nggak bisa atau nggak berani pakai?” tanyanya kurang ajar.
Kutimpuk kepalanya yang gundul dengan tampon sialan itu eh benda itu malah ditangkapnya.
“Kau mau apa?” tanyaku sambil menutupi dadaku ketika dia mendekatiku.
Tanpa ba-bi-bu dia jongkok di hadapanku lalu membenggangkan kakiku lebar-lebar.
“Eh, gila! Kau mau apa?” seruku marah sambil berusaha menendangnya.
Dengan santai ditangkapnya kakiku yang sedang melayang dan disampirkannya di pundaknya. Tangannya yang satu menahan pahaku yang lain. Aku terus memaki sambil menggeliat untuk melepaskan diri sampai pantatku bergeser maju ke mukanya.
Aku sudah tidak punya malu lagi. Rasa takutku pun hilang. Aku berharap dia jijik melihat mem*kku yang berdarah, tapi harapanku sia-sia. Aheng seperti tuli. Dia merobek bungkus tampon dengan giginya lalu mengeluarkan tampon beserta longsongannya.
“Awas kalau kau berani!! Akan kubunuh kau!! Pergi! Jangan sentuh aku!” ancamku.
Ancamanku lama-lama berubah menjadi jeritan ketakutan.
“Tidaaak!! Jangaaaan!! Aaaaah!! Uggghhhh!!”
Aku berteriak kesakitan saat Aheng menyodok longsongan tampon ke mem*kku. Kupukuli lengan dan pundaknya dengan keras.
“Hhhgggh!!”
Aku mengejan saat tampon gede itu didorong masuk dengan paksa. Tanpa ragu dan belas kasihan, Aheng terus menekan tampon itu sambil memutarnya agar bisa masuk lebih dalam. Air mataku mengembeng seiring rasa linu dan perih yang timbul. Duk.
Ujung tampon menyodok bibir rahimku dengan mantap. Aku hanya bisa meringis kesakitan saat Aheng menarik keluar longsongan tampon. Akhirnya Aheng memerkosaku juga walau dengan tampon. Lalu seperti biasa, dia meninggalkanku tanpa berkata apa-apa.
Aku termangu memandangi selangkanganku. Ada tali tampon menjuntai keluar di sana. Mem*kku terasa sesak dan mengembang. Aku mencoba berdiri dan berjalan. Tampon itu membuatku tidak bisa berjalan dengan kaki rapat. Tapi lama-lama terasa nyaman juga karena daya resapnya luar biasa apalagi bila mem*kku berkontraksi, rasanya seperti sedang disetubuhi tanpa henti.
Sore harinya Aheng kembali masuk kamar. Dia tidak juga mau pergi saat kuusir dengan sambitan bantal, guling dan selimut. Dia malah menyeretku ke dalam kamar mandi. Perlawanan yang kulakukan dengan cara menggigit tangannya dan menendang tulang keringnya sia-sia.
Gorila ini seperti terbuat dari batu. Nyaliku mulai ciut dan bentakanku melemah. Jangan-jangan kali ini dia benar-benar ingin mencicipi tubuhku.
“Ayo, cepat mandi. Sebentar lagi bos pulang,” ujar Aheng seakan aku ini anak kecil saja.
“Mana bisa aku mandi kalau kau ada di sini. Memangnya aku tontonan?”
“Bos biasa begitu.”
Ah, pantas saja. Kalau memerkosa di depan umum saja tidak malu apalagi mandi ditonton bodyguard-nya. Kurasa BL itu benar-benar gila. Mungkin dia sejenis penganut sadomasokis eksibisionis.
“Apa bosmu yang menyuruhmu menungguiku mandi?” tanyaku jengkel.
“Bos bilang, aku harus memasangkan tampon lagi.”
“Kalau aku nggak mau?”
“Kau harus mau,” ujar Aheng sambil menyalakan shower.
“Aaaargh! Pelan-pelan dong!” seruku sewot saat dia mencabut tamponku dengan kasar.
Aheng tak menyahut dan malah mulai memandikanku. Boleh dibilang dia ikut mandi karena aku tidak bisa diam. Aku terus memaki sambil meronta, tapi juga tertawa karena sentuhan tangannya saat menggosok ketiakku membuatku kegelian. Tapi tubuhku langsung mematung saat jari-jarinya menyentuh klitorisku.
“Sudah. Jangan,” cegahku sambil menepis tangannya. “Jang…an. Oooh…”
Tanpa sadar aku mengerang. Aku menikmati gosokan jari dan telapak tangannya. Aku mendesah kecewa saat tangan Aheng hanya lewat sekejap dan terus turun ke kakiku. Aku menggigit bibir agar jangan sampai meminta gorila itu kembali menyentuh daerah terlarangku.
Aku bahkan tidak peduli lagi kalau aku sedang mens. Toh, Aheng sendiri tidak merasa jijik. Aku tak bisa lagi menahan hasratku saat Aheng membilas tubuhku.
“Mmm… Ada yang belum bersih,” gumamku.
“Mana?” tanya Aheng heran.
Aku menunduk malu.
“Di situ,” ujarku pelan sambil menunjuk ke bawah pusarku.
Aheng menyemprotkan shower ke pangkal pahaku yang dibasahi aliran darah segar.
“Bukan, masih ada sisa sabun di atasnya,” ujarku nekat.
“Dia cuma bercanda, Heng. Sudah bersih kok.”
Oh my God!!! Mukaku terasa panas hingga ke kuping. Aku mendongak dan melihat BL berdiri bersandar di pintu kamar mandi yang terbuka. Dia masih memakai kemeja kerja yang kedua lengannya digulung. Kedua tangannya bersedekap dan senyum mengejek meronai wajahnya.
“Pasangkan tamponnya,” perintah BL sambil melepas dasi.
“Kenapa harus tam… Aduh!”
Aheng meregangkan kakiku hingga aku terhuyung. Tak dipedulikannya darah yang menetes ke lantai dan dengan sekali sodok dia memasukkan tampon raksasa itu.
“Aaaaooh! Sakit! Gila!” teriakku. Kujitak kepala Aheng dengan kesal, untung dia tidak melawan. “Apa kau nggak bisa pelan-pelan?”
“Jangan pura-pura nggak suka,” tukas BL datar sembari membuka kancing kemejanya.
“Kau sengaja memberiku tampon ukuran gajah untuk menyiksaku kan?”
“Tapi kau merasa terangsang kan? Perempuan memang selalu begitu. Bilang nggak, tapi maksudnya iya. Bilang sakit, tapi sebenarnya enak. Apa tadi kau mau menggoda Aheng? Pengen mencoba kont*lnya?”
Aku mendelik dengan wajah merah. Belum sempat aku membela diri, dia sudah bicara pada ajudannya.
“Heng, buka celanamu.”
Aku berjaga-jaga saat Aheng yang berdiri di depanku membuka celananya. Aku terkesiap melihat kont*l gorila itu yang … nyaris tidak ada. Hanya ada gundukan daging lembek sepanjang dua sentimeter. Astaga, apa yang sudah dilakukan BL padanya?
“Ke… kenapa begini?”
Aheng diam saja dengan wajah membeku.
Aku berpaling pada BL dan berseru geram, “Kau bukan manusia! Dasar binatang ke…”
“Jangan bilang begitu pada bos!” bantah Aheng dengan suara menggelegar sehingga aku melompat mundur terkaget-kaget.
“Sudah. Sekarang kau berdiri di sana,” perintah BL berikutnya pada Aheng.
Mulut Aheng terkatup dan dengan patuh dia berdiri di dekat bathtub tanpa menaikkan celananya. Aku menatapnya dengan iba, tapi sama sekali tak tampak ekspresi malu atau menderita di wajahnya.
“Dia paling benci dikasihani,” tukas BL sembari mendekatiku.
Aku berlari keluar, tapi dengan gesit gorila itu menghalangi langkahku. BL memelukku dari belakang. Aku meronta, mencoba melepaskan diri, tapi libatan lengannya makin erat. Lidahnya menyapu kuduk dan telingaku. Giginya meninggalkan bekas di leher dan pundakku yang masih basah. Jari-jarinya meremas payudaraku dan memilin putingku dengan keras.
“Ugh… Hhhh…,” desisku sembari meringis menahan sakit.
Gilanya aku mulai terangsang. Tanpa menerima perintah, otot-otot liang vaginaku sudah meremas tampon besar di dalam dengan getol. Aku kembali terhuyung mengikuti tubuh BL yang terus mundur dan jatuh terduduk di atas pangkuannya.
Ternyata dia duduk di atas kloset. Aku masih terus berusaha kabur meski jari-jarinya sudah mengusap bagian dalam pahaku. Kucoba mengatupkan pahaku, tapi ditahannya dengan kuat. Perlawananku melemah saat klitorisku disentuhnya.
“Kau menikmatinya kan? Buktinya kau makin basah. Begini nih cara masturbasi yang benar. Ayo, lihat. Nggak usah malu-malu. Mumpung ada yang mau ngajarin.” Ngocoks.com
BL melepaskan payudaraku dan menundukkan kepalaku sehingga aku terpaksa melihat apa yang sedang dilakukannya. Dia sedang membuat putaran-putaran kecil di klentitku, kadang sesekali mencongkel benjolan kecil yang mulai mengeras itu.
Tubuhku menggeletar menahan gelinjang dan bibirku kugigit keras untuk menahan ledakan erangan erotis yang ingin keluar. Napasku mulai memburu lagi setelah kuku jari BL menelusuri lekukan klent*tku sambil sedikit menekannya. Aku baru bisa bernapas lega setelah dia menarik jarinya.
“Ini darah bukan, Heng?” tanya BL sembari melambaikan jari tengah kanannya yang mengkilap.
“Bukan bos, bening.”
BL tertawa mengejek.
Di dalam pasti super becek sampai luber keluar tampon. Horny berat begini kok masih jual mahal. Kau masih harus belajar banyak. Teknik masturbasimu masih payah.”
Melihatku tercenung, BL tertawa lagi.
“Kau pikir aku nggak tahu kalau kau suka sekali masturbasi. Delapan kali sehari rekormu. Seperti olah raga saja ya mandi keringat.”
“Ka… kau… mengintipku?” tanyaku terbata.
“Ada tiga kamera di sini dan empat di sana,” ujar BL seraya mengedikkan kepalanya ke arah kamar tidur.
Bersambung…