“Kamu ada waktu Malam Ini, Dra?”
Endra tersentak. Suara Pak Randi, bosnya yang terkenal dengan sikapnya yang agak ‘tua’ dan sedikit kampungan, membuyarkan lamunannya.
“Ehmm ada, Bos. Soalnya nggak ada rencana apa-apa malam ini. Kenapa, Bos?” jawab Endra, hati sedikit was-was.
“Ah, bagus. Kalau gitu, aku mau ngajak kamu makan malam di rumahku malam ini,” lanjut Pak Randi dengan nada penuh semangat, sorot matanya sedikit berbinar.
Endra mengerutkan kening. “Eh, nggak ganggu istri Bos nanti?”
“Ah, nggak apa-apa. Istriku itu pengertian banget. Nanti aku kenalin kamu sama dia, Dra,” sahut Pak Randi dengan senyum lebar, matanya berkedip nakal.
“Alah, aku malu, Bos,” jawab Endra, sedikit gugup.
“Alah, Dra, ayolah. Besok kan weekend. Ayo dong,” bujuk Pak Randi, nada suaranya sedikit berdesir.
Haih, apa gerangan agenda Bosnya ini malam ini? Batin Endra mulai cemas. Jangan-jangan malam ini ia akan berakhir menjadi korban nafsu bejat bosnya yang ‘tua’ itu. “Semoga saja dia sudah berkeluarga dan nggak punya niat yang nggak-nggak,” doanya dalam hati yang mulai terasa gelisah.
“Erm, oke deh, Bos. Tapi Bos jangan macam-macam sama aku ya, Bos,” pinta Endra sedikit bernada ancaman, nada suaranya sedikit meninggi.
“Hahahaha, ke situ lagi kamu, Dra. Santai aja. Gabung makan malam dulu, nanti kita lihat,” jawab Pak Randi dengan tawa yang terdengar sedikit mengejek, ada nada menggoda dalam tawanya.
“Baiklah, Bos,” sahut Endra. Hanya Tuhan yang tahu perasaan gelisah yang menyergapnya saat itu.
“Kamu datang kantor naik apa, Dra?” tanya Pak Randi lagi, sambil memperhatikan Endra dari atas sampai bawah, tatapannya sedikit intens.
“Aku naik motor aja, Bos,” jawab Endra, sedikit menghindari tatapan Bosnya.
“Oh, kamu nggak punya mobil, Dra?”
“Belum ada rezeki buat beli lagi, Bos. Lagi pula, syarat buat beli mobil pertama belum terpenuhi. Aku kan baru kerja beberapa bulan aja, Bos. Kalau mau mengajukan pinjaman, juga belum tentu lulus,” jelas Endra dengan sedikit nada canda, berusaha mengurangi ketegangan.
“Eh, kamu kan lulusan sarjana. Pasti bisa lulus, kok.”
“Nggak apa-apa lah, Bos. Lagi pula aku sendirian. Naik motor juga udah cukup nyaman,” jawab Endra, berusaha menghindari obrolan tentang mobil.
“Alah, Dra, belilah mobil. Kan lebih nyaman. Eh, gini aja, kalau kamu mau, aku bisa rekomendasikan kamu. Aku kenal direktur bank. Dijamin lulus kalau aku rekomendasikan kamu, Dra. Bilang aja kamu mau mobil apa, nanti aku kabarin banker itu,” tawaran Pak Randi dibumbui dengan senyum yang menggoda, membuat Endra semakin tidak nyaman.
“Baiklah, Bos. Nanti aku pikirkan dulu ya, Bos,” jawab Endra masih dengan nada was-was.
“Alah, nggak perlu pikir-pikir lagi. Besok kita ke showroom BMW. Aku kenal bos showroom itu,” Pak Randi kekeh, senyumnya semakin lebar.
BMW, Bos? Mahal itu. Mana aku mampu,” jawab Endra, matanya membulat, sedikit terkejut.
“Alah, kita lihat-lihat aja dulu. Aku rasa mobil itu cocok buat kamu, Dra,” kata Bosnya, seakan sudah pasti Endra akan menyetujuinya, suaranya terdengar lembut dan sedikit mendesak.
Gila! BMW! Batin Endra mulai kalut. Baru kerja, sudah diajak ke showroom mobil mewah. Kalau sampai ia direkomendasikan untuk membeli BMW, bisa-bisa ia akan menjadi bahan gunjingan di kampung halamannya.
“Dra, kamu parkir motor kamu di mana?”
“Di basement, Bos.”
“Ooh, oke. Kamu tinggalkan aja motor kamu di sana. Kamu ikut aku pulang naik mobilku ya,” titah Pak Randi, nada suaranya terdengar berwibawa dan sedikit dominan.
“Kita mau berangkat sekarang, Bos?” tanya Endra, sedikit ragu-ragu.
“Aah lah. Ayo lah, nanti macet, jadi telat pula. Lagi pula rumahku di Sunter itu, hahaha,” jawabnya, tawanya terdengar sedikit meremehkan.
Endra melihat jam tangannya. Pukul 6 sore. Lama juga ia mengobrol dengan Pak Randi. Rasanya hampir satu jam.
Perjalanan menaiki Mercedes E-Class dari kantor Endra menuju rumah Pak Randi memakan waktu sekitar 40 menit karena jalanan agak macet di sore Jumat itu.
Ini adalah pertama kalinya Endra sampai ke Sunter. Rumah Pak Randi terletak di kawasan perumahan elite yang dijaga ketat dan dilengkapi gerbang.
“Fuh, mewah juga tempat tinggal Bos ya,” komentar Endra kagum, matanya terbelalak menatap rumah-rumah megah di sekitarnya.
“Alah, biasa-biasa aja, Dra,” jawab Pak Randi sambil membelok masuk ke halaman sebuah rumah mewah yang dilengkapi kolam renang, senyumnya misterius.
“Besar sekali rumah Bos ini! Berapa orang yang tinggal di sini, Bos?” tanya Endra, matanya tak lepas dari kemegahan rumah tersebut, matanya berbinar-binar.
“Aku dan istriku saja, Dra.”
“Bos tinggal berdua saja? Gila, besar sekali ini,” Endra bergumam kagum saat melihat rumah tiga lantai milik Pak Randi. Berapa ya kira-kira gaji Bosnya ini? Kalau gajinya di bawah seratus juta, mustahil bisa tinggal di rumah semewah ini, pikirnya.
“Silakan masuk dulu, Dra. Nanti aku ajak kamu lihat-lihat rumah ya,” ajak Pak Randi dengan senyum yang terasa misterius dan menggoda, matanya menatap intens ke arah Endra.
Endra pun terpaku, hatinya berdebar kencang. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres, namun ia tak bisa menolak ajakan Bosnya itu. Rasa penasaran dan sedikit takut bercampur aduk di dalam dada.
Ia pun melangkah masuk, memasuki dunia baru yang penuh dengan misteri dan godaan yang belum diketahui, tubuhnya terasa bergetar karena antisipasi. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ada rasa tertarik yang kuat yang menguasai dirinya.
******
“Ayo masuk Dra, jangan malu-malu ya Dra, buat saja rumah ini seperti rumah Dra sendiri,” ucap Pak Randi, bosku, sembari tersenyum ramah.
“Bagus sekali dekorasi rumahnya, Pak,” pujiku, mengagumi keindahan interior rumah mewah bosku yang terasa begitu lembut dan menenangkan.
“Terima kasih, Dra. Dekorasi ini ide istriku. Silakan duduk dulu ya, Dra. Aku mau ganti baju sebentar,” kata Pak Randi, mempersilakan aku duduk di sofa empuk di ruang tamu.
Pak Randi kemudian menuju ke arah lift, meninggalkanku duduk sendirian. Sambil menunggu, aku pun asyik memainkan game di ponsel android murahku.
Waktu terasa berlalu begitu lambat. Aku mulai merasa tidak nyaman. Sudah hampir satu jam aku menunggu sendirian. Apakah Pak Randi tertidur? Atau… apa yang sedang dia lakukan di atas? Jangan-jangan dia sedang… merias diri menjadi wanita? Aduhai, kalau sampai begitu, bisa-bisa aku mati kutu!
Tiba-tiba, bunyi ting! dari lift memecah keheningan.
Degup jantungku berdebar kencang. Seolah membaca pikiranku, Pak Randi muncul bersama seorang wanita cantik yang membuatku tertegun seketika.
“Maaf, Dra, karena meninggalkanmu sendirian. Eh, Dra, ini istriku, Jihany.”
Aku langsung berdiri saat istri bosku mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Panggil aku Jihan saja,” ujarnya dengan suara lembut, tangannya terasa halus saat bersentuhan dengan tanganku.
Jihan… sungguh cantik. Kulitnya putih mulus, rambut hitamnya dihiasi dengan sentuhan warna merah yang mempesona. Wajahnya terlihat tegas, namun senyumnya mampu meluluhkan hati.
Lesung pipitnya menambah daya tarik wajahnya yang ayu, namun tetap terpancar aura kuat dan tegas. Ah, memang benar, istri para bos biasanya begitu. Tegas, anggun, dan tak mudah ditaklukkan.
Beda banget sama cewek-cewek TikTok zaman sekarang yang suka banget pamer dan sok kaya, padahal nggak ada usaha sendiri. Ngocoks.com
Tubuhnya tinggi semampai, sekitar 167 cm. Pinggulnya membulat sempurna, pantatnya indah dan montok. Dadanya… cukup berisi, kurasa sekitar 36C. Ah, aku hanya menebak saja sih.
Setelah makan siang, kami diajak Pak Randi dan Jihan untuk bersantai di tepi kolam renang sambil berbincang dan menghisap rokok.
Aku memperhatikan Jihan, ternyata dia perokok berat. Rokok demi rokok dihisapnya silih berganti.
Jihan bekerja sebagai manajer proyek di sebuah perusahaan teknik mekanikal dan elektrikal.
Selama berbincang, aku merasakan tatapan Jihan yang intens. Rasanya seperti ada magnet yang menarikku padanya. Dia cantik, dan… aku mulai merasa gelisah.
“Aduh, jangan-jangan aku jatuh cinta nih sama Jihan,” gumamku dalam hati. “Jangan kasih harapan, Jihan. Aku ini orang kampung yang sederhana, mana mungkin bisa mendapatkan wanita secantik dan seanggun kamu.”
“Dra, mau nonton film nggak?” tanya Jihan, suaranya terdengar menggoda.
Tiba-tiba, tanganku terasa hangat. Jihan memegang pahanya, tepat di bagian atas. Pak Randi melihatnya, namun dia hanya tersenyum santai.
“Kalau aku yang diposisinya Pak Randi, pasti sudah…,” batinku. Jihan cantik, seksi, dan menggoda. Namun, aku perhatikan, payudaranya terlihat agak kendur. Untungnya, dia pakai baju yang cukup tebal, sehingga putingnya tidak terlihat.
“Ayo,” ajak Jihan, lalu menggenggam tanganku di depan Pak Randi. Astaga, aku jadi takut kena marah Pak Randi.
Saat kami hendak masuk ke dalam, ponsel Pak Randi berdering.
“Eh, kalian lanjut saja dulu. Aku mau jawab telepon dulu,” ujar Pak Randi.
“Yuk, Dra, kita ke ruang keluarga, nonton TV,” ajak Jihan.
“Sayang?” Apakah aku salah dengar? Dia memanggilku sayang di depan Pak Randi? Aku melirik Pak Randi, dia hanya mengedipkan mata dengan senyum jahil.
“Wah, ini kesempatan emas,” batinku.
Bersambung…