Saat aku memasuki ruang keluarga, Tante Hani sedang tiduran dengan tangan kirinya diletakan di atas bantal menyangga kepalanya, sehingga terlihatlah ketiaknya yang putih dan berbeda dari ibuku, Tante Hani mencukur habis ketiaknya.
Bahkan, tidak terlihat ada satu pun akar rambut di situ. Mungkin Tante Hani mencabuti bulu ketiaknya dengan teratur, karena tidak ada tanda bekas cukur yang menggelap di sana. Ketiak Tante Hani benar-benar mulus dan botak. Dengan melihat ini saja, sontak kejantananku mengeras sampai pol.
“Ari?” tanya tante Hani padaku sedikit terkejut. “Tumben kamu turun ke sini. Biasanya main sama Mbakmu terus…”
Aku merasakan sedikit ketakutan ketika Tante Hani mengatakan ‘main’, aku parno apakah ia mengetahui bahwa aku selama beberapa hari ini terus menggauli anak gadisnya itu?
“Eh…..” kataku sedikit tercekat,” Mbak Vidya udah tidur. Mungkin capek.”
“Ah… capek gimana?” jawab Tante Hani,”wong kerjanya makan tidur kalo libur begini. Memang doyan tidur aja dia..”
Aku duduk di sofa kecil di samping sofa besar yang ditiduri Tante Hani. Aku lupa pakai celana panjang tadi, sehingga kini aku hanya memakai celana boxer dan kaos singlet. Berhubung aku pikir Tante Hani sudah masuk kamarnya sendiri. Tiap kamar ada TV-nya, sehingga aku tidak menyangka ternyata Tante Hani nonton di ruang keluarga.
Sepanjang jalan dari saat aku memasuki ruangan hingga aku duduk, aku memperhatikan lekuk tubuh Tante Hani yang semok. Perutnya buncit, tapi bukan buncit gendut, hanya daerah sekitar pusar saja yang buncit tanda pernah melahirkan, juga aku memperhatikan ketiaknya yang putih bagai salju. Lebih putih dari kulit bagian lain. Tidak terlihat bekas cukur di situ. Bagaikan ia memang tidak memiliki bulu ketiak dari dulu.
Ketika aku sadar aku kurang ajar dengan menatapi tubuhnya seperti itu, aku segera menatap matanya, yang ternyata sedang menatap selangkanganku. Memang saat itu burungku sudah tegak, apalagi karena melihat tubuhnya yang walau memakai gaun tidur, tapi tampak seksi sekali.
Ketika aku sudah akan duduk, aku masih menatap matanya yang sedang asyik memperhatikan daerah terlarangku, barulah ketika aku duduk, mata Tante Hani menatap mataku. Sesaat kami bertatapan mata, aku melihat tatapannya yang berhiaskan harap, sehingga aku bukannya takut namun malah memberanikan terus menatap matanya. Aku pernah melihat tatapan yang sama pada ibuku dan Mbak Vidya, terutama ketika mulai birahi. Apakah Tante Hani sedang horny?
Setelah sejenak kami bertatapan, Tante Hani memalingkan mukanya dariku dan menatap TV lagi. Semburat merah terlihat di wajahnya yang putih. Menurutku, wajah wanita dewasa yang sedang tersipu seperti tanteku itu menjadikan kecantikannya bertambah seksi.
Kami terdiam selama beberapa waktu. Entah dua, tiga atau lima menit. Kami asyik dengan pikiran kami sendiri. Namun kemudian, setelah berdehem, tanteku berkata,
“Ari… tante mau ngomong sama kamu…. Kamu jangan marah ya….”
Seketika aku lemas. Aku saat itu berpikiran bahwa mungkin ini adalah saatnya Tante Hani akan memarahi aku karena hubunganku dengan anaknya. Tante Hani kemungkinan besar sudah tahu jalinan terlarang antara Mbak Vidya dan aku.
“Begini, Ri. Kamu tau kan Mbakmu Vidya. Dia itu baru lulus SMA. Rencananya tahun ini dia akan meneruskan kuliah. Mbakmu itu, remaja anak Jakarta. Pergaulan di Jakarta itu sekarang sudah modern. Nilai-nilai lama sudah ditinggalkan. Batas kesopanan sudah berbeda dibanding pada masa Tantemu dan ibumu dulu masih muda.
“Tadi siang Tante lihat kalian berdua di kamar tidur, memang sih hanya berbicara, namun pakaian kalian itu tuh. Masak hanya pakai baju dalam saja? Bukannya Tante marah, tapi rasanya ga pantas dua anak remaja berduaan pakai baju yang minim. Jangan bilang bahwa kamu sih biasa saja menghadapinya. Wong tante merhatikan burung kamu itu tegang, kok, waktu di dalam kamar Mbakmu. Sama kayak sekarang, burung kamu tegang lagi.
“Maksud tante, kamu ini sudah besar. Hal-hal seperti ini kamu sudah mengerti. Buktinya kamu kalau melihat perempuan pakai baju minim, kamu sudah mempunyai hasrat seksual. Jadi sebenarnya kamu sudah tahu mengenai hal-hal yang saru. Itu bukan hal yang salah, dan tante tidak menyalahkan kamu, kok. Jadi kamu jangan sedih dulu (wajahku sedang memelas saat itu).
“Nah, Mbakmu Vidya itu, mungkin karena pergaulannya yang modern dengan teman-temannya, maka dia tidak merasa bahwa apa yang dilakukannya salah. Kamu juga ga salah, karena kamu pun kayaknya ga tahu bahwa sebenarnya kalian itu ga pantes berduaan dengan hanya baju yang minim.
“Maksud tante. Mbakmu itu bukan anak yang polos lagi. Walaupun dia sudah sumpah di depan tante bahwa dia masih perawan, tapi mengenai hal-hal yang dewasa dia itu juga sudah tahu. Mungkin Karena pergaulannya, atau mungkin pendidikan, atau dari media informasi. Seharusnya dia juga tahu bahwa dengan berbaju minim itu, dia mengundang kelelakian kamu.
“Nah. Kemarin siang Tante lihat kalian sedang ciuman di ruang makan. Ciumannya hot banget. Pakai lidah segala. Apakah kamu menyangkal?”
Jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat. Ternyata kecurigaanku terbukti. Tante telah menyaksikan kami ciuman! Apakah Tanteku tahu sejauh mana hubunganku dengan Mbak Vidya?
Karena aku belum menjawab, dengan perlahan Tante Hani bertanya lagi,
“Benar ga kata-kata Tante, Ari? Kamu dan Mbak Vidyamu itu ciuman, kan?”
Aku hanya mengangguk dan menunggu semprotan susulan dari tanteku itu.
“Tante minta maaf. Tentu saja bukan salah kamu. Kamu kan masih kecil. Baru kelas 2 SMP Juli nanti. Tante minta maaf karena tidak bisa mengontrol anak tante. Dia itu lebih tua, harusnya lebih tahu. Nah, setelah tante melihat kemesraan kalian itu, Tante menjadi bertanya-tanya dan berpikir. Kenapa sih Mbak Vidya itu yang katanya masih perawan malah menggoda adik sepupunya sendiri?
“Tante terus mengingat-ingat masa lalu. Kalian berdua semenjak kecil memang dekat sekali. Dan memang itu sah-sah saja. Karena seharusnya kalian menjadi kakak dan adik sebagaimana mestinya. Tetapi, tante ingat ketika tahun lalu, kamu ini baru mau lulus SD, terakhir kali kamu dan mamamu menginap di rumah Tante.
“Entah kenapa kalian menjadi jarang ke sini lagi. Dan ini merubah Mbak Vidyamu. Dia jadi menutup diri di kamar. Waktu itu tante kira karena dia baru saja putus dari pacarnya. Jadi tante ga banyak pusing. Tetapi sekarang, ternyata Tante tahu permasalahannya.”
Aku semakin keringat dingin. Bentar lagi pasti akan pecah nih kemarahan Tanteku.
“Setelah tante pikir-pikir dengan seksama. Maka, tante menduga bahwa Mbakmu itu sebenarnya jatuh cinta sama kamu. Itulah kenapa tahun lalu dia tampaknya sedih. Dan itulah kenapa sekarang ketika kamu nginep di sini lagi, Mbakmu itu merayu kamu.
Sampai kalian ciuman. Nah, yang tante mau tekankan adalah, jangan sampai hubunganmu terlalu jauh dengan Mbakmu. Kalian berdua ini masih muda. Masih sekolah. Jangan sampai ada sesuatu yang menghambat perkembangan kalian…”
Pertama-tama aku mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang Tante Hani katakan. Mau ga mau. Karena aku ketakutan dimarahi, aku menjadi siaga dan mendengarkan penuh apa yang ia katakan padaku.
Tetapi setelah akhirnya aku mendapati bahwa Tanteku itu tidak marah padaku, pikiranku mulai ngelantur lagi. Mataku bagaikan ditarik oleh magnet yang tak terlihat dari tubuhnya sehingga mataku bolak-balik memperhatikan pangkal lengannya yang mulus dan dua buah payudaranya yang besar.
Ketiak yang bersih dan botak bagaikan ketiak anak kecil dan gundukan buah dadanya mengirimkan sinyal yang tabu kepada naluri kelelakianku.
Tidak kusadari Tante Hani sudah tidak berbicara lagi. Suasana rumah menjadi hening. Dengan gugup aku memandang matanya yang saat itu sedang menatap mataku dalam-dalam. Wajah Tante Hani terlihat aneh. Tidak seperti biasanya. Seperti ada raut kegusaran yang diselingi oleh suatu ekpresi wajah yang aku tak pernah melihat sebelumnya.
“Tante perhatikan mata kamu menjelajahi dada dan ketiak Tante,” kata Tanteku dengan suara yang perlahan namun seakan menusuk jantungku,”memang ada apa dengan dada dan ketiak Tante?”
Dadaku berdebar tidak karuan. Mataku yang jelalatan sudah tertangkap basah. Aku bingung harus bilang apa kepada Tanteku itu. Aku menelan ludah dan berkata,
“eeee…… Tan…. Tan…. Tante cantiiiik….”
Tante Hani terdiam sebentar lalu berkata agak lirih,
“Tante cantik? Tante yang sudah tua dan gendut ini? Mbak Vidya kamu itu yang cantik. Muda. Badannya masih seksi, kan?”
Membahas ini bagaikan sesuatu yang normal menambahkan keberanianku untuk berbicara. Mungkin aku bisa merubah semua ini menjadi keuntungan bagi diriku sendiri.
“Mbak Vidya memang cantik. Tapi Tante ju… juga cantik. Tante memiliki kematangan. Apalagi da… dada Tante itu jauh lebih eee….. berisi daripada Mbak Vidya…” kataku sedikit terbata.
“tapi kenapa kamu juga memperhatikan ketiak Tante?”
“Ga tahu tante. Ari su… suka aja melihat ketiak Tante yang bersih tanpa bu.. bulu.”
“Masa sih? Mana ada lelaki yang suka sama ketiak? Oom kamu aja ga pernah melihat ketiak Tante seperti ini. Kamu sebenarnya jijik ya ngelihat tante buka ketiak seperti ini? Biar tante tutup tangan Tante.”
Tante Hani beringsut mengangkat kepalanya yang tadi menindih tangannya. Aku melihat kesempatan untuk menyentuh wanita setengah baya yang bohai ini, maka aku buru-buru memegang lengan bawahnya tepat di bawah siku sambil belagak panik sambil berkata,
“Jangan Tante! Biarin aja.”
Tante Hani tampak kaget dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia terdiam saja melihatku yang tadi duduk di sofa kecil di samping sofa besarnya itu kini sudah bergerak cepat menahan tangannya sehingga posisiku kini berlutut dihadapannya sambil memegang lengan kirinya itu.
Mataku terpaku kepada ketiaknya yang putih bersih itu. Pengalamanku dengan dua perempuan sebelumnya yang memiliki rambut ketiak menjadikan aku penasaran juga dengan perempuan yang mencukur bulu ketiaknya sehingga bersih. Apalagi aroma tubuh Tante Hani menambahkan daya erotisnya.
“Kalo… kalo boleh Ari mau lihat ketiak Tante lebih lama…” kataku perlahan.
Tante Hani tampak seperti berpikir ketika aku melirik wajahnya sebentar sebelum aku menatap lagi ketiaknya. Kusadari nafasnya kini mulai agak berat. Lalu Tante Hani berkata, sumber Ngocoks.com
“Apa betul, Ri? Ga bohong? Memang sih kamu melihati terus ketek Tante kayaknya kamu suka. Tapi kamu masih melihat dari jauh. Tante masih ga percaya kamu suka sama ketiak Tante yang bau ini. Pasti kamu muak mencium bau ketiak Tante. Apalagi sore tadi Tante lupa mandi. Habis, mikirin kalian berdua sih.”
Ini kesempatan kedua, pikirku. Aku sekilas ingat bahwa Tanteku sedang ada permasalahan dengan Oomku. Ada kemungkinan sudah lama dia tidak disentuh laki-laki. Dalam sepersekian detik aku telah memutuskan tindakanku selanjutnya.
Dengan gerakan kilat, aku membenamkan hidungku di ketiak kirinya itu. Aroma Tanteku mirip dengan aroma tubuh Ibuku. Tetapi masih ada perbedaannya. Aroma tubuh tanteku tidak setajam Ibu melainkan sedikit halus dihidungku. Lebih mirip dengan aroma Mbak Vidya.
Tante Hani mengeluarkan pekik kecil dan mendorong kepalaku dengan tangan kanannya. Katanya tegas,
“Ari! Apa yang kamu lakukan?”
“Tante kan tidak percaya sama Ari,” kataku sambil menggunakan tangan kiriku menolak tangan kanan Tante Hani,” makanya mau Ari buktikan. Bau tubuh Tante Hani sangat wangi bagi Ari. Wangi banget, Tan.”
Lalu kembali aku membenamkan hidungku di ketiaknya. Kurasakan perlawanan di tangan kanan Tante Hani, namun aku terus menahan tangan itu dengan tangan kiriku. Beberapa saat aku menghirup aroma ketiak kiri Tante Hani sebelum akhirnya aku menjilati ketiak yang bersih itu.”
“Ahhhhhhh” desah Tanteku. Kini tangan kanannya berhasil mengalahkan tangan kananku. Berhubung aku masih anak bau kencur dan ia sudah dewasa. Tangan kanan itu tiba-tiba saja menjambak rambutku. Aku bersiap menahan sakit saat ia menjambak rambutku menjauh dari ketiaknya, tetapi ia hanya meremas saja tanpa menarik kepalaku. Sepertinya ini lampu hijau.
Sambil menjilati ketiaknya, aku menatap wajah Tante Hani. Ia sedang menatapku. Wajahnya penuh kekagetan dengan mulut menganga. Kami bertatapan lama juga. Ia memperhatikanku menjilati ketiaknya yang asin dan hangat. Tidak ada satu patah katapun keluar dari mulutnya. Aku mulai mengenyot keteknya, dari ujung bawah sampai ujung atas. Terkadang bahkan bagian bawah lengannya ikut tersapu juga oleh mulutku.
Mungkin ada sekitar lima menit aku menyelomoti ketiaknya. Aku tak yakin. Aku tidak memperhatikan jam dinding. Kemudian aku mulai meneruskan menjilat dan mengenyoti ke atas yaitu bagian bahu kirinya. Ketika pipiku menyentuh dagunya, aku segera mematuk mulutnya yang terbuka dengan mulutku.
Ketika bibirku menyentuh bibirnya, secara otomatis Tante Hani mengatupkan bibirnya, saat itu bibir bawahku tepat diantara kedua bibirnya, sehingga saat bibirnya menutup, bibir atas Tante Hani langsung aku kenyot dengan kedua bibirku.
Tante Hani memalingkan wajahnya ke arah punggung sofa sehingga bibir kami berpisah. Ia berkata lirih,
“Ari…. Kamu mau ngapain sih? Jangan…..”
Tangan kiriku yang memegang tangan kanannya dan juga tangan kananku yang menahan lengan kirinya tidak mendapatkan perlawan sama sekali. Aku menatap wajahnya. Wajah Tante Hani kini berpaling kembali ke arah wajahku dan menatapku dengan mata membelalak.
Aku sempat bingung. Tante Hani bilang tidak mau, tapi badannya tidak melawanku. Ia tidak mendorong tubuhku. Kalau dia mau, dia mampu melawanku seperti yang tadi ia perlihatkan. Tapi kini tidak ada perlawanan darinya.
Aku mencium bibirnya lagi. Kembali Tante Hani memalingkan wajahnya dan berkata,
“Ari! Aku ini tantemu!”
Kucium lagi. Dan kembali ia menolak sambil berkata,
“Ari! Jangan kurang ajar ya! ini Tantemu!”
Bersambung…