Aku tak tahu berapa lama aku dan ibu berbaring miring di sofa, karena aku sibuk mengecupi perlahan leher jenjang ibu. Bahkan aku mulai berani mengecupi pundak kiri ibu yang terbuka. Aku tak tahu pula ibu berbicara apa di telpon, tahu-tahu ibu beringsut duduk dan mematikan telpon wireless kami. Aku tersadar bahwa saat itu ibu berbicara padaku.
“Tadi Ayah tanya, kamu mau ngomong ga? Tapi ibu bilang kamu lagi sibuk.”
Ibu berdiri sambil tertawa kecil melihat aku yang bagaikan orang bingung. Karena memang aku bagaikan linglung saja setelah tiba-tiba berhenti menikmati leher dan pundak ibu.
“Kamu emang sibuk, kan? Kepalamu itu penuh dengan pikiran ngeres sampe-sampe lupa mau ngomong sama ayah.” Kata ibu. Aku menjadi malu. Namun ibu tidak memarahiku. Suaranya tidak terdengar marah. Kemudian ibu langsung beranjak pergi ke kamar tidurnya.
Setelah aku di kamar dan selesai masturbasi membayangkan kembali kehalusan kulit leher dan pundak ibu, dan mengingat-ingat wangi tubuhnya, aku mulai berpikir, apakah ibu senang dengan aktivitasku kepadanya? Bila ia senang, kenapa ia tidak minta lebih? Bila ia tidak suka, mengapa ia tidak melarangku? Dengan kepala penuh pikiran ngeres yang bingung, aku tertidur.
Paginya ketika aku bangun, ibu masih memakai baju tidur tipisnya. Pentilnya menyembul terlihat dari balik gaun kremnya. Aku horny sekali. Aku tak kuasa memandangi dadanya sepanjang waktu sarapan, namun ibu tampaknya tidak sadar bahwa payudaranya yang terhalang kain tipis sedang ditatap dengan nafsu oleh anaknya.
Ketika aku mau berangkat sekolah, aku yang tidak mampu mengontrol diri, memeluk ibu yang sedikit lebih tinggi dariku dengan tangan kiriku erat-erat, lalu sambil memegang leher ibu dengan tangan kanan, aku jinjit untuk mencium bibir ibu dengan sedikit bernafsu.
Sekitar lima detik aku cium bibir ibu dan ketika ciumanku lepas terdengar bunyi kecupan dua bibir kami.
“Tumben kamu semangat begini, Ri?”
“Ibu cantik banget pakai baju tidur ini. Ari jadi gemas,”kataku tak mampu menahan diri. Ketika kata-kataku telah meluncur, aku menyesal sekali. Aku takut ibu marah. Tapi ibu hanya tertawa kecil sambil mendorong kepalaku, katanya,
“pagi-pagi udah ngeres! Sana sekolah!”
Hari itu di sekolah aku tidak dapat konsen. Tiada sesuatu di sekolah yang membuatku dapat mengalihkan pikiran dari ibuku yang cantik dan seksi itu.
Aku telah menyimpulkan bahwa ibu senang dengan kelakuan kurang ajarku, namun tetap saja sebagai ibu, ia tidak akan membawa hubungan kami lebih jauh. Ini terbukti bahwa ibu selalu orang yang menghentikan kegiatan ngeresku kepadanya.
Pulangnya aku mendapati ibu selesai masak dan sedang menyiapkan makanan. Ia memakai tank top hitam dan rok hitam di atas lutut. Tank topnya tidak tipis, namun tetap saja menunjukkan dadanya yang besar, yang ternyata hari ini tidak terbalut bra juga. Pentil ibu terlihat membayang, dan dibalik tali bahu tank topnya, tidak terlihat bra.
Aku kembali memeluk ibu dan mencium bibirnya dengan gemas. Aku melepas bibirnya setelah kurang lebih lima detik seperti tadi pagi, namun aku kembali memagut bibir ibu. Kini lebih lama dari yang pertama.
Kontolku tertekan pada paha ibu, kontol yang sudah mengeras tanda birahi. Setelah beberapa saat ibu melepaskan bibirku dan sambil tertawa menyuruhku cuci tangan dan kaki untuk kemudian makan.
Setelah itu aku tidak mendapatkan kesempatan lagi, karena ibu sibuk dengan pekerjaan rumah. Aku kemudian tidur siang (setelah masturbasi tentunya). Sorenya, aku mandi dan mengerjakan PR. Aku sedikit kecewa, karena ayah tidak pernah telpon berturut-turut setiap hari. Sehingga kini aku tidak bisa mengerjai ibuku lagi.
Namun, malam itu ada yang telpon. Aku tahu bukan ayah, tapi aku menggunakannya sebagai dalih saja. Malam itu ibu menggunakan gaun tidur yang sama seperti malam sebelumnya.
Ibu mengangkat telpon, biasanya ibu mengangkat sambil menyender di sofa, sehingga aku hanya bisa memeluk dari samping, tapi malam itu ia duduk di pinggir sofa, menyisakan tempat di belakangnya, aku yang sudah siap segera duduk di belakang ibu sambil memeluknya.
Kini telapakku secara tak tahu malu kuletakkan di bawah payudara ibu dengan jari jemariku menggenggam bulatan payudara ibu dari bawah, sehingga kedua telunjukku kini mendekati kedua puting tetek ibu yang kenyal.
“Oh…. Mbak Hani…..”kata ibuku di telepon. Rupanya Kakak ibuku, Tante Hani telpon. Tante Hani dua tahun di atas ibuku, sehingga pada saat itu, Tante Hani berusia 34 tahun. Tante Hani seperti halnya ibuku, cukup tinggi untuk ukuran perempuan Indonesia.
Ia sedikit lebih tinggi dari ibu, namun tubuhnya agak lebih gemuk dari ibu, apalagi ukuran dadanya yang selalu menonjol di balik pakaiannya. Tante Hani kuduga memiliki payudara yang lebih besar dari Ibuku. Kekurangannya adalah, perut Tante Hani berlemak walau tidak terlihat terlalu gendut, namun tetap saja, bodinya bagiku cukup aduhai.
Entah apa yang dibicarakan ibu, karena aku sudah mulai mengendusi dan mengecupi leher ibu. Tahu-tahu ibu kini merebahkan diri ke belakang, dengan kepala disandarkan ke belakang pula, menyender pada bahu kiriku.
Kontolku yang sudah tegang dari tadi menjadi di tindih bagian atas pantat dan sedikit punggung bawah ibu, membuatku membalas tindihan ibu dengan tekanan pada bokongnya itu.
Bibirku mengecupi leher ibu dengan perlahan, namun nafsu membuat gerakanku makin lama makin cepat. Tak lama pundaknya kuciumi juga. Hampir seluruh bahu ibu kukecupi dan kuendus-endus.
Akhirnya aku memberanikan diri memagut pangkal lengan ibu, tepat di sambungan antara lengan atas dan bahunya, dengan menggunakan sedikit lidahku untuk merasakan kulit ibuku yang licin dan berkilau menyilaukan semua lelaki yang melihatnya.
“sssshhhhhh…. Mmmphhhh…….” Ibu mendesah, namun dengan cepat ibu tersadar dan berkata di telepon,” ohh…. Nggak kenapa-napa, Mbak. Bahuku sedang dipijit Ari, soalnya sudah pegal dari tadi….. iya…… iya…… enggak, kok, Mbak…. Aku belum mau istirahat… masih bisa ngobrol sama Mbak……”
Lidahku merasakan begitu halusnya kulit ibu. Indera pengecap di lidahku mencicipi rasa kulit ibuku. Tentu saja bukan rasa seperti di kala makan buah-buahan atau makanan, bukan rasa yang membuat perut lapar, tetapi rasa dari kulit ibu menyebarkan sensasi sensual ke seluruh tubuhku, terutama kepada kejantananku yang mulai berkedut tak sabar.
Aku masih mengulum pundak ibu dan sedikit mengenyoti perlahan kulitnya yang halus dan licin. Setelah beberapa saat aku lepaskan pagutanku, lalu mulai memagut perlahan pundaknya yang lebih dekat ke leher ibu, sesenti demi sesenti.
Tiap pagutanku berkisaran antara tiga sampai lima detik dengan kenyotan pada pundak ibu sepanjang itu. Perlahan bibir dan lidahku mendekati leher ibu, dan suara ibu makin terdengar bergetar ditingkahi nafasnya yang mulai sedikit memburu.
Ketika aku sampai pada leher ibu bagian bawah, ibu tak sadar melenguh lagi,
“sssshhhh… Ariiiii…. Iya….. disitu…………,” kata ibu sedikit tercekat,”kenapa, Mbak? Oh…. Ari pinter mijit bahu Irma, Mbak…… enak sekali pijatannya………………………. Kenapa?…… Oh, boleh aja. Nanti kalau Mbak ke sini biar dipijit Ari……..”
Pada saat itu aku mulai melumat leher kanan ibu dengan mulut dan lidahku. Kini lidahku lebih berani kuulur, dan sesekali, bagaikan anjing, aku menjilat leher ibu dari pangkal leher sampai ke bawah dagunya. Saat itu tangan kanan ibu yang tadi diam saja, mendekap kepalaku dan sedikit meremas rambutku.
Aku menjadi lupa daratan. Tanganku reflex meremas payudara ibu yang besar, sementara bibirku menghisapi rahang kanan ibu.
“aaahhhh………..” mulut ibu terbuka, kulihat sederet air liur ibu tertarik dari bagian atas bibirnya sampai ke bawah di ujung lidahnya, bagaikan tirai air yang sedikit berbusa menghiasi mulutnya yang indah yang sedang terbuka itu.
Aku menjadi gelap mata dan tanpa memikirkan konsekuensi apa-apa, aku segera menjulurkan lidahku memasuki mulutnya yang terbuka dan menjilat ludah ibu itu.
Air liur ibu terputus sementara lidahku terus bergerak hingga menjilat rongga atas mulut ibu. Ujung lidahku mengenai rongga mulut atasnya sementara bagian tengah lidahku merasakan bagian belakang gigi atas ibu.
Tahu-tahu bibir ibu mengatup sehingga kini kedua bibirnya menjepit bibir bawahku. Aku mengatupkan bibir juga dan aku mengenyoti bibir atas ibu.
“mmmmmm……. Mmmpppphhhhhh.” Ibu menggumam sambil mengenyot-ngenyot bibirku, sementara aku yang saat itu merasa bingung, senang, terkejut tercampur menjadi satu hanya bisa mendengus-dengus saja.
Tiba-tiba ibu terdiam dan mendorong kepalaku dan duduknya bergeser sedikit sehingga tidak menyenderku lagi melainkan menyender di sofa, lalu ibu berbicara ke telepon yang hampir saja jatuh akibat gerakan tadi,
“Ya, Mbak…… enggak kenapa-napa…. Aku lagi ngemil……” lalu mulai ngobrol lagi dengan kakaknya di telpon seakan tidak terjadi apa-apa.
Aku sedang shock. Apakah ibu marah? Namun perlahan ketakutanku sirna, karena saat ini tanganku masih menggenggam sebagian payudara ibu yang besar, karena tanganku tak dapat menutup buah dada ibu yang besar itu.
Bila ibu marah, ia tentu akan mendorong tanganku pula. Ia mendorong kepalaku tentu karena sadar bahwa bila diteruskan, kakaknya akan curiga bahwa ada sesuatu yang ga beres terjadi di sini. Aku kini bingung harus ngapain. Ingin kuremas dada ibu, tapi apakah ibu akan marah.
Kulihat kini ibu duduk disampingku walau sedikit badannya masih menempel padaku, karena tangan kiriku masih melingkarinya dari belakang memegang tetek ibu sebelah kiri, sementara tangan kananku membentuk siku dan juga memegang buah dada kanan ibu.
Posisiku agak miring menghadap ibu. Paha kiriku sekarang ditindih paha kanan ibu. Tangan kiri ibu memegang telpon sementara tangan kanan ibu terbuka menghadap ke atas membentuk sudut 45 derajat membuka ketiaknya lebar-lebar, dengan lengan atas terangkat tegak sejajar kepala, dan lengan bawahnya melintang sehingga bagian belakang telapak tangannya mendekap kepala.
Posisi ibu menunjukkan seperti ibu sedang lelah, apalagi dadanya sedikit tersengal. Namun ibu berusaha tetap berbicara secara normal di telpon.
“Kenapa, Mbak? Aku tersengal? Iya…. Ini tadi ada kucing di dapur jatuhin barang, aku jadi kaget…. Iya…. Tuh si Ari lagi ke dapur ngusir kucingnya…….” Kata ibu terus berbicara di telepon.
Ketiak ibu yang terbuka menunjukkan ketiak dengan sedikit sekali rambut. Rambut ketiak ibu tampak tipis, keriting dan pendek bagaikan hutan yang memiliki sedikit sekali pohon. Ketiak itu lebih putih dari bagian kulit lain ibu, sangat kontras dengan bulu-bulunya yang hitam sewarna dengan rambut ibu.
Posisi kepalaku tepat sekali di hadapan ketiak ibuku. Ketiak yang tercukur itu membuatku nafsu lagi, aku lalu membenamkan hidungku diketiak ibu dalam-dalam sambil memandang muka ibu. Ibu langsung memejamkan mata dan melipat bibirnya ke dalam mulutnya, seakan menahan sesuatu.
Bau tubuh ibu begitu nyata tercium dari keteknya yang lembab dan sedikit berkeringat, bulu-bulu pangkal lengan ibu yang sangat pendek itu menggelitik lubang hidungku seakan menyambut kedatangan mereka.
Aku semakin horny, tak sadar aku menjepit paha kanan ibuku dengan kedua kaki dengan cara aku menindih paha kanannya dengan paha kananku. Kurasakan ibu bergerak dan gantian paha kiri ibu kini menindih paha kananku.
Sementara itu, kaki kiri ibu merangkul masuk kaki kananku, sehingga kini posisi kami saling membelit dari samping. Bagian rok gaun tidur ibu tersingkap ke atas karena gerakan kami tadi.
Gerakan ini juga menyebabkan tangan kiriku lepas dari tetek ibu dikarenakan tubuh ibu menjadi makin miring menghadapku, aku menyesuaikan dengan menarik tangan kiriku dari belakang tubuh ibu lalu tangan kananku kupindahkan untuk memegang payudara kiri ibu dan tangan kiriku memegang yang sebelah kanan.
Aku mulai menjilati ketek ibu, ibu makin mengatupkan mulutnya, namun kurasakan ia bergerak sehingga kini tahu-tahu selangkangan ibu yang masih berbalut celana dalam menekan paha telanjangku, karena aku saat itu memakai celana pendek yang juga sudah tersingkap sehingga sebagian besar pahaku tidak tertutupi.
Aku gentian menjepitkan selangkanganku di paha kiri ibu yang juga sudah tidak tertutup rok. Aku masih menikmati ketek ibu yang memiliki bermacam rasa di lidahku. Ada rasa asin dan sedikit getir namun entah kenapa lidahku menikmati sekali rasa tubuh ibu ini.
Selangkangan ibu, di lain pihak, mulai menekan-nekan pahaku. Aku juga mulai menekan-nekan paha ibu dengan selangkanganku, tanganku mulai berani sedikit meremas kedua payudara ibu yang dibalut gaun tidur tipis itu. Pentilnya berada di kedua telapak tanganku. Kurasakan tubuh ibu mulai merosot ke belakang membuat badanku doyong ke kedepan.
Lama kelamaan tubuh ibu seakan ingin tidur di sofa namun agak susah dengan posisi kami, aku otomatis melepaskan diri dengan mengangkat kepala dan tubuhku dengan kedua tanganku yang kutaruh di samping kanan kiri ibu, membuat jilatanku terhenti, kemudian kaki kiriku yang terhimpit sofa dan paha kanan ibu kuangkat juga.
Dengan cepat ibu menggeser tubuhnya lurus di bawahku, kaki kanannya sedikit tertekuk menyender bagian badan sofa, menyebabkan kedua kaki ibu kini mengapit kedua kakiku.
Lalu, berhubung tangan kiri ibu masih memegang telpon, ibu memiringkan tubuh ke kanan dengan tumpuan tangan kanan agar lebih mudah memposisikan dirinya.
Gerakan ini membuat tali gaun tidur yang sebelah kanan terjatuh dari bahu ibu. Ketika ibu sedikit mundur agar kepalanya menyender di tangan sofa supaya posisi badannya kembali lurus, tali gaun tidurnya sudah terjepit siku kanannya sendiri.
Dengan cepat pula aku tarik tangan kanan ibu itu keatas dengan mengusahkan agar tali bahu gaun tidur ibu tidak ikut tertarik, tangan kananku menarik tangan kanan ibu ke atas sementara tangan kiriku memegang tali itu dengan cara seakan aku sedang menopang tubuhku dengan tangan kiri.
Bagusnya ibu tadi membuka mata hanya untuk melihat posisi gerakan, untuk kemudian memejamkan mata lagi dan melanjutkan pembicaraan dengan Tante Hani.
Hebatnya ibu tidak menyadari tali gaun tidurnya terjatuh, karena payudara kanan ibu masih tertutup berhubung dada ibu besar sehingga gaun bagian depan kanan masih nyangkut di bongkahan indah tetek kanan ibu, sebenarnya aku tinggal menarik sedikit gaun tidur ibu dari pinggang kanan ibu, maka payudara kanan ibu akan terlihat, namun aku punya rencana lain.
Aku tidak ingin terburu-buru dan mengagetkan ibu. Jangan sampai ibu nanti malah sedemikian kagetnya sehingga menghentikan aktivitas nikmat kami berdua.
Secepat aku menarik tangan kanan ibu ke atas sehingga tangan itu bersandar di sofa seperti halnya kepala ibu, maka secepat itu pula aku kembali membenamkan wajahku di ketiak ibu dengan bulu-bulu yang pendek itu. Gerakan ini membuat aku menindih ibu terang-terangan. Tahu-tahu saja kontolku kini menekan memek ibu, walau masing-masing masih terbungkus celana.
Sambil menjilati ketiak ibu, aku mulai menekan-nekan selangkangan ibu. Ibu sudah dapat menguasai nafasnya, berhubung aku cukup lama menjilati pangkal lengannya itu, sehingga ibu tampaknya sudah tidak lagi geli, namun malah menikmati nafsu yang mulai menjalar dirinya.
Sementara, aku sambil meremas-remas payudara ibu yang besar yang masih tertutup gaun tidurnya, asyik menjelajahi ketiak seksi ibu terus-menerus dengan lidahku.
Lidahku tidak hanya menjilat seperti anjing menjilati piring makanan, terkadang lidahku memutar-mutar, bahkan kadang-kadang bibirku mengenyot ketek ibu sehingga bulu-bulu halusnya masuk ke dalam mulutku untuk kemudian kuhisap-hisap bagaikan sedang menghisap permen.
Iya, bulu ketiak ibu bagiku semanis permen lollipop. Terkadang pula bagian tengah keteknya kukenyot sampai ke kulitnya. Saat itu ibu langsung mendesis bagaikan sedang kepedesan….
“sssssh……. Kenapa, Mbak? Oh…. Iya… ini si Ari sudah mijitin bahuku lagi……”
Lalu perlahan aku mulai beringsut ke bawah. Sambil mengenyot terus, aku sedikit demi sedikit mengenyoti bagian bawah keteknya, lalu berpindah ke bawah lagi, hingga sampai ke kain atas gaun tidurnya yang terletak di samping payudara ibu.
Tangan kiriku ku lepas dari dada ibu dan ku taruh di ketiak ibu untuk mengelus-elus rambut ketiak, terkadang memilin-milinnya perlahan. Dengan hidung dan pipiku aku mendorong sedikit demi sedikit gaun tidur ibu, sementara lidahku terus mengenyot dan menjilati samping payudara ibu.
Kini mulutku telah mencapai bulatan samping tetek ibu, dengan tak sabar aku melepas tangan kanan dari payudara kiri ibu yang tadi terus kuremas, untuk menyingkap bagian kanan gaun tidur ibuku sehingga tahu-tahu buah dada ibu sebelah kanan menjadi telanjang.
Ibu membuka matanya terbelalak melihat ke payudara kanannya yang telanjang, mata kami bertemu sejenak, aku melihat sekejap payudara ibu yang besar yang tampak tumpah ke kanan karena ibu sedang tiduran, dan melihat pentil tetek ibu sudah mengacung.
Pentil itu seukuran jempol bayi, namun sedikit lebih panjang dan mengacung bagaikan ujung belakang pensil, sementara areola ibu yang menjadi bagian bawah putingnya, ukurannya hampir sebesar pantat botol aqua kecil 330 ml. areolanya tidak sepenuhnya bundar, namun mengelilingi pentil nya dengan indah.
Dengan warna coklat muda sungguh indah sekali menghiasi kulit putih mengkilatnya yang sekarang mulai berkeringat. Gundukan buah dada ibu dihiasi urat-urat halus kebiruan, menambah indah pemandangan tubuhnya yang mulus.
Beberapa detik kami tertegun, ibu lalu bagaikan terjaga karena dengan cepat berbicara lagi di telpon,
“Oh.. enggak, Mbak…. Bukan ngantuk….. Aku diam karena tadi sedang mikirin masakan besok……. Enggak, Mbak…. Aku enggak bosen kok ngobrol sama Mbak…. Cuma tahu-tahu kepikiran masak besok…. Terus…. gimana ceritanya sama Mas Hari?”
Mas Hari adalah suaminya Tante Hani. Rupanya tanteku lagi curhat. Ibu berbicara di telpon sambil terus menatap mataku. Sambil menatap mata ibu dalam-dalam, aku perlahan mendekati pentil ibu yang tegang itu dengan kepalaku. Nafas ibu mulai berat kembali. Kulihat dadanya naik turun mulai cepat.
Kucium gundukan samping kanan tetek kanan ibu yang dihiasi urat-urat halus itu secara pelan. Ibu memandangiku sambil terus berbicara dengan tante Hani. Matanya memancarkan sinar aneh. Bukan marah, bukan Bahagia. Tetapi sinar mata lain. Saat itu aku tak tahu, namun belakangan aku menjadi hafal. Itulah tatapan seorang wanita yang sedang birahi.
Berhubung ibu tidak melarang, aku mulai berani menciumi lingkar areola payudara ibu. Buah dadanya begitu kenyal dan lembut. Bau tubuh ibu yang lembut membelai-belai indera penciumanku.
Entah hanya di pikiranku atau tidak, namun kuperhatikan puting ibu tampak membesar. Kukecup perlahan puting ibu yang menantang itu. Kulihat dada ibu naik dan turun tanda menghela nafas, desahannya lirih terdengar.
“iya…. Mbak……. Pundakku rasanya enak dipijit Ari…… terus ceritanya gimana kok bisa Mas Hari begitu?”
Mata ibu menatap tajam mataku selama bibirku mengecup puting kecoklatannya, sementara aku tetap menatap matanya untuk mencari-cari apakah ada tanda kemarahan di balik sinar matanya yang indah itu.
Tetapi aku tidak menemukan seberkas tandapun baik dari matanya maupun dari raut wajahnya yang menyatakan bahwa aku sedang melakukan sesuatu yang tidak ibu sukai. sumber Ngocoks.com
Kukecup lagi puting susunya, kali ini agak lama. Kami masih saling menatap lekat-lekat. Aku lalu memberanikan diri untuk mengeluarkan lidahku dan perlahan mendekati pentil tetek ibu itu dengan lidah tersebut.
Kulihat sorot mata ibu berkilau, sorot mata yang memancarkan harapan. Seakan ibu menunggu-nunggu momen lidahku menyentuh puting indahnya. Kurasakan dada ibu berhenti bernafas menunggu sentuhan itu…
Ketika lidahku menyapu puting susu kanan ibu itu, ia menggigit bibir bawahnya. Kini ia bernafas lagi tapi lebih berat dibanding sebelumnya. Perlahan dengan ujung lidahku aku menyapu puting yang kini sangat tegak dan tampak lebih besar dari sebelumnya.
Pentil ibu kurasa keras di lidahku. Aku mulai menjilati pentil ibu lebih cepat. Terkadang lidahku memutari pentil ibu. Kulihat wajah ibu mengernyit dan bibirnya tetap dalam posisi digigit ibu. Tampak erotis sekali di mataku. Akhirnya aku tak tahan dan memasukkan pentil ibu ke dalam mulutku dan mulai mengenyot dengan gemas.
“Mmmmmphhhhhhhh….” Tak sadar kini ibu mengeluarkan suara walaupun bibir bawahnya terkatup dan sedang digigit oleh gigi atasnya. Suara ibu sungguh sensual, suara wanita yang berusaha menahan gejolaknya dengan menutup mulut, namun gejolak birahi itu tak mampu ditutupi secara penuh. Gumaman nikmat meluncur tak dapat ditahannya.
“mmmm? Iya mbaaaakkk……… ada…. Ada….. ada uratku yang pegal yang… yang pas dipijit.. ariiiiiii……..”
Kulihat kini ibu mengernyit bagai menahan sakit dan ia berusaha menutup mulut dengan melipat bibir ke dalam. Tangan kiri ibu kini memegang belakang kepalaku. Aku terus mengenyoti tetek ibuku dengan hebat. Terkadang aku jilati juga.
Di lain pihak, selangkangan kami menempel. Tak direncanakan, aku mulai menggoyangkan pantat maju mundur tapi sambil tetap menggeseki selangkangan ibu, dan ibu mengimbangi juga dengan gerakan yang sama, tiap kali aku tekan ibu juga tekan, tiap kali sedikit renggang, ia akan renggang, tapi tak pernah sampai selangkangan kami berpisah.
Celana pendekku kini kurasa sudah menempel dengan celana dalam ibu. Dapat kurasakan pinggiran rok gaunnya tersangkut ke bagian atas. Tangan kananku masih meremasi payudara kiri ibu. Tangan kiriku sedang menahan tubuh dengan memegang sofa.
Aku mengangkat tangan kiriku sehingga badanku kini penuh menindih ibu. Selangkangan kami lebih lagi beradu dengan ketat. Lalu kedua tanganku aku gerakkan untuk mendorong celana pendekku ke bawah, tepat ketika kami berdua menarik pantat kami dalam irama goyangan selangkangan kami berdua. Aku hanya menarik celana sampai paha, yang penting kontolku bebas.
Ketika terbebas aku menekan lagi selangkangan ibu. Kini dapat kurasakan celana dalam ibu dan celana dalam itu ternyata sudah basah. Tahu-tahu tangan kanan ibu memegang pantatku. Ketika ia merasakan pantat telanjangku, ibu tiba-tiba membelalakan matanya dan menatapku.
Saat itu aku takut ia akan marah, namun kurasakan tangan ibu malah menekan pantatku kuat-kuat. Telpon di tangan kirinya tahu-tahu terlempar ke dudukkan sofa, dan tangan kiri itu kini menekan pantat kananku yang juga telanjang.
Kurasakan selangkangan ibu menekanku dalam-dalam dan tangannya mencengkeram kedua pantatku kuat-kuat. Kepala ibu tertarik ke arah belakang dan dengan mata terpejam dan wajah meringis ia mengeluarkan suara….
“Aaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhh”
Kontolku yang terjepit merasakan sakit karena terjepit. Namun saat itu juga aku sudah tidak tahan lagi memendam birahi yang dari tadi menggelegar di dada.
Apalagi kini kurasakan kontolku basah kena lendir yang menembus celana dalam ibu yang tampaknya tipis karena tak dapat membendung cairan kenikmatan ibu.
Sehingga aku juga menekan selangkangan ibu kuat-kuat dan kedua tanganku menyelusup hingga memegang kedua bongkah pantat ibu, lalu memuntahkan pejuku yang membasahi celana dalam ibu dan selangkanganku sendiri.
Dalam masa orgasme itu, ibu menegakkan kepalanya lalu menggunakan tangan kirinya menjambak rambut belakangku sehingga aku mendongak, lalu ia mencium bibirku kuat-kuat. Lidahnya menyapu-nyapu liar sementara bibirnya menyedot-nyedot. Aku berusaha mengimbangi dengan lidah dan bibirku pula.
Bersambung…