Setiap hari ibu akan mengerjakan tugas dirumah bugil. Begitu juga aku. Seringkali aku menyetubuhinya dari belakang ketika ia cuci piring, atau mengentoti ibu dengan posisi doggy ketika ia sedang mengepel lantai. Sering pula ketika kami menonton TV, aku akan menghisapi puting dan tetek ibu sebelum akhirnya bersetubuh setelah kami horny.
Bahkan ketika kami berdua sudah lemas dan tak mampu lagi berhubungan seks dan bersiap tidur, aku akan menciumi, menjilati, mencupangi, menghisapi, meremas-remas sekujur tubuh ibu. Bagian yang sering aku kerjai adalah payudara dan vagina ibu, tentu saja.
Itulah kenapa akhirnya ibu hamil. Tak ada satu haripun lewat tanpa kami bersetubuh. Bahkan rekor kami dalam sehari pernah sepuluh kali kami melakukannya.
Entah sudah berapa ratus kali kontolku menembakkan spermanya dalam rahim ibu, entah berapa juta spermaku yang berenang dalam tubuh ibu mencari sel telurnya. Melihat statistik seperti itu, tak heranlah bahwa aku dapat menghamili ibu dalam waktu hanya sebulan.
“Aaaahhhhhhhhh……. Kontol kamu enak bangeeeet…….. gedeeee…… keraaaasss…… terus Ri…. Entoti ibu…. Entoti ibu keras-keras…… kontolmu emang hebaaattt…….. ibu cinta kontolmu, Ri……”
“Memek ibu legit……. Indah….. cantik…… seluruh tubuh ibu indah…… wangi lagi…… biar ga mandi tetep aja ibu haruuummm….. Ari mencintai ibu…… Ari mau jadi suami ibuuuuuu….”
“Kamu udah jadi suami ibu, riiiii….. kamu sudah menghamili ibumu sendiriiii…. Ibu sudah jadi isteri kamu, Riiiiii……”
Kini mobil kami sudah bergoyang dengan hebat. Kami saling menumbukkan selangkangan dengan keras dan cepat. Kami sudah tidak berciuman lagi, karena mulut kami mengeluarkan lidah di mulut yang terbuka dan lidah kami bagaikan bertarung saling menjilat dengan brutalnya sambil terkadang salah satu dari kami berbicara dan yang lainnya tetap menjilat dan sebaliknya.
“kontol anakmu enak, bu? Enak dientot anak sendiri, bu?”
“enak, ri…. Enak…… goyang ibu yang keras, rii….”
Akhirnya, dalam waktu yang sama kami berdua berteriak keras saat orgasme melanda. Spermaku berhamburan masuk ke rahim ibu seakan tak mengerti bahwa mereka tidak berguna, karena rahim itu sudah mempunyai penghuni, dan tidak ada lagi sel telur yang dapat dibuahi….
Singkat cerita . Akhirnya kami sampai juga di rumah Tante Hani. Saat itu sudah pukul 8 lewat. Mbak Vidya yang membukakan pintu. Mbak Vidya itu tinggi seperti Om Hari. Tingginya sekitar 170 cm. sumber Ngocoks.com
Kulit Mbak Vidya putih dan hidungnya mancung, namun matanya sedikit sipit. Walaupun dadanya tidak sebesar ibu atau Tante Hani, tapi dada itu mancung dan proporsional untuk tubuh langsingnya. Ukurannya 36 A.
Tak beberapa lama kami semua makan. Tante Hani dan ibu asyik berbicara, sementara ada keheningan di antara aku dan Mbak Vidya. Setelah kami selesai makan, ibu dan Tante Hani beranjak ke sofa dan menyuruh kami untuk jangan mengganggu mereka karena ada yang ingin dibicarakan.
Mbak Vidya menemaniku dan mengajakku ngobrol di kamarnya sementara aku dengan malu-malu menjawab sedikit-sedikit. Ada ceritanya kenapa aku malu-malu.
Sedari dulu, Tante Hani dan Ibu memang dekat. Seringkali di akhir pekan saling mengunjungi sehingga aku dan Mbak Vidya juga lumayan dekat. Aku sudah naksir Mbak Vidya jauh sebelum aku mulai terobsesi dengan ibu.
Pertama-tama aku hanya merasakan sangat sayang selayaknya seorang adik kepada kakaknya. Namun semenjak kelas 6 SD tiga tahun yang lalu, saat pergaulanku di sekolah mulai membuat aku tahu mengenai pacaran dan ciuman, aku mulai melihat Mbak Vidya secara lain.
Ingin sekali aku mencium bibirnya yang mungil dan merah itu. Apalagi Mbak Vidya yang berusia 17 tahun mulai menunjukkan tubuh seorang gadis. Kedua payudaranya sudah membentuk dan terlihat menggunung. Aku yang sebelumnya tidak menyadari, menjadi sadar penuh bahwa Mbak Vidya adalah gadis yang seksi.
Saat itu aku dan ibu sedang menginap di rumah Tante Hani. Masih teringat jelas olehku saat itu aku sedang menemani Mbak Vidya yang mengerjakan tugas di komputernya. Komputer itu ditaruh di meja yang rendah sehingga tidak perlu menggunakan meja. Mbak Vidya saat itu memanggilku karena ia hendak mengajariku cara menulis dokumen menggunakan Microsoft Word.
Aku bersimpuh menyamping di belakang Mbak Vidya namun agak ke kanan agar aku bisa melihat layar computer. Saat itu sore hari, Mbak Vidya baru saja mandi dan menggunakan daster bertali tipis. Bukan daster tembus pandang, hanya daster anak remaja biasa bermotif kotak-kotak.
Namun dengan posisiku saat itu, kepalaku tepat di sebelah kanan pundaknya namun dari belakang. Hidungku berjarak sekitar 20 cm dari lengan telanjangnya. Tubuh Mbak Vidya begitu harum.
Sambil bekerja, Mbak Vidya menjelaskan banyak hal yang sedikit sekali kudengar. Yang jelas, entah kenapa aku mulai berani mendekatkan kepalaku sedikit demi sedikit ke pundaknya. Kehangatan badan Mbak Vidya mulai kurasakan selain panasnya suhu tubuhku sendiri yang dipacu oleh debaran jantungku yang mulai menggila.
Sedikit demi sedikit hidungku mendekat. Akhirnya dalam gerakan cepat, hidungku bersentuhan dengan pundak lengannya yang halus, namun secepat itu pula aku menarik kepalaku. Mbak Vidya Nampak sedikit terkejut dan menoleh ke arahku, sementara aku pura-pura manggut-manggut dan melihat layar computer.
Mbak Vidya kembali menatap layar dan aku menjadi lega. Namun di lain pihak, aku menjadi horny dan ingin kembali merasakan kehalusan kulit kakak sepupuku itu. Aku mendapat ide. Aku segera mendoyongkan badan kedepan sehingga daguku menempel di pundaknya sedikit sambil menunjuk layar monitor dan bertanya,
“Itu yang namanya kursor ya? yang kelap-kelip itu?”
Mbak Vidya kemudian mengangguk dan menjabarkan kegunaan kursor kepadaku. Sementara aku hanya berfokus kepada daguku yang menempel di pundaknya. Mbak Vidya tidak curiga apa-apa. Ia terus bekerja sambil kadang menjelaskanku mengenai office. Lama-kelamaan aku beringsut ke samping Mbak Vidya dan menggelayutkan daguku di pundaknya.
“kenapa dek?” katanya sambil menoleh ke belakang yang membuat pipinya hampir tabrakan dengan hidungku.
“Ari kan pendek, Mbak. Kalo ga berjingkat ga kelihatan. Cuma kalo naruh dagu di pundak gini jadi pegel juga. Soalnya harus berlutut. Gimana kalo Ari peluk dari belakang aja terus nyender ke Mbak Vidya?”
“Ada-ada saja, kamu. Terserah gimana enaknya aja,” jawabnya tanpa menaruh curiga.
Aku dengan senang hati merubah dudukku. Kini kedua kakiku mengangkang mengapit tubuhnya dari belakang, namun tidak sampai kena. Malu juga kalau batangku yang sudah keras dirasakan Mbak Vidya menekan tubuhnya.
Namun kedua tanganku melingkari perutnya dari belakang dan karena aku pendek, maka kini hanya mataku yang melewati pundaknya. Sementara hidungku sudah dekat sekali dengan pundak Mbak Vidya. Bahkan nafasku yang hangat dapat aku rasakan terpantul pundak putihnya yang mengkilat bagai porselen cina.
Tubuh Mbak Vidya harum sekali. Aku menjadi lupa daratan, sementara aku tidak dengar lagi suara indah Mbak Vidya sedang berbicara padaku sambil mengetikkan essay yang adalah pekerjaan rumahnya. Sedikit demi sedikit hidungku mendekati pundaknya.
Ini berarti bibirku juga mulai mendekat. Entah berapa menit aku tidak menyadari hingga akhirnya hidungku menempel pundak kanan Mbak Vidya dan bibirku perlahan menyentuh juga pundak belakang Mbak Vidya.
Mbak Vidya menggigil pelan.
“Ih Adek…. Geli tau…..” katanya. Tapi ia tidak melarangku melainkan meneruskan pekerjaannya.
Aku menikmati wangi tubuhnya dan betapa halusnya pundak Mbak Vidya. Selama beberapa saat aku asyik terdiam dengan hidung dan bibir menempel di pundaknya sampai baru menyadari bahwa Mbak Vidya tidak lagi berbicara melainkan hanya mengetik saja.
Ingin sekali aku membenamkan wajahku dalam-dalam di pundak Mbak Vidya namun aku tidak berani. Kami terdiam beberapa lama dengan Mbak Vidya yang mengetik sambil dipeluk olehku dengan pundak yang tempel dengan hidung dan bibirku.
Aku kini bernafas di pundak Mbak Vidya dan Mbak Vidya tampak tidak terganggu. Namun, kenikmatan ini berakhir ketika kami mendengar Tante Hani memanggil untuk makan malam. Dalam kecanggungan kami memisahkan diri.
Hari itu kami tidak saling berbicara. Ada keanehan yang menggantung. Namun, semenjak saat itu, Mbak Vidya menjadi obsesiku dan rasanya aku ingin sekali bertemu dengannya setiap hari. Minggu depannya aku bujuk ibu untuk menginap lagi di rumah Tante Hani dan ibu setuju.
Ketika aku datang, Tante Hani bilang Mbak Vidya baru saja naik ke kamarnya untuk mengerjakan PR Komputer. Aku senang sekali. Entah kenapa sebagai anak kecil aku tidak ada rasa takut saat itu, tapi itulah yang terjadi.
Aku bergegas ke kamarnya dan mendapati dia sedang asyik mengetik. Betapa bahagianya aku ketika melihat Mbak Vidya mengenakan tank top dan celana pendek, rambutnya yang sebahu diikat melingkar di belakang kepala. Berarti ada kesempatan cium pundaknya lagi, bahkan lehernya kini terbuka.
“Lagi ngapain Mbak?”
“Ini lagi main Friendster (saat itu belum ada Facebook, twitter apalagi situs bokepdo.com … heee).”
“Friendster? Aplikasi baru ya? ajarin donk….”
Mbak Vidya tertawa pelan dan berkata, “sini Mbak ajarin. Duduk di belakang Mbak kayak kemarin.”
Aku segera memposisikan diri seperti kemarin dan memeluknya. Tak lama aku mulai bernafas di pundaknya lagi. Sejak saat itu kami selalu “belajar” computer. Dan aku sungguh amat senang menginap di rumah Tante Hani.
Tentu saja terkadang mereka menginap di rumah kami, dan berhubung aku juga punya computer, maka aku selalu meminta ia mengajariku dan ia selalu bersedia.
Pada mulanya aku hanya berani bernafas di satu tempat, namun setelah beberapa bulan, aku mulai berani memindahkan hidungku ke samping. Hanya sesekali. Session kami biasanya berlangsung sejam. Dalam sejam itu aku mungkin hanya pindah lima kali.
Setelah enam bulan lebih aku berani pindah ke pundaknya yang kiri. Lucunya, akhirnya Mbak Vidya sudah tidak lagi mengajariku computer, karena setelah beberapa bulan, dia hanya berdiam saja di depan computer. Komputernyapun tidak dinyalakan.
Satu bulan setelah itu, aku mulai berani memindahkan hidung dan mulutku beberapa kali secara perlahan dalam waktu yang agak lama. Pada bulan ke delapan aku mulai tidak sabar dan akhirnya memutuskan untuk mulai memindahkan mulut dan hidungku lebih banyak lagi sehingga akhirnya mulai terlihat seperti orang yang menciumi pundak.
Masuk bulan berikutnya, ketika kami masuk kamar, Mbak Vidya duduk di pinggir tempat tidur, membuatku merasa lebih berani dan tentunya lebih horny lagi. Lalu aku mulai mengendusi dan mengecupi pundak Mbak Vidya.
Aku hanya berani mengecup perlahan. Namun kecupan pertamaku membuat Mbak Vidya menarik nafas karena terkejut, namun ia tidak marah. Lucunya, kami tidak bertindak lebih jauh.
Aku tidak berani lebih jauh karena sebenarnya aku takut Mbak Vidya akan marah lalu menghentikan kegiatan kami. Namun kami berduapun tahu menyadari bahwa hubungan kami ini sudah lebih dari hubungan saudara sepupu. Hubungan kami kini dihiasi oleh sensualitas terlarang.
Terakhir kami melakukan itu adalah ketika sekolah telah berakhir dan liburan sekolah sudah dimulai. Kala itu kami sudah masuk ke kamar Mbak Vidya. Ia memakai baju you can see yang mini sehingga tak hanya pundak dan bagian atas tubuhnya yang terbuka, namun baju itu sangat pendek sehingga memperlihatkan pusarnya.
Aku langsung mengambil tempat di belakang Mbak Vidya di atas bantal sehingga kini daguku sejajar dengan pundaknya dan memeluknya lagi seperti tempo hari. Saat itu kepalaku tepat di belakang kepala Mbak Vidya.
Baru aku sedikit memposisikan kepalaku miring kearah pundak, Mbak Vidya bersender ke belakang sehingga tahu-tahu hidungku dan leher Mbak Vidya bergesekkan. Ada suara lirih dari mulutnya. Kedua tangan Mbak Vidya mendekapku perlahan. Baru kali ini ia mendekapku dan bersandar. Aku saat itu horny berat, apalagi Mbak Vidya terlihat sudah pasrah.
Tanpa menyadari, aku mengenyoti leher jenjangnya. Mbak Vidya mendesah-desah. Aku asyik mencupang dan menjilati lehernya yang halus itu. Beberapa saat kemudian Mbak Vidya mulai menoleh ke arahku dan kemudian menciumi jidatku yang kini sejajar bibirnya.
Tangan kanannya tiba-tiba mendekap kepalaku dari belakang. Sentuhan dan ciumannya membuatku gelap mata. Tangan kananku yang tadi didekapnya kini terbebas, sementara tangan kiriku masih didekap tangan kirinya.
Aku meremas toket Mbak Vidya dari luar bajunya dengan tangan kananku. Tahu-tahu Mbak Vidya memutar badannya lalu menindih aku secara cepat.
Aku untuk sementara terkejut dan terdiam, namun Mbak Vidya tak menunggu lama untuk mencium bibirku. Ia mengecupi bibirku beberapa waktu sebelum kurasakan lidahnya menyapu bibirku berkali-kali.
“Dek…” katanya,” kamu belum pernah ciuman?”
Aku hanya menggeleng. Lalu Mbak Vidya mengajariku berciuman. Setelah kursus singkat yang hanya sekitar dua menit, ia menyerang bibirku lagi. Kali ini aku membuka mulut seperti yang dia ajari dan menjulurkan lidahku.
Kami melakukan French kiss dengan penuh nafsu. Kami saling berpelukan erat sementara bibir dan lidah kami bertarung bagaikan dua ular yang berusaha saling melibat satu sama lain. Ludah kami saling bertukaran dalam badai asmara kami berdua.
Aku menyusupkan kedua tangannya ke balik baju Mbak Vidya dan mencari pengikat BHnya. Saat aku temukan aku tidak dapat membukanya karena aku belum pernah melakukan ini.
Bersambung…