Pada sore harinya saya pulang kerja duluan. Setiba di rumah, rumah kosong. Selesai mandi, saya baru duduk di kursi sebentar memegang remote hendak membuka televisi, mertua saya pulang senam. “Kaki Mami masih sakit nggak, Mi?” tanya saya sambil melihat ia melepaskan sepatu.
“Sudah nggak sih, tapi capek hari ini senamnya!” jawabnya duduk di samping saya bertelanjang kaki.
Buah dadanya yang terbungkus kaos ketat berwarna putih tampak berdiri tegak membusung karena ditopang oleh BH-nya yang keras. Pahanya juga tampak seksi dibalut oleh celana legging ketat berwarna biru sampai di atas lutut. Saya pijit-pijit pundaknya.
“Ahh… enak,” gumamnya.
“Mami lepaskan pakaiannya dong, saya urut.” balas saya.
“Mami belum mandi masih bau keringat. Nanti aja selesai mandi.”
“Masa sih bau?” jawab saya menunduk mencium buah dadanya. “Hmmm… jangan dibuka ya, semalam kamu hisap sampai gelinya setengah mati!” katanya.
“Ini?” saya menelungkupkan telapak tangan saya di bongkahan selangkangannya.
“Jangan, bau! Makanya Mami mau buru-buru mandi.” jawabnya.
Karena bongkahan selangkangannya sudah boleh saya pegang, lalu saya menunduk mencium selangkangan mertua saya. Memang baunya amis. Tetapi bau amis seperti ini tidak hanya terdapat pada vagina mertua saya, melainkan vagina istri saya juga sering berbau amis. Apalagi kalau ia kerja kecapean, vaginanya bukan berbau amis lagi, tapi berbau busuk dan lendirnya kental berwarna kuning seperti ingus dan lengket.
“Malu ah Mami!” kata mertua saya. “Sudah, Mami mau mandi. Kalau sudah bersih, kamu boleh cium saja sepuas kamu.”
Ia bangun dari kursi, saya pelorotkan celana legging yang dipakainya. “Mmmm… kamu, sudah Mami bilang bau, masih nekat juga!” ia duduk lagi di kursi. Sambil duduk kemudian ia melepaskan celana leggingnya yang sudah saya pelorotkan sampai di pertengahan pahanya, lalu celana dalamnya juga dilepaskan. “Nih…” katanya membuka lebar pahanya yang sudah telanjang itu untuk saya.
Saya segera melepaskan celana pendek saya. Dengan berdiri, saya memeluk mertua saya yang sedang duduk di kursi. Mertua saya mengambil penis saya yang tegang, lalu dikocoknya. Kami sudah tidak ada bedanya lagi dengan pasangan yang sudah menikah. Bibir kami saling melumat dengan penuh gairah, sementara di bawah sana tangan mertua saya mengocok-ngocok penis saya, sedangkan jari saya mengocok-ngocok lubang vaginanya yang basah.
Tidak lama kemudian saya dan mertua saya pun bergumul di kursi dengan tubuh yang sudah telanjang bulat. Ia menghisap penis saya, saya menjilat vaginanya. Saya benar-benar menikmati vagina mertua saya. Tidak ada 1 senti pun yang saya abaikan. Gairah kami tidak tertahankan, bergelora dan terbakar hebat.
Dengan tidak sabar lagi, saya merubah posisi saya dan dengan segera saya menusuk lubang vagina mertua saya dengan penis saya. Blessss… amblas semua penis saya yang panjangnya sekitar 16 sentimeter itu ke dalam vagina mertua saya yang hangat dan basah. Karena penis saya besar dan panjang, sehingga terasa nikmat sekali berada di dalam vagina mertua saya.
Mertua saya meliuk-liukkan pantatnya dengan rakus. Goyangannya sungguh mantap dan nikmat saya rasakan, sementara itu penis saya menyodok-nyodok dengan kuat ke lubang vaginanya. Sore itu menjadi sore yang penuh dengan kenikmatan antara saya dan mertua saya. Sampai beberapa kali saya menggelontorkan air mani saya di vaginanya.
Setelah selesai mandi ia berkata pada saya, “Vagina Mami robek kali, Tom. Tadi sewaktu Mami cuci pakai sabun, rasanya perih banget!”
Bisa jadi robek vagina mertua saya, karena tadi saya genjot dengan kuat vaginanya. Tapi mertua saya tidak kapok-kapoknya bercinta dengan saya. Sudah 2 kali ia ke dokter mengobati vaginanya yang lecet.
Ia juga jadi rajin senam sekarang sehingga tubuhnya bertambah seksi dan otot-otot di vaginanya juga lebih liat, sehingga jadi terasa semakin nikmat kalau ia bermain seks dengan saya. Seminggu 2 kali pasti kami lakukan. Kami sengaja membatasi diri.
Mertua saya juga tidak menunjukkan tingkah laku yang aneh di depan suaminya, atau di depan anak-anaknya, sehingga hubungan sumbang kami benar-benar terselubung dan tersembunyi.
*****
Pada suatu sore pulang senam, mertua saya membawa seorang teman senamnya ke rumah. Mertua saya memperkenalkan Bu Purnomo, atau Bu Pur atau Bu Ratih pada saya.
Mertuaku menyuruh saya mengurut kaki Bu Pur, karena di sekitar mata kaki Bu Pur bengkak. Mertua aku cerita pada saya bahwa tadi waktu selesai senam Bu Pur jatuh kesenggol oleh anak-anak yang berlarian di tempat senam.
Sayapun jadi serba salah. Maunya saya tidak mengurut kaki wanita yang memakai kerudung menutupi kepalanya ini, karena saya bukan tukang urut. Jika ia minta saya mengurut karena masalah seks, saya akan layani. Tapi mertua saya sudah mengeluarkan kain dari kamar.
“Urut di kamar saja, Bu.” suruh mertua saya memberikan kain pada Bu Pur yang kelihatan umurnya lebih tua dari mertua saya. Perutnya besar, pantatnya kecil kerempeng dan payudaranya juga sudah turun menggantung, tapi lumayan besar payudara Bu Pur.
Bu Pur masuk ke kamar mertua saya diantar oleh mertua saya. “Mami, saya kan nggak bisa ngurut kaki yang keseleo,” kata saya pada mertua saya di dapur sewaktu ia mengambil minuman untuk Bu Pur.
“Sudahlah, dibantu saja. Mau baik apa nggak urusannya nanti. Mami kasihan sama Bu Pur, anaknya banyak.” jawab mertua saya iba.
Terpaksa saya membawa minyak urut masuk ke kamar mertua saya. Oh… Bu Pur sedang melepaskan celana trainingnya. Saya pura-pura sibuk menyingkirkan batal-bantal ke samping tempat tidur, kecuali satu bantal kepala yang saya sisakan untuk Bu Pur nanti berbaring.
Tempat tidur ini sudah sering dipakai oleh mertua saya ketika bercinta dengan saya. Tapi Papi seperti disihir oleh istrinya. Sehabis bercinta dengan Mami, kadang-kadang air mani saya belepotan di kasur. Masa sih Papi tidur di situ nggak tercium bau air mani basi?
“Baring saja Bu Pur.” suruh saya sengaja setelah Bu Pur melepaskan celana trainingnya.
Bu Pur menurut saja. Ia berbaring, saya menutup bagian bawah tubuhnya dengan kain. Tetapi saya sempat melihat celana dalam yang dipakai Bu Pur. Celana dalamnya sudah kumal dan tipis karena sering dicuci, karet elastisnya juga sudah kendor. Tak lama kemudian mertua saya masuk ke kamar membawa minuman untuk Bu Pur.
Setelah mertua saya keluar dari kamar, saya mulai mengurut kaki Bu Pur. Saya mengurut mulai dari punggung kakinya, tetapi saya melihat tumit kaki Bu Pur sudah retak-retak dan kuku kakinya juga banyak yang gundul. Sebenarnya Bu Pur cantik. Mungkin ia tidak punya biaya untuk mempercantik tubuhnya seperti mertua saya yang bisa pergi ke salon 2 minggu sekali.
“Bu, Ibu punya berapa anak?” tanya saya.
“7, Dik Daffa.”
“Wahh…” seru saya kaget. “Lahir normal semua ya, Bu?”
“Iya… anak saya belum ada yang menikah, yang paling besar baru berumur 22 tahun.” jelas Bu Pur.
“Bagaimana tuh rasanya melahirkan 7 anak, Bu?” tanya saya sambil mengurut kaki Bu Pur.
“Iya capek, Dik Daffa! Hanya enak bikinnya saja.” Jawabnya membuat saya ingin tertawa. “Duhhh… sakitttt… ahhh….” keluh Bu Pur kemudian sewaktu mata kakinya saya urut.
“Ibu tahan sebentar sakitnya Bu, biar saya bereskan urat-uratnya yang terkilir, mudah-mudahan besok sudah gak sakit lagi.” kata saya. “Kalau gitu Ibu tengkurap saja.”
Saya memberikan kesempatan pada Bu Pur untuk tengkurap. Setelah tengkurap Bu Pur tidak membetulkan kainnya sehingga saya bisa melihat bentuk pantatnya dan ohh… celana dalamnya berlubang.
Heran, menurut saya tidak hanya Bu Pur yang memakai celana dalam berlubang karena sambungan benangnya lepas, tetapi banyak wanita yang memakai celana dalam yang sudah rusak seperti Bu Pur namun tetap dipakai, supaya kelihatan oleh suami lebih seksi kali, ya? Hee.. hee..
Saya lanjut mengurut betis Bu Pur. “Apa mau diurut semuanya sekalian, Bu?” tanya saya.
“Ngerepotin Dik Daffa, nggak?”
“Nggaklah Bu, masa ngerepotin sih? Malah saya senang. Tanggung kan Bu kalau hanya ngurut kaki saja? Apalagi Ibu habis senam, ngurut semuanya biar pulang ke rumah Bapak senang melihat Ibu segar.” pancing saya.
“Suami saya nggak ada di rumah, Dik Daffa. Ia kerja dengan saudaranya di luar kota.”
“O.. iya? Tapi Ibu mau kan diurut semuanya?”
“Boleh deh, Dik Daffa.” jawab Bu Pur.
“Buka saja kaos Ibu biar punggung Ibu bisa saya urut.” balas saya.
Bu Pur bangun dari tengkurapnya melepaskan kerudungnya, baru kemudian membuka kaos yang dipakainya. Ia memakai BH berwarna coklat yang talinya sudah melilit di pundaknya. Sampai disini saya harus hati-hati tidak boleh terkesan jorok dengan Bu Pur dan nanti kalau ia mau bersetubuh dengan saya, itu urusan lain, kata saya dalam hati.
Kemudian saya melepaskan pengait BH Bu Pur supaya tangan saya tidak terganggu ketika saya mengurut punggungnya, lalu mulai mengurut punggung Bu Pur yang telanjang. Tentu saja sambil saya membayangkan payudara Bu Pur yang tertindih kasur dan vaginanya yang pernah melahirkan 7 anak itu. Bagaimana kira-kira rasa vaginanya, masih mencengkeram ataukah sudah loss control?
“Sering diurut, Bu?”
“Nggak Dik Daffa, anak gitu banyak, biaya ngurut satu kali bisa buat uang jajan anak-anak.” jawabnya.
“Iya sih Bu, anak yang kecil umurnya berapa, Bu?”
“Baru 7 tahun, saya umur 45 tahun masih melahirkan, Dik Daffa!”
“Wahh… Ibu wanita yang hebat! Sekarang umur Bu Pur berapa?”
“52…”
Saya sudah sampai mengurut pinggang Bu Pur dan celana dalamnya sengaja saya dorong-dorong. “Mau diurut sampai ke bawah ya, Dik Daffa.” tanya Bu Pur.
“Iya, celana Ibu dilepaskan saja, boleh? Telanjang lebih enak ngurutnya, Bu.” kata saya semakin berani dengan Bu Pur.
Bu Pur mau melepaskan celana dalamnya. Akhirnya ia tengkurap telanjang bulat di depan saya. Nggak disangka, ya?
Saya mengurut pantatnya dari arah pinggang menuju ke bawah. Sesampai di belahan pantatnya, sengaja anusnya saya urut juga. Sedangkan belahan vaginanya di bawah sana saya lihat tertutup rapat oleh lembaran bibir vaginanya yang terjulur keluar.
Karena tanpa penolakan oleh Bu Pur ketika saya mengurut anusnya, lalu saya mengurut tulang ekornya menuju ke bawah. Setiba di depan anusnya, saya coba colok sedikit dengan jari. Lama-lama jari telunjuk saya pun masuk ke dalam lubang dubur Bu Pur. “Ooohhhgg… Dik Daffa… setubuhi saya saja, Dik Daffa…” minta Bu Pur.
“Ibu mau bersetubuh dengan saya?” tanya saya.
“Iyaaa…” jawabnya dengan suara berat.
Saya melepaskan celana pendek saya dan kaos saya, lalu menindih Bu Pur yang sudah membalik terlentang di tempat tidur. Lalu saya memasukkan puting payudaranya yang hitam besar ke dalam mulut saya dan saya hisap, sedangkan sebelah payudaranya lagi saya remas-remas. Payudara Bu Pur sudah kendor.
Sementara itu di bawah sana Bu Pur menggosok-gosok penis saya ke belahan ‘tempik’nya. “Tempik Ibu mau saya jilat, nggak?” tanya saya.
“Enggak ah, enakan dimasukin.” jawabnya manja, lalu ia menekan batang penis saya ke lubang ‘tempik’nya. Saya ikut membantu dengan mendorong pantat saya ke depan, blesss…
Masuk semua penis saya yang panjang dan besar itu ke dalam ‘tempik’ Bu Purnomo. “Enak kontolnya, Dik Daffa.” kata Bu Pur.
“Tempik Ibu yang sudah melahirkan 7 anak ini juga masih nikmat,” balas saya.
Saya mulai memompa ‘tempik’ Bu Pur maju-mundur keluar-masuk, sementara itu Bu Pur menggoyang-goyangkan pantatnya mengimbangi pompaan penis saya sambil berciuman bibir dengan saya. Setelah beberapa saat kami saling melampiaskan napsu kami di tempat tidur, Bu Pur mengencangkan otot ‘tempik’nya, penis saya seperti dijepit kuat sekali oleh dinding tempik Bu Pur.
Saya tidak tahan lagi, saya pun mengejang hebat sambil saya mendorong masuk penis saya sampai ke ujung lubang ‘tempik’ Bu Pur, dan di sana air mani saya meledak di rahim Bu Pur. Setelah itu, saya ngeri juga kalau Bu Pur sampai cerita pada tetangga-tetangganya.
Maka itu kadang-kadang saya suka datang ke rumah Bu Pur ngajak Bu Pur dan anak-anaknya jalan-jalan dan makan di mall. Atau kadang saya pergi berdua dengan Bu Pur. Kami pulang bawa makanan. Sementara anak-anaknya makan, Bu Pur dan saya bermain seks di kamar.