Keesokan pagi-pagi sekali sekitar jam 6 aku sudah menunggu di tempat yang dijanjikan. Setengah jam kemudian dia muncul dengan menggendong tas yang tidak terlalu besar dan anaknya menggendong ransel tas sekolah.
Aku mencegat taksi lalu menyebutkan alamat ke supir taxi. Sekitar setengah jam kemudian taxi berhenti di lobby apartemen tempatku tinggal. Aku mengajak Rini dan anaknya turun. Mereka berdua celingukan melihat sekeliling. Mereka tambah heran melihat penghormatan satpam dan dan petugas di lobby menyambutku.
Kami masuk lift dan melaju keatas lantai 53. Sebuah apartemen milikku berukuran 125 m2 dengan 3 kamar dan lengkap full furnish. Aku tunjukkan kamar yang akan ditempati Rini dan anaknya. Jika Chilla ngin kamar sendiri ada juga kamar yang sudah aku siapkan, lengkap dengan meja belajar.
“Lho, oom yang punya mana, kok si oom yang ngatur-ngatur.” tanya Rini terheran-heran. Nanti dia datang tadi sudah saya telepon. “ Aku menunjukkan fasilitas yang ada di rumah ini, seperti menggunakan kran air panas, menggunakan kompor, menggunakan microwave dan berbagai perlengkapan rumah yang modern.
Di setiap kamar ada televisi dan berpendingin AC. Yah pokoknya apartemen mewahlah. Chilla asih agak canggung celingukan melihat-lihat sekeliling rumah. Emaknya juga begitu. “Oom orangnya kaya banget ya, rumahnya aja bagus banget gini.” kata Rini sambil melihat-lihat pemandangan dari jendela di ruang tamu.
Aku memberinya acces card yang digunakan untuk membuka pintu masuk ke unit apartemen dan menggunakan lift sampai ke lantai 53. Berseberangan dengan bangunan apartemen terdapat pusat perbelanjaan yang sangat besar dan lengkap. Ada jembatan yang menghubungkan apartemen dengan pusat perbelanjaan itu.
Rini aku beri 500 ribu dan Chilla 00 ribu untuk jajan dan makan di mall. Aku tidak bisa menemani karena masih ada urusan. Aku mewanti-wanti agar dia tidak lupa dengan akses card itu jika keluar apartemen.
Apartemenku sudah ku lengkapi spy camera yang tersembunyi, sehingga dari mana pun aku bisa mengawasi apartemenku.
Sampai siang kuamati mereka berdua tetap berada di apartemen. Kelihatannya mereka memasak mie instan yang memang tersedia di dalam lemari dapur. Jam 5 sore aku balik ke apartemen. Mereka kelihatan segar, mungkin karena habis mandi dan ruangan sangat sejuk.
Mereka rupanya tidak berani meninggalkan apartemen, karena kuatir, jika mereka pergi pemilik apartemen itu datang. Selain itu mereka merasa cukup kenyang makan mi instan. “ Kata mama, sayang-sayang uangnya buat makan di mall yang pastinya mahal, jadi makan mi aja yang gratis, “ kata Chilla.
Aku tidak bisa terlalu lama lagi bermain dan menyimpan rahasia. Kubuka bahwa akulah bos di apartemen ini, dan memang aku yang mempekerjakan Rini. “Gua dah curiga, sejak masuk ke apartemen si oom kayak orang penting banget, satpam pada hormat segala. Gua heran gak abis-abis, orang kaya begini kok malah kontrak kamar di tempat yang jorok, apa sih enaknya, “ kata si Rini.
Aku diam saja, karena rasanya pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Susah hendak diterangkan, karena kalau saya katakan itu adalah rekreasi, maka mereka akan makin bingung. Mereka kuminta bersiap untuk kuajak ke mall. Makan malam di sana.
Rini dan Chilla idak punya pakaian yang kelihatan bagus. Pakaian yang mereka anggap paling bagus, kelihatannya sudah agak lusuh dan modelnya sudah gak zaman. Kasihan juga sih. Aku terpaksa menyesuaikan dengan tampilan mereka agar tidak terlihat seperti majikan gandeng bedinde dan anaknya jalan ke mall. Jadi aku memilih costum yang lusuh dan memberi bukan orang berduit.
Sungguh mati sebetulnya aku rikuh dan malu sekali dengan costum yang kupakai. Sangking kelihatan ndesonya, sampai satpam yang menjaga pintu masuk mall dengan gerbang metal detector menanyaiku. “eh mas, mau kemana,” kata satpam itu yang kayak mencegah aku masuk ke mall. “mau makan di …(kusebut nama restoran mahal yang ada di dalam mall itu)”
Aneh ya kejadian seperti itu sangat aku nikmati, apalagi melihat wajah heran si satpam yang bingung dengan jawabanku yang fasih menyebut nama restoran itu. Mungkin dia bingung karena melihat tampilanku yang kampungan, tapi kok lancar melafalkan nama restoran dan berbicara penuh dengan percaya diri. Yang membuat dia tambah takjub tujuan restoranku itu, bukan sembarangan karena mewah .
Satpam tak kuasa membendung ku dan rombonganku masuk mall. Mereka hanya memandangi heran. Ketika aku lihat balik, kupanggil salah seorang satpam yang masih bengong. Dia datang dengan wajah tanda tanya. Aku langsung sergah dia dengan pertanyaan, “Toko Mark & Spencer di mana,”.
Dia jelaskan lantai dan arah tokonya sambil wajahnya tetap bingung.
Aku memang serius mau ke toko itu, mau ganti costum rombongan. Menjelang masuk toko, aku dihadang oleh SPG, “mau kemana mas,” tanyanya serius. Mungkin dikira aku nyasar masuk ke toko busana berkelas itu. “Mau beli bajulah, dimana bagian baju perempuan,” sambil tajam menatap matanya.
Mungkin dia tidak menyangka mendapat jawaban seperti itu, maka dia langsung minta aku dan rombongan menuju bagian busana wanita. Aku berbisik ke Rini. “Pilih yang kalian suka, tapi jangan sekali-kali lihat harganya, kataku.
“Lho emang kenapa,” tanya Rini dengan tampang bodohnya.
“Haram,” kataku singkat.
Aku lepas mereka mencari pilihan mereka sendiri. Setengah jam lebih aku berdiri memperhatikan mereka, tampaknya tidak bisa memilih satu baju pun. “Ah ini sih gila oom, harganya gak masuk akal banget,” kata Rini yang didukung anaknya.
“Kan aku bilang jangan liat harganya, kalian sudah melanggar yang haram,” kataku.
Berhubung mereka sedang terguncang imannya, maka aku terpaksa turun tangan. Kupilih 3 pasang untuk Rini dan 3 pasang untuk Chilla Mereka aku suruh mencoba ukurannya.
Seorang pramuniaga, laki mencegah Rini dan Chilla untuk mencoba di kamar pas. Kata si pramuniaga harus dibayar dulu baru boleh di coba.
Rini dan Chilla elapor ke aku. Kaget juga aku ada aturan baru seperti itu, yang belum pernah aku alami dimana pun di pelosok dunia ini. Hal seperti ini yang aku nikmati. “Ok “ kataku lalu menuju ke kasir.
Sepotong kartu kredit platinum aku serahkan ke kasir. Si kasir yang cewek kayaknya ragu melihat kartu kredit platinum yang aku serahkan. Harusnya kan dia gesek ke alat, eh malah diserahkan ke manager store. Sang manager masuk ke ruangan.
Lalu tidak lama kemudian aku dipanggil masuk. Rupanya ruangan itu adalah kantor kecil. Dia menyerahkan telepon. Aku dengar, ternyata orotisasi dari pihak penerbit kartu kredit. Tentunya semua pertanyaan aku jawab dengan lancarlah, orang itu kartu kreditku sendiri.
Setelah aku serahkan kembali gagang telepon itu dan dia berbicara sebentar dengan pihak penerbit. Tampak malah dia manggut-manggut sendiri. “Gila kali ya bicara di telpon, kok manggut-manggut” batinku.
Setelah gagang telepon diletakkan, sikap sang manager itu berbalik 180 derajat. Dia membungkuk-bungkuk minta maaf berkali-kali.
Aku dipersilakan duduk sambil dia menyodorkan sebotol tea yang dingin, aku diberi tempat duduk untuk istirahat menikmati tea dalam botol yang memang menyegarkan. Aku sedot aja, karena memang haus juga sih. Si manager berjalan buru-buru lalu berjalan sambil menghampiri para spg lalu berbisik-bisik.
Setelah ludes air di botol aku sedot, aku santai aja jalan. Para pramuniaga membungkuk-bungkuk menghormatiku. Mereka tidak lagi mempersoalkan aku harus bayar, malah aku diunjuki model mutakhir yang baru datang.
Rini dan Chilla ang tadi khawatir melihat aku disuruh masuk ke ruangan, kini tampangnya jadi berubah tambah bingung melihat perubahan sikap para penjaga toko terhadapku.
“Ada apa sih oom, kok mereka jadi takut begitu ama oom” tanya Rini.
“Habis aku marahin, masak belum tentu beli sudah suruh bayar,” kataku berbohong dan rupanya itu dipercaya.
Aku kemudian bisa santai, karena Rini dan Chilla epertinya didampingi semacam konsultan mode yang membantu mereka memilih model yang cocok.
Pilihan ku tadi jadi tidak terpilih. Aku santai duduk saja. Rini dan Chilla mondar mandir dari kamar ganti ke tempatku, menunjukkan apakah cocok pakaian yang mereka coba itu.
Sang manager store menghampiriku, “ ah bapak isengnya kelewatan, seumur-umur saya belum pernah dapat costumer seperti Bapak, tapi terima kasih pak ini pelajaran buat kami seluruh karyawan toko,” kata sang Manager sambil berdiri dengan sikap penuh hormat.
Costumer lain yang sedang berada di toko itu melirik adegan sang manager menunduk-nunduk penuh hormat kepada orang kampung.
Akhirnya bukan 3 pasang, malah jadi 5 stel. Bukan hanya baju tetapi juga sepatu dan sandal bahkan pakaian dalam pun mereka borong beberapa potong. Rini dan Chilla ang berpenampilan kampungan di kedua tangannya menjinjing bag dengan merk busana terkenal di dunia. Banyak orang melirik dengan tatapan menyelidik.
Aku memilih restoran besar yang ada di dalam mall itu. Dipintu masuk aku kembali dicegat oleh waiternya. “Mas mau cari sapa,” tanyanya. “Gak cari sapa-sapa, mau makan, carikan meja dengan 4 seat,” kataku.
Waiter itu tidak punya alasan menolak aku dan rombongan. Meski air mukanya kelihatan melecehkan dan tidak yakin, tapi dia tetap menunjukkan meja dengan 4 kursi. Ngocoks.com
Aku yang menentukan pilihan, karena aku yakin 100 persen tidak bisa kuserahkan pilihan kepada Rini dan Chilla Menunya yang aku pesan ya yang kira-kira mereka doyan. Karena pilihanku adalah restoran masakan Thai, jadi ya aku carikan yang cita rasanya seperti masakan Indonesia.
Setelah kenyang dan lelah, kami kembali ke apartemen. Berdua mereka sibuk menjajal apa yang mereka beli tadi. “Gila oom, belanja kita tadi kalau dibelikan Yamaha Mio yang baru bisa nih” kata Rini sambil geleng-geleng.
“Sudah dibilang haram ngeliat harganya, masih juga dilanggar,” kataku tenang.
“Aku jadi rasanya gak enak oom, masak saya dan Chilla dibelanjain sampai segitu mahalnya, aduh gimana ya oom mbalesnya,” kata Rini yang duduk bersimpuh di depanku.
“Emang mau mbales apa,” tanyaku.
“Gak tau oom, itu yang saya bingung,” katanya.
“Ah gampang aja, mbalesnya,” kataku yang sudah mulai bertanduk kepalanya.
“Kamu bisa mijet enggak, kalau bisa ya saya minta dipijet aja lah,” kataku santai.
“Udah sana mandi lagi biar seger, saya juga mau mandi lagi, rasanya badan berkeringat agak lengket.” aku bangkit, langsung masuk kamar dan membuka baju masuk kamar mandi di dalam kamarku.
Segar nian air hangat mengguyur tubuhku. Setelah selesai aku mengenakan sarung tanpa celana dalam dan kaus kaus oblong. Itu memang pakaian kebesaranku kalau masuk peraduan. Tidak lama kemudian pintu kamarku diketok, Wajah Rini muncul, lalu kusuruh masuk. Pintunya dia tutup dan katanya dia siap memijatku sampai aku tidur.
Aku tidur telungkup. Rini mulai beroperasi dengan memijat pundakku badan bagian belakang, kaki. Aku minta dia mengurut dengan menggunakan cream body lotion.
Sebab itu aku buka kaus oblong, tetapi sarung tetap melilit. Awalnya pijatan di sekitar badan. Ketika bagian kaki dipijat dan terus mengurut sampai ke paha, Rini terkejut menyenggol buah zakarku. “Eh oom gak pakai celana dalam ya, maaf ya oom tadi kesenggol,” kata Rini berbisik di telingaku.
“Ah disenggol lagi juga gak apa-apa kok, malah enak” kataku.
“Oh ya udah, kirain oom marah,” katanya agak lega.
Bersambung…