Cerita Sex Putri Berhijab yang Berbakti – Meliora telah mulai bersiap-siap untuk kembali Yogyakarta setelah seminggu berada di desa kelahirannya. Telah bulat tekadnya bahwa kedatangannya ke desa kelahirannya di pulau bali kali ini adalah yang terakhir kali, bukan karena Meliora telah menjadi angkuh dan lebih senang di kota besar, melainkan ada sebab lainnya.
Telah terpenuhi tugasnya sebagai putri yang berbakti yaitu menghadiri dan mendampingi ibu kandungnya disaat-saat terakhir sakit dan sampai menutup mata serta dimakamkan. Meliora yang berwajah cantik itu adalah seorang jururawat dengan kedudukan cukup mantap dan baik di sebuah rumah sakit terkenal di ibukota.
Ia telah menikmati pendidikan sebagai jururawat bukan saja di Yogyakarta, namun telah dilanjutkannya di Amsterdam, Belanda dan memperoleh ijazah perawat internasional. Oleh karena itulah setelah kembali dan memperoleh pekerjaan di Yogyakarta.
Hanya dalam waktu singkat Meliora – dengan nama lengkap sebenarnya Putri Meliora, telah menduduki jabatan kepala dari seluruh team perawat, termasuk bagian operasi dan juga ICU/CCU – meskipun usianya baru 22 tahun dan belum berkeluarga karena sibuk dengan tugasnya sehari-hari di tempat kerja.
Ngocoks Telah banyak dokter-dokter muda yang mengincarnya namun belum ada satupun yang dapat merebut hati si perawat cantik ini. Ibu kandungnya yang tetap tinggal di desa telah menikah lagi beberapa tahun lalu karena suaminya telah meninggal dunia akibat kecelakaan.
Sebagai “janda kembang” berusia awal empat puluhan dan masih terlihat anggun menarik, tak mudah hidup di desa pedalaman, selalu dijadikan bahan pergunjingan. Meliora sebenarnya tak begitu senang bahwa ibu kandungnya menikah lagi – apalagi ketika diketahuinya bahwa ayah tirinya adalah Kades Dollah yang terkenal “hidung belang” dan sering main gila dengan istri orang lain. Perlu pembaca Ngocokers tahu, Dollah telah tiga kali menikah dan semua pernikahannya kandas karena perselingkuhannya.
Terbukti pada saat duduk di pelaminan bersama dengan ibunya, terlihat sering sekali mata Dollah mampir ke arah Meliora anak tirinya seolah ingin menelanjangi tubuhnya, membuat Meliora resah dan tak betah.
Oleh karena itu pula Meliora jarang pulang ke desa kelahirannya karena segan bertemu dengan ayah tiri yang mata keranjang itu, justru sang ibu yang lebih sering datang ke kota mengunjungi putrinya dan selalu menanyakan kapan kiranya putri semata wayangnya itu akan menikah dan mempunyai keturunan.
Sebelum keinginan mempunyai cucu dari putrinya tercapai terjadilah musibah tak terduga: desa kecil itu mengalami wabah demam berdarah – dan salah satu korbannya adalah ibu kandung Meliora. Entah karena memang daya tahan tubuhnya kebetulan sedang lemah atau ada faktor lain, maka proses sakit ibu Meliora itu sangat cepat dan hanya dalam waktu tak ada 2 hari langsung meninggal akibat pendarahan hebat.
Kesedihan Meliora tak dapat diuraikan dengan kata-kata, namun sebagai seorang yang taat beragama maka Meliora menerima tabah percobaan yang menimpanya. Semua acara adat dan tradisi desa diikuti oleh Meliora dengan patuh, semua kebiasaan ritual yang sangat melelahkan dijalankannya pula.
Selama upacara sampai dengan pemakaman selesai, Meliora selalu memakai chadar tipis berwarna hitam dan demikian pula jilbab dengan warna serupa. Dihadapan semua yang hadir sebelum jenazah ibunya dimakamkan, Meliora berjanji akan selalu memakai jilbab putih selama satu tahun – juga selama menunaikan tugasnya di RS sekembalinya di yogyakarta , ini sebagai tanda penghormatan dan juga masih berkabung.
Dengan dalih bahwa masih ada sedikit warisan dan peninggalan pribadi ibunya almarhum yang masih harus diurus dan setelah itu disimpan sendiri oleh Meliora, maka sang ayah tiri Dollah dan putra kandungnya (kakak tiri Meliora) bernama Ghazali dengan nama panggilan Ali meminta agar Meliora tak langsung keesokannya kembali ke ibukota, melainkan menginap satu dua malam lagi setelah acara duka cita dengan penduduk desa selesai.
Sebetulnya Meliora telah ingin segera meninggalkan ayah dan kakak lelaki tirinya secepat mungkin, tapi dengan muslihat kata-kata keduanya mengemukakan bahwa apalah pandangan penduduk desa jika putri satu-satunya langsung meninggalkan desa kelahiran sementara tanah pemakaman ibunya masih basah.
Akhirnya Meliora mengalah dan menelpon RS tempatnya bekerja bahwa ia baru akan kembali bekerja dua hari kemudian – sebuah kesalahan yang tak dapat dibayar atau ditebus kembali dengan apapun.
***
Di sore hari itu hujan turun dengan amat deras – disertai suara petir dan guntur silih berganti, karena itu jalanan diluar sepi tak ada tukang jualan. Setelah makan malam bersama ayah dan kakak laki tirinya, Meliora dengan sopan santun mengundurkan diri masuk kamar tidurnya dan mulai membenahi pakaian di kopernya. Karena malam minggu maka para pembantu pun diizinkan Dollah pulang ke rumah masing-masing.
Dollah dan Ali juga berpamitan dengan Meliora dan mengatakan bahwa mereka masih harus selesaikan pelbagai urusan kantor di kelurahan yang juga ada hubungannya dengan persoalan catatan sipil. Tanpa curiga dan bahkan merasa lega, Meliora melepaskan kedua laki-laki itu dan melihat mereka menghilang di tikungan sudut jalan dengan mengendarai motor masing-masing di tengah arus hujan lebat.
Sangat naif sekali Meliora mengira bahwa keduanya betul-betul pergi – padahal mereka hanya naik motor sekitar tiga menit, menyembunyikan motor mereka di belakang ruangan sholat pelataran jual pompa bensin, lalu dengan memutar jalan kaki sedikit telah kembali lagi memasuki kebun belakang rumah.
Hujan yang sangat deras disertai bunyi petir dan guntur memudahkan dan menutup semua bunyi langkah kaki mereka ketika memasuki pekarangan rumah dari belakang. Bahkan bunyi terputarnya kunci pintu belakang sama sekali tak dapat didengar oleh Meliora yang merasa aman seorang diri di rumah dan sedang bersiap untuk mandi menghilangkan kepenatan tubuhnya.
Baju tidur telah digantungnya di kamar mandi, demikian pula celana dalam bersih putih berbentuk segitiga kecil, sedangkan bh-nya yang berukuran 34B serta celana dalam yang dipakainya telah dilepaskan dan terletak di ranjang.
Hanya jilbab hitamnya masih menutup rambutnya yang bergelombang melewati bahu, sedangkan badan yang langsing namun sintal menggairahkan setiap lelaki dibalut dengan kain batik kemben. Sebagaimana pada umumnya wanita pedesaan yang akan mandi di sungai, maka kain kemben itu dibawah menutup setengah betis sedangkan bagian atas pas-pasan dilipat di tengah melindungi tonjolan buah dada.
Dengan hanya terlindung balutan kain kemben itu Meliora keluar dari kamar tidurnya untuk berjalan lima meter memasuki kamar mandi namun merasa aneh bahwa lampu di gang mati padahal dua menit lalu masih menyala ketika ia membawa celana dalam bersih, baju tidur dan handuk ke kamar mandi itu.
Disaat Meliora meraba-raba dinding untuk mencari tombol lampu, tiba-tiba ia merasa tubuhnya disergap dari belakang dan sebelum ia sempat berteriak, mulutnya juga dibekap dan disumbat oleh seseorang. Meskipun sangat kaget, Meliora langsung berontak sekuat tenaga dan berusaha menendang ke kiri dan ke kanan, namun pukulan tinju keras menghantam ulu hati, membuatnya kehilangan nafas dan menjadi lemas lunglai.
Kesempatan ini segera dipakai oleh salah satu lelaki penyergapnya yaitu Dollah untuk menggendong dan membawa Meliora ke kamar tidurnya sendiri yang memang letaknya paling dekat dengan kamar mandi.
Sementara itu Ali mengencangkan kembali sekring listrik yang tadi sengaja dikendorkan sehingga tak ada aliran listrik, kemudian kembali ke kamar Meliora untuk membantu ayahnya menikmati mangsa mereka. Lampu yang telah menyala kembali kini memberikan cahaya cukup, menampilkan dengan jelas apa yang sedang terjadi di kamar tidur.
Meliora si cantik direbahkan di tengah ranjangnya sendiri yang cukup besar. Tubuhnya nan ramping namun sintal menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri dari tindihan ayah tirinya, Dollah, yang penuh kerakusan sedang melumat bibir Meliora dengan mulut besarnya yang berbau rokok.
Dollah tahu bahwa putri tirinya ini sangat benci terhadap lelaki merokok – oleh karena itu ia senang sekali saat ini dapat melumat mulut Meliora dengan bibir manisnya hingga membuatnya membuka dan menerima uluran lidah penuh ludah berbau rokok miliknya.
Terlihat Meliora berusaha selama mungkin menahan nafas agar tak mencium bau yang sangat tak disenanginya itu, namun akhirnya terpaksa menerima limpahan ludah sang ayah tiri serta lidahnya yang berusaha mengelak kini telah ditekan dan disapu-sapu oleh lidah ayahnya yang kasar itu.
Akibat rontaan Meliora maka kain batik kemben yang menutup tubuhnya hanya sampai batas atas dada itupun terlepas dan dengan mudah ditarik ke bawah oleh Dollah dan Ali, kemudian diloloskan melewati pinggul Meliora yang bergeser menggeliat ke kanan dan ke kiri dengan tidak teratur sehingga kini tubuhnya polos bugil tanpa tertutup sehelai benangpun, menyebabkan kedua lelaki durjana itu makin bernafsu melihatnya.
Meliora mulai mengalirkan air mata karena sadar nasib apa yang akan segera menimpanya dan menyesali dirinya sendiri kenapa mau dibujuk untuk menginap lagi dua malam di rumah yang dihuni dua srigala itu.
Dollah tak perduli akan tangisan putri tirinya karena nafsu birahi yang selama ini tertahan sudah naik ke ubun-ubunnya, didudukinya perut datar Meliora hingga gadis itu jadi sukar bernafas dan kembali diciumi berulang-ulang bibir ranum Meliora, kembali dijarahnya rongga mulut Meliora yang hangat dengan lidah kasarnya.
“Eeeehmmm, emang dasar perawat dari kota, mulut atasnya aja harum begini, gimana mulut bawahnya… sebentar lagi abah mau nyicipin, nyerah aja ya nduk, percuma teriak enggak ada yang denger,” demikian celoteh Dollah sambil berulang-ulang meneteskan ludah yang bau, membuat Meliora merasa amat mual.
“Iya, percuma berontak, pasti cuma akan makin pegel dan sakit badannya. Ikut aja nikmati permainan kita berdua, pasti belon pernah ngalami ginian kan di kota?” ujar Ali menyebabkan Meliora semakin takut.
Sementara itu Ali tak mau kalah dan ikut beraksi : kedua kaki Meliora yang menendang kesana-sini, ke kiri dan ke kanan, dengan sigap ditangkap dan dicekalnya di pergelangan sehingga Meliora jadi sukar berontak lagi. Tak hanya sampai disini saja : telapak kaki Meliora yang halus licin dan peka diciumi dan dijilat-jilatnya, membuat Meliora terkejut dan semakin menggelinjang kegelian.
Apalagi ketika satu persatu jari kakinya dikulum oleh Ali, celah jari kakinya juga dijilat-jilat, membuat ronta kegelian Meliora semakin sukar dikendalikan, dan ini menambah nafsu birahi Dollah yang tengah menindih tubuhnya.
Kedua pergelangan tangan Meliora direjangnya diatas kepala yang masih tertutup jilbab sehingga tampak ketiak tercukur licin yang menjadi sasaran ciuman dan gigitan Dollah sehingga mulai muncul cupangan-cupangan merah disana.
Meliora yang kini lepas dari ciuman buas ayah tirinya berteriak sekuat tenaga, namun deras hujan angin disertai dentuman petir dan guntur menutup teriakan minta tolong memelas hati itu.
Dollah merejang dan menekan kedua pergelangan tangan Meliora diatas kepalanya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya kini mulai meremas-remas bukit gunung kembar di dada putri tirinya yang amat menggemaskan itu.
Buah dada putih montok kebanggaan Meliora yang sampai saat ini tak pernah disentuh lawan jenisnya kini menjadi sasaran Dollah : selain diremas dan dipijit dengan kasar, putingnya yang berwarna merah tua kecoklatan itu juga diraba dan diusap-usap, sesekali juga ditarik, dipilin bahkan dipelintir ke pelbagai arah oleh Dollah, mengakibatkan rasa geli dan sekaligus juga ngilu tak terkira bagi Meliora.
Meliora tetap berusaha berontak sambil menangis sesenggukan, wajah cantiknya terlihat semakin ayu manis tetap di bawah jilbab hitamnya, tapi dirasakannya daya tahannya untuk melawan semakin berkurang.
Dollah yang telah sering menggarap banyak perempuan entah yang telah bersuami, maupun janda dan bahkan juga perawan di desa sekitar situ merasakan bahwa perlawanan Meliora mulai menurun.
“Hehehe, mulai lemes ya, Nduk? Gitu donk, pinter banget nih anak manis, ntar lagi diajak ngerasain apa itu surga dunia, tapi sekarang belajar dulu gimana ngisep sosis desa alamiah. Nih sosis makin diisep makin jadi gede, ntar malahan bisa keluarin sari jamu awet muda, mau nyoba kan?” seringai Dollah.
Meliora tidak langsung mengerti maksud kata-kata Dollah, ia merasakan tubuh ayah tirinya yang hampir delapan puluh kilo itu kini tak menduduki perutnya, melainkan bergeser ke atas dan meletakkan kedua lututnya hampir setinggi lipatan ketiaknya, sehingga dalam posisi ini wajah cantik Meliora langsung berhadapan dengan selangkangan Dollah.
Dengan tetap merejang dan menekan kedua pergelangan tangan Meliora ke kasur dengan satu tangan kiri saja, Dollah kini dengan sigap melepaskan ikat pinggang serta ritsluiting celananya. Sebagai wanita dewasa dan jururawat, Meliora kini paham apa kemauan Dollah dan dengan penuh ketakutan berusaha mati-matian meronta.
Tercium bau tak menyenangkan dari celana dalam ayah tirinya yang mungkin hari itu belum diganti – yang mana segera diturunkan pula oleh Dollah dan bagaikan ular Cobra yang mencari mangsanya, keluarlah rudal kebanggaan Dollah.
Kemaluan Dollah yang besar panjang berurat-urat serta di-khitan itu kini mengangguk-angguk di depan wajah Meliora yang berusaha melengos ke samping. Reaksi penolakan semacam ini sudah biasa dialami dan ditunggu Dollah.
“Hehehe, biasa tuh perempuan, selalu malu-malu ngeliat barang lelaki, padahal dalam hati kecil udah pingin ngerasain ya. Tapi sebelumnya bikin si Otong makin binal, ayooh buka tuh bibir lebar-lebar, kulum, isep dan jilat dulu nih sosis alam sampe ngeluarin pejuh obat awet muda.”
Meliora merasa amat jijik melihat penis Dollah dan tak mau menyerah begitu saja, namun ayah tirinya sudah berpengalaman bagaimana mengatasi penolakan perempuan – dicubitnya puting susu Meliora yang telah tegak mengeras dengan memakai kukunya sehingga Meliora menjerit kesakitan atas perlakuan sadis ini.
Kesempatan ini telah dinantikan ayah tirinya : segera alat kelelakiannya yang memang telah bersiap di depan wajah Meliora ditempelkan ke bibirnya yang tentu saja Meliora segera menutupnya kembali. Dollah menyeringai sadis dan kini jari-jarinya yang sedang mencubit puting susu Meliora dipindahkan untuk memencet hidung mancung bangir milik putri tirinya
Sehingga Meliora kelabakan megap-megap mencari udara, otomatis tanpa dikehendaki mulutnya kembali membuka. Kali ini tanpa ada ampun lagi kejantanan Dollah menerobos masuk diantara kedua bibir basah merekah dan memasuki rongga mulut Meliora yang hangat basah.
Meliora merasa sangat jijik dan ingin mengeluarkan kemaluan yang sedang memerawani mulutnya itu, namun apalah dayanya sebagai perempuan lemah dikeroyok dua laki laki perkasa, apalagi kini ayah tirinya kembali merejang kedua tangan ke atas kepalanya yang masih tertutup jilbab,
Sedangkan tangan satunya tetap memencét hidungnya hingga mulutnya tetap terpaksa untuk terbuka untuk mencari nafas. Dollah kini mulai memaju-mundurkan penisnya di mulut Meliora, setiap gerakan maju selalu lebih dalam daripada sebelumnya, menyebabkan Meliora tersedak setiap kalinya, ingin batuk tapi tidak bisa.
“Hehehe… nah, gimana rasanya, Nduk, dirajah dan diperkosa mulutnya, enak kan? Abah enggak bohong lan! Iyaaa… mulai pinter nyepongnya, teruuus… iyaaa… gituuuu… kulum nyang bener! Aaaaaah… pinteer emang putri abah satu ini! Ayo, iseeeep nyang kuaaat… jilaaaat… iyaaa… abah udah mau keluaar nih, ooaaah!!!” akhirnya Dollah hanya berhasil memasukkan sekitar setengah dari penisnya ke mulut Meliora.
Ujung kemaluan Dollah kini menyentuh, memukul-mukul dinding rahang Meliora di ujung kerongkongannya, menyebabkan Meliora berkali-kali tersedak menahan rasa mual ingin muntah. Rasa ingin muntah itu mengalami puncaknya ketika alat kejantanan Dollah terasa semakin membesar dan berdenyut-denyut, hingga akhirnya…
“Aaaaaah… iyaaaaaaa… nduuuuuk… ini abah keluaaaaar! Pinter banget, Nduuk… ayo, jangan ada yang dibuang! Teguk, abisin semuanya, Nduuuk… aaaah… iyaaaaa!!” Dollah menggeram bagai binatang buas disaat ia dengan penuh nikmat menyemprotkan lahar panasnya ke mulut Meliora.
Berbeda dengan Dollah yang sedang dilanda orgasme, Meliora merasa sangat terhina dan terpaksa menghirup sperma ayah tiri yang saat itu sangat dibencinya. Cairan kental hangat itu bagai tak henti menyembur dari lubang di puncak kemaluan Dollah, memenuhi kerongkongan Meliora, terasa sepat agak asin dengan bau khas sperma laki-laki.
Pertama kali merasakannya membuat perawat cantik berkudung ini tersedak ingin muntah. Namun Dollah bukan anak kemarin sore yang baru masuk usia belasan – kedua tangannya dengan sangat kuat segera memegangi kepala Meliora yang berjilbab sehingga Meliora jadi tak berkutik sama sekali,
Penis Dollah yang memang besar tetap memenuhi rongga mulut mangsanya dengan sempurna sehingga tak ada ruangan bagi Meliora untuk melepehkan cairan yang dirasakannya sangat menjijikkan itu.
Meliora hanya dapat mencakar-cakar lemah kaki Dollah dengan kukunya yang rapih terawat karena lengan atasnya telah ditindih dan ditekan ke kasur dengan kasar oleh lutut ayah tirinya sehingga tidak banyak dapat digerakkannya untuk melawan.
Teguk demi teguk air mani Dollah terpaksa harus ditelannya karena jika tidak maka pasti akan masuk memenuhi dan mencekik jalan nafasnya. Meliora mengharapkan agar nasibnya dijarah kedua lelaki itu telah berakhir disini, namun dugaannya itu sia-sia belaka – ini baru babak pertama penderitaannya.
Setelah sang ayah tiri menarik penisnya dari rongga mulutnya, maka kini giliran sang kakak tiri menagih bagiannya dengan tentunya mendapat bantuan dari sang ayah. Dollah berlutut di samping kiri badan Meliora dan tetap mencekal menekan kedua nadi putri tirinya yang langsing diatas kepalanya yang masih tertutup jilbab dengan tangan kanannya ke kasur, sementara tangan kirinya kembali mengusap-usap buah dada korbannya, Dollah meremas-remas, memijit-mijit dan menyentil-nyentil puting Meliora.
Serangan bertubi-tubi ini kembali menunjukkan hasilnya karena bagaimanapun Meliora berusaha menekan gejolak birahinya, namun tubuhnya yang bahenol penuh dengan hormon kewanitaan kembali mulai mengkhianatinya.
Kedua putingnya yang memang selalu mencuat ke atas dirasakannya semakin hangat gatal dan geli menginginkan ada tangan yang meremasnya. Namun karena tangannya sendiri di rejang ke kasur, maka yang dapat dilakukannya secara tanpa disadari adalah melentingkan tubuh bagian atasnya sehingga buah dadanya semakin membusung keatas.
“Hehehe, nikmat ya, Nduk? Enggak usah malu-malu deh, enak ya pentilnya dirangsang, ntar lagi abah sama Ali pingin ngerasain susu asli, nih abah bantuin supaya keluar susunya,” Dollah bersenyum cabul lalu menundukkan kepalanya dan mulai menyusu di bongkahan payudara Meliora, mulutnya menyedot-nyedot sambil sesekali menggigit puting susu Meliora yang begitu merangsang.
“Aaah, auuw, oooh, udah dong abaah… jangan diterusin, enggak mauu… jangaaaan, lepasiiin, iieeempppphh, eeehhmmmp, jangaaan!” keluh si gadis cantik tanpa daya sambil terus menggeliat-geliat penuh keputus-asaan. Namun itu semua hanya makin memacu nafsu birahi dan kebuasan kedua lelaki pemerkosanya.
Sementara itu, Ali telah menempatkan diri diantara kedua paha Meliora yang begitu halus mulus dengan kulit putih kuning langsat. Kedua tangannya tak henti-henti mengusap-usap betis belalang Meliora – menyentuh dengan mesra kemudian meneruskan elusannya semakin naik ke arah paha, naik dan terus naik menuju ke arah selangkangan Meliora.
Nafas kedua lelaki jahanam itu semakin berat mendengus-dengus melihat indahnya bukit kemaluan Meliora – bukit intim itu ternyata licin karena selalu dirawat dan dicukur tandas oleh sang empunya.
“Wuuiiih, memang lain ya perawat dari kota, memeknya kelimis begini, pasti sering diurut dan mandi spa ya?! Abang pengen nyicipi air celah perawan, pasti manis madunya, betul enggak, Neng?” goda Ali.
Tanpa menunggu jawaban, Ali merebahkan diri diantara kedua paha Meliora dan mendekatkan wajahnya ke arah selangkangan yang begitu merangsang nafsu setiap lelaki yang melihat itu. Ali menelungkupkan diri di antara kedua paha mulus yang dipaksa untuk dibuka lebar, betapapun Meliora berusaha mengatupkannya, namun tenaganya kalah dengan kedua lengan Ali yang sangat berotot.
“Emmmhhhh… emang bener, harum banget nih mémék, pake sabun apa sih, Neng? Atau selalu diolesin minyak wangi ya?” tanya Ali sambil mulai mengecup dan menciumi bukit kemaluan Meliora. Lidahnya yang kasar tak kalah dengan sang bapak mulai menjelajahi bukit gundul kemaluan Meliora,
Ali menjilat dan membasahinya dengan ludahnya, telaten ia menelusuri celahnya yang masih rapat karena belum pernah diterobos siapapun. Bibir kemaluan luar pelindung celah kewanitaan Meliora mulai dibuka oleh jari-jari Ali disertai dengan jilatan naik turun, sesekali berputar, merintis jalan memasuki bagian dalam yang berwarna kuning kemerahan.
“Jangaaan, udaaaaah, sialaaaan, anjiing semuanya, enggak malu dua lelaki main keroyokan dengan perempuan!! Oooooh, udaaaah, stoooop, jangan diterusin, aaaaaah!” Meliora semakin menggeliat geli dan menahan gejolak naluri kewanitaannya yang semakin lemah menginginkan penyerahan total.
“Baguuus amat nih mémék, haruuuum, enggak ada bau pesing sedikitpun, enggak seperti punya lonte desa, rejeki banget bisa ngerasain yang kaya begini,” Ali menjilat semakin ganas sambil menceracau tak karuan.
Gerakan paha mulus Meliora yang mengatup membuka tak teratur tak dipedulikannya karena penjelajahannya kini semakin dalam sampai lidahnya menemukan tonjolan daging kecil berwarna merah jambu yang tersembunyi diantara lipatan bibir kemaluan Meliora bagian dalam.
“Ini dia yang gue cari dari tadi, horeeee akhirnya ketemu juga butir jagung paling lezat… eeeemh, cuppp, cupppp, legitnya nih daging… si neng rupanya enggak disunat ya, jadi ngumpet tuh butir jagung. Tapi udah ketemu nih, jadi perlu diberikan pelayanan extra ya, Neng.” demikian sindir Ali yang kemudian tak berkata-kata lagi karena asyik menjilati kelentit Meliora yang semakin terlihat menonjol keluar.
“Aaaaaah, lepaaaaas, lepaaaaaskan, jangaaaan, enggaaaak mauuuuu, oooooooohh, emmmppfhhhh,” suara teriakan putus asa Meliora menggema di malam yang dingin itu, namun tetap dikalahkan oleh bisingnya suara hujan menimpa atap rumah, ditambah pula semakin seringnya gema petir dan guntur yang menggelegar menakutkan.
Dollah yang kembali tak sanggup menahan syahwatnya melihat tubuh Meliora yang telanjang bulat putih mulus meronta-ronta tak berdaya berusaha melawan rangsangan kakak tirinya yang dengan asyik melumat dan menggigit-gigit kelentitnya yang semakin lama semakin memerah, kembali mendekap dan menciumi mulut putri tirinya itu sehingga teriakan Meliora segera teredam.
Bersambung…