Ketiga lelaki dengan niat tak senonoh itu merancang bahwa Meliora tidak akan diberi kesempatan untuk kembali ke kota. Begitu keadaan tubuhnya pulih dari sakit demamnya, maka kesempatan itu tak boleh diabaikan dan langsung akan dijebak dan dijadikan ‘gadis persembahan’ untuk membayar hutang.
Sementara itu hampir seminggu telah berlalu dan perlahan-lahan Meliora mulai sembuh dari demamnya. Keinginan untuk makan minum juga telah hampir pulih sehingga ia memutuskan untuk kembali ke kota dan melupakan segala pengalaman pahit yang telah dialaminya disini.
Meliora berniat untuk kembali pada hari Jum’at setelah sarapan pagi dan untuk itu sebagai seorang terpelajar dan sopan santun, maka Meliora telah memberitahukan hal ini pada ayah tirinya (dengan wajah tanpa mimik sedikitpun dan suara sangat dingin serta datar tanpa emosi) dua hari sebelumnya yaitu di hari Rabu pagi ketika makan siang.
Hal ini kembali merupakan kesalahan besar karena dengan demikian sang ayah tiri serta adik laki-laki tirinya yang sudah punya maksud jahat langsung dapat merancang jebakan yang akan dipasang. Mereka langsung memberitahu Ustadz Beduin bahwa ‘sang kelinci’ sudah siap untuk dijadikan santapan dan direncanakan bahwa hari Kamis petang menjelang malam Jum’at tanggal 13 adalah waktu terbaik untuk melaksanakan jebakan itu.
Setelah makan tengah hari, Meliora mulai membereskan dan memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Sejak pagi hari Meliora melihat ayah dan saudara lelaki tirinya pergi meninggalkan rumah entah kemana, dan ketika makan tengah hari, mereka tak pulang, padahal biasanya paling tidak salah seorang dari mereka akan pulang makan di rumah. Namun hal itu sama sekali tak meresahkan Meliora, bahkan ia merasa gembira tak usah berhadapan muka atau bahkan duduk bersama satu meja dengan orang yang telah merenggut kegadisannya.
Menjelang masuk awal petang hari, cuaca mulai memburuk. Udara semakin mendung dan hujan lebat mulai turun disertai dengan kilat dan petir sambung-menyambung. Semuanya tak menjadi bahan perhatian Meliora karena semua isi pikirannya hanya dipenuhi hasrat dan tujuan untuk kembali ke tempat kerjanya.
Tanpa disadarinya keadaan di luar menjadi semakin gelap akibat mendung dan hujan lebat -bagai ulangan peristiwa dimana hari naas ketika Meliora kehilangan mahkota kegadisannya. Hanya bedanya kali ini lampu tetap menyala sehingga dengan penuh ketenangan Meliora dapat melanjutkan membereskan kopernya, hingga esok hari ia dapat berangkat setelah sarapan.
Selesai merapihkan semuanya maka Meliora merasa lebih tenang. Diambilnya buku novel yang dibawanya dan belum sempat dibaca habis akibat peristiwa yang dia alami, dan juga karena sakitnya beberapa hari ini. Dalam posisi setengah duduk terbaring di ranjang, ia mulai membaca. Novel karya pengarang terkenal itu dengan cepat membawanya ke alam hayalan, mengajak Meliora agar melupakan duka nestapanya untuk sejenak.
Tanpa terasa satu jam telah berlalu, ditambah dengan udara sejuk bahkan agak dingin akibat hujan lebat, maka Meliora mulai memejamkan matanya yang terasa berat. Tak lama kemudian tanpa terasa ia sudah semakin ngantuk, maka diletakkannya buku yang baru selesai dibacanya itu dan beberapa menit kemudian iapun jatuh tertidur…
Sebagaimana rumah-rumah di pedalaman, maka kamar tidur Meliora juga tidak mempunyai lubang kunci. Derasnya hujan angin serta gemuruh guntur menyamarkan bunyi pintu kamar yang terbuka perlahan-lahan disertai intipan mata jalang Beduin yang entah kapan tiba.
Jakun Beduin turun naik dan matanya melotot wanita muda ayu cantik terbaring di ranjang dalam posisi menyamping dengan wajah menghadap pintu dimana Beduin sedang mengintip. Ustadz pejantan cabul yang usianya mendekati limapuluh itu semakin blingsatan dan nafasnya semakin memburu melihat betis dan paha Meliora yang begitu putih dan mulus, tersingkap di bawah gamisnya.
Meskipun bagian atas tubuh Meliora tertutup rapat dan rapi sebagaimana seorang gadis alim shalihah, namun semuanya tak dapat menyembunyikan tonjolan bukit kembar di dada Meliora yang bergerak naik turun seirama dengan tarikan nafas halusnya yang sama sekali tidak terdengar.
Beduin merasakan alat kejantanannya langsung terbangun -apalagi disaat Meliora tanpa sadar sedikit membalikkan tubuhnya telentang sehingga pahanya jadi agak membuka, memperlihatkan sebentuk selangkangan yang tertutup oleh celana dalam kecil berwarna putih. Dari jarak itu, Beduin tidak dapat melihat dengan jelas apakah di balik celana dalam itu kemaluan Meliora bersembunyi di balik bulu lebat atau hanya sebagian tersembunyi di balik bulu halus…
Ali dan Dollah yang berada di belakang Beduin hanya memberikan sedikit dorongan di punggung Ustadz mesum itu sebagai tanda bahwa mangsa yang diincar telah sedemikian lengah terbaring dan siap untuk dinikmati.
Keduanya telah sepakat bahwa Dollah akan membantu Beduin untuk merejang Meliora agar tak sanggup berontak, sedangkan Ali baru akan menyusul ikut ‘pertempuran’ jika diperlukan tenaganya. Ali mempunyai tugas lebih penting, yaitu mengambil semua adegan penjarahan Meliora oleh pak Dollah dengan ponselnya,
Dan ini akan dijadikan bukti hingga tak dapat dipungkiri seandainya Beduin akan menyalahi janjinya dan tak bersedia menghapuskan hutang-hutang mereka sebagaimana ucapannya secara lisan.
Memang pada saat itu ibarat iblis sedang menguasai alam sekitar desa -hujan semakin deras mengguyur sehingga di dalam rumah pun suram gelap, menguntungkan manusia-manusia yang hendak berniat jahat. Juga bunyi limpahan air hujan di atap rumah menutup semua bunyi lain -termasuk bunyi engsel pintu kamar tidur Meliora yang perlahan-lahan dibuka oleh Beduin, serta langkah ketiga lelaki jahanam yang kini telah berdiri di samping ranjang dan mengawasi si bidadari yang tertidur itu.
Ali mempersiapkan ponselnya dan berdiri di sebelah kanan ranjang, sementara Dollah berada di ujung bagian kepala ranjang. Ketika keduanya telah siap dalam posisi yang strategis itu, maka Beduin segera melepaskan baju, celana panjang serta kaos yang menutupi badan atasnya sehingga ia kini hanya memakai celana dalam saja.
Bagaikan seorang suami yang terpesona dengan kemolekan tubuh istrinya, maka Beduin dengan setengah merebahkan diri mulai mendekatkan mukanya yang bopéngan bekas cacar serta berhias kumis dan jenggot lebat bagai kambing gunung ke wajah Meliora yang sedemikian cantik jelita. Lalu dengan rakusnya ia mulai menciumi bibir tipis Meliora yang setengah terbuka.
Meliora yang tengah terbuai di alam mimpi langsung terbangun begitu bibirnya direnggut dengan kasar oleh mulut dan lidah yang kini secara ganas dan kurang ajar serta beraroma tak sedap dan juga penuh air liur memuakkan berusaha menerobos masuk ke dalam rongga mulutnya.
Meliora dengan segera berusaha memberontak, namun Dollah yang berada di ujung ranjang langsung memegang dan merejang kedua pergelangan tangannya yang langsing lalu menekannya kuat-kuat ke kasur sehingga Meliora jadi tak berdaya lagi untuk menepis tangan Beduin yang mulai meraba-raba bukit kembar di dadanya, apalagi untuk mencakar muka penjarahnya, tak ada kemungkinan sama sekali.
Meski begitu, Meliora tetap melawan sekuat tenaga dan meronta-ronta. Ia tidak ingin menyerah dengan mudah. Namun tentu saja hal ini sia-sia karena tenaga Beduin yang seolah dirasuki setan terlalu kuat, apalagi dibantu oleh Dollah yang ikut merejang tangannya. Rontaan serta tendangan-tendangan kaki Meliora hanya menyebabkan gaun tidur penutup tubuhnya kini semakin tersingkap, membuat betis dan pahanya yang begitu putih dan mulus jadi terpampang jelas.
“Mphfhh… sialaaan! Jahanaaam! S-siapa kamuu! Mpffhff… auowfhh… hhmmfh…” Meliora berusaha memaki-maki lelaki yang sedang menciuminya, namun yang dilihatnya hanya mata jelalatan yang penuh nafsu.
Meliora bahkan merasakan bahwa gaunnya telah tersibak seluruhnya ke atas dan hanya dalam waktu beberapa menit kemudian tangan Beduin yang meraba-raba gundukan dadanya dari luar gaun tidurnya dengan kasar merenggut telah bh berukuran 34B-nya hingga terlepas. Kini terbukalah kedua buah dada Meliora yang sangat sekal dan padat dengan dihiasi dua puting coklat yang terlihat mencuat ke atas, nampak begitu menggemaskan bagi setiap lelaki yang melihatnya.
“Hmhh… wangi tenan nih tetek. Pasti penuh isinya, udah lama enggak ada yang nyusu. Abang punya sapi dan kambing, jadi ngerti banget gimana mesti keluarin susu perahan alam si néng. Abang isep dan gigit-gigit biar bisa keluar ya, udah pengen ngerasain susu gadis muda. Ssshh… uuuh… maniisnya!!” celoteh Ustadz Beduin yang seolah telah kerasukan sambil menghisap dan menggigit puting Meliora, membuatnya jadi menggelinjang mati-matian.
Air mata mengalir kembali dengan derasnya membasahi pipi Meliora karena peristiwa biadab beberapa hari lalu kini terulang kembali, bahkan sekarang yang menggarap tubuhnya adalah lelaki setengah baya yang sama sekali tidak dikenalnya.
Ketika melihat betapa eratnya kerjasama antara ketiga lelaki itu maka Meliora menarik kesimpulan bahwa semuanya telah diatur oleh Dollah. Ayah tirinya itu sudah merancang pelecehan ini dengan seksama. Betapa Meliora menyesali kebodohannya selama ini -segala macam sopan santun dan adat istiadat tidak ada maknanya bagi laki-laki itu. Dollah hanya mempunyai satu keinginan, yaitu menggarap tubuh montoknya habis-habisan. Dan sekarang menawarkannya kepada laki-laki lain
Sambil meremas-remas dan menggigiti puting susu Meliora, dengan sigapnya Beduin telah menindih tubuh gadis itu dan gaun tidurnya juga telah dicabik-cabik sehingga tubuh montok Meliora telah telanjang bulat di bawah tubuhnya.
Dollah yang dari tadi hanya memegangi, sedikit demi sedikit mulai tidak dapat menahan nafsunya melihat tubuh putri tirinya yang berada dalam cengkraman Ustadz Beduin yang terus menciumi dan menyedot-nyedot puting susu Meliora yang telah tegang mencuat. Maka sambil tetap memegangi kedua pergelangan tangan Meliora ke atas kepala, Dollah menunduk dan mulai menciumi pipi dan bibir Meliora yang setengah merekah.
“Huekhg!” Meliora merasa sangat jijik dan mual karena bau mulut Dollah yang tak pernah menyikat giginya, sehingga mulut itu selalu beraroma asam tak menyenangkan.
Ali yang mengambil semua adegan penjarahan itu dengan ponselnya ikut merasa si ‘adik’ di balik celana mulai terbangun, apalagi melihat geliatan tubuh Meliora yang putih mulus tanpa daya ketika Beduin mulai merosotkan badannya dan menciumi pusar Meliora yang melekuk indah di perutnya yang datar.
Kumis jenggot si Ustadz cabul menggelitik perut Meliora, membuatnya jadi kegelian dan semakin menendang-nendang dengan kaki jenjangnya yang diusahakannya agar selalu terkatup rapat. Namun apalah daya Meliora karena si Ustadz jahanam itu telah sempurna menempatkan diri di tengah kedua kaki si gadis cantik yang kini dipaksa melebar.
Mata Beduin bagaikan akan meloncat keluar ketika melihat betapa indahnya pemandangan yang terpampang di hadapannya. Diantara kedua paha putih mulus Meliora terlihat selangkangannya yang membukit dengan belahan amat licin tanpa bulu. Tepat di bagian tengahnya tampak celah kenikmatan Meliora yang menekuk ke dalam, menyembunyikan rongganya yang sangat mungil dan sempit milik seorang gadis alim.
Ustadz Beduin merasakan kemaluannya memberontak mengangguk-angguk karena tak sabar lagi ingin membelah lipatan hangat itu dan menerobos masuk untuk menyemburkan benihnya ke rahim yang masih jarang ditaburi oleh air mazi lelaki, terkecuali dalam peristiwa perkosaan beberapa hari lalu oleh ayah tirinya.
Meliora menyadari kedudukannya yang sangat lemah dan tak akan bisa lolos dari bencana pelecehan kedua kalinya, dan harapannya kini hanyalah agar semuanya cepat berlalu dan ia akan meninggalkan desa kelahirannya untuk selama-lamanya.
Karena itu dibiarkannya mulutnya dilumat habis-habisan oleh ayah tirinya, diusahakannya sedapat mungkin menahan nafas melalui hidung dan hanya menarik udara dari mulut saja. Dengan demikian tak begitu banyak aroma amat memuakkan dari mulut Dollah yang harus diciumnya. Selain itu ditutupnya matanya rapat-rapat karena Meliora tidak ingin melihat wajah para pemerkosanya, terutama Ustadz Beduin yang sama sekali tidak ia kenal sebelumnya.
Namun Ustadz cabul itu bukan anak kemarin sore yang dapat begitu saja dipuaskan nafsunya. Meliora harus merasakan bahwa yang kali ini akan menggagahinya bukan lelaki sembarangan, melainkan seorang pemimpin di kampung yang cukup disegani karena mempunyai ‘senjata; yang jarang dimiliki oleh lelaki lain. Selain itu, dia mempunyai kondisi tubuh dan stamina yang sangat tangguh, melebihi kesanggupan lelaki desa yang jauh lebih muda darinya.
Menikmati tubuh wanita yang digagahinya namun memejamkan mata tak mau melihat wajah sang pemerkosa bukanlah sesuatu yang dapat memuaskan Ustadz Beduin. Tak ada kepuasan lebih tinggi jika ia dapat mengawasi dan menatap wajah wanita yang semula menolak mentah-mentah namun akhirnya dapat dikalahkan. Terutama wajah ayu cantik berlinang air mata yang memohon belas kasihan dan mendengarkan ratapan minta ampun karena tak tahan dan tak sanggup lagi melayani kegagahan dan kejantanannya.
Hal ini juga harus dialami oleh Meliora yang kini telah berada di dalam genggaman dan cengkramannya –gadis itu harus ditaklukkannya hingga bersedia melayani semua keinginan nafsu birahinya dengan senang hati, betapapun menjijikkan dan merendahkan diri bagi yang sedang diperkosa.
Untuk mencapai tujuan itu maka tubuh sintal Meliora harus dipermainkan serta dirangsang sehingga mendekati titik didih birahi kewanitannya, sampai gadis itu jadi tidak sanggup lagi menahan diri serta rasa malunya untuk minta dipuaskan perlahan sirna, barulah saat itu Beduin akan menikmati kehangatan firdausi yang telah diidam-idamkannya sejak lama.
Beduin memberikan tanda kepada Ali agar memegangi pergelangan kaki kiri Meliora dan menariknya selebar serta sejauh mungkin ke samping, sementara ia sendiri memegang pergelangan kaki kanan Meliora dan mulailah jari-jari Meliora yang kecil mungil itu dimasukkan ke dalam mulutnya, lalu dihisap-hisap dan dijilatinya, terutama di celah-celah diantara jari kaki yang begitu peka.
Tentu saja Meliora langsung menggelinjang dan menggeliat-geliat tak karuan karena menghadapi serangan yang sama sekali tak diduganya ini. Belum pernah ada yang melakukan hal seperti ini kepadanya. Kumis dan jenggot pendek Beduin bagaikan sikat mengesek-gesek telapak kakinya, menggelitik celah jarinya yang secara bergantian dihisap-hisap pula.
“Lepaas! Lepaskan aku! Mau diapaain?! Gelii…!! Aiih… aah… oooh… hhhh… enggak mau! Lepaskan! U-udah! Gelii… sialan semuaanya! Kalian bangsat! Lepaas! Ohmmph…” Meliora meliuk-liukkan tubuhnya yang telanjang, yang tanpa sadar malah semakin memacu nafsu birahi si Ustadz cabul.
Kini jari-jari tangan ustadz Beduin yang berkuku panjang mulai mengusap-usap lembah kemaluan Meliora. Dibelahnya celah yang tertutup bibir kemaluan itu, dicarinya sebutir daging yang tersembunyi disitu, lalu dicubit dan dipilin-pilinnya pelan.
Bagai terkena aliran listrik, tubuh Meliora langsung menggelepar dan mengejang sambil menendang-nendang tak berdaya karena kedua pergelangan kakinya dicekal erat. Beduin melakukan aksinya berganti-ganti; kaki kanan, kaki kiri, kembali ke kaki kanan, sementara tangan satunya tetap merangsang celah kewanitaan Meliora yang semakin lama menjadi semakin lembab.
Semuanya tak sanggup lagi ditahan oleh tubuh Meliora sebagaimana wanita muda yang membutuhkan belaian dan kemesraan lawan jenisnya, tak perduli apakah rangsangan itu berdasarkan kasih sayang atau dipaksakan.
“Udah! Aah… auw! Aihh… ohh… emhh… sshh… aughh!!” jeritan Meliora melengking memenuhi seluruh ruangan ketika badannya melengkung ke atas menandakan tercapainya orgasme pertama, sementara dihadapan matanya meledak jutaan bintang bagaikan kunang-kunang di malam gelap gulita.
Beduin kembali memberikan aba-aba kepada Ali agar melepaskan cengkeramannya di pergelangan kaki Meliora, lalu digeser dan didorongnya sebuah bantal di bawah pinggul Meliora, kemudian diletakkannya kedua lutut Meliora di atas pundaknya. Dengan demikian terbukalah selangkangan Meliora secara optimal.
Celah memeknya yang terlihat licin mengkilat dibasahi oleh cairan lendir kewanitaan akibat orgasmenya, kini terkuaklah melebar dihadapan rudal Beduin yang bagaikan pentungan bertopi baja. Satu dua tetes air mazi telah mulai keluar dari saluran kencing Meliora pada saat Beduin meletakkan kepala penis kebanggaannya itu di gerbang kenikmatan si gadis kota.
Tapi Beduin tidak buru-buru untuk melakukannya. Ia ingin menyaksikan bagaimana wajah keputus-asaan Meliora saat gairah birahinya terus menerus dipacu. Secara sangat sadis Beduin kembali mengusap-usap dan memilin-milin klitoris Meliora dengan jari tengah dan ibu jarinya secara ritmis namun tanpa henti.
Akibatnya, Meliora yang masih lemas sehabis mencapai puncak orgasmenya dan agak lega memperoleh kesempatan sebentar untuk melepaskan lelah di tebing gunung, mendadak dipaksakan untuk mendaki kembali naik ke gunung guna mencapai puncak orgasme berikutnya.
“Hehehe… gimana, Neng, enak tenan ya? Hmm… ini biji pentil ngumpet melulu, bapak pijit-pijit ya biar gedean dikit dan gampang digaruk-garuk… hehehe, lha tuh nongol lagi. Kelihatan mulai merah, bikin bapak jadi nafsu aja. Ntar dicup-cup dan digigit-gigit mau ya, Neng… tapi sekarang bapak mau kasih bibit unggul dulu ke Eneng, hehehe…” Beduin cengengesan dan tersenyum lebar penuh kemesuman ketika melihat mangsanya tak berdaya.
Meliora hanya dapat menatap Beduin dengan mata yang sayu dan kuyu, tenaganya hampir habis terkuras, namun sang pemerkosa baru akan memulai dengan penjarahannya.
Tanpa rasa jijik sedikitpun, Beduin mulai menjilati tebing bukit kemaluan Meliora. Lidahnya bagaikan ular, menyelinap memasuki celah kenikmatan yang telah mulai licin oleh ludah dan lendir kewanitaan itu. Sambil menjilat bagian dalam vagina Meliora, ibu jari dan telunjuk tangan kiri Beduin tak henti-hentinya mengusap dan memilin-milin kelentit kesayangannya. Kemudian tanpa peringatan apapun, Beduin menusuk masuk lubang dubur Meliora dengan jari tengah kanannya!!
“Aaah… a-aduh! Jangan! Toloong! Enggak mau! Aihh… a-ampun! Haraam, Pak! Jangaan! Kasihani saya, Pak! Ngiluu… auw!!” Meliora melolong menjerit-jerit bagaikan hewan akan disembelih. Tubuhnya kembali menggeliat-geliat dan meronta, berusaha menggeser ke kiri dan ke kanan menghindari perbuatan maksiat yang sedang dilakukan oleh Ustadz cabul itu.
“Geli ngilu ya, Neng?! Ntar juga biasa… percuma ngelawan, Neng, mendingan nyerah dan nikmati aja. Sekarang masih belon biasa, tapi ditanggung sebentar ketagihan minta nambah! Hmmh… makin dijilat semakin wangi nih memek! Wuih, juga makin gede dan merah aja nih itil. Udah nggak malu lagi rupanya, hehehe…” Semakin semangat dan bernafsu Beduin merangsang semua tempat peka di selangkangan Meliora.
Ustadz cabul itu memutuskan untuk sekali lagi memaksa Meliora mengalami orgasme dengan cara rangsangan oral -oleh karena itu kembali dijilat-jilat dan digigit-gigitnya bibir dan dinding kemaluan Meliora, lalu digesek-gesekkannya kumis pendeknya yang bagaikan sikat ijuk itu menusuk kelentit Meliora.
Tak tahu harus melakukan perlawanan apa lagi, Meliora hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan serta memukul-mukulkan tumit kakinya ke punggung Beduin. Namun semuanya tak ada guna sama sekali, kelentitnya yang sedemikian peka terus disiksa habis-habisan.
Ibarat disentuh dengan kawat beraliran listrik, maka klitoris Meliora menyalurkan rangsangan tiada hentinya ke seluruh tubuh indah gadis itu yang semakin meliuk dan menggelepar-gelepar. Arus rangsangan itu juga memasuki seluruh permukaan syaraf di kepala dan otak Meliora. Dan terus menerus menyerang tak kenal lelah hingga…
“Aaahh… auw!! Pak, a-ampuun! Ayuk mesti ke belakang, mesti ke belakaang! Aoohh… lepaskan! Ayuk mesti ke belakang! Aiihh…” Meliora melolong disertai ketegangan, badannya kaku melenting ke atas memberikan tanda tercapainya lagi orgasme untuk yang ke sekian kalinya.
“Hehehe, si neng enggak usah kebelakang… ini namanya pipis air mazi, Neng. Iya, pinter gitu… pipis terus enggak apa-apa, malahan jadi makin licin nih terowongan. Bapak mau masuk, jangan ngelawan atau berontak segala.
Ikutin aja semua kemauan bapak, ntar pasti ketagihan… Mau dibikinin anak enggak, Neng?! Nah, bapak mulai permisi masuk ya,” sambil berceloteh Beduin menekan kepala penisnya yang besar dengan batang kemaluan hitam penuh urat melingkar-lingkar dan agak bengkok itu ke tengah celah kewanitaan Meliora. Perlahan-lahan ia mendorong hingga mulai masuk sedikit, lalu ditekannya lagi dengan lebih kuat.
“Tahan dikit ya, Neng… pasti ngilu dijebol barang pusaka bapak! Nih bapak tekan dan puter-puter dikit ya kaya buka peles botol… kalo sakit bilang ya, Neng, bapak sayang si neng geulis! Ooh… sempitnya!!” ujar Ustadz Beduin mulai menodai Meliora yang telah tak berdaya di bawah kekuasaannya itu.
Meliora merasakan perutnya menegang dan mengejang karena secara tak sadar hati nuraninya tetap menolak. Otot-otot vaginanya mengerut berkontraksi seolah berusaha menahan serangan batang besar dan panjang di liang kemaluannya.
Dia mengeluh dan mendesis tak karuan ketika merasakan desakan kepala penis Beduin yang menyelinap ke liang kenikmatannya. Ketika akhirnya kepala penis itu berhasil bertahta di tengah jepitan vaginanya, maka pandangan Meliora jadi semakin nanar. Butir-butir keringat semakin nyata mengalir di atas dahinya.
Tanpa rasa belas kasihan lagi kini Beduin menyekal keras kedua pergelangan kaki Meliora yang langsing dan mengangkangkan paha belalang idaman setiap pria itu selebar mungkin sehingga Meliora jadi menjerit-jerit kesakitan.
Dan jeritan itu semakin memilukan, semakin menimbulkan rasa iba ketika penis Beduin membelah lipatan kewanitaan Meliora mili demi mili meski si empunya tetap tak rela menerima perkosaan yang tak mungkin dielakkan lagi itu.
“Ya Allah… tolong! Sialan semuanya! Bangs…mmpffh!!” teriakan Meliora terhenti dan terbungkam karena mulutnya disergap dengan penuh kerakusan oleh Beduin.
Perkosaan yang dialami Meliora oleh ayah tirinya beberapa hari lalu cukup menyakitkan memeknya, namun apa yang kini dialaminya melebihi beberapa kali penderitaannya. Liang kewanitaannya jadi terasa sangat panas, perih, ngilu dan seolah-olah dibelah oleh kayu kasti yang ketika masih remaja sering dimainkannya di sekolah menengah.
Penis Beduin bukan hanya lebih panjang dan lebar daripada penis ayah tirinya, namun juga agak membengkok ke atas sehingga proses pemasukannya menjadi jauh lebih sulit. Untuk itu Beduin secara sangat perlahan melakukan tarik-dorong dengan disertai mengubah-ngubah arah tusukannya karena ia memang sudah berpengalaman dalam menjarah pelbagai perempuan.
Dengan cara tarik-dorong ini maka dinding-dinding kewanitaan Meliora yang memang masih sangat sempit untuk ukuran penis Beduin, jadi seolah-olah ikut ditarik keluar-masuk. Namun meski telah basah oleh lendir air mazinya, Meliora tetap saja merasakan perih dan ngilu yang teramat sangat hingga menyebabkannya terus melenguh dan merintih keras, disertai mengalirnya air mata di pipi gadis cantik itu.
“Tenang, Neng… shhh… jangan ngelawan! Pasrah aja! Emang sekarang sakit, tapi itu biasa, Neng… jangan sedih-sedih dong, kan lagi dikasih kenikmatan! Semua perempuan emang nangis kalo ngelayani abang, tapi sebentar lagi pengen minta tambah,” Beduin memberikan tanda kepada kedua lelaki lainnya untuk melepaskan bantuan mereka, dan kini Beduin sendiri yang merejang kedua pergelangan tangan Meliora di atas kepalanya.
Tarik dorong, maju mundur, serong ke kiri, putar ke kanan, sekali-kali perlahan, lalu berubah menjadi cepat, ganti lagi ritme bagaikan penari dangdut yang sedang goyang pinggul. Semuanya dipraktekkan oleh Ustadz cabul ini. Gerakan-gerakan itu sangat memberikan kenikmatan baginya, namun bagi Meliora adalah siksaan sakit tanpa henti.
Beduin menatap dengan penuh kepuasan perawat cantik yang tengah dikuasainya itu. Dilihatnya wajah demikian ayu manis di bawah tindihannya yang terlihat lelah kehabisan tenaga. Mata yang biasanya amat jeli bersinar kini telah kuyu hampir tertutup dan basah pelupuknya.
Hidung mancung bangir dengan dua lubang sangat mungil kembang-kempis mengiring isak tangis yang tersedu-sedu. Mulut yang dihiasi dua bibir merah basah setengah terbuka membuat Beduin tak henti-henti melumatnya.
Meliora hanya sanggup mendesah, mengeluh, merintih dan menjerit tanpa sadar pada saat Beduin memasukkan penisnya dengan kasar dan sadis hingga menghantam mulut rahimnya. Sesaat kemudian diubah lagi gerakan-gerakan itu seolah sedang menggoda dan memancing reaksi Meliora untuk mengeluarkan naluri birahi kewanitaannya.
Bersambung…