Cerita Sex Rela Menjadi Wanita Simpanan – Namaku Sulastri. Tapi orang lebih senang memanggilku Astri. Aku dilahirkan di sebuah desa terpencil di kawasan Singaraja, Bali. Hidup yang keras dan penuh lika-liku, sudah jadi santapanku sehari-hari. Kami bukanlah dari keluarga yang mampu, ayahku yang malas kerja selalu saja sibuk dengan ayam jagonya, ibu yang harus membanting tulang siang malam.
Meskipun aku dari keluarga kurang mampu, tapi aku mempunyai semangat untuk belajar yang setinggi-tingginya, aku tidak mau diremehkan orang lain hanya karena aku tidak berpendidikan, untuk mencukupi biaya sekolahku aku membantu ibu berjualan di pantai, menawarkan aksesoris pada para wisatawan.
Penguasaan bahasa inggrisku membantu memperlaris daganganku, walau kadang aku suka malu ketika ada yang menggoda dan mengatakan aku tidak pantas berjualan di pantai, lebih pantas jadi wanita karier.
Mendengar godaan itu setiap malam aku sering melamun dan membayangkan bagaimana seandainya jadi kenyataan, alangkah senangnya aku dan keluargaku, ketika usaha kerasku untuk sekolah membuahkan hasil.
“Kamu jangan menghayal. Tri.. Ibu gak mau kamu terbuai dan malah terjebak ke jalan yang ga benar, bersyukur saja kamu diberi wajah cantik dan tubuh sempurna, jangan hiraukan godaan orang,” kata ibu suatu malam, ketika aku ceritakan soal godaan para turis dipantai.
Ngocoks Setelah tamat sekolah menengah, seperti kebanyakan remaja lainnya, aku ingin bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Berbagai perusahaan telah aku masuki. Tapi belum juga ada panggilan dan ini sempat membuatku frustasi, sehingga aku agak ogah-ogahan membantu ibu berjualan.
Kerjaku hanya melamun dan menghayal tentang gemerlap duniawi, yang ada dalam pikiranku hanya seandainya dan seandainya. Melihat kelakuanku itu, ibu selalu menasehati aku dan membantu mencarikan pekerjaan, akhirnya lewat bantuan dari tetanggaku aku mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan restoran, di sebuah hotel berbintang di kawasan Kuta.
Aku yang sejak lama mendambakan pekerjaan, sangat gembira, hari-hari kulalui dengan semangat, apalagi pengawas kerjaku juga sangat baik orangnya, memperlakukan semua karyawan yang bekerja sebagai teman. Ketika menerima gaji pertama kali, aku merasa seperti seorang bos, ketika ibu meminta sebagian uang gajiku.
“Kamu harus bisa menabung Tri. Biar kalau ada perlu apa-apa, punya pegangan.” ibu memang tidak pernah bosan menasehatiku, sebab tidak ingin aku menjalani hidup sengsara seperti dirinya,.
Seperti layaknya godaan yang dilontarkan di pantai dulu, teman-teman kerjaku juga mengatakan bahwa aku tidak cocok bekerja jadi pelayan restoran, aku yang sudah melupakan hal itu menjadi agak sensi juga.
Sebab menurut mereka tubuhku yang lebih tinggi, dari gadis-gadis lain, juga kulitku yang coklat tapi bersih, sangat tidak pantas bila memegang peralatan makan, menurut mereka aku lebih pantas menjadi seorang model, mendengar semua itu, aku menjadi agak besar kepala juga.
Di antara mereka, aku memang yang paling menonjol, tak jarang para customer memintaku langsung untuk melayani mereka. Bahkan manager tempatku bekerja sering menyuruhku untuk menggunakan pakaian adat, menyambut tamu istimewa yang kebetulan menyewa restoran kami.
Dalam setiap acara penyambutan aku berpasangan dengan Made, temanku yang juga satu sekolah dulu, karena seringnya berpasangan dan berjumpa tiap hari, akhirnya kami berpacaran.
Hubunganku dengan Made sudah diketahui oleh ibuku, “Semua ibu serahkan kepadamu, kalau ingin menikah bilang sama ibu, jangan berbuat diluar batas.” ujarnya ketika kuminta pendapat tentang hubunganku dengan Made. Sebagaimana dua sejoli yang sedang dimabuk cinta aku dan Made selalu terlihat mesra, dan teman-teman juga mengatakan kalau kami sangat serasi.
Pada suatu ketika setelah pulang dari acara malam mingguan bersama teman-teman, kami memutuskan untuk menghabiskan malam di sebuah diskotik ternama.
Kini pergaulanku telah berubah, aku yang dulu masih kampungan kini telah mengenal gemerlapnya kehidupan kota, di dalam diskotik kami hanya menari mengikuti irama musik dan minum softdrink. Tapi seorang teman berkata masuk diskotik tanpa minuman keras kurang lengkap.
Awalnya aku menolak untuk menenggak minuman itu tapi, atas bujukan mereka akhirnya kuminum juga, rasanya seperti terbakar tenggorokanku, namun kuterus meminum setiap gelas yang disodorkan, malam semakin larut, akhirnya kami pulang, aku pulang bersama Made, tapi Made mengatakan bahwa ibu pasti marah jika aku pulang dalam keadaan agak mabuk, Made menawarkan untuk menginap di hotel dan sewa 2 kamar, aku pun hanya menurut saja.
Ketika sampai hotel, aku yang sudah sangat pusing hanya bisa bergelayut manja di pundak Made. Dan aku tidak mengetahui apa saja yang dibicarakan Made dengan recepsionis, sambil tetap bergelayutan, kami berjalan menuju kamar dan ketika kami memasuki kamar, aku yang sudah dipengaruhi alkohol tanpa kusadari memiliki keberanian untuk memeluk Made dan sambil berbisik pelan mengatakan bahwa aku jangan ditinggal sendirian.
Made yang kupeluk hanya tersenyum kecil, sambil tangannya menutup pintu, Made membopongku ke tempat tidur, mata kami bertatapan dekat sekali, kurasakan nafas Made agak memburu, pelan tapi pasti dia mencium bibirku, lembut sekali kurasakan kecupannya, dan akupun membalasnya, kami saling melumat.
Dan kurasakan tangannya, membelai seluruh tubuhku, melucuti kancing bajuku satu persatu, aku yang merasakan belaian Made hanya memejamkan mata menikmati setiap sentuhannya, setelah semua kancing terbuka Made membuka BH ku dan dengan lincah tangannya meremas tetekku.
“Ahhh..Uhh..” desahku. Sambil terus berpanggutan akupun mulai berusaha melepas celana Made, dan ketika hanya tersisa cd nya, aku memasukkan tanganku, menyentuh benda panjang yang sudah cukup keras itu. Kuremas dengan lembut batang kontol itu.
Made hanya terpejam dan mendesah “Akhh.. Ya.. Ah terus tri mainkan kontolku.”
Sambil tangannya mulai memainkan putingku, ditarik, dipilin dan diremas buah dada 36Bku itu, kubalas dengan remasan di kontolnya, Made menelusuri leherku hingga dadaku dengan lidahnya, dilumatnya putingku, dan disedotnya pelan.
“Aahh..Geliii..” erangku, namun Made justru semakin beringas mengemut putingku, sambil tangannya terus merayap melepas celana dalamku, aku yang belum pernah disentuh sejauh itu oleh seorang pria hanya bisa mendesah dan mengerang, apalagi ketika ujung jari Made menari di bibir memekku, sambil mempermainkan bulu-bulu halus disekitarnya.
Puas bermain di tetek, Made mulai menelusuri perutku dan akhirnya berhenti di lobang memekku, lidahnya bermain lembut, menjilati lubang memek yang kurasakan sudah basah, aku menggeliat keenakan.
Melihat aku yang sudah sangat terangsang, Made berdiri dengan batang kontol yang juga sudah berdiri tegak menantang, diarahkan kontolnya ke depan wajahku, “Masukin mulutmu say” katanya. Kuraih batang itu, sambil kupilin kucoba untuk menjilat ujungnya dan kumasukan perlahan ke dalam mulutku, kupermainkan dengan lidahku.
“Ahhh..terus tri.. ya.. Ah.” desisnya pelan sambil menjambak rambutku, dan menggerakkan pinggulnya. Aku yang sudah tak kuat menahan gejolak nafsu, melepas kontol Made. Dan mengarahkannya untuk menindihku.
“Perawani aku.” bisikku dan tanpa menunggu lagi, Made langsung menempatkan ujung kontolnya, didepan memekku digesek-geseknya di sekitar bibir memekku, dan mendorong perlahan batang keras itu untuk menembus lubangku.
“Arghhhh..” jeritku pelan ketika batang itu amblas semua ke dalam memekku, dan rasa nikmat mulai menjalariku ketika Made mulai menggoyang pinggulnya, menggerakkan batangnya di memekku, kudengar nafas Made semakin memburu, sambil menggoyang ia terus meremasi kedua tetekku dan setelah berapa lama ia berbisik tak tahan lagi.
Ia menekanku kuat-kuat dan akupun mendekapnya, cairan hangat membasahi memekku. Dan akupun merasakan kenikmatan yang luar biasa. Made mengecupku dan berkata akan bertanggung jawab.
Setelah kejadian itu kami jadi semakin sering mengulangnya, entah itu di hotel atau di gubuk tengah sawah. Dan akhirnya aku hamil, mengetahui hal itu Made justru tidak mau peduli dan mulai menjauhiku, malah pergi entah kemana, di tengah rasa bingung atas bantuan seorang teman aku menggugurkan kandunganku dan dengan tabungan yang kupunya aku putuskan pergi ke Jakarta, setelah susah payah meminta ijin ibu.
Akhirnya sampai juga aku di Jakarta. Setelah berputar-putar lumayan lama, kutemukan juga rumah sahabatku Yuni. Dia sedikit kaget ketika melihatku datang tiba-tiba, namun setelah kuceritakan semua dia menerimaku dengan tangan terbuka dan juga mencarikan aku pekerjaan sebagai staf admin di sebuah hotel. Di tempat kerja aku bertemu seorang pria bernama pak Robby dan aku merasa dia bisa mewujudkan impianku menjadi wanita karier.
Mendapat pekerjaan ini aku merasa sangat gembira, kendati harus melalui training selama dua bulan, namun semangatku untuk kerja tak pernah surut, fasihnya aku berbahasa inggris membuatku tak lama kemudian di pindah ke tempat kebagian customer service, ternyata di sini aku dapat beradaptasi dengan cepat.
Sama seperti di Bali di sinipun aku kerap mendapat godaan nakal, akan tetapi aku tidak pernah menanggapi godaan itu, kerja di hotel memang pulangnya tidak tentu, tapi karena jika pulang malam ada antar jemput maka aku merasa tetap aman.
Belum genap 6 bulan aku kembali dipindah ke posisi lain, aku diangkat menjadi staff kantor, dan pekerjaannya hanya membuat jadwal rapat atau membuat surat-surat dan notulen, di pekerjaan ini sesekali aku juga harus memakai pakaian adat, ketika menyambut tamu peserta rapat yang membooking hotel kami.
Aku merasa cita-citaku untuk menjadi wanita karier dan bisa membantu keluarga hampir terwujud, aku selalu memberi kabar tentang kondisiku, dan aku juga merasa bahagia karena dengan uang kirimanku, adikku sebentar lagi lulus sekolah.
Suatu hari aku dipanggil atasanku pak Robby namanya, usianya hampir sama dengan usia ayahku di kampung. Sebenarnya aku agak malas menemuinya karena ia orangnya agak genit, pengalaman pahit dengan Made membuatku masih selalu menjaga jarak dengan pria.
Termasuk dengan atasanku ini. Pak Robby pernah terang-terangan memintaku untuk jadi simpanannya. Setelah aku mengetuk pintu dan masuk ke ruangan pak Robby, ia tampak sedang membaca file, di mejanya ada botol minuman keras yang hampir habis.
“Ada apa pak?” tanyaku sambil duduk di sofa tamu yang ada di ruangan itu.
“Aah..ga ada apa-apa kok. Saya cuma tanya bagaimana soal tawaranku yang dulu,” jawabnya sambil berdiri dan menghampiriku.
Astaga..ternyata pak Robby masih mengejarku untuk dijadikan simpanannya. Dengan sikap halus kutolak tawarannya. Tak kusangka dengan jawabanku ini pak Robby mengeluarkan secarik kertas yang berisi pemecatanku. Ketika melihat kertas itu, langsung terlintas di benakku akan impianku menjadi wanita karier, akan kelanjutan sekolah adikku dan betapa sedihnya ibuku nanti.
“Kalau kau mau melayaniku dan menjadi simpananku. Aku akan memberimu sebuah jabatan tinggi. Bagaimana??” Pak Robby tegaskan.
“Kamu setuju?” kata pak Robby sambil memandangku dekat-dekat. Aku yang telah bertekad akan memperbaiki ekonomi keluargaku hanya bisa mengangguk pelan menerima tawaran itu. Melihat persetujuanku, pak Robby langsung memelukku dan melumat bibirku, aku hanya diam tak membalas, namun pak Robby yang sudah terbakar nafsu itu, seakan tak mau peduli.
“Aku sudah lama menanti saat ini. Cepat lepaskan bajumu,” perintah dia, sambil dia sendiri melepas pakaiannya, dengan perasaan teriris kulucuti semua pakaianku, setelah tubuhku bugil Pak Robby mendorong tubuhku hingga terbaring disofa itu.
Bagaikan kesetanan dia mendekapku dan menjilati seluruh tubuhku. Tangannya dengan liar meremas buah dadaku. Aku hanya terpejam merasakan lumatannya itu.
Puas dengan dadaku, Pak Robby menyuruhku nungging, dan tanpa menunggu lama batang kontol yang sudah keras itu, dibenamkan ke lubang memekku, aku yang sama sekali belum terangsang hanya bisa menggigit bibir ketika pak Robby menggoyangku..
“Akh..akh..memek udah jebol aja, masih sok jual mahal kamu.” katanya sambil terus menggoyangku, aku hanya meringis perih sekali.
“Ah..ah.. Ayo goyang pantatmu lonte.” teriaknya dengan nafas memburu penuh nafsu.
Selang beberapa menit kemudian kurasakan goyangan pak Robby semakin cepat, akhirnya aku merasakan kontolnya mengeluarkan cairan kental membasahi lubangku.
Aku diam saja ketika bibirku dikecupnya dan ia mengatakan akan memberi jabatan dan fasilitas sesuai janjinya, tapi surat yang berisi pemecatan tetang diriku disimpannya sebagai jaminan. Pak Robby menepati janjinya, aku diangkat menjadi manager personalia dan fasilitas rumah mewah serta kendaraan pribadi kudapatkan.
Memang kini impianku sudah terwujud merubah derajat ekonomi keluargaku, tapi di lain pihak aku merasa sakit, aku kini tak lebih dari perempuan pemuas seks. Setiap hari aku harus melayani nafsu pak Robby.
Mungkin aku masih bisa menahan diri jika itu dilakukan dirumah, tapi pak Robby kerap mempunyai ide yang nyeleneh, seperti memaksa bercinta di toilet hotel, atau memintaku ke tempat kerja dengan pakaian seksi tapi tanpa mengenakan underwear. Entah sampai kapan aku harus menjalani ini. Tombol telpon menyala di mejaku dari kode no nya aku tahu itu dari pak Robby. Mau apalagi si maniak ini pikirku.
“Ya ada apa pak?” Jawabku.
“Segera ke ruanganku,” jawabnya.
“Aku masih banyak pekerjaan pak,” kataku sambil mengarahkan pandanganku dan menunjukan tumpukan file ke arah kamera cctv yang memang sengaja dipasang pak Robby untuk mengawasiku.
“Sudah lakukan saja atau kau ingin kehilangan pekerjaan.” katanya di ujung telpon.
“Oh ya, kamu harus sudah bugil begitu keluar dari ruanganmu.” lanjutnya dan langsung menutup telpon.
Semakin gila saja orang ini, namun aku sudah terlanjur jauh. Kuturuti maunya, ruang kerja kami satu lantai aku hanya perlu melewati lorong hotel yang biasanya juga sepi, dengan perasaan berdebar aku keluar dari ruanganku dengan telanjang bulat, untunglah lorong ini sepi.
Segera aku berjalan dan baru beberapa langkah pintu salah satu kamar terbuka, seorang cleaning service keluar dari kamar dan tak ada waktu bagiku untuk sembunyi, tubuh bugilku langsung jadi santapan matanya, untuk sesaat kami sama-sama terpaku dalam kegugupan.
“Ting..” suara dari pintu lift di ujung lorong di belakang menyadarkan kerterpakuan kami, dan si bapak cleaning service itu pun menggerakan tangannya memberi isyarat untukku segera pergi, seolah tahu aku hendak kemana. Kuanggukan kepala sebagai ucapan terima kasihku ketika tepat melintas di sampingnya, dan aku setengah berlari menuju ruang Pak Robby sebelum pintu lift itu terbuka.
“Lama sekali. Mulai belajar membangkang ya.” suara Pak Robby begitu aku masuk.
Tak kuhiraukan kata-katanya karena saat itu aku melihat ia sedang duduk di kursinya dengan celana melorot dan kontol yang sudah tegak berdiri. Aku segera bersimpuh di kakinya, kupegang kontolnya dan kukocok-kocok, sambil tanganku yang satunya meremas buah pelirnya…
“Arrghh.. Akh..” suara erangannya menikmati blowjobku. Kujilati ujung kontol yang mulai basah di ujungnya, menyusuri batang ber-urat itu dengan lidahku, mengulum kedua bola kembar nya..
“Akhhh..” aku sedikit terperanjat ketika kurasakan ujung sepatunya menyentuh memekku, namun pak Robby menekan kepalaku agar tetap mengulum kontolnya.
Tangannya memegang kepalaku menggerakan mulutku di kontolnya. Sementara kakinya yang masih bersepatu itu, terus menggesek selangkanganku, mulutku selalu nyaris tersedak setiap kali batang itu menyentuh rongga dalam tenggorokanku, memekku sedikit terasa perih setiap kali tergesek ujung sepatunya, tapi aku juga terangsang, memekku terasa begitu basah dan aku jadi semakin liar melahap batangnya.
Pak Robby menarikku bangkit dan menyuruhku naik ke pangkuannya, kupegang kontol yang sudah basah berlumur ludahku itu dan kuarahkan tepat di celah lubang memekku dan jleeebss tanpa hambatan batang itu menembus memekku yang sudah basah itu, aku mulai bergerak naik turun dan Pak Robby juga menggerakan tangannya untuk meremas kedua buah dadaku yang tergantung tepat di depannya.
“Ahh..ah..ah..ah..” aku terus bergerak naik turun, birahi telah membuatku lupa akan dimana aku sekarang, aku sedang mengejar hasrat untuk sebuah kepuasan, aku bahkan benamkan kepala Pak Robby di dadaku dan disambutnya dengan lumatan rakus di kedua putingku bergantian.
Ketika rangsangan birahi akan membawaku ke puncak kenikmatan, Pak Robby juga rupanya merasakan hal yang sama, diangkatnya tubuhku dari pangkuannya. Dan ditelungkupkannya tubuhku di atas meja, lalu kembali batangnya dimasukkan di memekku.
“Ah..ah.. Akh.. Rasakan kontolku.” Kata-katanya di sela gerakannya yang semakin cepat.
“Iya..Paaa..Ahggh. Teruus..ah..ah,” aku menyahut diserati desah penuh nafsu.
Dan barengan dengan itu kurasakan puncak orgasme menerpaku, lemas, lelah, dan nikmat. Tak berapa lama pak Robby juga menyemprotkan cairan hangatnya di lubangku. Aku terkulai lemas di atas meja, sementara Pak Robby duduk di kursinya sambil senyum penuh kepuasaan. Aku sadar tak bisa selamanya hidup sebagai simpanan pak Robby, aku harus bisa keluar dari semua ini.
“Permisi bu,” suara seorang pria membuyarkan lamunanku.
“Ah iya..” aku menjawab sambil melihat ke arah sumber suara itu, ternyata cleaning service yang pernah memergoki bugil dilorong.
“Saya mau ambil sampah bu,” katanya.
“Ya silahkan,” ijinku.
“Sudah bu permisi,” pamit pria setengah baya.
“Tunggu sebentar pak,” Kataku menahan kepergiannya.
“Duduk dulu,” sambil kutunjuk kursi di depanku, dan tanpa banyak bicara dia duduk.
“Ehm..soal kejadian waktu itu. Saya mohon bapak untuk merahasiakannya,” kataku langsung.
“Iya bu saya mengerti. Saya sudah 10 tahun kerja disini, saya tau gimana kelakuan pak Robby,” jawabnya.
Aku sedikit penasaran dari jawabannya ini dan akhirnya dari pria bernama Pak Kirman ini aku tahu kalau aku bukan pegawai perempuan pertama yang jadi budak seksnya. Jika ada pegawai yang disuka maka ia akan memberikan jabatan yang bagus, dan memindahkan ruang kantornya 1 lantai dengan ruangannya.
Akhirnya ini juga menjawab kebingunganku selama ini kenapa di lantai ini hanya ada ruanganku dan ruangan pak Robby.
Pagi ini aku sedikit terlambat datang karena terjebak macet.
“Bu Astri ada tamu diruangan ibu,” kata Inne, receptionist dihotel ini.
“Siapa..? Tanyaku.
“Pak Nugraha Bu,” jawab Inne.
“Apa..pemilik hotel ini?” tanyaku memastikan dan dijawab dengan anggukan dari Inne.
Aku segera bergegas menuju ruanganku, sejak aku bekerja di sini aku belum pernah bertemu dengan orang ini, tapi aku tahu namanya karena memang ia pemilik dari hotel ini.
Sampai di ruanganku pintu ruanganku terbuka, disana tampak seorang pria tua dengan rambut sudah putih namun terlihat perlente. Duduk di kursiku, sementara di depannya ada seorang pemuda dan pak Kirman mereka tampak akrab berbicara dan terhenti ketika menyadari kehadiranku.
“Permisi,” sapaku.
“Nah ini Ibu Astrinya pak,” Pak Kirman mengenalkan aku.
“Oh ini toh orang nya,” Pak Nugraha berkata dengan logat jawanya.
“Ayo silahkan duduk,” kata Pak Nugraha menyadari kebingunganku, aku duduk di kursi yang tadi diduduki pak Kirman, setelah Pak Kirman memohon diri pergi, pak Nugraha kembali berkata.
“Astri tau siapa saya. Tidak apa kan saya panggil Astri?” tanya nya sopan.
“Iya pak,” jawabku singkat.
“Oke langsung saja. Ini anak saya Andrew. Dan mulai sekarang dia yang akan menggantikan posisi pak Robby.” kata-kata pak Nugraha sungguh mengejutkanku. Apakah doaku untuk lepas dari pak Robby dikabulkan.
“Karena cuma kamu yang ada satu lantai dengannya, jadi saya harap untuk sementara kamu dapat membantunya beradaptasi.” ucapnya.
“Baik pak,” jawabku tegas, mungkin tugasku akan bertambah berat di kantor, tapi paling tidak aku bisa lepas dari pak Robby.
Pak Andrew usianya sekitar 35 tahun, bertubuh agak gemuk dengan kulit putih dan kacamata yang selalu menempel menambah ciri khas chinesenya. Dari cerita teman kerja yang lain, Pak Andrew sudah menikah, tapi hingga saat ini hampir satu bulan aku kerja dengannya belum pernah aku bertemu dengan istrinya. Kerja sebagai kepala personalia dan juga sekretaris Pak Andrew membuatku kerap pulang malam.
“Belum pulang bu?” tanya Pak Kirman di depan pintu ruanganku.
Aku memang jarang sekali menutup pintu ruanganku.
“Sebentar lagi pak, kalo bapak mau bersih-bersih silahkan pak,” kataku karena memang itu jam kerjanya bersih-bersih.
“Maaf ya bu,” katanya sambil masuk ke ruanganku dan mulai membersihkan lantai.
“Pak Andrew juga belum pulang bu.” katanya lagi.
“Oh ya..” aku sedikit terkejut juga karena aku tahu hari ini dia tidak perlu pulang malam.
Selesai semua pekerjaanku aku pun segera berkemas, jam sudah menunjukan pukul 9 malam, sebenarnya aku hendak melangkah ke lift, tapi kenapa tiba-tiba kuputuskan berbalik arah untuk mengecek keruangan Pak Andrew. Dari bayangan cahaya di bawah pintu kulihat lampu ruangannya masih menyala.
“Masuk,” sahut suara pak Andrew dari dalam setelah aku ketuk pintu.
“Oh Astri. Saya kira pak Kirman, ada apa? Lenapa belum pulang?” tanyanya ketika melihat aku yang datang.
“Saya sudah mau pulang pak. Bapak sendiri belum pulang, ada yang bisa saya bantu?” aku balik bertanya.
“Saya sedang memeriksa beberapa file yang ditinggalkan Pak Robby. Kamu pulang saja duluan,” jawabnya.
“Baiklah pak. Saya permisi.”
“Oh..ya tunggu sebentar. Mungkin kamu harus lihat ini nanti di rumah. Ini flashdisk milik Pak Robby tapi saya rasa kamu perlu melihat ini,” Pak Andrew berkata sambil menyerahkan sebuah flashdisk.
Sejak Pak Robby tak lagi menjadi atasanku, ia mengambil kembali rumah yang pernah diberikannya kepadaku, namun ia tetap memberikan mobil, aku kini tinggal di sebuah kos-kosan. Selesai mandi dan makan aku ambil flashdisk dari Pak Andrew dan kubuka di laptopku.
“File video.” gumanku ketika kubuka salah satu foldernya ternyata isinya rekaman cctv di ruanganku dan ruangan Pak Robby.
Tak perlu kuragukan lagi isi dari folder-folder lainnya, pasti rekaman akan kelakuan nyeleneh pak Robby dan aku seketika kepalaku terasa pening, berat, bingung, aku yakin kalo pak Andrew sudah melihat isi flashdisk ini dan aku pun menangis tak bisakah aku hidup dengan tenang. Kenapa selalu ada masalah di jalan hidupku.
“Ibu, aku ingin pulang. Aku ingin menangis di pangkuanmu..” Aku sudah lewati banyak rintangan dan cobaan tapi sampai hari ini aku masih bisa bertahan, aku tak boleh menyerah, apapun yang terjadi harus kuhadapi. Pagi ini begitu sampai kantor, aku langsung menemui pak Andrew, sejak awal Pak Andrew memang selalu datang lebih pagi dari jam resmi masuk kerja.
“Tok..tok..” ketuk pintu ruangannya dan tanpa menunggu jawaban kubuka pintu itu.
“Permisi pak,” ucapku.
“Ya.. Astri ada apa?” Tanya nya melirikku sebentar lalu kembali mengetik dikomputernya. Aku langsung duduk dikursi di depan meja kerjanya.
“Saya mau bicara soal flash disk yang kemarin bapa kasih ke saya,” kataku.
“Ya..” jawabnya
“Bapak sudah liat isi nya?” tanyaku dengan suara agak pelan, gugup juga. Pak Andrew menghentikan kegiatan mengetiknya, ditatapnya aku.
“Kalau saya belum lihat, bagaimana mungkin saya bisa tahu kalo isi filenya tentang kamu.” sungguh merasa bodoh aku dengan pertanyaanku itu.
“Kamu ga usah pikir macam-macam, selama hal itu tidak mempengaruhi kinerja kamu, saya tidak akan mempermasalahkannya.” pak andrew berkata datar.
“Tapi kalau kamu merasa perlu menjelaskannya kepada saya, kita bicara nanti selesai jam kantor,” lanjutnya.
Seharian itu aku benar-benar tidak bisa fokus kerja, Pak Andrew memang sama sekali tidak menyinggung hal itu, tapi aku tetap merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatiku.
Selepas jam kerja, kutemui lagi Pak Andrew, aku merasa harus menjelaskan semua kenapa sampai aku bisa jadi seperti itu. Pak Andrew menolak berbicara di hotel, aku pun menurut saja ketika ia mengajakku dengan mobilnya, Pak Andrew membawaku ke kawasan pantai ancol.
“Bicara disini lebih enak. Dan kalau kamu penat bisa teriak melepaskannya ke laut,” ujarnya.
Pak Andrew berkata, sambil turun dari mobil aku mengikutinya, jam sudah sekitar 7 malam, ini bukan malam libur jadi suasana pantai terasa agak sepi. Kami duduk di tumpukan batu di pinggir pantai.
“Oke, jadi, gimana cerita nya?” Pak Andrew bertanya dengan lembut.
Semula aku bingung bagaimana aku menceritakannya, tapi entah kenapa melihat Pak Andrew yang tampak santai itu, akupun dengan mudah menceritakan semua ceritaku hingga berakhir jadi budak seks pak Robby.
“Bagaimana, sudah merasa lega, setelah cerita?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk sambil menyeka airmata yang tidak bisa kutahan sejak bercerita tadi.
“Saya malu pak.” kataku.
“Ya sudahlah, kenapa mesti malu, kan kamu juga ceritanya cuma sama saya.” ucapnya.
“Terimakasih pak, Bapak ga pecat saya.” kataku lagi.
“Ya saya ga pecat kamu, tapi mungkin akan potong gaji kamu.” tegas Pak Andrew.
Aku memandang nya bingung, ia tersenyum melihat kebingunganku.
“Gaji kamu dipotong untuk mengganti rugi kerusakan kursi di ruang kerja saya, yang rusak karena sering kelebihan beban,” ucapnya.
Ah, aku benar-benar salah tingkah atas ucapannya, jika saja ada lampu pasti mukaku sudah terlihat jelas merah. Sementara pak Andrew tampak tertawa begitu lepas, beda jauh dengan di kantor yang selalu tampak serius dan menjaga jarak dengan bawahan.
“Hanya becanda.” katanya sambil tangannya mengusap-ngusap rambutku.
“Makasih pak dan maaf bapak jadi pulang telat ke rumah.” kataku setelah kami terdiam sejenak.
“Ga apa, pulang juga malas.” ucapnya. Kupalingkan wajahku, menatapnya penuh heran.
“Bukan cuma kamu yang punya masalah.” Pak Andrew tersenyum kecil.
“Boleh aku tanya sesuatu.. Tapi jangan tersinggung?” Pak Andrew berkata pelan.
“Iya pak,” jawabku sambil mengangguk.
“Apakah kamu selalu puas ketika bermain dengan Pak Robby?”
“Iya pak,” jawabku.
“Apa yang membuatmu puas, karena kelamin yang besar panjang atau karena permainannya atau ketahanannya?” aku benar-benar bingung akan maksud pertanyaan pak Andrew ini, tapi aku tetap memberi jawaban,
“Semuanya pak.” jawabku.
Pak Andrew menganggukkan kepala. Beberapa saat ia terdiam, aku pun tak berani memulai pembicaraan.
“Kamu mau ga, bercinta dengan saya?” Perkataan yang sungguh mengejutkan keluar dari mulut pak Andrew
“Maksud bapak apa?” Tanyaku dengan suara bergetar, aku tidak menyangka akan hal ini, apakah karena ceritaku pak Andrew jadi menganggap aku cewe murahan.
“Saya cuma ingin tahu apakah saya bisa memuaskan seorang wanita, karena istri saya selalu kecewa dengan saya, dan masalah ini yang membuat kami sering ribut,” Pak Andrew berkata pelan namun terlihat ada kejujuran dinadanya.
“Maaf, kalau saya membuatmu tersinggung, ayo kita pulang saja, saya antar kamu.” lanjutnya sambil berdiri, sementara aku masih duduk terdiam. ia memandangku.
“Aku mau.” entah kenapa aku berbicara seperti itu. Dia pun tampak sedikit terkejut.
Malam itu Pak Andrew mengantarku pulang, aku sendiri masih seakan tidak yakin akan kata-kata yang diucapkan Pak Andrew dan respon akan jawabanku. Sejak kejadian malam itu hubunganku dengan Pak Andrew jadi semakin akrab, tak jarang sepulang kerja Pak Andrew mampir ke kostku, untuk sekedar bercerita akan masalah rumah tangganya.
“Bapak mau nginep?” tanyaku ketika sudah jam 10 malam ia masih di kostku, karena biasanya paling malam jam 9 ia sudah pamit pulang.
“Kalau saya nginep memang ga apa?” Tanyanya.
“Ga apa pak, bebas disini.” ucapku lagi.
Aku berkata sambil mengunci pintu, kudekati pak Andrew yang masih duduk bersandar di dinding di atas kasurku yang memang tergelar di lantai. Akupun duduk di atas pahanya, kuambil remote tv yang dipegangnya dan kubesarkan volumenya.
“Aku mau beri, apa yang dulu, pernah bapak pinta di pantai,” bisikku di telinganya, lalu kubuka semua kancing kemeja dan kulemparkan, Pak Andrew melakukan hal yang sama, melepas tanktopku dan juga bra yang kukenakan.
Kepalanya langsung terbenam di dadaku, menjilati putingku, meremasnya. Dan sesekali berhenti untuk melumat bibirku. Tubuhku ditelentangkannya, celanaku dilepas, ia pun melucuti celananya. Ternyata kontol Pak Andrew tidaklah terlalu besar dan ketika disodorkan ke mulutku aku cukup mudah untuk melumatnya.
“Ah..ah..Argh..” suara nafas menderu keluar dari mulutnya, kupermainkan batangnya di mulutku, sementara ia pun sesekali menyodok-nyodokannya. Tak berapa lama ia menarik kontol nya, dan pindah ke bawahku, jemarinya mengorek-ngorek lubang memekku.
“Akh.. Paa.. Akh.. Terus.. Enak.” aku mendesis keenakan ketika dua jarinya menjepit itilku.
Puas dengan tangan, Pak Andrew mulai mengarahkan batangnya ke memekku, dan karena memekku sudah cukup basah serta ukuran kontolnya yang tidak terlalu besar, tak ada hambatan bagi batang itu untuk masuk.
“Ah..Ah..Ah..” suaranya sambil bergerak mempompa aku. Kuimbangi setiap sodokannya dengan goyangan, dan tiba-tiba pak Andrew berteriak.
“Tri.. Akhhhhgh,” bersamaan dengan itu cairan sperma nya pun menyemprot dimemekku. Tubuhnya ambruk disisiku, nafasnya tersenggal.
“Maafkan aku Tri, aku keluar terlalu cepat.” katanya.
“Ga apa pak.. Nanti kita coba lagi.” jawabku sambil tersenyum.
Malam itu beberapa kali kami bersetubuh, tapi tetap saja kemampuan pak Andrew paling hanya beberapa menit saja, dapat kulihat rasa frustasi di wajahnya, kucoba untuk tersenyum menyemangatinya. Entah kenapa kendati aku jarang sekali mendapat orgasme ketika berhubungan dengan Pak Andrew, tapi aku tidak pernah merasakan kecewa.
Aku justru semakin ada rasa dengan dia, dan akhirnya kami pun tinggal bersama, Pak Andrew sudah tidak pernah lagi pulang ke rumah nya, ia membeli rumah untuk ditempati kami berdua, aku tidak lagi bekerja di hotel, karena untuk menjaga kerahasiaan hubungan kami.
Dua bulan kami tinggal bersama, aku hamil, pak Andrew senang sekali, ia bahkan memindahkan Pak Kirman untuk kerja di rumah, agar aku ada yang menemani. Pagi itu selepas pak Andrew pergi, aku mendapat sms dari Yuni yang mengajakku untuk ketemu, aku senang sekali, karena sudah lama tidak pernah ketemu lagi.
Sesuai janji aku sudah menunggu di cafe yang disebutkan Yuni, Yuni belum datang ketika aku sampai, namun tak berapa lama menunggu kulihat ia datang. Aku bermaksud berdiri untuk memeluknya karena rasa kangen, tapi belum sempat aku memeluk nya Yuni sudah menamparku.
“Plak.. Plaak.. Plaaak..” aku yang kaget tak mampu berbuat apa-apa.
“Dasar perek lo.. Ga tau terima kasih udah ditolong juga,” teriak Yuni yang langsung memancing perhatian pengunjung lain.
“Ada apa ini Yun?” tanyaku bingung.
“Jangan pura-pura bego lu, anjing,” kembali Yuni menyerangku dengan tamparan dan tendangan. Tentu saja aku kesakitan dan juga malu, aku mulai menangis.
“Aku salah apa Yun?” tanyaku.
“Salah apa? Lu ngambil laki gua, Andrew laki gua tau,” Yuni berteriak kalap dan bermaksud kembali menyerangku, namun keburu dilerai dan dibawa keluar.
Sementara aku masih bersimpuh, tak mampu untuk berdiri, hanya menangis, meratapi kenapa. Kenapa semua ini terjadi. Tanpa memperdulikan lagi pandangan orang-orang di cafe itu aku segera berlari, tujuanku hanya satu menemui Pak Andrew dan meminta penjelasannya.
“Iya, Yuni memang istriku, tapi seperti yang aku bilang, hubungan kami tidak baik bahkan nyaris hancur.” pak Andrew berusaha menjelaskan.
“Tapi, Yuni itu teman baikku, dia yang menolongku ketika aku disini.” aku berkata sambil menangis.
“Aku tahu, maka dari itu aku tidak bisa mengatakan kalau Yuni adalah istriku.”
“Apa selama ini bapak sengaja menutupinya dari aku,” aku semakin terpukul.
“Aku akan menceraikan Yuni, aku akan menikahimu Astri, kau sedang mengandung sekarang.” Pak Andrew berkata sambil memegang kedua bahuku.
“Ngga pak. Aku ga bisa. Yuni temanku. Aku ga boleh.” aku berkata sambil, melepaskan tangannya dari pundakku, aku berbalik, pergi meninggalkannya.
“Astri kamu mau kemana?” tak kuhiraukan panggilannya.
Jika sedang dibutuhkan entah kemana taksi yang sedang kutunggu ini, tiba- tiba sebuah sedan berwarna silver berhenti di depanku. Dan ketika kaca sampingnya terbuka, ternyata orang itu Pak Robby, pria yang menyebalkan itu tambah terlihat makin menyebalkan dengan kepala plontosnya.
“Mau kemana sayang. Lagi jualan ya,” ejeknya padaku.
“Astri..” belum sempat aku menjawab, suara pak Andrew terdengar memanggilku.
Tanpa pikir panjang segera kubuka pintu mobil pak Robby,
“Cepat jalan pak,” kataku setelah duduk di sampingnya, melihat Pak Andrew yang sedang mengejarku, Pak Robby langsung tancap gas.
“Mau kemana kita, sayang?” tanyanya di tengah perjalanan.
“Terserah..” jawabku singkat. Dan kupejamkan mataku, berusaha melupakan beban ini, aku benar-benar merasa bersalah terhadap Yuni, teman baikku. Aku memang perempuan tidak tahu terima kasih, perusak rumah tangga orang.
“Kenapa kita kesini pak?” tanyaku, karena ketika kubuka mata aku sadar kami sudah berada di jalur keluarkota.
“Lho tadi, kamu sendiri yang bilang teserah. Sudahlah aku mau refreshing sama teman-temanku di puncak. Kamu ikut saja nanti juga di sana kamu bisa lupain si Andrew itu.” katanya dengan arogan dan menyebalkan.
Aku sudah bisa menduga apa yang akan alami nanti dengan Pak Robby, tapi aku juga tidak punya tujuan jadi aku diam saja. Setengah jam kemudian kami sampai di sebuah villa kecil yang ada di tengah-tengah indahnya hamparan pohon teh, belum sempat aku merasakan segarnya udara disini, pak Robby langsung menyeretku masuk.
“Ayo masuk aku ingin menikmati tubuhmu sebelum teman-temanku datang.” ucapnya.
Begitu sampai didalam villa Pak Robby langsung memelukku dari belakang menciumi leherku dan tangannya meremasi kedua belah tetekku, dengan diiringi dengusan nafasnya yang memburu, Pak Robby melucuti semua bajuku hingga bugil, ditariknya aku menuju kamar, didorongnya tubuhku telentang di kasur, sementara ia melucuti pakaiannya sendiri.
Aku sudah pasrah, aku sudah tahu ini semua akan terjadi. Pak Robby membenamkan mukanya di selangkanganku lidahnya menari liar, membelah celah bibir memekku.
“Arhh..akhhh…” aku tak dapat menahan gairah rangsangan birahi.
“Ternyata memek mu, masih enak seperti dulu.” ucap Pak Robby dan kembali membenamkan kepalanya, menjilatiku hingga aku mendesah, bergelinjang.
Aku tidak ingin lagi menahan birahi, aku ingin memuaskan diriku, agar aku dapat melupakan semua yang terjadi. Pak Robby mengangkat kepalanya, ia bangkit mengangkangi tubuhku, menyodorkan kontol besarnya ke wajahku, kujilati kontolnya, kulumuri batangnya dan pak Robby mendorong kontolnya untuk masuk semua ke mulutku..
“Nikmati kontolku lonte. Ahhh..ah…” teriaknya sambil menggerakkan kontolnya maju mundur.
“Wah Pak Robby, pesta sendirian saja.” tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku dari arah pintu yang memang tidak tertutup.
“Tenang pak Ilham, tar juga bapak kebagian.” jawab Pak Robby cuek sambil terus memompa kontol nya dimulutku.
Sementara aku melirik ke arah pintu ternyata ada dua orang, dan usianya hampir sama dengan Pak Robby. Orang yang dipanggil Pak Ilham tadi mendekati ranjang kami, dan Pak Robby tidak terpengaruh sama sekali,
“Akkh..” ketika kurasakan ada jemari yang menyentuh lobang memekku.
“Masih lumayan rapat memeknya, ayo pak segera tuntaskan saya jadi ga sabar mencicipinya,” katanya sambil tangannya menggerayangi memekku, tanpa menganggap diriku sama sekali, tak lama kemudian orang itu keluar kamar, dan Pak Robby juga tampaknya sudah tak sabar untuk permainan utama, ditekuknya kedua pahaku, dibukanya lebar, dan kontol besarnya dipaksa masuk menembus memekku.
“Arrghhh..” aku mengerang ketika batang itu benar-benar memenuhi seluruh rongga kosong di memekku.
“Ahh..ahh..ah..ah…” dengan nafas berat pak Robby terus memompaku.
“Gimana lonte.. Ah.. Enak ga kontolku?” tanya nya sambil meremas tetekku.
“Iya pa..ah..ah..”
“Iya apa.. Yang jelas?” tanyanya sambil memperkuat cengkramannya di tetekku..
“Akh..ah.. Iyaa.. Kontol..bapaa.. Enaakhh.” jawabku.
“Hhahaha.. kamu memang lonte.” ia tertawa penuh kepuasan dan terus memompaku, sesekali aku imbangi dengan goyangan menyambut setiap sodokannya, dan selang beberapa menit aku merasakan orgasme dan disusul dengan Pak Robby, yang berteriak penuh kepuasan bersamaan dengan menyemburnya cairan sperma di rahimku, di rahim yang ada anak dari Pak Andrew.
Untuk beberapa saat kami tak ada yang bergerak, tubuh Pak Robby masih menindihku, aku kembali teringat kejadian dengan Yuni, tak terasa air mata menetes di pipiku.
“Kenapa menangis, mikirin si Andrew?” tanya Pak Robby, sambil mengangkat tubuhnya dari aku, dan berbaring di samping.
“Jadi lonteku saja, semua kebutuhanmu akan kupenuhi, kamu cuma perlu memuaskan aku dan teman-temanku.” katanya tanpa peduli perasaanku.
“Sudah hentikan mimpimu untuk jadi istri si andrew. Sana keluar, biarkan teman-temanku menikmati memekmu.” Pak Robby berkata sambil mendorong tubuhku dengan kasar, untuk bangkit dari kasur.
Dengan masih terhuyung-huyung aku ke kamar mandi, kunyalakan shower, untuk membasuh badanku, membasuh semua kenanganku dengan Pak Andrew. Mungkin memang takdirku harus menjadi seperti ini. Dengan hanya berbalut handuk aku keluar kamar, kuhampiri 2 orang yang usianya sudah hampir paruh baya itu.
“Wah akhirnya tiba juga giliran kita, Pak Asep.” kata Pak Ilham pada pria satunya yang ternyata bernama Asep.
“Sini cantik.” katanya sambil menyuruhku duduk di dekatnya, aku mendekatinya.
“Wah handuknya dilepas aja, basah nanti masuk angin.” pak Asep berkata, sambil melepasnya tanpa persetujuanku, aku duduk telanjang bulat di antara dua pria paruh baya yang memandang nanar tubuhku dengan penuh nafsu.
Seketika terbesit kebencian akan para pria ini. Aku pergi jauh dari orangtuaku karena penghianatan seorang pria, aku juga merusak persahabatanku karena seorang pria. Akan kubalas semua ini, dan tiga pria bajingan yang ada disini akan menjadi korban pembalasan pertamaku, akan kuhancurkan kebahagiannya, akan kubuat mereka semua terlena akan tubuhku, akan kujerat mereka dengan birahi.
Biar hancur semuaa. Pak Ilham dan pak Asep duduk di kanan kiriku, tangan-tangan mereka merabai tubuh bugil, kedua kakiku diangkat ke paha mereka.
“Arrghh..” aku mendesah saat jemari pak Asep menyentuh ujung klitorisku. Sementara Pak Ilham sibuk mencucup puting kiriku. Tak mau kalah akupun memancing birahi mereka, kedua tanganku menyentuh, Meremas kontol mereka dari luar celananya.
“Ahh.. Lonte ini sudah tak sabar ingin merasakan kontol rupanya.” ucap Pak Asep sambil membuka celana dan mengeluarkan batang kontolnya yang sudah tegang.
Tanganku langsung meremas dan mengocoknya, tak mau kalah Pak Ilham juga melepas pakaian, menelanjangi tubuhnya.
“Ayo cantik aku sudah tidak sabar untuk menikmati memekmu ini.” Pak Ilham berkata sambil tangannya mengorek memekku dengan kasar.
Ditariknya tanganku untuk mengikutinya, disuruhnya aku berbaring di lantai, Pak Ilham menindihku, mulutnya melumat bibirku, kubalas lumatannya sementara tanganku aktif mengocok kontolnya, puas melumat bibirku Pak Ilham mulai mengarahkan ujung kontolnya ke memekku.
“Ahhh..ahh..” desahku saat batangnya perlahan menembusku.
“Ah..Ah..terusss paa..Ah..Enak..Ah.” kukeluarkan semua erangan nafsuku tanpa ada perasaan malu lagi.
“Dasar lonte.. Ahh makan nih.” kata Pak Ilham sambil mempercepat sodokannya..
“Ah terus paa.. Ahh..entot aku..Ahh..” kupancing dia dengan kata-kata birahi..
Tak mau ketinggalan Pak Asep yang juga sudah telanjang bulat, menyerang kedua payudaraku, diremas dan dihisapnya bergantian. Sesekali dikulum juga bibirku.
“Ah..ah..ah..Gila nih lonte memeknya sempit banget.” Pak Ilham berkata sambil mempercepat gerakannya, sodokan kontol di memek dan hisapan di kedua buah dadaku, membuatku semakin cepat terbang ke puncak orgasme.
“Aaaahhhhh..” aku menjerit lepas..
“Ha, ah ah…” aku terengah-engah tubuhku bergoyang disodok pak Ilham, untuk sesaat, aku merasa lemas terlena puas karena baru orgasme..
Namun batang kontol pak Asep yang ditempelkan di mulutku menyadarkanku, ada dua orang yang harus kutaklukkan. Kubuka mulutku mempersilahkan batang itu memasukinya, sambil mengimbangi setiap gerakan pak Ilham, kupermainkan batang kontol di mulutku dengan ujung lidah, “aah.. Akhh.. Sial.. Enak banget nih memek.”
“Akhh..” Pak Ilham berteriak sambil menyentakkan dengan kuat kontolnya dan banjirlah memekku oleh cairan spermanya. Setelah Pak Ilham mencabut batang kontolnya, Pak Asep mencabut kontolnya dari mulutku dan memintaku nungging dan tanpa banyak bicara batangnya dibenamkan ke memekku yang sudah banjir oleh sperma Pak Ilham tadi.
“Ah..ah..ah..” suaranya, berbarengan dengan gerakannya, bersamaan dengan keluar masuk batang kontol itu, kurasakan cairan sperma menetes dari celah memekku dan mulai membasahi kedua pahaku.
“Iya sikat terus.. Pak Asep, bikin robek memek nya.” teriak Pak Robby yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping kami.
“Iya..akhh..ah..ah..” suara Pak Asep memompaku, Pak Robby menyodorkan kontolnya ke depan mulutku dan langsung kulahap.
“Yeah hisap kontolku” teriaknya sambil menenggak botol minuman di tangannya.
Selang beberapa menit kemudian kurasakan gerakan Pak Asep mulai berubah, menunjukkan tanda-tanda akan keluar dan akhirnya bersamaan dengan teriakannya kontolnya menyemburkan spermanya menambah basah memekku.
Dan kontol Pak Robby juga terasa mulai berdenyut di dalam mulutku, tangannya menekan kepalaku dan akhirnya ia pun keluar di mulutku. Pak Robby jatuh duduk di depanku dengan masih posisi nungging aku merangkak, mendekatinya.
“Masa segitu aja udah keluar. Ga pengen bikin memekku robek?” bisikku di telinganya.
“Plak..” ia menamparku, namun ku semakin mempermainkannya, kutunjukkan lidahku yang masih ada spermanya dan kumainkan di depan wajahnya.
“Kurang ajar, cari mati kau lonte.” ia berkata sambil bangkit ke kamar dan kembali dengan menggenggam dua butir obat berwarna biru di tangannya, ditelannya obat itu dengan bantuan minuman keras.
“Rasakan apa yang kau minta pelacur.” katanya sambil menjambak rambutku dan menyeretku ke atas meja. Aku berlutut dengan badan diatas meja, Pak Robby mengguyur pantatku dengan minuman.
“Rasakan ini.” dengan tanpa pemanasan Pak Robby membenamkan batangnya ke anusku.
“Akh.. Waaa.. Ah.. Sakiiittt..” aku berteriak kesakitan dan Pak Robby tanpa ampun terus menghujami lubang anusku.
“Terus pak hajar.” suara Pak Ilham menyemangati Pak Robby.
Namun tiba-tiba gerakan Pak Robby berhenti dan “bruuuk” tubuhnya jatuh ambruk ke lantai. Aku hanya termenung memandangi kedua orang itu, berusaha menyadarkan Pak Robby, mereka terlihat panik, sementara aku hanya diam berdiri mematung.
“Hey kau..” Pak Asep berteriak sambil menunjuk ke selangkanganku, aku menunduk ternyata ada banyak darah keluar dari memekku, tiba-tiba aku merasakan sakit yang teramat sangat di perutku, mataku berkunang-kunang dan akhirnya gelap. Bau khas rumah sakit menyadarkanku, aku tidak tahu bagaimana aku bisa ada disini, terbaring entah dirumah sakit mana.
“Kamu sudah sadar!” suara yang sudah amat kukenal.
“Pak Andrew?” aku berkata seolah tak percaya.
“Jangan banyak bicara dulu, istirahatlah.” katanya.
“Maafin aku pak.” kataku sambil menangis.
“Sudah-sudah, istirahatlah.” Pak Andrew berkata sambil membelai rambutku.
Seminggu aku di rawat dirumah sakit karena keguguran dan Pak Andrew setia menemaniku, dari dia aku tahu kalau Pak Robby meninggal karena overdosis obat kuat. Setelah aku benar-benar sehat, Pak Andrew membawaku ke Bali, dia memutuskan mengelola cabang hotel yang di sana, dan sebulan kemudian ia bercerai dengan Yuni, lalu menikahiku.
Aku tidak tahu apakah kebahagiaan ini akan berlangsung selamanya atau tidak, tapi yang jelas kini aku bahagia bersama orang-orang yang kucintai, suami, ibu, serta adik-adikku, dan semakin lengkap karena kini aku sudah kembali hamil, mengandung anak Pak Andrew.