Tanpa pikir panjang, Vintari membawa kotak berisi penawar virus D3V4 ke istana negara. Identitasnya yang kembali menjadi warga negara Kalimera memudahkannya masuk dan menemui seseorang yang telah menunggunya. Wanita itu diantar ke sebuah ruangan di mana Juan Daniel dan dua orang pria lain berdiri di samping pria itu.
“Ini penawarnya. Tunaikan janjimu,” tekan Vintari.
Juan Daniel melirik ke salah satu pria di sampingnya. Pria itu mengangguk patuh dan meminta tiga orang lain yang baru saja masuk membukanya. Setelah terbuka, tiga pria yang sudah memakai pakaian pelindung itu segera memeriksa beberapa botol kecil dalam kotak.
“Bagaimana, Cheung?” tanya Juan Daniel pada pria yang mengomandi tiga anak buahnya memeriksa penawar.
“Kami harus meneliti dan mengujinya,” jawab Cheung penuh hormat.
“Tak perlu,” sanggah vintari. Ia menatap Juan Daniel sekarang. “Aku melihat Dun …; maksudku profesor Duncan menguji pada dirinya sendiri.”
“Ia hanya menyuntikkan penawar kafein itu ke tubuhnya lalu tubuh akan ternetralisir. Aku pernah mengonsumsinya dan aku bersih dari kafein sekarang,” yakin Vintari.
“Baiklah,” Juan Daniel berdiri dan mendekati Vintari, “Negara berterima kasih atas jasamu. Kini kau boleh pergi karena telah menyelesaikan misimu.”
“Tunggu. Bagaimana dengan Dean? Aku harus pulang dengannya,” pinta Vintari.
“Seperti yang kau dengar dari jawaban Cheung, penawar itu akan diuji kelayakannya dan banyak korban yang lebih dulu terserang. Jadi ….”
“Kau tidak bisa melakukannya. Kau harus menolong Dean. Dia bisa mati!” seru vintari.
“Kami bisa menyelesaikannya dengan cara kami.” Juan Daniel menatap pria yang berdiri dekat pintu dan memberi intruksi padanya.
Pria bertubuh tinggi dan tegap itu menyeret lengan Vintari. Saat Vintari meronta, ia semakin erat mencengkeram dan membawa paksa Vintari ke arah pintu.
“Kalian tidak bisa melakukan ini! Tuan Juan Daniel, kau sudah berjanji akan menyelamatkan Dean. Berikan penawar itu padanya!” jerit Vintari hingga keluar ruangan.
Ia mengambil napas panjang. Lututnya terasa lemas sekarang. Ia melakukan hal gila itu demi sahabatnya, tetapi mereka seakan menipunya. Dadanya sesak karena marah. Vintari nekat menerobos ke ruang lain, mencari-cari di mana laboratorium berada. Dengan identitas yang masih menjadi negosiator negara, wanita itu memiliki akses untuk keluar masuk istana.
Ia sampai di ruang penelitian. Tak mengetahui apa ruangan itu benar tujuannya, Vintari masuk dan menunjukkan wajah datar. Beberapa orang hanya melihatnya sekilas dan tetap berfokus pada pekerjaan mereka.
Vintari baru menyadari dirinya salah masuk ruangan. Itu bukan laboratorium, tetapi ruangan penelitian senjata biologis Kalimera. Wanita itu segera pergi dari sana, tetapi pindai di pintu keluar justru tak dapat membaca identitasnya.
Seorang penjaga menyadari itu dan mendatanginya. Pria yang berambut hitam itu memandang waspada. Ia mengeluarkan senjata laser dari sarungnya lalu ditodongkan ke arah Vintari.
“Aku negosiator negara. Kau lihat itu,” perintah Vintari pada penjaga.
Penjaga itu melihat sekilas pada monitor yang menunjukkan identitas Vintari. “Aku tahu. Tapi, negosiator negara tak diperkenankan berada di ruang penelitian. Kau menyusup, Nona.”
Vintari melakukan tendangan memutar dan mengenai senjata penjaga itu. Saat akan dibekuk, Vintari kembali melakukan perlawanan hingga lawannya tumbang. Petugas lain datang dan Vintari kembali membela diri dengan melakukan serangan balik pada penjaga kedua. Seperti sebelumnya, penjaga itu terjatuh karena terluka.
Sebuah sengatan listrik menyerang Vintari dari belakang. Wanitu merintih dan berlutut. Tubuhnya yang lemas terjatuh ke lantai. Samar-samar ia melihat Juan Daniel menghampirinya.
“Seorang negosiator menyusup ke ruang penelitian senjata bilogis dan melakukan penyerangan pada dua penjaga, negara bisa memenjarakanmu, Nona Vintari.”
Vintari merasa tubuhnya dipaksa berdiri oleh seseorang. Dengan sisa tenaga ia menatap Juan Daniel. Kepalanya pening akibat reaksi senjata yang baru saja ditembakkan padanya.
“Mengingat kau pernah berjasa pada Kalimera, kami hanya akan menghapus jabatanmu sekarang,” ujar Juan Daniel lalu mengangkat tangan kanan Vintari lalu menempelkan pada sebuah tablet.
Tablet itu membaca sidik jari Vintari. Setelah selesai, Juan Daniel menghapus data Vintari di sana. Ia melihat Vintari dengan ekspresi datar.
“Tidak,” cegah Vintari dengan lirih.
“Kau hanya warga sipil sekarang,” tutur Juan Daniel. Ia memandang penjaga yang memegangi tubuh Vintari.
“Pastikan ia kembali ke rumahnya,” perintah Juan Daniel.
“baik, Pak,” patuh pria muda itu.
Saat melewati Juan Daniel, Vintari yakin ia mendengar ucapan pria itu. Ucapaan yang tak pernah Vintari mengerti maksudnya.
“Ini demi kebaikanmu, Nak.”
****
Siraman air di wajah Duncan membuat pria itu terbangun. Belum begitu sadar, satu pukulan dari ujung senjata mengenai wajahnya. Duncan meringis kesakitan.
“Bagaimana pestamu?” tanya Jenderal Achiles yang mengintari kamar profesor itu.
Anak buahnya memeriksa kamar ini dan ditemukan banyak sisa kafein di sana. Achiles semakin muak saat melihat bekas percintaan pria itu yang pasti dengan Vintari. Ia ingin membunuh Duncan saat ini juga jika saja Duncan tak dibutuhkan negara saat ini.
“Di penawar itu?”
“Penawar apa?” kilah Duncan dan satu pukulan dari salah seorang tentara telak mengenai dadanya.
Duncan merasa begitu nyeri di ulu hatinya. Ia terbatuk-batuk dan melihat Achiles. “Aku tak tahu apa maksudmu, Jenderal.”
Kini jenderal meraih tubuh Duncan dan menghadiahkan satu pukulan pada profesor muda itu. Duncan melawan, tapi para prajurit justru melumpuhkannya. Pukulan demi pukulan Duncan terima seakan membuat kesadarannya menghilang.
“Di mana wanita itu?” tekan Achiles.
Duncan terkekeh sumbang. “Dia hilang bersama apa yang kau cari. Dia lebih hebat darimu, ‘kan?”
Amarah meranggas jenderal keji itu dan membuatnya memberikan pukulan telak pada Duncan hingga pria itu tak sadarkan diri. Achiles berdiri memandang Duncan yang bersimbah darah.
“Kita penjarakan dia?”
“Jangan,” cegah jenderal. “Biarkan dia di sini. Aku yakin dia akan menuntun kita kepada wanita yang membawa penawar itu.”
Rasa terbakar di tenggorokan membuat Duncan terjaga. Pria berambut pirang itu mengerjapkan mata dan masih mengenali ruangan di mana ia berada. Sedikit kelegaan ia rasakan saat Jenderal Achiles tak meledakkan rumahnya di kawasan Detroit City yang dekat dengan perbatasan. Biasanya ia tak peduli, akan tetapi kali ini ada secercah harapan ia ingin hidup lebih lama lagi.
Bukan untuk menjadi pribadi lebih baik tentu saja, melainkan ia masih penasaran pada sosok yang menyapa hidupnya baru-baru ini. Dalam pelariannya, Duncan tak suka pada ikatan karena hanya akan membebaninya. Setelah kematian Riyu dan Martinez, Duncan pun tak ingin menjalin pertemanan lagi. Tubuh Duncan miring ke kiri dan rasa sakit tak terkira menghantamnya. Profesor muda itu berteriak panjang.
“Kau benar-benar punya sembilan nyawa.”
Duncan menoleh pada suara yang tak asing itu. Matanya menatap pria paruh baya dengan rambut abu-abu masuk ke kamar. Ia membawa sebuah alat untuk menyuntikan serum. Duncan pasrah saat Salih Alam memberinya cairan bening ke dalam tubuhnya.
Napas Duncan mulai sesak dan ia meronta di tempat tidurnya. Cairan penyembuh luka-lukanya seakan tak dapat meredam rasa sakit pria itu. Duncan menatap langit-langit kamar dengan mata nanar. Dia menerima semua luka ini demi satu wanita. Dia sungguh tak waras.
“Setelah dapat berjalan, aku akan membawamu pulang ke Alexandria,” tutur pria itu.
Duncan mengalihkan segala rasa sakitnya dengan merespon ucapan pria itu. “Aku tidak punya rumah di sana, Paman.”
“Rupanya aku memberimu dosis terlalu banyak,” singgung Salih Alam.
“Aku tak akan pernah kembali ke sana.” Duncan menoleh ke arah Salih Alam. “Terima kasih sudah menolongku.”
“Sudah tugasku, Pangeran.”
Duncan tertawa sumbang. “Itu menggelikan.” Pria itu mencoba untuk bangkit walau setiap menggerakan badan, tubuhnya begitu ngilu. “Kadang aku berpikir, mengapa dulu kau tak memberiku racun dan malah merawatku. Kau membunuhku dengan segala cerita menjijikkan itu.”
“Saya tidak punya kuasa untuk membunuh Anda,” balas Salih Alam dengan nada santai lalu membuang semua pakaian Duncan yang kotor karena noda darah.
“Benar. Kepatuhanmu memang milik kaisar.” Posisi Duncan kini duduk di tepi ranjang dengan kaki yang menapak lantai. “Tapi, aku minta tolong. Aku ingin ke Kalimera.”
“Anda hanya akan pergi ke Alexandria. Saya sudah menyiapkan kendaraan untuk Anda. Detroit City tak akan menyadari bahwa Anda keluar dari negeri ini sebagai Pangeran Negeri Alexandria.”
Duncan mendengkus bosan. “Aku ingin kau merawat dan membawaku ke Kalimera. Jika tidak, aku bisa melakukannya sendiri.”
Kaki Duncan mulai memijak lantai. Kesulitan, ia mulai berdiri. Hanya beberapa detik kaki Duncan menopang tubuh sebelum ia jatuh dengan keras di atas lantai. Duncan mengerang dan mengulurkan tangan pada pria yang sejak kecil merawatnya.
“Lakukan saja sendiri,” tutur Salih Alam lalu melenggang pergi.
Umpatan keluar dari mulut Duncan dan terus memanggil pria paruh baya itu. “Aku akan pulang ke Alexandria setelah dari Kalimera.”
Langkah Salih Alam terhenti, tapi ia masih belum membalikkan badan.
“Aku akan menyelesaikan urusanku di sana lalu menyerahkan diri ke kaisar. Aku bersedia digantung olehnya.”
Salih Alam berbalik badan dan mengulas senyum pada pemuda tampan yang ia sayangi layaknya putra sendiri. “Kaisar akan memberimu tahta, bukan menghukummu, Nak.”
****
Dua malam berlalu dan Vintari berduka di rumah futuristiknya. Banyak rasa yang bergelut dalam sanubarinya. Ia kecewa pada negara tempatnya mengabdi. Ia bersalah pada Dean karena tak mendengar nasihat pria itu untuk berhenti bertindak heroik.
Ketakutan adalah rasa yang mendominasi. Selama wanita itu menjadi negosiator negara, beberapa kali ia ditodong senjata oleh pemberontak. Maut di hadapannya, ia sambut dengan senyum. Namun kali ini, ia enggan merasa sendiri.
Dean memberi kenyamanan di tengah kegundahan dalam hidup Vintari. Wanita itu baru menyadari jika Dean pelengkap hidupnya walau Vintari tak pernah merasa cinta. Tiap malam wanita itu berharap, Dean kembali ke rumah ini dan mereka memulai hidup yang baru.
Hari keempat, Vintari terkejut mendengar speaker pemberitahuan bahwa seseorang akan masuk rumahnya. Rumah yang menyerupai apartemen di bulan, hanya akan memberi infromasi tentang penghuni rumah tersebut. Di sini, hanya Vintari dan Dean yang terdaftar dan boleh masuk.
Langkah perlahan Vintari menuju pintu depan. Jantungnya seakan melompat keluar saat Dean masuk dengan berpakaian seragam lengkap. Di tangannya ada satu kotak yang berisi dua botol sampanye dalam bentuk serum.
“Aku sudah pulang,” kata Dean, layaknya ia pulang dari peperangan besar.
“Dean!” jerit Vintari lalu berhambur ke arah pelukan pria berseragam itu.
Dean terkekeh sambil mengangkat tubuh Vintari. Ia memutar wanitanya sebentar sebelum mengelus punggung Vintari yang bergetar karena menangis.
“Apa yang kulewatkan?” tanya Dean dalam posisi berdiri.
Kedua kaki Vintari melingkar di kedua pinggang sang prajurit sedangkan tangannya tak melepas leher Dean untuk dipeluknya. “Aku kira kau sudah mati.”
Dean tertawa lagi. “Aku hanya rela mati untukmu.”
Vintari memukul bahu sahabatnya. “Jangan bicara seperti itu.”
“Aku tahu kau menyayangiku,” kekeh Dean lalu membawa tubuh wanita itu ke kamar utama.
Perlahan Dean merebahkan tubuh Vintari, tetapi wanita itu seperti menempel padanya. Dean pun merebahkan tubuhnya bersamaan dengan Vintari. Pada posisi miring dan saling berhadapan. Dean menangkup wajah Vintari.
“Apa yang terjadi padamu? Kau tampak tak sehat. Padahal aku mendengar laporan kau tak terjangkit virus.”
Vintari mengatur napasnya. “Aku ketakutan sekali sejak kau dirawat Dean. Negara semakin kacau. Aku pernah membesukmu, aku justru diserang orang.”
Mata Dean melebar. “tapi, kau tak apa-apa, ‘kan?”
“Mereka meninggalkan luka,” adu Vintari. Vintari melepas pakaiannya. Ia menunjukkan bekas luka sayatan yang tak benar-benar hilang.
“Ya Tuhan,” ucap Dean. Tangan kanannya menyentuh pelan bekas luka itu. Wajah Dean tertunduk hingga berjarak beberapa centi dari luka Vintari.
“Maafkan aku. Aku tak akan pernah pergi hingga membuatmu terluka seperti ini,” lirih Dean sebelum memberi kecupan ringan di atas bekas luka itu.
Lembutnya bibir Dean dan hangat napas pria itu membuat lenguhan Vintari terdengar. Kedua tangan wanita itu terulur dan menyisir rambut cokelat Dean dengan jemarinya. Wajah Dean mendongak, memandang wanita yang sering kali bermain-main di kepalanya.
“Aku merindukanmu,” aku Dean dengan suara serak.
“Dean,” desah Vintari.
Pria itu menegakkan tubuhnya dan Vintari menarik tubuh Dean hingga mereka saling berdekatan. Tangan Vintari menangkup wajah Dean dan mencium bibir tebal pria itu. Dean seperti diberi izin, ia membalas ciuman wanita itu dengan panas dan dalam. Tubuh Vintari merasa gemetar saat tangan besar Dean meraba perut telanjangnya, terus mengelus punggung, hingga memberi remasan ringan di payudaranya.
Dean mengakhiri ciuman mereka. Pria itu meloloskan Vintari dari pakaiannya yang tersisa. Menoleh ke arah kiri, Dean mengambil serum yang ia bawa, menyiapkannya dengan alat seperti pistol lalu tersenyum ke arah Vintari. “Kau cantik sekali.”
“Berikan padaku,” mohon Vintari.
Vintari terkekeh saat Dean menyuntukan serum itu di bawah lengannya. Wanita itu mengerang saat reaksi sampanye itu menginvasi tubuhnya. Ia menjerit kecil saat sedang menikmati sampanye, Dean menciumi tiap jengak tubuhnya. Dean melepas seragamnya hingga ia tanpa busana. Mata Dean tak lepas dari Vintari yang telanjang di atas tempat tidur dan melenguh manja karena sensasi serum sampanye.
“Biar aku,” rengek Vintari saat melihat satu serum lagi untuk Dean konsumsi.
Dean menyeringai lalu bergabung dengan wanita itu di ranjang. Rasanya tak perlu serum itu karena Dean sudah pasti akan mabuk saat bercinta dengan Vintari. Pria itu menurut saat Vintari mendorongnya agar berbaring telentang. Vintari tertawa senang dan duduk mengangkangi pria itu.
“Vintari, kau tau aku bisa hilang kendali dengan ini,” cegah Dean saat Vintari akan menyuntikkan serum itu ke leher Dean.
Senyum Vintari semakin mengembang dan matanya menatap nakal. “Aku selalu suka saat kau hilang kendali. Aku menikmati setiap kali kau mendominasiku,” tuturnya sensual.
Vintari segera menyuntikkan serum itu ke leher Dean. Rasa panas yang mengalir di setiap sendi Dean karena rekasi sampanye membuat pria itu mengerang. Ngocoks.com
Melihat Dean yang sedang masa nikmatnya, Vintari menyerang pria itu dengan ciuman-ciuman di sekujur tubuh atletis Dean. Sang prajurit semakin terbakar oleh hasrat. Ia menggelinjang saat Vintari memainkan area pribadi pria itu. Lenguhan Dean terdengar saat miliknya yang tegak menantang, tenggelam perlahan di mulut Vintari.
Tangan Dean terulur untuk menggapai kepala Vintari. Namun, ia seakan tak bertenaga karena wanita itu memegang kuasa. Dean merasa akan meledak saat lidah Vintari menjilat-jilat miliknya dengan raut menggoda. Bibir merah wanita itu mengisapnya dengan kuat dan Dean semakin frustrasi saja.
“Cukup,” perintah Dean, tapi Vintari tak peduli.
Pria itu mendorong pelan kepala Vintari dan erangan protes wanita itu terdengar. Dean kini menindih tubuh Vintari yang ia rebahkan. Tangan Dean menahan kedua tangan Vintari di atas kepala wanita itu. “Kau tahu akan berakhir seperti ini.”
“Lakukan saja,” balas Vintari menantang.
Dean memposisikan diri lalu membenamkan miliknya di liang hangat Vintari. Pria itu mencium lembut wanitanya sebelum bergerak cepat untuk menggapai kepuasan. Vintari mengerang dan menggelinjang saat Dean menghujamnya kian kasar. Ia memekik saat persetubuhan mereka semakin tak terkendali.
Deru napas berlomba dengan erangan erotis. Keduanya semakin berkejaran mencari puncaknya. Hingga bersama, mereka tenggelam dalam puas yang tak berujung.
Dalam pengaruh serum sampanye yang memabukkan Dean tak akan berhenti mencari kepuasan dari tubuh Vintari. Pria seolah akan berhenti jika Vintari jatuh pingsan. Mereka tak melakukannya sekali sampai Vintari terisak karena kelelahan. Dean menoleh ke arah wanita yang tidur lelap di sampingnya. Aroma seks masih tercium dan Dean bahkan enggan bergerak menjauh karena merasa kakinya lumpuh dihajar orgasme.
Penyeranta Dean berbunyi. Dahinya berkerut saat alat itu menunjukkan aktivitas sekseual tubuhnya yang berlebih. Semua prajurit di kalimera, terpantau segala reaksi tubuhnya. Namun, Dean tak mengerti. Ia seperti diberi warning oleh negara karena telah melewati batas. Padahal tak ada batasan jika dengan pasangan yang terdaftar.
Dean duduk di tepi ranjang dan menyentuh ibu jarinya di layar alat persegi itu untuk dipindai. Alat itu menunjukkan tentang data diri Dean dan segala catatan kesehatannya. Dia pulih dari virus, tetapi mengaa ia mendapat peringatan?
Ia menoleh ke arah wanita yang tanpa busana di sampingnya. Tangan Dean menarik pelan tangan Vintari. Ia ragu jika tubuh Vintari yang bermasalah. Untuk mengenyahkan pikiran buruknya, Dean membawa tangan Vintari untuk dipindai. Pria itu penasaran dengan apa yang terjadi pada Vintari.
Bersambung…