Vintari mengerang dan menarik tangannya dari genggaman Dean. Pria itu lekas menaruh penyerantanya di samping tempat tidur. Tangan Dean membelai lembut rambut Vintari yamg kusut.
“Maaf, aku membangunkanmu,” sesal Dean berbisik.
Mata Vintari terbuka dan memandang pria tampan yang ia kenal sepanjang hidupnya. “Ada apa?”
Dean mengubah posisi duduknya sehingga menghadap ke arah Vintari yang berbaring tengkurap. “Aku mendapat peringatan dari negara. Apa aku menyakitimu?” Dean menundukkan badannya dan menangkup pipi Vintari.
“Apa maksudmu?” tanya Vintari yamg kini berbaring miring. Dada telanjangnya dapat Dean lihat seutuhnya.
Bahu Dean naik. “Kau tahu, mereka mengontrol kami sepenuhnya. Reaksi tubuhku bisa terbaca. Kali ini, aku semacam melanggar aturan.”
Tak menunggu Dean menyelesaikan ucapannya, amarah sudah meranggas diri Vintari. Ia mengingat bagaimana perlakuan negara pada wanita itu setelah ia berhasil mencuri serum. Vintari memang tak pernah suka jika Dean membahas tentang hal-hal yang berbau militer. Ditambah hal buruk yang Vintari alami, ia seperti ingin pindah negara saja.
“Berhentilah menjelaskannya. Aku muak setiap kali kau menjelaskan tugasmu,” ketus Vintari sambil beranjak dari ranjang.
“Apa yang kau bicarakan? Aku menjadi prajurit tidaklah sebentar. Kau tahu aku ingin mengabdi pada negara. Hormatilah Kalimera karena kau tinggal di dalamnya. Aku juga akan marah jika sikapmu terus-terusan seperti memusuhi negara,” tegur Dean yang kini berdiri tegak memandang tubuh polos Vintari yang berjalan ke arah kamar mandi.
Langkah Vintari berhenti di depan kamar mandi. Dia berbalik badan dan menatap Dean yang tak mengenakan busana. “Lihat apa yang negara lakukan padamu.”
“Virus D3V4 bukan salah Kalimera. Aku beruntung karena mereka memberiku penawarannya hingga aku bisa pulang.”
“Mereka ….” Vintari tak mungkin mengatakan yang sebenarnya, walau hati kecilnya berteriak, penawar itu didapatkan atas usaha Vintari.
“Aku ingin mandi, Dean. Kau boleh bergabung denganku jika kau mau,” ujar Vintari lalu masuk ke kamar mandi.
Dean mengumpat pelan. Negara yang mengatur fungsi tubuh para prajuritnya, bukanlah omong kosong belaka. Para prajurit dimonitor sedemikian rupa agar fisik juga pikirannya selalu terjaga. Tentara adalah aset negara.
Mereka tak akan membiarkan orang-orang seperti Dean melakukan hal buruk yamg berakibat fatal. Kedua tangan Dean meremas rambutnya. Ia tak mengerti mengapa dirinya dibatasi saat menyentuh Vintari. Vintari pasangannya resminya.
Semua pemikiran Dean menguap saat panggilan Vintari akan namanya, mengudara diiringi suara gemericik air. Ia ingin masuk ke dalam, tetapi hatinya meneriakkan sebaliknya. Logika pria itu membeku saat ingatan bagaimana nikmatnya tubuh wanita itu berkelebat. Dean melangkah masuk ke kamar mandi dan bergabung dengan Vintari.
Hasrat keduanya tak lagi terbendung dan bercinta lagi di bawah siraman air hangat. Tak berhenti di kamar mandi, Vintari masih menginginkan kepuasan dari tubuh Dean dan mereka mengadu gairah lagi dan lagi hingga tengah hari.
Dean terbangun saat perutnya merasa lapar. Ia berjalan keluar kamar menuju ke ruang penyimpanan gizi. Di dalam lemari pendingin, ia mengambil pil lalu segera dilahapnya sebagai makan siang. Dean menyiapkan serum makan siang untuk Vintari dan kembali ke kamar.
Saat akan membangunkan Vintari, Dean kembali mendapat pesan dari penyeranta. Ia segera menghidupkan layar untuk komunikasi. Setelah menekan beberapa angka, muncul pesan di layar tentang pelanggaran yang Dean lakukan. Pria itu segera memakai pakaian sebelum menghubungi kantor pusat.
Dean mencoba menelepon, tetapi jaringan sibuk. Ia tak sabar dan mengirim beberapa masalahnya ke pusat untuk diatasi. Mengejutkan, jawaban dari laporannya sama, ia melakukan pelanggaran. Ngocoks.com
“Dean,” panggil Vintari dari atas ranjang.
“Sebentar. Aku urus di sini dulu.”
Vintari bangun dengan tubuh pegal. “Dean, kembali ke sini,” perintah Vintari.
Pria itu masih sibuk membaca layar dan Vintari mendengkus kesal. Ia beranjak dan berjalan ke arah Dean tanpa sehelai benang di tubuhnya. Wanita itu duduk di atas pangkuan Dean lalu memberikan ciuman di seluruh wajah pria itu.
Sementara Dean yang kesal karena diganggu, segera menyuntikan nutrisi ke tubuh Vintari. Lenguhan Vintari terdengar dan ia merebahkan kepalanya di lekuk leher Dean. Serum makanan akan terasa menenangkan sebelum menimbulkan reaksi kenyang.
“Kau kenyang?” tanya Dean yang kini menatap wajah Vintari. Tubuh wanita itu menempel pada tubuhnya.
Kepala Vintari mengangguk sebelum menyembunyikan wajah di lekuk leher Dean. Posisi itu membuat Dean mudah meraih tangan Vintari dan meletakkan ibu jarinya di alat pindai.
Menyadari perilaku Dean, Vintari menegakkan tubuhnya. “Apa yang kau lakukan?”tanya Vintari waspada
“Aku hanya memastikan,” jawab Dean. Kini pria itu terkejut bukan main dengan hasil yang terlihat di layar monitor.
“Mengapa begini?” tanya Dean yang tak jelas ditujukan untuk siapa. Sedangkan Vintari mulai merasakan napasnya tercekat.
“Kau hanya warga sipil dan … tak berpasangan denganku. Apa yang terjadi.”
Dean membawa tubuh telanjang Vintari hingga mereka kini berdiri berhadapan. “Kau berhutang penjelasan.”
Mata Vintari menoleh ke segala arah, menghindari tatapan menyelidik dari Dean. “Mereka memaksaku.”
“Siapa?”
Vintari memalingkan wajahnya.
“Vintari!”hardik Dean yang mulai tak sabar.
“Kau sedang koma. Orang-orang itu menyerangku dan saat aku terbangun, aku berada di tempat mereka … orang-orang dari negara. Mereka memintaku untuk mencuri serum dari seseorang di Detroit City.”
Dean menggeleng tak percaya. “Kau negosiator terkemuka. Ini semua karanganmu.”
“Aku mengatakan yang sebenarnya,” tegas Vintari.
Hati wanita itu bagai disetrum dengan aliran listrik ribuan volt saat mengingat perjalanannya untuk mendapatkan serum. “Aku mencuri dari seorang profesor di Detroit City. Aku menyusup sebagai imigran.”
“Dia … profesor itu … bagaimana caramu mendapatkannya?”
“Aku menemuinya. Aku imigran … lalu mencurinya.”
Dean mendekati wanita yang tubuhnya terlihat gemetaran. “Katakan padaku. Apa kau menidurinya?”
“Aku mencuri serumnya. Dia seharusnya kubunuh, tetapi tidak,” racau Vintari.
“Dia menyentuhmu?!”tanya Dean dengan nada tinggi.
Vintari terkejut dan seketika merasa kaku. “Aku … maaf.”
Umpatan Dean terdengar dan ia berteriak keras.
“Aku tak bisa melihatmu mati, Dean,” erang Vintari.
“Kau sudah membunuhku dengan menjadi milik orang lain,” balas Dean.
Mata Vintari menatap pria yang ia anggap kakak, sahabat, bahkan pasangan. “Ap-apa maksudnya?”
“Aku ingin memilikimu secara utuh. Itu sebabnya aku ingin menjadikanmu istri. Tapi kau memintaku hanya sebagai pasangan. Aku bertahan hanya agar kau tak pergi dariku.”
“Dean, aku ….”
“Bukan begini caramu menolakku.”
Vintari menangkup wajah dengan kedua tangannya. Ia tak menyangka Dean mengutarakan perasaannya. Selama ini Vintari menganggap mereka dapat terus bersama tanpa perlu saling melibatkan perasaan. Ternyata Dean memendam cinta untuknya.
“Aku mendapat peringatan karena menyentuhmu … yang bukan pasanganku.” Dean mendekat ke arah Vintari. “Dan karena perbuatanmu, Detroit City menyatakan perang terhadap Kalimera.”
Vintari ternganga. Seharusnya ia mengantisipasi ini saat jenderal menatapnya di kediaman Riyu dan Martinez. Dia memang seegois itu karena tak memikirkan Kalimera dan hanya mementingkan Dean saja.
“Aku mendapat tugas, Vintari. Barisan perisai untuk perang antariksa,” tutur Dean sambil melewati wanita itu.
Vintari bagai kehilangan napasnya. Perang antariksa adalah perang di atas planet hingga tak mengganggu warga sipil suatu negara.
Namun, menempatkan seseorang di barisan perisai sama saja membunuhnya karena perisai adalah penahan serangan. Tubuh Vintari luruh ke lantai karena begitu lemas. Usahanya menyelamatkan Dean justru mengantarkan pria itu ke gerbang maut.
Bersambung…