Vintari menoleh ke arah sahabatnya yang sedang berpakaian. Isakan wanita itu terdengar di ruang kamar mereka. Wanita itu terus meratap hingga Dean selesai memakai seragam lengkap dan berjalan ke arah Vintari. Kedua tangan Dean membimbing wanita itu untuk berdiri.
“Jaga dirimu saat tidak ada aku,” pesan Dean.
Kepala Vintari menggeleng. “Ayo, kita pergi dari sini, Dean. Kita bisa pergi ke bumi.”
Senyum sinis Dean tersungging. “Bumi sudah seperti neraka. Aku tidak akan membiarkanmu mati di sana.”
“Aku juga tak ingin kau mati sia-sia.”
“Aku tidak mati sia-sia. Aku membela negara.”
“Mereka menjadikanmu tameng. Kau masih mau membelanya?” tekan Vintari.
Dean menghela napasnya. Ia melihat tubuh telanjang Vintari lalu mengambil sehelai selimut. Pria itu menutup tubuh Vintari lalu memeluknya.
“Lakukan demi aku,” mohon Vintari.
“Kau dan Kalimera berbeda.” Dean mulai gelisah. “Aku pergi.”
“Dean,” cegah Vintari.
Pria itu tak menghentikan langkah dan terus keluar ruangan. Sementara Vintari mengejar dan menahan lengan Dean walau pria itu menepisnya.
“Dean, aku begitu menyayangimu. Jangan pergi. Aku melakukan semua ini demi kau. Kau satu-satunya orang yang kumiliki. Tak ada yang boleh mengambilmu termasuk Kalimera. Aku akan menantang dunia agar kau tak pergi.”
Langkah Dean terhenti. Tubuhnya menoleh ke arah Vintari. Tangan kiri Dean menghapus air mata yang berlinang di pipi wanita itu.
“Aku sedang melakukan hal yang sama denganmu. Menjadi perisai bagi musuh yang menyerang Kalimera, tempat teraman untukmu.”
Dean meraih pinggang Vintari. Tangan kanannya membelai wajah cantik yang mungkin tak akan ia lihat lagi. Wajah Dean mendekat lalu mengecup pelan bibir Vintari. Tangan wanita itu melingkar di leher Dean.
Membalas ciuman Dean yang terasa bagai lara yang menyiksa raga. Erangan Vintari lolos karena semuanya terasa salah. Ia tak pernah siap berpisah dengan pria yang ia kenal seumur hidupnya.
“Dean,” erang Vintari saat pria itu memaksa melepaskan tangan Vintari dari lehernya.
Dean pergi begitu saja tanpa memedulikan panggilan dan isak pilu Vintari. Ia tahu takdirnya akan seperti ini saat memilih menjadi prajurit negara Kalimera. Saat itu Dean rela mengorbankan jiwa dan raganya. Hanya saja, saat ini ia berat meninggalkan wanita yang diam-diam ia cinta.
Sementara rasa tak berdaya meranggas jiwa Vintari. Wanita itu jatuh terduduk dan merebahkan dirinya di lantai dengan sedu sedan yang enggan berlalu. Seumur hidup, Vintari tak pernah melihat rupa orangtuanya.
Ia diasuh oleh ayah Dean dan mereka harus hidup sebatang kara karena pria itu meninggal saat Vintari juga Dean berusia delapan tahun. Mereka diasuh oleh negara dan dididik dengan patriotisme tinggi.
Dean akhirnya tetap memilih sebagai abdi negara sementara Vintari membangkang. Ia ingin lepas dari aturan yang mengikat walau akhirnya harus cukup puas menjadi negosiator negara.
Kini tanpa Dean, Vintari tak merasa punya kehidupan lagi. Wanita itu segera duduk dan membulatkan tekadnya untuk menyelamatkan Dean hingga titik darah terakhir.
Setelah menjadi warga sipil, Vintari tak serta merta punya wewenang untuk masuk ke istana negara. Akan tetapi, sebagai salah satu negosiator negara, Vintari tahu bagaimana caranya menghubungi presiden Kalimera secara langsung. Wanita itu mendapat kesempatan untuk bertemu Presiden Orion meski hanya lima menit.
“Terima kasih sudah menemuiku,” ucap Vintari saat memasuki ruangan berwarna krem dan salah sisi gedungnya terbuat dari kaca. Pemandangan yang disuguhkan adalah langit kelam tanpa bintang.
“Waktumu hanya lima menit. Manfaatkan dengan sebaik-baiknya,” ujar Presiden Orion dengan raut wajah dingin.
“Aku kemari untuk meminta pengampunan bagi Dean. Ia ditugaskan sebagai perisai dalam pertempuran.”
Presiden wanita itu tersenyum sinis. “Apa yang membuatmu berpikir jika aku akan memberikan pengampunan semudah itu?”
Amarah Vintari terpancing saat melihat sikap angkuh sang presiden. “Jangan lupa, aku adalah orang yang mendapatkan penawar virus itu. Ilmuwan di negara ini hanya mengembangkan dan menyebarkannya lewat udara, agar warga yang terserang dapat menghirup untuk kesembuhannya. Aku yang berjasa dan aku ingin keselamatan Dean untuk balas jasaku itu.”
Presiden Orion mencibir. “Kau pikir tugasmu mulia?” Wanita berambut cokelat terang itu bangkit. “Juan Daniel bekerja tanpa sepengetahuanku. Cara yang ia lakukan justru membahayakan Kalimera. Jenderal dari Detroit City menyerang negara kita.”
“Masih untung, kau tidak dihukum,” tekan Orion.
Vintari turut berdiri menghadap presiden. “Aku yang membuat misi menjadi tak sempurna. Aku rela dihukum, asal Dean dibebastugaskan.”
“Bicara apa kau?! Warga sipil sepertimu begitu lancang mencampuri urusan negara.” Tangan Orion terlipat di depan dada. “Pergilah. Aku masih banyak urusan.”
“Orion,” panggil Vintari lalu mendekat ke arah sang presiden, “Dia satu-satunya orang yang kumiliki. Aku tak bisa kehilangan dia.”
“Begitu egois,” umpat Orion. “Seharusnya kau malu. Dean mengabdi kepada negara dengan merelakan seluruh hidupnya. Bukan cuma dia, kami semua sedang sibuk menghadapi peperangan. Tapi kau, berisik karena kepentingan pribadi.”
“Pembicaraan ini kuanggap tak pernah terjadi. Jadilah warga negara yang baik dengan tidak memperkeruh keadaan yang sedang genting,” ancam Orion lalu meninggalkan Vintari.
Seorang penjaga mempersilakan wanita itu untuk meninggalkan istana. Vintari berjalan pelan dengan pikiran yang berkecamuk. Apalagi yang harus ia lakukan untuk menyelamatkan Dean? Ketika ia akan memasuki lift yang digunakan sebagai kendaraan, seseorang yang ia kenali berdiri di sana.
“Ikut bersamaku, Nona Vintari,” ajak Juan Daniel.
Vintari mencibir. “Aku hanya warga sipil. Tidak menerima perintah dari penasihat negara … yang sudah dipecat.”
Juan Daniel menarik lengan Vintari dan memaksanya masuk ke dalam lift. Pria itu menekan tombol dan menentukan tujuan yang berbeda dengan tujuan Vintari. Sontak Vintari melakukan perlawanan pada Juan Daniel di tempat sempit itu. Vintari memukul beberapa bagian tubuh pria paruh baya itu dan baru berhenti saat Juan Daniel menodongkan senjata laser padanya.
“Aku bisa menyelamatkan temanmu,” ujar Juan Daniel.
Vintari tertawa sinis. “Aku tak akan tertipu lagi,” balas wanita itu lalu menendang tangan Juan Daniel.
Senjata dari tangan pria itu terlepas dan Vintari mengambil alih. Wanita itu menodongkan senjata pada Juan Daniel dan pria paruh baya itu mengangkat tangan.
“Itu pistol sidik jari. Kau tak akan bisa menggunakannya,” ucap Juan Daniel.
“Aku tahu,” potong Vintari, lalu menekan tombol untuk memilih destinasinya sendiri.
“Aku menugaskanmu untuk mencuri serum dan membunuh profesor itu. Tapi tidak kau lakukan. Jenderal Achilles menemukan profesor Duncan dan ia pasti mengadukanmu sehingga Detroit City menyerang Kalimera. Semua kekacauan ini karena ulahmu,” tekan Juan Daniel.
Vintari tak menyanggahnya karena yang terjadi di Kalimera lebih buruk dari dugaan pria itu. Jenderal Achilles lebih dulu mencurigai Vintari saat pertemuan mereka di rumah Riyu dan Martinez. Membunuh Duncan atau tidak, misi itu sudah pasti diketahui oleh jenderal Detroit City. Itulah yang Vintari yakini. Ia menolak perasaan lain pada Duncan hingga enggan membunuh pria itu.
Saat mereka sampai di tempat tujuan Vintari, Juan Daniel berkata lagi, “Jenderal Achilles memiliki permintaan konyol terhadap Kalimera. Ia akan membatalkan penyerang jika Orion bersedia menikah dengannya. Jika itu terjadi, Kalimera berada di bawah kekuasaan Jenderal.”
Langkah Juan Daniel mendekati Vintari saat lift itu terbuka. “Kau bisa menghentikan ini dengan membunuh Jenderal. Temanmu akan kupanggil pulang dari perang antariksa.” Ngocoks.com
Vintari ingin tertawa. Ia seperti anak kecil yang dibodohi. Jenderal Achilles adalah pria kejam yang menguasai bela diri dan taktik perang brilian. Vintari hanya seorang wanita mantan negosiator negara. Yang ada, dirinya nanti yang dihabisi sang jenderal.
Wanita itu memukul Juan Daniel dengan pistol di tangannya. Pukulan yang lumayan keras itu menumbangkan Juan Daniel seketika. Dengan tanpa perasaan tak bersalah, Vintari meninggalkan pria itu begitu saja. Ia bahkan tak peduli jika Kalimera memenjarakan dirinya.
Tak ada yang Vintari lakukan lagi selain berharap keajaiban terjadi. Setiap saat ia memantau perang di antariksa yang disiarkan oleh negara. Di atas sana, Dean sedang berjuang membela negara dengan menahan serangan musuh.
Vintari menatap langit dengan hati yang tercabik. Dean sedang dibantai di sana. Jika Kalimera menang nanti, akankah ia menikmati kemerdekaan yang ia peroleh dari pengorbanan Dean?
Hari kedua perang, beberapa kapal dilaporkan tumbang dan nama-nama prajurit gugur mulai diberitakan. Vintari merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Ia bahkan berpikir bagaimana cara mengakhiri hidupnya jika nama Dean terpampang di sana.
Saat hari ketiga, kondisi mental Vintari semakin parah. Ia telah menentukan perjalanan ke bumi secara ilegal. Ia mungkin akan mati ditembak manusia bumi karena kapal asing tak diizinkan masuk ke bumi. Namun jika ia lolos, setidaknya Vintari akan memulai kehidupan baru di bumi karena ia tak akan dapat bertahan tanpa Dean di sini.
Langit petang dan ketakutan Vintari membayang. Negara kembali mengumumkan berita buruk. Banyak armada kapal Kalimera yang hancur karena kalah perang. Jika ini terjadi, negara terpaksa tunduk pada Detroit City. Satu nama prajurit gugur membuat Vintari berhenti menghirup udara. Dean dinyatakan gugur karena kapal perangnya ditembak hancur.
Vintari merasakan kekuatan asing mengambil alih raganya hingga ia jatuh dengan lemas di lantai. Berkelebat segala kenangan wanita itu bersama Dean. Ia mendengar tawa pria itu, teriakannya, bahkan suara Dean memanggil namanya.
Tiba-tiba Vintari bagai melihat api besar dan jerit kesakitan Dean. Vintari membuka mulut tapi suaranya seakan terenggut. Matanya begitu perih dan bulir bening itu memaksa keluar. Seluruh tubuh Vintari terasa pedih bagai dibakar api yang sama membunuh Dean.
“Dean,” bisik Vintari saat merasa kesadarannya menipis.
Bersambung…