Vintari menatap setiap sudut di rumahnya. Malam ini adalah malam terakhir ia berada di bulan. Esok sebelum matahari menyapa bulan dengan sinarnya, Vintari sudah pergi ke bumi dalam perjalanan ilegal. Selama menjadi negosiator, Vintari menjadi mengenal beberapa orang dari dunia hitam.
Ia menjual beberapa asetnya di pasar gelap untuk ditukarkan paket perjalanan ke bumi. Vintari bahkan berani membeli virus penyakit yang akan ia suntikan ke tubuhnya jika di bumi nanti ia mendapat perlakuan buruk. Wanita itu siap bunuh diri karena tak menemukan alasan untuk hidup lebih lama lagi.
Tangan Vintari melepas pakaiannya hingga ia berdiri tanpa busana. Matanya melirik pakaian yang terbuat dari kain yang esok akan dikenakannya. Pakaian manusia bumi yang tanpa perlindungan.
Mata Vintari terpejam, mengenyahkan ketakutannya karena ia merasa begitu sendirian. Perlahan Vintari naik ke atas ranjang yang terasa dingin. Sehelai selimut menutup tubuh telanjangnya dan tak lama isakannya terdengar.
Kembali ia mengingat Dean. Lima hari setelah berita kematian pria itu, Vintari tak jua menerima laporan penemuan jasad sahabatnya. Negara menyatakan tubuh Dean hancur dalam ledakan pesawat perisai dan tak pernah ada evakuasi karena negara sedang sibuk berperang melawan serangan negara Detroit City.
“Dean,” sebutnya dengan dada yang terasa sesak.
Vintari juga tertekan karena merasa peperangan ini sedikit banyak karena ulahnya. Andai ia tak teledor, Jenderal Achilles tak akan memergokinya. Jika saja sang jenderal tak mengetahui aksi Vintari, mungkin Kalimera tak akan diserang oleh Detroit City.
Ia tak hanya berduka untuk sahabatnya, melainkan menanggung beban duka para keluarga prajurti yang gugur di medan perang antariksa. Kelelahan yang mendera Vintari membuatnya jatuh tertidur. Dalam ketidakberdayaannya ia memimpikan Dean.
Tak hanya itu, Vintari melihat pria lain yang menyentuhnya. Vintri bergerak gelisah karena bergulat dengan mimpinya. Ia merasakan sakit tak terkira di hati dan tubuhnya melalui mimpi. Mulutnya menggumam tapi tak ada satu pun yang membangunkannya.
Tubuh Vintari seperti tersentak dan wanita itu membuka mata. Menatap langit-langit di kamarnya yang futuristik dan mengambil napas sebanyak-banyaknya. Vintari segera duduk di atas ranjang kemudian memandang sekelilingnya yang gelap.
Keringat membasahi kening dan dada telanjang wanita itu. Udara di sekeliling Vintari terasa lebih dingin dari biasa, menghadirkan seberkas keraguan menyapa wania itu. Akankah ia pergi ke bumi dan bangun dalam kondisi lebih buruk dari ini?
Kedua tangan Vintari menangkup wajahnya dan mengerang kecil. Ia butuh Dean di sini atas kebingungannya. Hanya pria itu yang sanggup menghapus kecemasannya. Tangan Vintari perlahan turun dari wajahnya tatkala mendengar napas seseorang.
Dalam keremangan, Vintari melihat siluet pria di sana. Bibirnya perlahan menyunggingkan senyum tipis. Dean-nya kembali. Pria itu di sini dan Vintari tak seharusnya mencemaskan apa pun lagi.
Akan tetapi, alangkah terkejutnya Vintari saat sosok itu berjalan ke arahnya. Sekelebat wajah dingin itu. Mata birunya menatap tajam hingga Vintari merasa dihujam jantungnya. Kilau keemasan rambut pria itu berpendar saat melewati berkas cahaya di kamar Vintari. Tenggorokan wanita itu tercekat ketika didatangi oleh sang profesor muda.
Masih dengan tatapan tak bersahabat, Duncan memindai tubuh telanjang Vintari yang tertutup selimut. Wanita itu sungguh berbeda dengan waktu ia temui di Kalimera.
Sebagai seorang imigran, Vintari justru terlihat begitu menggoda. Akan tetapi saat ini, Duncan tak tahu apa yang terjadi, yang pasti Vintari tak ubahnya terlihat seperti tahanan perang. Wajahnya terlihat tirus dan pucat pasi.
“Apa kabarmu, Petani Gandum?”
“Apa kabarmu, Petani Gandum?”
Vintari menggigil di tempatnya saat ini. Seharusnya ia menuruti perintah untuk membunuh Duncan setelah ia mencuri penawar virus D3V4. Kini pria itu pasti mencari apa yang telah Vintari curi. Namun wanita itu tidak memilikinya. Lalu apa? Duncan akan apa? Vintari berpikir seharusnya Kalimera melindungnya.
Semestinya Dean ada di sini dan tak ada orang asing menerobos masuk. Saat Vintari bergulat dengan pemikirannya sendiri, Duncan menarik kasar selimut wanita itu. Vintari terpekik dan sontak menutup tubuh bagian depannya dengan tangan.
“Aku sudah melihat semuanya,” ucap Duncan penuh hinaan.
“Aku sudah melihat semuanya,” ucap Duncan penuh hinaan
Kepala Vintari tertunduk. Baru kini ia menyadari betapa murahan perlakuannya dulu. dia seorang negosiator Kalimera dan harus berpura-pura menjadi perempuan murahan dan mencuri penawar virus. Vintari salah jika manusia bumi akan menyakitinya kelak, karena Duncan-lan yang akan membunuhnya.
“Aku tak memilikinya,” lirih Vintari. Pasrah jika Duncan tak mempercayainya.
“Aku tahu,” balas Duncan. “Untuk itu, aku ingin memilikimu.”
Kepala Vintari mendongak dan menatap mata biru Duncan
Kepala Vintari mendongak dan menatap mata biru Duncan. Secepat kilat ia mengambil senjata dari bawah bantalnya dan mengacungkan ke arah Duncan. “Pergi dari sini atau aku akan menyakitimu.”
Alis Duncan naik. “Wow, Petani Gandum-ku berubah jadi gadis nakal? Apa yang terjadi padamu?”
Vintari menarik pelatuk pistol yang mengeluarkan laser. Kepiawaian Duncan membuatnya berhasil menghindar, meski tangannya terluka karena terkena sinar laser itu. Duncan tertawa sumbang. Ternyata wanita itu hobi melukainya, tetapi Duncan semakin tergila-gila.
Duncan menarik seprai hingga membuat Vintari jatuh terlentang. Senjatanya menembakan ke segala arah dan saat posisi wanita itu di tepai ranjang, Duncan dengan mudah merebut dan membalikan posisi. Pria itu menodongkan pistol ke dahi Vintari.
“Bunuh saja aku,” ujar Vintari dalam kondisi tertekan.
Duncan seklias melihat pistol di tangannya. “Milik prajurit. Dari mana kau mendapatkannya? Biar kutebak. Mencuri setelah kau tidur dengannya.”
Satu pukulan Vintari layangkan ke arah Duncan, tetapi pria itu menangkisnya. Duncan membuang pistol iotu jauh-jauh lalu meladeni Vintari yang terus menyerangnya. Pria itu sedikit tak fokus karena Vintari begitu menggila, menyerang dengan tangan kosong dan tanpa busana. Setelah Duncan bosan menangkis segaal serangan Vintari, pria itu mengunci tangan Vintari dan membanting tubuhnya di kasur yang empuk.
“Aku merindukan kelembutanmu, Sayang. Tapi … tak apa jika kau ingin main kasar,” tutur Duncan yang membuat Vintari bertambah marah.
Tak rela disentuh Duncan lagi, Vintari menyerang pria itu lagi dengan perlawanan dari tenaga yang tersiksa. Lemahanya tubuh Vintari tak seberapa dibanding kekuatan Duncan yang begitu menginginkannya.
Vintari terengah saat posisinya kini tengkuap dengan kedua tangan ditahan ke belakang oleh Duncan. Sementara tangan Duncan yang lain menyentuh selangkangan wanta itu.
“Duncan, jangan! Kau menjijikan,” umpat Vintari. Sekuat tenaga menahan erangannya karena perbuatan tak senonoh profesor itu. Ngocoks.com
“Benarkah? Di Detroit City tampaknya kau menyukaiku. Biar aku ingatkan saat itu,” tekan Duncan.
Vintari menoleh ke arah belakang, menantikan apa yang terjadi. Namun, ia justru membenamkan wajah dalam bantal saat jemari Duncan lebih kasar di kewanitaannya. Wanita itu menggeliat dan mengerang tertahan.
Tak mungkin bertahan lebih lama, Vintari menegang dan melenguh panjang saat rasa terlarang itu menghanamnya. Isakan Vintari terdengar saat ia mengutuk dirinya yang begitu terangsang hanya dengan jemari pria itu.
Tubuh Vintari yang mulai lemas dibalikan oleh Duncan. Senyum pria itu terbit saat memposisikan dirinya di antara kedua tungkai Vintari. Menghirup aroma madu yang ia rindu. Tubuh Duncan menegang seperti sebuah rasa keramat akan ia terima saat ini. sementara Vintari mengerang lagi. Ia gelisah saat napas hangat Duncan membuatnya menggigil, secara bersamaan merasa curahan hangat mengalir dari dalam tubuhnya.
“Duncan,” cegah Vintari di atas ketidakberdayaannya.
Sebaliknya, suara serak itu bagai api yang membuat gairah Duncan kian membara. Tak menunggu lagi, Duncan mencecap nikmatnya manis madu yang rindu. Menghisap rakus sebelum gairah pupus. Meluapkan segala isi hatinya melalui bibir dan lidah dengan cara yang indah.
Erangan dan pekikan Vintari membungkam sudut ruangan. Tubuhnya gemetaran karena birahi yang meninggi. Tak seperti sebelumnya, apa yang ia lakukan dengan Duncan terasa salah hingga Vintari terlarang untuk menikmatinya.
“Aku merindukanmu,” ucap Duncan yang kini menindih tubuh wanita itu.
Mencium kasar bibir Vintari seakan esok ia tak bisa melakukannya lagi. Duncan mengabaikan penolakan wanita cantik di hadapannya. Sepanjang malam ia membawa Vintari dalam badai kepuasan yang melemahkan raga juga mengaburkan segala logika.
Duncan berulang kali mengerang karena dahaga akan sentuhan Vintari kini terpuaskan. Setelah malam ini, pria itu tak akan melepaskan Vintari. Sang pangeran telah menetapkan siapa yang akhirnya menjadi permaisuri.
Bersambung…