Dekapan hangat dan remasan tak senonoh di bagian terlarangnya, membuat Vintari membuka mata. Ia menoleh ke arah kanan dan melihat sosok tampan itu masih di sana. Pia dengan rambut pirang yang acak-acakan itu memberi Vintari tatapan penuh nafsu yang seakan tak berujung. Tangan Vintari menyingkirkan tangan Duncan seraya menggeram kesal. Ia berbaring miring ke kiri dan memeluk tubuh sendiri.
Sebaliknya, Duncan terkekeh geli. Wajah mengantuknya ditelusupkan ke ceruk leher Vintari. Tangan Duncan tak berhenti meraba tubuh polos di sampingnya. Seolah tuli, Duncan tak mengindahkan larangan Vintari dan malah mencium lembutnya kulit wanita itu di setiap inci.
“Ada apa denganmu? Saat di Detroit City, kau lebih menggairahkan.”
Vintari berbalik badan, memberi beberapa pukulan di dada pria itu, lalu menarik selimut untuk menutup tubuh telanjangnya. “Tutup mulutmu.”
Tawa Duncan lolos saat kalimat ketus itu terlontar. Ia membelai rambut cokelat Vintari. “Ayo, kita mandi.”
“Berhenti menyentuhku!” sentak Vintari saat Duncan mencoba meraih selimut wanita itu.
“Galak sekali,” ucap Duncan sebelum beranjak dari tempat tidur. Ia memerhatikan ranjang yang kusut berhiaskan darah Duncan dan bekas-bekas percintaan mereka. Duncan tersenyum miring saat teringat bagaimana ia menaklukan Vintari di bawah tubuhnya.
Setelah pria menjengkelkan itu masuk kamar mandi, Vintari beranjak dan memakai pakaian. Ia keluar kamar untuk menuju pintu keluar. Rasa panik menyerang saat pintu rumahnya tak mau terbuka. Sensor suara, wajah, bahkan kode untuk membuka pintu tak juga dikenali oleh pemindai. Vintari mengumpat ketika menyadari Duncan melakukan sesuatu pada rumahnya.
Vintari bergegas menuju alat komunikasi di bulan. Menyalakan layar datar dan menghidupkan mesin untuk menghubungi pihak luar. Sayang semuanya terkunci. Vintari mengerang frustrasi. Dengan napas tersengal ia berjalan ke loker penyimpanannya. Ia mengambil sebuah tabung yang berisi cairan bening. Salah satu senjata yang akan ia gunakan jika ia terancam di bumi.
Sedangkan Duncan yang sudah membersihkan diri dan mengobati luka di lengan kanannya, mengambil sebuah kimono hitam untuk menutup tubuhnya. Ia kembali ke kamar dan melihat Vintari berdiri waspada di dekat pintu kamar. “Kau ingin menggunakan kamar mandi? Aku tidak akan mengintip.”
Tak ada ekspresi yang Vintari tunjukan saat kalimat itu terucap. Wanita itu tetap siaga, menunggu Duncan datang padanya. Saat Duncan sudah beberapa senti di hadapannya, Vintari menyerang pria itu dan sebuah pukulan memalingkan wajah tampan Duncan.
“Ini caramu mengungkapkan rindu?” singgung Duncan.
Senyuman licik Vintari tersungging. “Bukan, tapi ini!” Vintari kembali menyerang dengan mengayunkan tabung itu ke arah Duncan.
Sigap, Duncan menangkis dan menyentak tangan Vintari hingga tabung itu jatuh. Saat Vintari akan mengambilnya, Duncan menendang keras hingga tabung itu pecah membentur tembok. “Kau mengotori kamar ini, Gadis Nakal,” geram Duncan sambil memegangi tangan Vintari.
Vintari menendang pria itu hingga ia dapat lolos. Secepat kilat Vintari mengambil pecahan tabung dan akan melukai tangannya. Harus Duncan atau dirinya yang mati. Ngocoks.com
“Hey!” seru Duncan sambil melempar sebuah hiasan dari kayu. Benda seukuran kepalan tangan manusia itu mengenai tangan kanan Vintari sehingga wanita itu menjatuhkan pecahan tabung yang akan ia gunakan untuk melukai diri sendiri.
Hal itu Duncan manfaatkan untuk meraih tubuh Vintari dan mendekapnya. Tangan kanan Duncan menahan kedua tangan Vintari di belakang tubuh wanita itu sementara tangan kiri Duncan meraih rahang bawah Vintari.
“Katakan padaku, apa itu?”
Mata Vintari nyalang menatap Duncan. “Persetan denganmu.”
“Apa mulutmu tak bisa mengucapkan kata lain selain namaku seperti semalam?” Duncan menyeringai.
Ketika Vintari meronta kembali, tangan Duncan menarik rambut wanita itu hingga wajah Vintari menengadah. “Aku lebih suka teriakanmu, tapi saat ini aku butuh jawaban.”
“Tetanus,” kata Vintari.
Dahi Duncan berkerut dan menelengkan kepalanya. “Mengapa kau menyerangku dengan virus tetanus … dan menyakiti dirimu sendiri?”
Satu hentakan membuat salah satu tangan Vintri terlepas dan meninju wajah Duncan. Pria itu mengerang beberapa detik lalu mendorong dan memepet tubuh Vintari ke tembok. Kedua tangan Duncan menahan kedua tangan Vintari di sisi wajah wanita itu.
“Tak ada yang aku inginkan selain menikmati tubuhmu tanpa jeda. Tapi saat ini aku lebih butuh penjelasan darimu, Vintari.” Kaki Duncan memaksa kaki wanita itu terbuka. Dengan tangan kirinya, Duncan menyentuh dan menggoda pusat kenikmatan Vintari hingga wanita itu menggelinjang menahan segala hasrat yang mulai datang.
“Di sini sangat menyenangkan tapi yang harus kau lakukan sekarang adalah, mandi sebelum mengatakan hal yang sebenarnya,” ujar Duncan lalu mengeluarkan jemarinya dari lipatan hangat wanita itu.
Dada Vintari naik turun karena napas yang tersengal. Perbuatan Duncan tadi sangat kurang ajar dan membuat dirinya hampir hilang kewarasan. Kini Vintari hanya mengeluarkan erangan protes saat Duncan menggendong tubuh wanita itu dan membawanya ke kamar mandi.
Duncan menurunkan tubuh Vintari saat berada di kamar mandi. Ada sebuah kotak kaca dan shower di dalamnya. Pria itu meninggalkan Vintari di sana. Masih saja ia ingat saat Vintari membersihkan diri di rumah Duncan, pria itu tak tahan untuk mengajaknya bercinta. Bukan Duncan tak ingin, hanya saja, saat ini ia harus menahan hasratnya.
Duncan keluar kamar dan menuju ruang komunikasi di rumah Vintari. Sebagai pangeran negara Alexandria, Duncan memiliki akses memberi perintah kepada seseorang untuk mencari informasi tentang Vintari. Hanya butuh hitungan menit, Duncan menerima berkas lengkap tentang wanita itu lewat sebuah file.
Pria itu seksama membaca tulisan di layar datar ruangan ini. Ia cukup terkesan karena Vintari mengambil pekerjaan sebagai negosiator negara Kalimera. Pekerjaan yang umumnya dilakukan pria karena cukup berbahaya. Ia menelan ludah dengan susah payah ketika membaca tentang siapa mantan pasangan wanita yang diinginkannya.
Merasa cukup dengan informasi yang dikirimkan oleh Salih Alam, Duncan kembali ke kamar Vintari. Duncan tak menemukan Vintari di sana dan merasa aneh ketika wanita itu tak kunjung keluar kamar mandi. Berjanji tak akan tergoda tubuh telanjang Vintari nanti, Duncan pun memutuskan untuk masuk ke kamar mandi.
Pria itu melangkah ke kotak kaca dan melebarkan matanya. “Vintari!”
Vintari sengaja mengunci kotak kaca itu hingga tak ada udara yang keluar masuk. Panasnya air dari shower membuat Vintari kekurangan oksigen dan mengerang kesakitan di dalam sana. Duncan mengumpat sebelum keluar dan mencari sesuatu untuk menghancurkan kunci kotak kaca itu.
Di dalam pakaian luarannya, Duncan mengambil senjata laser lalu kembali ke kamar mandi. Pria itu menembakkan laser hingga membuat lubang di pintu kotak kaca. Duncan segera membuka dan menarik tubuh wanita yang hampir melepuh itu keluar.
“Apa yang kau lakukan? Bodoh!” teriak Duncan lalu membawa tubuh tak berbusana Vintari ke kamar.
Ilmuwan muda itu keluar kamar dan membawa kopor yang ia bawa. Dengan tangan bergetar, Duncan memilih serum penghilang rasa sakit dan alat penyuntik. Ia kembali ke kamar dan segera memberi pertolongan pada Vintari.
Wanita itu menolak dalam kondisi lemahnya. Duncan sendiri semakin geram dan menyuntikkan dengan paksa cairan itu ke leher Vintari. Tubuh Vintari kejang seketika. Napasnya terengah-engah dan seluruh otot tubuhnya kaku sebelum lemas tak berdaya. Duncan segera mengambil selimut bersih dan menutup tubuh telanjang Vintari.
“Apa yang kau lakukan?” lirih Duncan sambil memeluk wanita itu.
Mengingat fakta bahwa dirinya tak diinginkan Raja Alexandria cukup menyesakkan hati Duncan. Namun kini, ketika untuk pertama kalinya ia menginginkan seorang wanita tapi Duncan ditolak, rasanya jauh lebih menyakitkan. Duncan merasa begitu tak berharga sebagai manusia.
“Biarkan aku mati,” bisik Vintari hampir dengan suara tak terdengar.
“Aku tak akan membiarkannya. Tak cukup jelaskah jika aku begitu menginginkan dirimu?”
“Aku tak bisa hidup sendirian, Duncan,” isak Vintari karena rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. Kulitnya yang hampir melepuh di seluruh tubuh karena suhu air panas ketika di kamar mandi mulai terasa pedih dan menyakitkan.
“Aku akan menjagamu,” yakin Duncan. Perlahan Duncan mengusap rambut basah Vintari dengan tangan kanannya. “Kita akan hidup bersama … di Alexandria. Aku akan menjadi pasanganmu untuk melindungimu.”
Vintari mengerang lebih keras ketika kesakitan mulai menggerogoti tubuhnya.
“Kau akan sembuh. Percayalah padaku,” janji Duncan.
Ia menundukkan wajah dan memberi kecupan begitu ringan di puncak kepala Vintari. Duncan keluar kamar dan menuju ke ruang komunikasi. Sebisa mungkin ia meminta penjaganya untuk mengirim sebuah kendaraan penyamaran. Kendaraan seperti sebuah mobil yang dapat terbang dan beberapa peralatan canggih di dalamnya seperti ruang pengobatan.
Sulit bagi pihak Alexandria membuat alat transportasi penyamaran. Sebuah mobil yang dapat terbang itu harus dikirim ke Kalimera tanpa terdeteksi sebagai pesawat asing. Akan tetapi, demi kembalinya sang putra mahkota tang siap mengemban tugas negara, Raja Alexandria pun menyiapkan permintaan putranya.
Kendaraan menyerupai mobil di bumi, tetapi dapat terbang dan dikendalikan jarak jauh tanpa seorang sopir di dalamnya. Mobil itu akan melintasi perbatasan Kalimera sebagai turis dan tak terdeteksi milik Pangeran Alexandria. Perjalanan itu membutuhkan waktu berjam-jam, membuat Duncan begitu resah menunggunya.
Empat jam berlalu dan Duncan hanya mengawasi Vintari yang tertidur karena pengaruh obat. Saat reaksi obat penenang itu mulai hilang Vintari terjaga karena rasa sakit yang ia dera. Duncan pun kembali mengambil obat penghilang rasa sakit lain yang ada di kopornya.
“Tinggalkan aku … pergi,” rintih Vintari saat melihat Duncan mendekatinya.
“Sebentar lagi kita akan pergi dari sini,” terang Duncan sambil menyiapkan sebuah suntikan penghilang rasa sakit.
“Apa yang kau inginkan?” desah Vintari mengerang panjang.
Dulu ia begitu takut mati. Kejadian yang menimpa Dean membuatnya hilang kewarasan dan memutuskan untuk bunuh diri. Ya, ia ingin mati. Bukan hidup tersiksa oleh luka begini. Ia jadi ingat Dean dan sakit di tubuhnya kian parah.
“Sudah jelas itu dirimu,” jawab Duncan yang naik ke atas ranjang.
“Kenapa?”
Duncan mengembuskan napas kasar. “Kau menyelinap ke rumahku, menggodaku dengan kemolekan tubuhmu, lalu menjebakku pada jenderal. Aku bahkan tak bisa menerima alasanmu melakukan semua itu demi dia.” Duncan menyuntikkan cairan bening itu ke leher Vintari sampai wanita itu menjerit.
“Ya, aku melakukan semua itu untuknya,” Vintari mengerang panjang karena reaksi penghilang rasa sakit justru lebih menyakitkan. Ia mengejar udara dan mengerang saat tenggorokannya terbakar.
“Semua itu sia-sia. Aku bahkan tak punya alasan untuk hidup.”
Ada amarah yang menyulut ego Duncan. Wanita di hadapannya rela berbuat gila bahkan mencoba bunuh diri demi seorang pria. Apakah Vintari tak tahu jika Duncan dapat lebih gila demi wanita itu.
Wajah Duncan menunduk, mencium bibir Vintari dengan rakus. Ia tak peduli Vintari sedang kesakitan. Membungkam mulut Vintari yang mendamba udara dengan ciumannya yang brutal.
“Sampai kemarin aku masih ragu. Sekarang aku yakin bahwa kau harus menjadi milikku.” Duncan menutup ucapannya dengan ciuman di pipi kanan Vintari sebelum pergi keluar.
Pria itu masuk ke kamar komunikasi dan meminta Salih Alam menyegerakan kendaraan yang datang. Duncan terluka saat wanita yang diidamkannya menolak mentah-mentah dan masih mengenang pasangannya. Jika selama ini Duncan lebih melepaskan apa yang seharusnya menjadi miliknya, kini pria itu akan mempertahankannya seseorang yang ia inginkan.
Butuh dua jam untuk kendaraan itu benar-benar terparkir di depan rumah Vintari. Tak membuang waktu, Duncan membawa tubuh Vintari yang terbungkus selimut ke dalam mobil terbang. Di sana ada sebuah tabung dan Vintari dibaringkan di dalamnya. Tabung penyembuh itu hanya butuh hitungan menit untuk membuat manusia kembali sehat.
Duncan hampir tak berkedip menatap tabung kaca di mana ada Vintari di dalamnya. Teringat sesuatu, Duncan kembali ke dalam rumah Vintari dan menghapus segala jejak di sana. Vintari dan pasangannya hanya akan menjadi cerita karena sosok wanita akan Duncan boyong ke negaranya. Vintari hanya akan menjadi permaisuri di Alexandria.
Empat puluh menit berlalu dan tabung penyembuh terbuka secara otomatis. Vintari duduk dengan perlahan lalu mencoba mengingat apa yang telah ia lalui. Kedua tangan Vintari menyapu wajah dan tak sengaja mengaktifkan alat komunikasi yang berbentuk anting-anting.
“Vintari,” sapa pria dari speaker anting-anting.
“Juan Daniel,” balas Vintari lirih.
“Aku mencoba menghubungimu, Nak. Kau mendengarku?”
“Ya.”
“Kau baik-baik saja?”
“Ya,” jawab Vintari yang sedang mencoba mengenali kendaraan itu.
“Aku bersyukur kau baik-baik saja. Sayangnya, Presiden Orion tak baik-baik saja. Ia dan Kalimera sedang terancam.”
Vintari tersenyum getir. “Di mana kau atau siapa pun saat Dean terluka?”
Juan Daniel tak segera menjawab. “Aku turut menyesal tentang Dean. Bukan hanya dia, banyak prajurit yang gugur. Kau bisa membalas kematiannya dengan membantu Kalimera.”
“Aku mengabdi kepada Kalimera. Dean juga. Lantas apa yang kalian lakukan pada Dean? Aku? Kau mengkhianatiku. Aku berikan penawar itu tapi kau membuat Dean menjadi pasukan perisai,” kesal Vintari. Hatinya kembali diremukkan ketika mengingat kematian Dean.
“Kalimera membutuhkan dirimu.”
“Maaf,” ucap Vintari dengan getir.
“Setidaknya lakukan ini demi Orion.”
Vintari hampir tertawa saat ia diminta berkorban untuk seseorang yang bahkan tak bersahabat dengannya.
“Dia saudarimu,” ungkap Juan Daniel yang membuat Vintari seakan lumpuh di tempat.
Bersambung…