Vintari tertawa sinis. “Kau memanipulasiku.”
“Sayangnya, tidak,” tegas Juan Daniel.
“Presiden Ellias begitu mencintai Kalimera, hingga ia tak ingin negeri ini dipimpin oleh manusia yang bukan berasal dari bibit unggul.”
“Apa maksudmu?” Vintari mengerutkan alisnya.
“Kau tahu setiap pasangan di Kalimera merencanakan anak mereka akan jadi seperti apa saat besar nanti. Dengan bantuan rekayasa genetik, akan menghasilkan bayi dengan bibit unggul. Sejak dalam kandungan, dokter akan memantau perkembangan janin agar kelak ia menjadi seseorang yang dicita-citakan orangtua.”
“Ibumu—Hiera—justru mengandung dengan cara alami. Kau lahir tanpa ‘keistimewaan’ apa pun. Presiden Ellias memaksa ilmuwan untuk membuatmu menjadi bibit unggul karena kau diharapkan menjadi presiden kelak.”
“Aku lelah dengan omong kosongmu,” potong Vintari.
“Datanglah padaku dan kau akan menemukan kebenarannya.”
“Kau akan dapatkan mayatku,” ancam Vintari.
“Hierra tak mengizinkan itu. Aku sendiri yang memalsukan kematianmu dengan alasan kegagalan biologis. Presiden Ellias tak tinggal diam, menyuruh Hierra hamil lagi dan menjadikannya bibit unggul, seperti Orion.”
“Tidak mungkin,” desah Vintari.
“Tidakkah kau menyadari, kau kebal sama seperti Orion. Lukamu lebih lekas pulih karena kau bibit unggul. Belum lagi kau yang mudah menghafal dan mengingat sesuatu, kau pandai memanipulasi orang, sehingga kau berprofesi sebagai negosiator. Kau menekan mereka dengan catatan riwayat hidup mereka yang mudah kau ingat dalam kepalamu.”
“Orion ….”
“Dia sudah tahu.”
“Apa?” Vintari semakin tak mengerti.
“Datanglah padaku. Aku akan menjelaskan semuanya.”
Juan Daniel memutuskan sambungan komunikasi. Vintari perlahan keluar dari tabung penyembuhan dan mulai mengamati sekitarnya. Sebuah mobil dengan desain canggih di dalamnya.
Vintari memeriksa layar dan membaca keterangan tentang kendaraan itu. Dia mengingat kendaraan ini tak pernah ada di Kalimera dan hanya orang tertentu yang memilikinya.
Vintari membaca segala intruksi di ruang canggih itu dan mulai mempelajari bagaimana menggunakannya. Gadis itu tercekat. Bagaimana bisa ia memahami mekanisme kendaraan ini hanya dengan membaca tulisan di layar datar itu? Sedikit, Vintari mulai mempercayai Juan Daniel.
Tangan Vintari juga cekatan mencari di mana penyimpanan pakaian di mobil itu untuk menutupi tubuh telanjangnya. Vintari mengambil benda yang dapat membuat segalanya berubah mulai saat ini. Wanita itu kembali duduk dan memerhatikan Duncan yang masuk dengan tatapan terkejut.
“Mengapa kau keluar dari sana?” Duncan mengerti pertanyaannya begitu konyol.
Tabung penyembuhan akan terbuka otomatis jika manusia di dalamnya dideteksi telah sembuh. Namun, Duncan yakin rentan waktu yang dibutuhkan masih beberapa menit lagi. Mengapa Vintari bisa sembuh lebih cepat?
“Tabungnya terbuka. Aku sembuh,” jawab Vintari dengan nada dingin.
Duncan membenarkan posisi duduknya. “Baiklah. Itu artinya kita harus segera ke Alexandria.”
“Mengapa kau memilikinya?”
Duncan tahu arah pembicaraan itu. “Pinjam.”
“Kau seharusnya tak berbohong pada wanita yang kau jadikan pendamping.”
Sepercik rasa bahagia membara di dada Duncan. Wanita ini mau diajaknya? “Milikku. Ehm … untukku. Nanti.”
“Duncan?”
Duncan melirik ke arah Vintari. “Aku pangeran Alexandria. Kau adalah wanita yang kupilih menjadi permaisuri.”
“Kau masuk wilayah Kalimera dalam penyamaran. Itu pelanggaran negara.”
“Aku tak peduli. Aku hanya menginginkanmu.” Duncan menentukan titik koordinat tujuan mereka. “Kekuasaan itu … aku tak menginginkannya. Mereka melepasku sejak aku masih bayi karena tak boleh ada dua pangeran di sana. Maka, selamanya aku enggan memegang kuasa di Alexandria.”
“Alasanmu mau kembali?” selidik Vintari.
“Kakakku melakukan pelanggaran. Dia diasingkan dan aku harus menerima tahta.”
“Maka memimpinlah dengan baik, Pangeran.” Vintari menembakkan senjata listrik pada tubuh Duncan.
Pria itu kejang seketika dan mengerang kesakitan. Napas kasar Duncan terengah-engah, wajahnya memerah, pria itu melihat Vintari di sampingnya dengan pandangan kabur.
“Mengapa mencintaimu harus sesakit ini?” erang Duncan.
Vintari membalas, “Seharusnya kau mengerti, aku tak pantas untuk kau cintai.”
“Kau tak mengenalku. Aku akan mencarimu hingga di ujung ketidakberdayaanku.”
“Hentikan!” bentak Vintari. “Dengar, aku bukan manusia yang hidup dengan roman picisan. Bahkan aku tak diajarkan bagaimana memiliki perasaan.”
Duncan tertawa mengejek. “Mereka menjadikanmu monster pembunuh?” Tawanya kian keras meski itu menyakitinya.
“Tak beda denganku. Aku pun harus tunduk pada peraturan. Tapi, aku manusia, Vintari. Aku memiliki otak dan hati. Tak akan kuturuti jika peraturan itu tak sesuai dengan prinsipku. Kau mau diperbudak negaramu? Ikutlah denganku. Kau menjadi pemimpin di sampingku,” mohon Duncan.
Keringat membasahi wajah Duncan. Tubuhnya mati rasa dan ia susah bernapas. Sesekali ia mengerang karena ngilu di sekujur tubuhnya kian jelas terasa.
“Pimpinlah negaramu. Biar kulindungi negaraku,” lirih Vintari.
Duncan menautkan alisnya tak mengerti. “Kumohon jangan berlari lagi. Aku tetap akan mencarimu. Tak pernah aku semenginginkan ini pada wanita.”
Vintari menghirup napas yang terasa sesak. Tangannya menodongkan senjata listrik itu pada kaki Duncan. “Aku harus melumpuhkan kakimu agar kau berhenti mengejarku. Selamat tinggal …, Pangeran.”
“Vintari. Tidak ….” Duncan menjerit saat sengatan ribuan volt listrik ditembakan pada kakinya. Kesakitan yang ia rasa membuat Duncan kehilangan kesadaran.
Vintari mengembuskan napas dan mengeluarkan isakan tanpa air mata. Beberapa detik menenangkan diri, Vintari memprogram perjalanan mobil terbang itu ke Alexandria. Ia segera keluar dan menyaksikan kendaraan itu terbang meninggalkannya.
Tak menunggu lama, melalui anting-anting yang ia kenakan, Vintari mengirim sinyal pada Juan Daniel. Ia berdiri di sana hingga sebuah kendaraan militer bulan menjemputnya.
Vintari masuk ke dalam sebuah kendaraan berbentuk kubus dan terbuat dari baja. Di dalamnya, sudah ada beberapa pria dengan senjata mengawalnya. Vintari tahu, setelah ini hidupnya tak akan pernah sama.
Hanya dalam waktu hitungan menit, Vintari sampai di sebuah lab rahasia. Ia pernah ke sini sekali, tetapi itu sebagai pelatihannya saja saat ia memegang senjata. Vintari mendatarkan ekspresi wajahnya saat bertemu pria yang mengkhianatinya. Ngocoks.com
“Kau melakukan yang terbaik dengan menyingkirkan Pangeran Duncan,” puji Juan Daniel.
Vintari tak heran. Mereka bisa melacak wanita itu dari alat yang ia gunakan sebagai perhiasan. “Kau mengatakan Orion sudah tahu tentang masa laluku.”
Juan Daniel menyuruh Vintari duduk di sebuah meja bundar dan dinding dalam ruangan itu adalah layar raksasa yang menujukkan beberapa rekaman video gadis kecil. Vintari mengerti, itu dirinya.
“Dia tahu. Itu sebabnya kau ditempatkan dekat dengan persembunyian Pangeran Duncan. Orion pikir, kau akan aman bersama Pangeran Duncan.” Juan Daniel mencibir. “Dia membuatmu pergi dari Kalimera agar terhindar dari virus. Tentunya kau tidak melakukannya bukan? Kau kembali demi virus itu. Kau layak memimpin sedangkan Orion, dia gegabah.”
Vintari bagai menerima lecutan lain tak kasat mata di tubuhnya. Setiap orang punya tujuan. Begitu juga dirinya. Vintari rela mengambil virus itu semata-mata demi keselamatan Dean.
Sedangkan Orion justru mengirimnya ke tempat yang jauh dari Kalimera agar Vintari tak tertular virus. Sementara pria di depan Vintari ini, dia begitu menginginkan kestabilan Kalimera. Vintari menarik satu kesimpulan.
“Apa yang harus aku lakukan?”
“Kalimera kalah armada dengan Detroit City. Namun, kita tak dapat membiarkan pernikahan antar dua negara. Jenderal Achilles tak berhak memimpin Kalimera.”
Juan Daniel berdiri, memberi tatapan menusuk pada Vintari, lalu berkata tanpa keraguan, “Bunuh dia.”
Bersambung…