Vintari akan keluar dari persembunyiannya, tetapi Rome dengan kuat menahan tubuh wanita itu. Rasa marah membakar tubuh Vintari saat pria kejam itu akan mencelakai adiknya. Orion tetap saudarinya dan Vintari tak akan membiarkan itu terjadi. Cukup Dean yang kematiannya tak bisa Vintari cegah.
Dengan patuh Vintari dituntun Rome kembali ke kamarnya melalui jalan lain. Mereka beruntung dapat kembali tanpa ketahuan. Rome pun meninggalkan Vintari di kamarnya dan menunaikan tugasnya sebagai penyusup di Detroit City.
Pada pertengahan malam, tidur Vintari terjaga. Sosok pria yang belakangan rutin mengunjunginya kini berdiri di dekat ranjang. Raut wajah Jenderal Achilles begitu dingin menatap tubuh Vintari yang tampak kecil di ranjang yang luas. Gerakan yang dibuat oleh Vintari terasa bagai godaan bagi sang jenderal.
“Mengapa tak kau bunuh saja aku?” tanya Vintari dengan suara serak. Pasrah tersirat dalam kalimatnya lantaran begitu enggan melayani penguasa Detroit City seperti malam-malam sebelumnya.
Langkah jenderal mendekat. “Aku tak membutuhkan tubuhmu jika kau sudah mati.”
Kalimat keji itu mendorong Vintari untuk bengkit lalu menyerang Jenderal Achilles dengan alat suntik. Tak benar-benar melukai Jenderal Achilles, tetapi ujung jarumnya menggores leher pria itu hingga menoreh sayatan kemerahan. Dengan sigap, pria itu membuang alat suntik dan mengunci pergerakan tangan Vintari.
“Tanganmu bisa saja kupatahkan. Namun, apa yang kau miliki justru lebih menyenangkan.” Jenderal Achilles menjatuhkan tubuh Vintari di ranjang.
Masih melakukan perlawanan, Vintari menendang kaki pria itu dan berusaha meninggalkan ranjang. Kaki Vintari tersangkut kain dan ia terjatuh ke lantai yang tak keras. Merangkak, Vintari memiliki naluri untuk menjauh dari pria kejam itu.
Namun hanya dengan satu tangan, sang jenderal membawa kembali tubuh Vintari ke atas ranjang kemudian menanggalkan pakaian wanita itu dengan paksa hingga koyak.
Tangis kekesalan Vintari mengalun saat tubuh telanjangnya tengkurap di atas ranjang dengan kaki yang direntangkan.
Tak seperti malam-malam sebelumnya–di mana jenderal memberinya serum teh agar Vintari merasa rileks, menyatukan tubuh dengan berhati-hati, tetapi kini jenderal ingin menunjukkan dominasinya. Kedua tangan Vintari meremas sprei di sisi wajahnya saat merasa pria itu di atas tubuhnya.
Tangan Jenderal Achilles menyibak rambut Vintari lalu menundukkan wajah—mengembuskan napas hangatnya di telinga wanita itu. “Sesungguhnya, orang yang kaupedulikan tidak artinya untuk kelangsungan hidupmu mendatang.”
Mulut Jenderal Achilles mengulum daun telinga kiri Vintari. Lenguhan Vintari lolos karena tak sudi. Tubuhnya bergerak di bawah kungkungan sang jenderal.
“Aku menyaksikannya, Vintari,” desis Achilles lalu memberi kecupan pada pipi Vintari.
“Ingin sekali aku menyaksikan wajah ketakutan pria itu ketika prajuritku melumpuhkan pesawatnya,” ucap Achilles.
Tubuh Vintari menegang. Jenderal sedang membicarakannya? Membicarakan Dean-nya?
Kedua tangan Jenderal Achilles menahan tangan kanan dan kiri Vintari agar tetap di sisi kepala. “Dia beberapa detik di udara. Mungkin berteriak meminta pertolongan, sebelum aku menembak pesawatnya hingga hancur.”
Kepala Vintari bagai dipukul batu. Tubuhnya seperti disetrum ribuan volt listrik hingga sakitnya membuat Vintari tak berdaya. Vintari memekik marah. Tubuhnya meronta tapi ditahan jenderal. Wanita itu kian berang saat mendengar kekehan puas jenderal.
“Kalian bahkan tidak bisa menemukan sisa jasadnya, bukan?”
“Aku akan membunuhmu, Achilles! Lepaskan aku!” teriak Vintari.
Jenderal Achilles semakin menyerang wanita itu dengan kecupan-kecupan di tubuh Vintari. Erangan tak rela Vintari terdengar saat bibir jenderal menyusuri tiap jengkal tubuhnya.
Wajah Vintari ditenggelamkan pada bantal lantaran wajah jenderal sudah pada bagian bawah tubuh wanita itu. Menyiksa dengan memberi rangsangan yang tabu untuk dicecap.
Isakan dan erangan Vintari kembali memenuhi ruangan saat pria tanpa perasaan itu menyatukan tubuh mereka. Menyetubuhi secara brutal dari belakang. Mata Vintari terasa kunang-kunang karena air mata dan sakit yang diterimanya secara fisik dan psikis.
Betapa ia merasa hina dilecehkan oleh pria yang membunuh sahabatnya secara keji. Vintari hampir kehilangan suaranya karena menangis sepanjang malam, disiksa dengan cara biadab oleh pria yang merencanakan pembunuhan pada adiknya.
Mata Vintari terasa berat dan ingin sekali terpejam ketika lelah menahan lara yang jenderal berikan padanya sepanjang malam. Hatinya selalu berharap kematian segera menjemputnya karena tak sanggup lagi mempertahankan hidupnya.
****
Langkah enggan Vintari ayunkan menuju ruang makan di istana Detroit City. Di sana, pria berseragam militer dengan aura gagah menunggunya. Wajahnya tampan dan senyum lebarnya membuat mata pria itu semakin mengecil. Vintari mual sekali memandangnya. Pria dengan segala keindahan fisik itu memiliki perilaku kejam dari makhluk paling mengerikan.
“Tinggalkan kami,” perintah Jenderal Achilles saat Vintari dipaksa duduk di dekatnya.
“Aku ingin sarapan denganmu untuk terakhir kalinya—setidaknya untuk sekarang,” terang Jenderal Achilles.
Vintari diam tak membalas. Tatapan matanya kosong. Ia seperti tak bisa mengontrol dirinya sendiri. Rasanya begitu lemas, tetapi ia mampu duduk dan berjalan.
Selama berada di Detroit City, jenderal mengunjunginya hampir tiap malam untuk menikmati tubuh wanita itu. Ingatan Vintari beberapa hari yang lalu, Jenderal Achilles menyuruh prajurit membawa Vintari ke sebuah laboratorium. Tak ada yang Vintari ingat selain dipaksa dibaringkan di meja dan diberi obat bius.
Vintari tak merasakan apa pun saat ia bangun di tempat tidurnya. Tak tahu apa yang terjadi. Sama sekali tak ada informasi berapa lama ia tak sadarkan diri. Saat seorang prajurit wanita datang memberinya suntikan serum gizi, Vintari menebak Rome tak selamat.
“Gandum. Kau teringat sesuatu?” singgung Jenderal Achilles saat mengambil pisau dan garpu lalu mulai menyantap gandum yang diolah menjadi roti. Ngocoks.com
Setelah menelan makanan di mulutnya, pria itu menatap Vintari. “Kumohon jangan mengingat pria itu. Dia tak akan lama menjabat sebagai putra mahkota.”
Mengerti yang dibicarakan adalah Duncan, Vintari mengambil pisau roti, dan bangkit untuk menyerang jenderal. Sedangkan jenderal sendiri menangkis serangan itu, mendapatkan luka lecet di pergelangan tangannya sebelum berhasil membuang pisau itu. Tangan jenderal menahan tangan kanan Vintari lalu mencengkeram leher jenjang wanita itu dengan tangan kirinya.
“Aku akan melepaskanmu.”
Menangkap kebingungan Vintari, jenderal menyeringai. “Ada bom di kepala cantikmu dan detonatornya ada padaku. Sekali kau membuat kacau, bomnya akan kuledakkan. Berani lari dariku, kepalamu pun akan hancur. Daripada berbuat konyol, persiapkan dirimu untuk memimpin negara.”
Jenderal menghempaskan tubuh Vintari hingga wanita itu kembali ke kursi. Sementara Vintari menatap wajah jenderal yang berdiri menjulang di hadapannya. Matanya berair, kekesalan di hatinya begitu memuncak.
“Aku akan membunuhmu, Achilles. Aku bersumpah kau tak bertahan lebih lama.”
Kekehan kecil keluar dari mulut Achilles. “Jika kau membunuhku, kau tak akan mendapatkan apa pun. Tapi, jika aku menyingkirkan Orion, kau berkuasa.”
“Bajingan!” umpat Vintari.
Dengan mudah, Achilles menangkap kedua tangan wanita itu. Membungkamnya dengan ciuman rakus sampai Vintari melenguh sebagai permohonan agar ia berhenti. Senyuman puas Achilles terbit.
“Aku rindu mulutmu yang menyenangkanku,” tutur Achilles dengan nada dingin sebelum meninggalkan Vintari dalam kehampaan tak bertepi.
Bersambung…