“Silakan kopi, Anda,” suguh seorang wanita bermata kecil dan kulitnya kuning cerah. Bibir tipis wanita itu menyunggingkan senyum hormat kepada presiden wanita di hadapannya.
“Terima kasih,” jawab Presiden Orion kepada asisten pribadinya. Wanita berambut cokelat terang itu menyentuh cangkir yang berisi cairan bening. Di bulan, hampir semua makanan memiliki nama seperti di bumi, tetapi tampilannya berbeda. Kopi di bulan misalnya, berbentuk cairan bening meski aroma dan rasanya tetap seperti kopi pada umumnya.
“Ohh …,” rintih asisten Orion. Wanita itu memegang dada lalu terjatuh.
Presiden Orion segera berdiri dan melangkah mundur. “Ada apa Hiro? Kau kenapa?” tanya Orion. Dia bingung dan memanggil para penjaganya.
Beberapa orang masuk ke kamar Orion. Salah satunya mengamankan Hiro dan ketiga pria dari penjaga itu melindungi presiden mereka. Kecemasan kembali melingkupi mereka saat salah satu penjaga mengalami kesakitan yang sama seperti Hiro.
“Bawa presiden pergi dari sini!” seru kepala keamanan presiden. Pria itu segera menghubungi tim lain untuk menetralisir keadaan.
Ketika para penjaga itu membawa presiden keluar, mereka berpapasan dengan tim lain yang akan mengamankan istana. Kericuhan tak dapat dihindari ketika separuh tim tersebut justru terjatuh seperti terserang sesuatu yang tak kasat mata. Presiden Orion menjerit saat kepala keamanannya ikut terjatuh dan mengeluh kesakitan.
“Murray! Ya Tuhan, ada apa ini?!” Orion sampai menangis saat melihat beberapa orang tiba-tiba sekarat di sekitarnya.
“Pergilah, Bu Presiden.” Suara Murray tercekat. Pria berkulit putih itu menyerahkan sebuah mini card kepada penjaga lainnya yang nanti akan digunakan sebagai akses membuka ruang pribadi presiden.
Baru beberapa langkah presiden dan para pengawal meninggalkan Murray, satu-persatu pengawal tumbang. Presiden Orion berlari dengan air mata yang tak terbendung hingga sampai ke lift menuju ruang pribadinya.
Wanita cantik yang kini panik itu menyentuh layar datar dan memasukkan kode keamanan. Belum juga pintu lift terbuka, kepala presiden wanita itu terasa nyeri bukan kepalang. Diapun jatuh pingsan setelah pintu lift terbuka sepenuhnya.
“Dean, kau gila!” seru seorang wanita lantas mengurai tawa. Kedua tangannya berusaha keras menyingkirkan kepala pria yang tengah berada di antara kedua pahanya. Wanita itu merengek manja saat sang pria menggoda area pribadinya hingga kenikmatan diraih wanita itu.
“Aku tahu kau menyukainya,” balas Dean seraya tersenyum puas dan menatap wajah wanita itu. Kini tubuh Dean menindih makhluk tercantik yang pernah ia lihat lalu memberikan ciuman lembut. “Aku mencintaimu, Vin,” bisik Dean.
“Aku lebih mencintaimu,” balas Vintari dan menatap mata cokelat Dean lekat-lekat.
Hanya beberapa detik mereka saling menatap hingga keduanya tertawa lepas. Mereka saling membual. Yang sebenarnya terjadi adalah hubungan mereka sebatas permainan ranjang.
Vintari yang berprofesi sebagai negosiator negara, berteman baik dengan Dean yang seorang prajurit istana. Hubungan intim yang mereka lakukan sudah berjalan sejak satu tahun yang lalu tanpa perasaan cinta.
Kini Vintari menggeram sebal saat mendengar dering ponsel Dean. Dia hafal dengan nada panggilan itu yang berarti dari istana. Sedangkan Dean tertawa dengan reaksi sahabat cantiknya. “Aku harus kembali bertugas.” Dean bergegas memakai kembali seragamnya.
“Menyebalkan! Kau lebih memilih Orion daripada aku,” rajuk Vintari. Wanita berambut cokelat gelap itu bangkit dan duduk di tepi ranjang.
“Bukan dia, tetapi negara,” ralat Dean lalu tertawa lagi. Setelah selesai berpakaian, pria itu mendekati Vintari. “Jangan keluar malam. Bernegosiasi dengan teroris di perbatasan selama tiga hari pasti melelahkan bagimu. Aku tak ingin kau sakit.” Dean mengecup kening sahabatnya.
“Itu sudah tugasku.”
“Kau bisa mencari pekerjaan lain, Vin,” tekan Dean. Pria itu memang tak suka profesi Vintari. “Kau tak tahu aku begitu mencemaskanmu.”
“Menjadi terlalu protektif, ya?” singgung Vintari saat Dean hampir mencapai pintu kamar.
Pria itu mengentikan langkah lalu berbalik dan menatap Vintari yang tubuh telanjangnya tak tertutup selimut. “Aku peduli padamu, Vin. Kau ini seorang wanita. Untuk apa melakukan pekerjaan yang berbahaya? Apa yang sedang kau coba buktikan? Atau siapa?”
Vintari menghela napasnya. Ia tahu jika mereka membahas tentang pekerjaan pasti akan berakhir dengan pertengkaran. Wanita itu tak ingin Dean pergi dengan kondisi kesal. Dia mengenakan piyama lalu menyusul sahabatnya yang sudah kelur kamar.
“Dean, maafkan aku!”seru Vintari. Wanita itu setengah berlari ke arah garasi tempat Dean akan mengambil mobilnya.
Sebelum Dean masuk ke mobil, pria itu justru menghampiri seorang penjaga yang sedang kesakitan. “Kau baik-baik saja?” tanya Dean.
“Dean! Ada ada ini?” Vintari mendekati Dean yang memegang tubuh penjaga yang terlihat sekarat.
“Mundur, Vin,” perintah Dean yang masih tak mengerti. “Mundur, kataku!” seru Dean ketika Vintari justru semakin mendekatinya. Kini Dean mengalami napas yang sesak dan kepalanya berdenyut nyeri. Pria itupun jatuh lemas di sisi penjaga yang sudah lebih dulu kehilangan kesadarannya.
“DEAN!” jerit Vintari.
Vintari menatap sedih pada sebuah tabung kaca di mana Dean terbaring koma di dalamnya. Tak seperti di bumi, alat penunjang kehidupan di bulan cukup sebuah tabung kedap udara yang akan memberi energi mikro dari dalam. Butuh waktu lima hingga sepuluh menit untuk menyembuhkan luka seseorang. Namun, Dean dan beberpa orang di Kalimera sudah koma hingga dua bulan lamanya.
“Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini, Dean. Tapi, aku takut menghadapinya seorang diri. Kau tahu, berhadapan dengan teroris yang menodongkan senjata ke arah wajahku tak seberapa menakutkan dibanding melihatmu terdiam seperti ini.”
Hati wanita itu terasa diremas. Ia menyesalkan setiap kata-kata Dean untuknya agar menjaga diri. Namun, kini justru pria itu yang tidur seperti orang mati.
“Siapapun yang melakukan ini, akan kubalas. Akan kulakukan apapun untuk membuatmu sembuh.” Vintari melangkah maju. Tangannya menyentuh tabung kaca dan air mata tak dapat ia tahan lagi.
Pintu ruang perawatan terbuka secara otomatis saat ada seseorang melewati sensornya. “Nona Vintari,” panggil seorang pria bersuara berat.
“Ya?” sahut Vintari tanpa menoleh.
“Mari ikut aku. Presiden Orion menunggumu di istana.”
Vintari memang bekerja sebagai negosiator negara. Namun, baru kali ini ia diminta langsung oleh sang presiden. Tanpa banyak tanya, Vintari mengikuti pria itu untuk pergi ke istana tampat presiden Kalimera berada.
***
“Virus itu kami sebut D3V4. Diciptakan oleh pemberontak bernama Fachrein.” Presiden Orion menyentuh layar dan muncul sebuah hologram wajah seorang pria. Beberapa gambar tentang aktivitas pria itu tergambar dengan jelas.
“Fachrein tadinya seorang pembuat paket nutrisi. Dia berasal dari negara Kashmir dan tak mendapat respon yang bagus di sana. Dia pindah ke Kalimera secara legal dan menawarkan produk yang sama. Seperti di Kashmir, warga di sini tak terlalu menyambut baik penemuannya.” Orion menjeda kalimatnya dengan menatap satu per satu orang di ruangan itu.
“Seperti yang pernah dilakukan para nenek moyang kita di bumi, Fachrein juga melakukan persaingan dagang. Dia mempelajari paket nutrisi yang dijual oleh warga Kalimera lainnya. Dia tahu beberapa paket nutrisi itu mengandung zat kafein dengan kadar tinggi hingga berbahaya jika disuntikkan ke dalam tubuh dalam dosis tertentu,” terang Orion. Dia kembali menyentuh layar dan nampaklah sebuah diagram.
“Virus D3V4 akan menyebar melalui udara, sentuhan, dan bertukarnya cairan tubuh. Manusia dengan kadar kafein tertentu di tubuhnya akan terjangkit, lalu koma, bahkan meninggal.” Tangan Orion menekan layar. “itu skema penyebaran virus.” Tampak sebagian besar Kalimera sudah terjangkit. “Dan bagian yang berwarna hijau adalah banyaknya warga yang koma.”
Orion kembali memandang orang-orang di ruangan itu yang menatap serius ke arahnya. “Sepertiga warga Kalimera sudah koma. Mungkin virus ini sudah menjangkiti kita semua. Hanya saja, sistem kekebalan tubuh dan jumlah kafein yang terdapat dalam tubuh kita mempengaruhi reaksi virus D3V4. Dua bulan yang lalu, aku terjangkiti virus tersebut. Namun, aku kebal.”
“Konyol sekali. Hanya karena warga menyukai kafein tinggi dan Fachrein tak menjualnya, dia tega menyebarkan virus hingga banyak korban berjatuhan karenanya. Dia gila,” umpat Vintari. Sedetik kemudian ia menyadari kesalahannya. “Maafkan ucapanku, Bu Presiden.”
“Kau tak sepenuhnya salah,” tutur Orion. “Dia mengalami tekanan mental dan haus akan pengakuan. Ditambah, istrinya pergi karena tak pernah dipuaskan.”
Tawa Vintari pecah. Dia memilih untuk tertawa saat ini karena ia menyimpan tenaganya untuk memenggal kepala Fachrein nanti. “Maaf, semuanya,” sesal Vintari lagi saat orang-orang menatapnya.
“Sepertinya negara kami yang nantinya akan direpotkan oleh virus itu,” ujar seorang pria dengan wajah tampan tak terkira. Tubuhnya gagah perkasa. Tatapan matanya pun sangat mengintimidasi.
Dialah jenderal Achilles. Pemimpin negara Detroit City yang terkenal kejam dalam setiap peperangan. Armada perang Detroit City sangat sulit ditaklukkan. Namun, di sektor lain tak sehebat perangkat militer mereka. Oleh sebab itu, perekonomian Detroit City tak semaju Kalimera karena rakyat yang dipimpin jenderal Achilles tak hidup makmur jika mereka bukan dari kalangan militer.
“Untuk itu aku mewakili Kalimera mengundangmu kemari dan bernegoisasi,” balas Vintari yang menatap jenderal itu sekilas lantas kembali memandang sang presiden. Setelah Presiden Orion mengangguk pertanda Vintari dapat melanjutkan, wanita berambut cokelat gelap itu menoleh ke arah jenderal yang mamandangnya dengan pandangan berbeda.
“Kami sudah melakukan tindakan isolasi dengan mendirikan perisai di perbatasan Kalimera, agar virus itu tak menyebar ke negara lain. Namun, perisai itu tak dapat bertahan lama. Mengingat warga Detroit City aku pastikan memiliki kadar kadein tinggi dan Detroit City paling dekat dengan negara kami, satu bulan kemudian perangkat militer kalian akan habis.”
“Singkatnya, Nona,” potong Jenderal Achilles.
Senyum Vintari tersungging. “Kalimera membutuhkan serum penawar buatan ilmuwan dari negeramu, Jenderal. Sebagai imbalannya, kami akan membantu perekonomian Detroit City setahun ke depan,” tawar Vintari dengan pasti.
Darah Jenderal Achilles mendidih. Dia tahu wanita bertubuh kurus itu sedang bernegoisasi. Namun, sang jenderal tak kenal perintah. Semua berjalan atas kehendaknya, bukan seorang negosiator yang wajahnya lebih sedap dipandang daripada mulut pintarnya yang mengeluarkan kata-kata memekakkan telinga.
“Aku ingin Detroit City dan Kalimera bersatu … ditandai dengan pernikahan para pemimpinnya.”
Senyuman Vintari kembali merekah. “Sayang sekali, Jenderal. Kami menawarkan kerjasama bilateral, bukan mak comblang.”
“Lancang sekali kau!” bentak Jenderal Achilles dan berdiri dari kursinya hingga semua orang di ruangan itu siaga.
“Aku ingin privasi,” tekan Jenderal Achilles seraya menatap tajam ke arah Presiden Orion.
“Seperti yang aku katakan di awal tadi, aku nego—” ucap Vintari dan terpotong.
“Aku tidak bicara padamu.” Jenderal yang tadi menatap marah ke arah Vintari kini memandang Orion. “Tapi, pada presidenmu.”
Mendengar hal itu, Orion meradang. Ia terpaksa keluar dari ruangan rapat para petinggi negara dengan kaki dihentakkan dan sang jenderal mengikutinya. Mereka masuk ke ruangan lain hanya berdua saja. Setelah mendengar jenderal menutup pintu, Orion meluapkan kekesalannya.
“Aku tak suka jika kau memerintah di wilayahku, Jenderal. Aku yang berkuasa di sini. Kau ….”
Orion terkejut karena lengannya ditarik paksa dan ketika ia berbalik badan, tubuh bagian depannya sudah jatuh di pelukan Jenderal Achilles. Jantung wanita itu berdetak kencang, napasnya cepat, dan cemas menantikan apa yang selanjutnya terjadi. Ia tak berdaya di bawah intimidasi Jenderal Achilles.
“Diamlah, Orion. Kau sudah bicara terlalu banyak,” ungkap Achilles lalu membungkam Orion dengan bibirnya.
Suara Orion memekik dalam ciuman mereka. Wanita itu meronta, tetapi Achilles tak jua melepaskannya. Ciuman mereka kian menggelora hingga lutut Orion lemas. Ia tak melakukan hal lain lagi selain membalas cumbuan kasar Achilles dan menikmatinya.
“Aku … aku tak menyangka kau melecehkanku seperti ini,” geram Orion, tetapi tak lama karena Achilles menguasai bibirnya lagi. Ngocoks.com
Kedua tangan Achilles merengkuh erat tubuh presiden wanita itu. Ia kesal dengan yang telah terjadi dan melampiaskannya dengan mencium Orion layaknya manusia yang butuh udara. Pria itu menjauhkan wajah dan melihat Orion yang terengah napasnya.
“Aku tak peduli jika setelah ini Kalimera menyerang Detroit City. Aku tak mengelak jika kau membunuhku nanti. Segala yang kuinginkan adalah memilikimu, Orion.” Pelukan Achilles mengendur dan membuat Orion melepaskan diri.
Dengan jarak satu meter mereka saling menatap. Sama-sama mengejar udara. Hasrat keduanya semakin membara, tetapi ditekan oleh harga diri masing-masing.
“Setelah Detroit City, separuh hidupku hanya ingin kuhabiskan bersamamu, Orion,” ungkap pria itu sebelum pergi meninggalkan sang presiden wanita dengan sikap dingin.
Sementara itu Orion mengusap bibirnya. Tangan lain Orion menyentuh dada dan menetralkan detak jantungnya. Ia mengerang, memejam mata, dan menggeleng cepat untuk memudarkan bayangan wajah Achilles yang mengganggunya.
“Tidak. Aku tidak mungkin jatuh cinta pada Jenderal Achilles,” kilahnya.
Bersambung…