Mata Vintari mengerjap. Ia melihat cahaya terang menyinari tubuhnya yang terlentang di atas meja penyembuhan. Mulutnya mengeluarkan rintihan lalu mencoba untuk bangkit. Tubuh wanita itu terjatuh dan ia menjerit kesakitan karena luka di tubuhnya makin menganga.
“Dean,” lirih Vintari. Air matanya menetes saat mengingat temannya yang sedang koma karena virus D3V4.
“Dia selamat.” Suara seorang pria yang membuat wajah Vintari mendongak.
Mata Vintari melebar saat melihat Juan Daniel di hadapannya. Berdiri angkuh tanpa mau menolong wanita cidera itu. “Di mana dia?”
“Dean bersama kami. Kau berhutang pada negara, Nona Vintari.”
Vintari tertawa getir. “Aku tak berhutang apapun pada kalian. Aku bisa menyelamatkan Dean seorang diri. Kalian berengsek,” umpat Vintari lantas merintih lagi.
“Kau bisa mati di sini dan Dean akan segera menyusulmu. Atau, saat ini juga kami akan membawamu ke Detroit City dan lakukan tugasmu. Kami sudah menghapus datamu sebagai negosiator negara. Profesimu saat ini menjadi petani gandum,” terang Juan Daniel.
Vintari tertawa lagi lantas menggeram murka. “Keparat kau,” lirihnya tak berdaya. Juan Daniel menyimpan senyum saat wanita muda keras kepala di hadapannya akhirnya setuju juga.
***
Petani gandum di bulan berbeda dengan di bumi. Karena manusia bulan hanya membutuhkan paket nutrisi—seperti serum yang disuntikkan ke tubuh sebagai makanan—maka gandum hanya dikonsumsi oleh orang-orang kalangan atas sekelas raja atau presiden. Para petani gandum bagai orang suci. Mereka tak pernah ikut campur urusan politik, militer, bahkan perekonomian negara. Mereka menjadi kaum terlemah, tetapi sangat dilindungi.
Saat ini Vintari bersama beberapa imigran gelap lainnya sampai di perbatasan Kalimera. Mereka dapat keluar dengan selamat atas bantuan petugas perbatasan yang berkomplot dengan ketua imigran. Untuk mencapai Detroit City, mereka harus berjalan melewati sebuah terowongan agar tak terpindai oleh satelit.
Satu persatu orang dari dalam lorong keluar dan menatap langit di kawasan Detroit City. Para imigran dari berbagai usia dan jenis kelamin bergerak cepat menuju perisai yang tak jauh dari perbatasan. Perisai yang dipasang oleh pemerintah Detroit City dapat menyensor orang-orang yang berkafein tinggi dalam tubuh mereka dan akan terbunuh jika melewatinya.
“Ayo, lewati perisai itu,” perintah ketua imigran. Dia seorang pria berusia tiga puluhan yang berbadan tinggi besar.
Beberapa imigran terlihat ragu. Mereka takut perisai itu akan membunuh mereka. Beberapa hanya saling berpandangan takut untuk bergerak.
“Perisai ini hanya bereaksi saat kalian memiliki kadar kafein tinggi. Dan jika kalian berkafein tinggi, kalian sudah terjangkit virus. Kalian di sini karena kalian kebal. Ayolah,” ajak pria itu lagi. Untuk meyakinkan para imigran, pria itu mengulurkan tangan melewati perisai dan perisai itu tak berpengaruh padanya.
Satu orang memberanikan diri berjalan dan melewati perisai dengan aman. Lainnya menyusul, tetapi pada orang keempat, perisai itu seperti menyetrumnya. Orang tersebut terkapar dan nyawanya tak tertolong. Beberapa imigran yang tersisa mundur ketakutan. Satu warga lain nekat melewati perisai dan ia selamat.
“Ayo! Abaikan dia. Kalian belum tentu mati sepertinya,” ajak pria itu kepada imigran yang tersisa.
“Kau berbohong, Drew!” teriak salah satu imigran di samping Vintari.
Seperti tak punya harapan lagi, Vintari maju dan melewati perisai itu tanpa hambatan. Di luar dugaan, satu satelit milik Detroit City melintas. Mereka menembaki dengan laser ke arah para imigran. Beberapa imigran lari tunggang langgang dengan jerit ketakutan mereka. Sebagian kembali ke terowongan dan beberapa nekat melintasi perisai. Orang-orang yang melintasi perisai pun ada yang selamat, ada pula yang tersetrum hingga mati.
Vintari terus berlari bersama imigran selamat lainnya lalu menunggang sebuah kendaraan bulan yang berbentuk kubus. Dengan kecepatan yang hanya hitungan menit, kubus itu membawa mereka ke pusat kota. Para imigran berpencar untuk mencari suakanya masing-masing.
Sementara Vintari sendiri sudah kehilangan banyak darah. Ia memasuki sebuah gedung dari pintu belakang. Kaki Vintari sudah sangat terbakar karena ia tak memakai alas kaki. Wanita itu membobol sebuah pintu yang kuncinya hanya menggunakan tablet yang memiliki layar datar dengan sebuah lempeng besi. Berjalan dengan terhuyung, Vintari masuk ke dalam sebuah gudang yang berisi perkakas bekas.
Di sisi lain, mata biru seorang pria muda nyalang ke langit-langit kamarnya. Ia mendengar suara aneh dari gudang belakang, tetapi ia ragu jika ada penyusup. Pria bertubuh atletis dan memiliki rambut warna pirang itu mengendap-endap keluar kamar. Ia mengambil tongkat besi karena tak memiliki senjata laser. Mata biru pria itu menatap tajam ke arah kegelapan.
Sesampainya di gudang belakang, ia mengayunkan besi itu ke arah sumber suara setelah menyentuh sensor lampu. Namun, sedetik pria itu membeku melihat makhluk yang setengah berbaring di lantai. Seorang wanita yang hanya memakai satu helai kain yang dililitkan sedemikian rupa hingga menutupi payudara dan kewanitaannya saja. Ia cantik bagai dewi, tetapi kondisisnya begitu kotor seperti habis keluar dari kubangan lumpur.
“Kau pencuri?” desak pria berambut pirang itu.
Vintari mendongak dan memandang pria berambut pirang yang tak memakai atasan hingga dada bidangnya terpampang. Wajah tampannya begitu waspada dan mata birunya membuat wanita itu terbius beberapa detik. “Aku belum mencuri apapun.”
Pria itu menyeringai saat mendengar jawaban yang tak ia sangka. Namun, senyumnya memudar saat melihat luka di tubuh wanita itu. Ia membuang tongkat besinya lantas berjongkok menatap wanita yang sudah mencuri perhatiannya dengan waspada.
Saat tangan pria itu terulur dan menyingkap kain di tubuh Vintari, Vintari melayangkan tangannya untuk melukai pria itu. Dengan gerakan sigap, pria itu menangkap dan memelintir tangan penyerangnya hingga tubuh mereka saling menempel. “Kau di sini untuk membunuhku?” tanya pria itu.
“Aku akan membunuhmu dan mereka yang telah membunuh keluargaku,” ujar Vintari lalu mencoba melawan pria yang mengungkungnya. Saat Vintari berhasil berdiri, pria itu kembali menyerangnya dan Vintari yang terluka tak dapat menghindar. Tubuh bagian depan wanita itu dihempaskan ke sebuah meja dengan kedua kaki yang masih berdiri.
“Kenapa kau ingin membunuhku?”
“Karena kau pasti akan menyakitiku,” jawab Vintari yang meronta. Ia tak dapat bergerak karena tangannya ditekan pria itu di belakang punggung.
Terdengar suara tawa mengejek dari sang pria. “Kau yang menerobos tempat tinggalku, Nona. Kaulah yang ancaman.”
“Wanita terluka adalah ancaman bagimu? Tak kusangka kau selemah itu,” balas Vintari.
Pria itu menarik kedua tangan Vintari agar wanita itu berdiri kembali. Lagipula, pemandangan wanita menungging di hadapannya membuat pikiran pria itu kacau. “Supaya adil, aku harus memastikan seberapa bahayanya dirimu.” Pria itu menarik kain di tubuh Vintari hingga tubuh polosnya yang penuh luka menjadi sebuah pemandangan berbeda bagi sang pria.
Perlahan Duncan berlutut di hadapan Vintari dan memerhatikan luka yang mengangan di perutnya. Sedangkan Vintari merasa malu luar biasa karena wajah pria asing itu tepat di depan kewanitaannya. Selama ini hanya Dean yang menyentuh tubuhnya dan wanita itu bukan jalang yang mampu menerima sentuhan sembarang pria.
“Bagaimana kau mendapatkan ini?” tanya Duncan sambil mendongak.
“Bi-bisa kau menyingkir dari sana?” Sudah cukup! Vintari hampir runtuh pertahanannya. Napas pria itu menyapa kulit telanjangnya dan membuat getaran aneh di bagian sensitifnya. Wanita itu mulai resah jika saja Duncan menangkap bagian tubuh lain Vintari mulai mendamba.
Seringai Duncan terbit di wajah tampannya. Tanpa bertanya, ia menggendong Vintari dengan kedua tangan kekakrnya. Saat kesakitan itu kembali datang, mata Vintari terpejam dan menelusupkan wajah di dada bidang Duncan.
“Kau tak seberbahaya itu. Aku akan menolongmu,” ujar Duncan.
Pria itu membawa Vintari ke sebuah ruangan pengobatan. Ia menyalakan lampu tepat di atas tubuh telanjang Vintari. Mempersiapkan segala yang dibutuhkan, Duncan pun kembali mendekat ke arah meja.”
“Siapa namamu, cantik?”
Vintari ingin mendengus, tetapi rasa sakit mengalahkannya. “Vintari.”
Untuk mengetesnya, Duncan mengambil sebuah alat berbentuk layar pipih dan mengarahkan pemindai ke wajah dan tubuh wanita yang kesadarannya mulai mengikis. Ia tersenyum puas saat alat itu menampakan identitas Vintari. Meletakkan alat pendeteksi identitas, Duncan mengambil benda berbentuk tabung sebesar pena dan berwarna hitam.
“Dengar, kau tak punya barcode di tubuhmu, jelas kau bukan warga negara Detroit City. Karena itu, aku tak dapat membawamu ke rumah sakit. Aku akan mengobatimu,” terang Duncan sambil menunjukkan tabung kecil itu.
“Ini akan sedikit sakit,” ucap Duncan yang menundukkan tubuh sambil mendekatkan alat itu ke luka Vintari.
“Tunggu,” cegah Vintari. “Kau akan mengobatiku secara manual? Oh, bunuh saja aku!”
Di negera Kalimera, pengobatan dilakukan dengan lebih canggih. Orang yang sakit dibaringkan dalam sebuah tabung besar dan setelah kaca penutup tabung ditutup, seorang petugas kesehatan mengatur alat itu bekerja menyembuhkan sakit yang di derita. Tak ada rasa sakit sama sekali. Gelombang-gelombang listrik yang masuk ke dalam tubuh bahkan tak terasa menyengat. Dalam hitungan menit, orang akan merasa sehat.
Namun, pengobatan manual adalah menyalurkan energi listrik dari tabung yang dipegang Duncan, yang mana akan menimbulkan rasa pedih, sensasi terbakar, bahkan sengatannya membuat sakit kepala. Vintari bergidik ngeri, sementara Duncan tersenyum menenangkan yang sama sekali tak membantu.
“ini tak akan membunuhmu. Sakit sedikit, tahan saja, ya,” bujuk Duncan dengan santai.
“Ngomong-ngomong namaku Duncan.”
“Duncan, tunggu,” cegah Vintari lagi. “Kumohon, aku butuh sesuatu. Ayolah, aku tak ingin merasakan sakitnya.”
Duncan berdiri tegak dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Kaupikir aku menyimpan semacam obat terlarang agar kau teler? Lupakan saja! Aku bukan warga yang melanggar pemerintah.”
Kata-kata Duncan membuat mata Vintari berputar. Jika saja Vintari tak tahu siapa penjahat tampan di hadapannya. “Kumohon, Duncan. Aku tak ingin merasa sakit,” rengek Vintari.
Terkadang sifat manjanya akan meluluhkan Dean-sahabatnya. Mungkin kali ini akan berhasil menundukkan Duncan. Mereka kan sama-sama pira.
“itu … aku … ada, hanya saja lumayan berbahaya.”
“Aku ambil resikonya,” pungkas Vintari mantap.
Duncan menatap Vintari beberapa detik lalu mengangkat bahu. “Baiklah, jika itu keinginanmu.”
Vintari bernapas lega. Sedangkan Duncan mengambil satu kaleng dengan masker di ujungnya. “Hirup gas dalam kaleng ini.” Ngocoks.com
Vintari segera mengambil kaleng itu dan menghirup melalui masker. Beberapa tarikan napas, membuat Vintari rileks. Ia tak mengeluh saat Duncan meraba perut datarnya.
“Kau pasti merasa rileks sekarang.” Duncan menyalakan tabung pengobatan dan menyetel sebera aliran listrik untuk merapatkan luka wanita di hadapannya.
“He em,” gumam Vintari.
Duncan melirik Vintari sekilas. “Kau terus menghirupnya. Itu akan membuat tubuhmu terasa ringan.”
“Aku terbang,” tutur Vintari dengan senyum yang tak ia tahan. Wanita itu seperti mati rasa karena sentuhan Duncan saat ini tak berarti apa-apa baginya.
“Aku tak bisa menolong dengan apa yang akan terjadi berikutnya.”
“Apa?” tanya Vintari. Ia mendesah kecil saat merasa aliran darahnya bagai dirasuki angin panas.
“Kau akan bergairah.”
Bersambung…