Rintihan dan pekikan kecil Vintari terdengar saat Duncan mengalirkan sengatan listrik di kulit Vintari yang terbuka dengan tabung hitam di tangannya. Wanita itu menggeliat hingga Duncan harus memegangi kedua kakinya.
Mengabaikan rengekan wanita asing yang mengganggu konsentrasi karena tak berbusana, Duncan bergerak cepat menyembuhkan luka Vintari dengan tabung miliknya.
“Lepaskan! Kau menyakitiku,” rintih Vintari.
“Sabarlah, Sayang. Sedikit lagi,” tutur Duncan yang menahan diri untuk tak melirik terus pada selangkangan Vintari.
Menit demi menit terus berlalu. Wanita itu berakhir dengan menangis saat Duncan berhasil mengentikan aliran darah yang keluar dari luka Vintari. Luka-luka sayatan dan lebam lainnya akan berangsur pulih. Kini tinggal suara Vintari yang merengek serak karena hampir 30 menit ia berteriak-teriak.
“Kau akan membaik esok hari,” terang Duncan sambil membantu Vintari duduk. “Maaf, aku harus melakukan semua ini.”
“He em. Terima kasih,” gumam Vintari sambil menunduk. Ia memeluk, lalu meraba pundak dan lengannya sendiri.
“Ehm … aku pikir kau butuh mandi,” ujar Duncan sambil menelan ludahnya.
Demi Tuhan dia itu laki-laki normal. Rasanya Duncan ingin mengubur diri sendiri saja saat ini. Bagaimana bisa ia bertahan bersama seorang wanita tanpa busana yang mondar-mandir di rumahnya? Pria itu menahan napas dan menetralkan detak jantungnya saat menuju ruang kaca yang ia gunakan untuk membersihkan diri.
Duncan segera pergi dari sana. Tak ingin membuat dirinya lebih tersiksa dengan melihat wanita itu mandi melalui kaca frosted. Ilmuwan muda itu pun membereskan ruang pengobatan dari beberapa bercak darah dan mensterilkan alat-alatnya.
Namun tetap saja, bayangan bidadari bugil yang terbaring di meja penyembuhan itu kembali mengganggunya. Mulut Duncan mengumpat pelan. Ia bisa kencan dengan wanita mana pun di Detroit City ini. Mengapa melihat seorang imigran saja, kinerja otaknya menjadi rusak begini?
Menuruti naluri gilanya, Duncan kembali ke tempat membersihkan diri. Kotak kaca itu pintunya terbuka. Jelas Duncan mendengar rintihan sang wanita. Berjalan pelan, Duncan mendekati Vintari. Jantungnya berdegup kencang saat pemandangan wanita tak berbusana ini di bawah guyuran air dari shower.
“Aku … merasa sakit,” desah Vintari.
Dada membusung wanita itu naik-turun karena napasnya tersengal. Kedua tangannya berpegang pada dinding kaca di belakangnya. Mulutnya sedikit terbuka dan erangan sensual bertarung dengan gemercik air.
“Sial,” umpat Duncan lirih. Pasti pengaruh obat itu. Obat perangsang yang ia ciptakan sendiri untuk kliennya para hidung belang untuk mendapatkan gadis-gadis di tempat hiburan. Ngocoks.com
“Masih beberapa jam lagi,” sesal Duncan. Pria gila itu menciptakan sebuat obat pemicu birahi yang akan hilang khasiatnya selama beberapa jam.
“Aku ….” Kalimat dari bibir Vintari terputus dan disusul erangan kecil.
“Aku tahu, Cantik. Aku tahu. Maafkan aku,” katanya kemudian sebelum bergabung dalam kotak kaca besar lalu menanggalkan seluruh pakaiannya.
Tangan Duncan terulur untuk menangkup pipi Vintari. Perlahan ia mengecup bibir wanita dengan lembut di bawah guyuran air dari pancuran. Lembut, dingin, dan memabukkan. Duncan terlena seperti baru mendapat ciuman pertama.
Sebaliknya, Vintari balas mencium Duncan dengan rakus. Lidahnya mulai bermain sementara kedua tangannya meremas rambut blonde Duncan agar pria itu tak melepas ciuman mereka. Senyuman Duncan tak dapat ditahan lalu menjauhkan wajahnya.
“Sabar, Vintari. Aku tak kemana-mana,” goda Duncan dengan seringai di wajah tampannya.
Tak mengindahkan kata-kata bermata biru, Vintari kembali melumat bibir tebal Duncan. Mengajak pria itu kembali bersinggungan dengan nafsu melalui ciuman panas mereka. Namun, Duncan kembali menguasai permainan. Tubuh wanita asing itu ia balik hingga menghadap tembok. Kedua tangan Duncan menangkup lalu meremas pelan payudara Vintari hingga wanita itu mengerang.
Tangan kiri Duncan meraba perut dan berhenti di selangkangan wanita itu. “Di sini?”bisik Duncan meminta persetujuan.
“Ya,” jawab Vintari dengan desah erotisnya.
Duncan kembali menyeringai saat jemari tangan kirinya menggoda selangkangan wanita yang diamuk birahi itu. Sedangkan tangan kanan Duncan terus meremas payudara Vintari secara bergantian. Terlena dengan semua rangsangan itu, Vintari sedikit berjinjit saat rasa geli, sakit, tapi nikmat itu melebur di kewanitaannya.
Tangan kekar Duncan membuat tubuh wanita itu menghadapnya. Duncan begitu bernafsu saat rona merah di wajah Vintari bagai pemulas yang menambah kecantikannya. Tak menunggu lama, pria itu mengangkat tubuh Vintari dan memepetnya di dinding kaca. Perlahan, Duncan menekan kejantanannya ke jalan menuju surga.
“Kau siap?”tanya Duncan ketika miliknya terkubur dalam lembah hangat penghasil nikmat.
“Lakukan saja,” desak Vintari yang mendapat hujaman kasar dari pria yang memegangi tubuhnya.
Erangan keduanya terdengar diiringi suara gemercik air dari pancuran. Vintari menggeram pasrah saat dipuaskan oleh pria yang bahkan tak ia kenal. Sebaliknya, Duncan justru mabuk dalam percintaan yang seharusnya tak ia lakukan.
“Dean,” bisik Vintari saat wajahnya terkulai di bahu Duncan ketika mendapatkan orgasme kedua kalinya.
Rasa nyeri di dada dan menyebar ke seluruh urat nadi Duncan. Telinganya belum tuli. Wanita ini menyebut pria lain dan bukan dirinya. Dibakar perasaan marah yang asing, Duncan mematikan shower. Membawa wanita itu dalam gendongannya menuju kamar tidur.
Duncan mengempaskan tubuh Vintari di kasur empuk miliknya. Tubuh Vintari terlentang, basah, lelah karena perbuatan Duncan, dan pria itu yakin Vintari tak sepenuhnya sadar akan reaksi tubuhnya. Namun, Duncan terbius oleh suatu rasa yang telah lama ia pendam, cemburu. Duncan merasakan cemburu untuk kedua kali. Namun, kali ini kecemburuannya pada wanita asing yang beberapa jam yang lalu menyelinap di gudang rumahnya. Duncan memang sakit jiwa!
Buktinya kini ia kembali menunggangi tubuh Vintari, menghentaknya sedemikian rupa sampai erangan permohonan Vintari terdengar. Kali ini Duncan tak mengejar kepuasannya saja, apalagi menyenangkan bidadari yang ingin ia miliki. Persetubuhan kali ini sebagai peringatan bahwa pria itulah yang menyentuh tubuh sang dewi. Bukan siapa pun pria yang namanya Vintari sebut dalam kilatan memori.
Lenguhan Vintari terdengar saat ia menggerakkan tubuh dan rasa pegal menyerangnya. Ia tersenyum, merasa telah menghabiskan malam panas bersama sahabatnya seperti biasa. Namun ketika matanya terbuka, rasa terkejut menyentaknya. Ini bukan kamarnya dan ingatan Dean yang terbaring koma memukulnya. Vintari duduk dan memekik kecil saat mendapati dirinya telanjang di kamar orang asing.
Matanya terpejam, mengumpulkan kepingan memori yang menyebabkan dirinya berakhir di tempat ini. Dadanya meledak-ledak saat mengingat pria cabul itu. Seharusnya ia todong saja Duncan dengan senjata dan paksa untuk menyerahkan penghambat virus D3V4. Vintari tak perlu membuka selangkangannya hanya agar Duncan percaya padanya.
“Selamat pagi.”
Mata Vintari terbuka dan menatap pria berambut pirang yang berjalan ke arahnya. Masih kesal, Vintari berteriak dan menyerang pria bertubuh atletis itu. Tentu kedua tangan Vintari dapat dengan mudah ditangkap Duncan dan ditekuk ke punggung wanita itu.
“Bajingan kau!”
“Aku minta maaf,” ucap Duncan kemudian. Pegangan Duncan mengendur dan Vintari meronta hingga terlepas.
“Aku sudah bilang tak punya obat penghilang rasa sakit, tapi kau memaksa …,” ucap Duncan dan meneruskannya di dalam hati seraya menatap tubuh telanjang Vintari dari belakang, dan aku menikmatinya.
“Kita bicara setelah kau berpakaian,” putus Duncan sambil menelan ludah.
***
Selama Vintari membersihkan diri dan berganti pakaian, Duncan menyiapkan suntikan nutrisi. Di bulan, mereka tak memakan makanan seperti di bumi. Cukup paket nutrisi yang berupa kapsul atau suntikan.
“Kemarilah! Aku harus menyuntikan sarapan padamu.”
“Terimakasih untuk semalam, tapi aku sebaiknya pergi. Tak baik untukmu menampung imigran,” balas Vintari dan berjalan melewati Duncan.
“Hey … hey! Tunggu, Vintari. Vintari!” cegah Duncan sambil memegang pundak wanita bermata cokelat itu.
“Aku tahu kau marah, tapi aku akan bertanggung jawab. Aku … aku akan menjadikanmu pasangan ….”
“Tak perlu,” potong Vintari sambil menyingkirkan tangan Duncan yang menghalanginya.
“Atau istri,” ucap Duncan lagi.
“Aku tidak mau!” tegas Vintari.
Darah pria itu mendidih. Setahunya, Vintari adalah seorang petani gandum yang mana ia tahu memiliki kedudukan tinggi di suatu negara. Namun, tetap saja, penolakan wanita itu melukai egonya. Apalagi, Duncan merasakan perasaan yang berbeda dengan penolakan wanita itu. Duncan kembali teringat nama yang Vintari sebut karena pria itu kah?
Duncan menyusul wanita keras kepala yang hampir mencapai pintu keluar ia menarik dan memepet tubuh Vintari ke tembok. Satu tangan Duncan menahan kedua tangan Vintari di atas kepal wnaita itu. Tangan Duncan yang bebas mencengkeram rahang bawah Vintari lalu membungkamnya dengan ciuman kasar.
Vintari mengerang dan mencoba menutup bibirnya. Akan tetapi pria pemaksa itu meraba leher dan meremas lembut payudara Vintari hingga mendesah. Ciuman Duncan kembali menguasai diri Vintari sampai wanita itu merengek untuk untuk dilepaskan.
“Untuk ukuran petani gandum, kau cukup liar saat menganggap kejadian semalam biasa saja.”
Mata Duncan nyalang menatap wanita yang masih pucat di hadapannya. “Perilakumu seperti manusia bumi, bercinta dengan orang asing lalu melupakannya,” cemooh Duncan.
Manusia di bulan justru hidup lebih terkontrol. Mereka hanya boleh memiliki satu pasangan—sebelum meresmikan ke jenjang pernikahan—dan terdaftar. Memilih pasangan pun tak boleh sembarangan. Sudah ditentukan secara otomatis oleh suatu alat dan disesuaikan dengan gen. Boleh saja berganti pasangan, tetapi mereka harus melaporkannya.
Vintari sendiri selalu berpasangan dengan Dean untuk urusan hubungan intim. Ia pernah menyuruh Dean untuk mencari pasangan lain, tetapi sahabatnya itu belum mau. Perselingkuhan adalah tindak pidana di bulan karena dikhawatirkan menghasilkan keturunan yang tak baik karena berbeda gen dan lain sebagainya.
Vintari menyadari penyamarannya. Menutup kesalahannya, Vintari berusaha melepaskan tangan dari cengkeranan Duncan dan menampar keras pipi pria itu. “Aku tahu tentang aturan itu. Itu sebabnya cukup malam ini aku berbuat kesalahan. Kau sudah menolongko dan aku tak sekejam itu membuatmu dihukum oleh pemerintah.”
Duncan mengerutkan alisnya. “benarkah? Bukan karena seseorang yang bernama Dean?”
Rontaan Vintari lebih kuat sehingga ia lepas dari kungkungan Duncan. “Dia sudah mati dan juga seluruh keluargaku. Aku bersumpah untuk membunuh mereka semua dan tak segan membunuhmu jika menghalangiku!” teriak Vintari histeris.
“Hey … hey! Tenanglah,” tagas Duncan.
Karena wanita itu terus memukuli lengan dan dadanya disertai teriakan murka, Duncan memanggul Vintari dan membawa wanita keras kepala itu ke kamarnya. Ia menghempaskan tubuh Vintari sebelum menindihnya.
“Hey, tenanglah! Aku tak akan membiarkanmu pergi. Kau aman di sini ….”
Sebelum Duncan menyelesaikan kalimatnya, suara ledakan terdengar membuat keduanya berguling dan jatuh. “Apa itu?”
“Sepertinya aku ketahuan,” jawab Duncan santai.
Vintari akan berkata lagi namun serangan demi serangan membuatnya berteriak. Ia ditarik Duncan keluar kamar sambil menunduk lantaran banyak tembakan laser yang bertebaran di udara.
“Aman apanya?!” geram Vintari sambil mengikuti pria itu ke sebuah lift untuk melarikan diri dari rumah Duncan. Begitu lift turun, terasa sebuah dentuman.
“Aduh, mereka menghancurkan rumahku lagi,” kesal Duncan.
Bersambung…