Vintari memekik dan memeluk Duncan. Namun, sedetik kemudian ia meronta mundur. “Siapa mereka? Mengapa mereka menyerang rumahmu? Apa yang telah kau lakukan?”
“Bisakah kau tidak cerewet? Aku sedang berpikir,” sanggah Duncan.
Pria itu menekan-nekan layar yang ada dinding lift. Mencari tujuan ke mana mereka akan lari.
“Baiklah, setelah ini, kita berpencar saja. Kau bukan pria baik. Aku tak ingin terlibat lebih jauh.”
Duncan mendengus kesal, membalikkan tubuh, lalu menekan tubuh wanita yang hanya berbalut selembar kain itu. “Biar kusegarkan ingatanmu, Nona. Kau yang menerobos ke rumahku. Seharusnya aku melaporkanmu ke dinas keamanan, atau membiarkanmu mati kehabisan darah, atau membunuhmu saat itu juga karena kau mengetahui tempa tinggal orang jahat,” singgung Duncan.
Wanita itu memalingkan wajah ke arah lain untuk menghindari sorot tajam dari mata biru Duncan.
“Ada virus D3V4 di luar sana yang menjangkiti siapa pun, aku harusnya takut tertular. Tapi, aku mengambil resiko bersinggungan denganmu. Inikah caramu berterima kasih? Aku kagum.”
Vintari mencibir di dalam hati. Duncan tak takut tertular karena pria itu punya penghambatnya. Tinggal menunggu waktu saat Duncan menggunakan penghambat virus itu pada diri sendiri dan Vintari, lalu Vintari akan mencuri sisanya.
“Apa maumu?” tantang Vintari.
“Apa?”
“Kau mencoba menerangkan utang budiku. Lalu apa yang kau inginkandariku untuk membalasnya?” tanya Vintari yang sudah ia tebak jawabannya.
Mata Duncan menelaah tubuh molek yang dia tekan di hadapannya. Mengingat bagaimana rasa wanita itu semalam, tentu Duncan menginginkan kepuasan yang rutin.
Lagipula, sudah cukup yang ia miliki sekarang, kecuali wanita. Terlalu sayang jika Vintari ia lepaskan dan akan menjadi pasangan warga negara Detroit City lainnya.
Bagian terburuknya adalah warga di negara ini yang berdedikasi penuh pada kestabilan nasional, tentu minim bermain-main. Mereka akan menjadikan Vintari istri, itu artinya Vintari tak dapat dimiliki siapa pun lagi. Perceraian adala pidana di Detrit City.
“Kau jadi pasanganku.”
“Tidak,” tolak Vintari mentah-mentah.
Wajah lebih mendekat ke arah Vintari. “Dengar, Sayang. Dengan menjadi pasangan, setidaknya kau mendapatkan baju.”
Tepat Duncan mengatakan itu, pintu lift terbuka. Seorang wanita usia 30an menatap Duncan dan melebarkan mata. “Apa yang kau lakukan?”
“Martinez, aku butuh baju … untuknya,” tutur Duncan sambil memandang Vintari.
“Oh, kau ingin berpasangan? Akhirnya untuk sekian lama,” ucap Martinez.
“Di mana Riyu? Aku ingin dia menyiapkan identitas juga.
Martinez menatap Duncan dan Vintari bergantian. “Dia imigran?”
Duncan mengangguk dan berjalan mengikuti Martinez ke sebuah kamar yang berwarna biru. Semua jenis pakaian ada di sana. Tinggal diprogram untuk siapa pemakainya. Pakaian yang disiapkan memiliki alat khusus yang mendeteksi kulit, sehingga tak dapat dipakai sembarang orang atau saling meminjam.
“Darimana?”
“Kalimera,” jawab Duncan.
Martinez menoleh. “kau yakin?”
“Bisa kau panggilkan suamimu?” desak Duncan.
“Maaf, itu bukan urusanku. Riyu ada di ruang kerjanya,” tutur Martinez. Menekan layar pada meja datar lalu sebuah pintu terbuka. Ia menylakan Duncan untuk masuk.
“Baik Nona ….”
“Vintari,” ucap Vintari.
“Ah, Nona Vintari, mari kita pilih pakaian yang sesuai ukuran tubuhmu. Riyu akan menyiapkan identitasmu dan kau segera kan memakainya,” tutur Martinez dengan senyum lebar.
Sedangkan Vintari menuruti langkah wanita berkulit kecokelatan itu membuka satu demi satu koleksi dagangannya. Ia tersenyum tipias. Mengingat bagaimana ia membeli pakaiannya bersama Dean. Sebuah rasa sesak di dada menyentaknya saat mengingat kondisi pria itu.
“Aku senang sekali Duncan memutuskan untuk berpasangan.”
“apa?” tanya Vintari yang tak fokus.
“Kau … dan Duncan,” ulang Martinez. “Di mana kalian bertemu? Ah, aku sudah menduga dia akan memilih pasangan seorang imigran. Pantas saja selama ini ia seperti tak butuh wanita. Aku sempat kesal dengan tingkahnya yang sedikit nakal.” Martinez terkekeh kecil.
“Apa maksudmu?” tanya Vintari sambil menunjuk pakaian berwarna hitam dengan lis ungu di dadanya. Pakaian untuk kaum petani gadum.
“Ah, kau seorang petani gandum?” tanya Martinez. Setelah Vintari mengangguk ia mengambilan pakaian itu dan kembali bercerita.
“Jarang sekali ada petani gandum di Detroit City. Kebanyakan dari kami penghasil senjata. Semua pakian yang aku jual dilengkapi dengan perisai pertahanan dan tak jarang beberapa serum untuk melumpuhkan penyerang. Aku mendapatkan serum dari Duncan. Tapi, pakaian ini hanya berperisai.”
“tadi kau mengatakan Duncan … nakal?”
Martinez terkekeh. “Dia pembuat serum. Terkadang, ia membuat nutrisi dengan komposisi … gila. Ia menciptakan serum yang membuat warna kulit seseorang berbeda. Ingin tanning, lebih putih, kuning seperti keturunan ras Asia di Bumi, banyak. Tentu itu dilarang karena warna kulit yang berbeda sama seprti membuat penyamaran. Ya, meski beberapa menyebutnya trend kecantikan.”
Vintari tertawa kecil. “ya, bayangkan saja bagaimana dia dulu membujuk keluargaku untuk membuat makanan gandum menjadi sebuah nutrisi. Itu kan tidak boleh. Gandum harus dibuat berupa makanan fisik seperti bubur, roti, atau biskuit. Jika berbentuk nutrisi, semua rakyat dapat mengonsuminya. Itu kan sebuah tradisi. Tak boleh sembarang menyentuhnya.”
Kepala Martinez mengangguk maklum. Seorang petani gandum memang dari kalangan atas dan nada bicaranya pun angkuh. Ia bagai menjaga jarak dengan kaum militer atau warga sipil lain. Bahkan, seorang raja atau president di suatu negara akan menghormati dan melindungi petani gandum. Mungkin karena mereka merasa begitu dibutuhkan, ada rasa kesombongan di sana.
Terlepas dari itu semua, Martinez begitu penasaran pada mereka. Duncan yang biasanya dingin, tak mungkin dapat menggoda wanita dari kaum petani gandum. “Aku penasaran mengapa kalian bisa bersama.
Mendekatkan wajah pada Vintari, Martinez berbisik. “Ia tak menyuntikan serum jatuh cinta padamu kan?”
Vintari mendapatkan rona merah di wajahnya dan Martinez tertawa saat menyangka wanita di hadapannya tersipu. Tentu Vintari dapat menunjukkan wajah bersemu mengingat bagaiman ia diperdaya ilmuwan gila itu. Ia tersenyum lebar karena tak ada yang mengenali penyamarannya.
Di sisi lain, Duncan menemui Riyu—sahabatnya. Pria bermata sipit itu berbicara lewat panggilan video dengan kliennya dan merasa terganggu dengan kehadiran Duncan. Ia buru-buru menyudahi pembicaraan telepon video saat Duncan mulai menyentuh beberapa alat di ruang kerjanya.
“Jangan sentuh apa pun, Pengacau!”
“Ayolah, aku tak berbuat apa pun,” kilah Duncan.
“Kau kemari, pasti karena kau telah melakukan sesuatu.”
Duncan menyeringai. “Belum.”
Geraman Riyu terdengar dan dengan kesal mendekati Duncan. “Pergi dari sini! Kau selalu membuat ulah dan memintaku membereskannya.”
Duncan mengangkat tangannya pertanda menyerah. “Kau saudaraku. Siapa lagi yang dapat membantuku.”
“Penjara dan pengasingan membuatmu semakin tak waras,” ketus Riyu dan dibalas tawa keras oleh Duncan.
“Mungkin,” ujar Duncan sambil menaikkan bahu. “Ngomong-ngomong aku butuh identitas. Dia imigran dari Kalimera dan aku ingin berpasangan dengannya.”
Satu pukulan dari Riyu bersarang di pipi kiri Duncan. Pria berambut pirang itu mengerang, tetapi seigap menangkis tangan Riyu saat pria itu kembali menyerangnya.
“Jangan kejam padaku, Riyu.”
“Tak lelahkah kau membuat masalah?” desah Riyu.
“Aku janji, ini yang terakhir aku meminta bantuanmu. Aku menyukai wanita ini. Ayolah, kau ingin aku bermain-main. Dengan Vintari, aku berhenti hidup dalam pelarian. Aku sudah berubah.”
Riyu memandang sahabatnya dengan raut curiga.
“Kau tahu aku,” ucap Duncan meyakinkan.
“Kau benar-benar mengetahui identitasnya? Jika dia seorang kriminal, justru akan menyulitkanmu … dan aku,” dengkus Riyu. Ngocoks.com
“Aku sudah memindainya,” terang Duncan lalu menyeringai, “Seluruhnya.”
Riyu berdecih lalu berkomunukasi dengan Martinez. Melihat itu, Duncan merangkul Riyu dan tersenyum lebar.
“Kau selalu dapat kuandalkan.”
Di ruang berwarna biru, Martinez memindai Vintari dari wajah hingga seluruh tubuhnya. Mengambil sampel darah wanita itu lalu menyiapkan membuat identitas baru. Semua diselesaikan dalam waktu kurang dari satu jam.
Sedangkan Vintari, tadinya ia begitu cemas saat Martinez berkata menyiapkan identitas baru untuknya. Ia sudah berpasangan dengan Dean. Jika mereka tahu Vintari akan dipasangkan lagi dengan Duncan, Vintari bisa dilaporkan dan dihukum oleh pemerintah Detroit City. Namun ternyata, Vintari justru menahan untuk tak memaki. Kalimera benar-benar menghapus datanya, termasuk Dean.
“Aku bangga dapat memakaikan baju ini untukmu. Kau tahu, baju untuk kaum petani gandum sangat langka.”
“Terima kasih,” ucap Vintari dan memerhatikan kostum berwarna hitam berbentuk baju lengan panjang dan celana yang menutup tubuhnya.
“Akh,” rintih Martinez kemudian.
“Kau kenapa?” Vintari buru-buru memegangi wanita itu.
“Aku … sesak napas, kepalaku … juga pusing,” keluh Martinez terbata.
Vintari mulai resah. Ia pernah melihat situasi semacam ini. Saat itu, Dean yang mengalaminya. Otak wanita itu memutar keras dan menyimpulkan Martinez terserang virus D3V4.
Bersambung…