Vintari merengek protes saat tangan Duncan menangkup dan menggesek-gesek kewanitaannya. Kedua kaki Vintari merapat, menjepit tangan besar nan hangat yang menenangkan keresahan daerah sensitifnya.
Bagai diberi izin, Duncan membuka kembali kedua kaki Vintari. Jari tengah Duncan menusuk pelan dan menginvasi celah hangat yang mulai mengucurkan madunya.
Tergoda melakukan lebih, jemari Duncan mulai menari. Merasakan tempat sakral di mana miliknya pernah tenggelam dalam nikmat. Lenguhan wanita itu membuat Duncan kian kencang bergerilya pada lapisan lembut kulit yang basah.
Sedangkan Vintari menahan rasa bosan akan reaksi pria di hadapannya. Duncan bukan Dean yang memujanya bagai dewi Nirwana. Wanita itu bangun dan menghentikan tangan Duncan yang sedang menggoda pusat kenikmatannya. Ia membawa jari Duncan yang berlumuran madu murninya untuk dijilat.
Erangan kecil Duncan terdengar. Pria ia menggerung saat mulut Vintari mengisap jari telunjuknya. Rasa basah dan gesekan gigi Vintari memberi sensasi yang berbeda. Mata Vintari menatapnya dengan nakal. Kobaran api gairah pun mrmbakar Duncan.
“Biarkan aku memujamu,” ujar Vintari dengan suara serak.
Duncan membulatkan mata saat tangan Vintari terulur untuk menanggalkan pakaian pria itu. Desahan Duncan ditahan kuat-kuat saat jemari lentik Vintari menggenggam lembut milik sang ilmuwan muda.
Bibir jingga Vintari mengecup ujung batang dalam genggamannya. Tak menunggu persetujuan sang pemilik, Vintari memanjakan kejantanan Duncan dalam balutan mulut hangatnya.
Tak pernah melakukan aktivitas seksual seperti saat ini, Duncan mulai linglung. Kakinya tak kuat berdiri karena serangan gairah luar biasa yang berpusat di antara pahanya.
Tangannya reflek terulur memijat kedua payudara Vintari yang menyembul saat posisi wanita itu terlentang di ranjangnya. Duncan berteriak dan napasnya tercekat saat perbuatannya justru membuat Vintari semakin kuat mengisap area pribadi pria itu.
Sudah tak tahan lagi, Duncan memaksa Vintari mengentikan godaannya. Pria itu membuat tubuh Vintari tertelungkup dan ditindihnya. Hujaman kasar dilakukan Duncan dari belakang. Duncan ingin kembali meledak dan menggapai kepuasan lewat tubuh si Cantik yang membuatnya tak berdaya.
Sedangkan Vintari sengaja membuat suara erangan yang menjadikan Duncan lebih kasar menyetubuhinya. Menjadi jalang lumayan menguntungkan baginya. Kini ia mengerti, jika jenderal Achiles haus kekuasaan, maka Duncan lapar akan kepuasan.
***
Vintari menggerakkan tubuh saat angin membelai kulit telanjangnya. Ia terjaga dari tidur lalu tersenyum puas akan pergumulannya dengan Duncan. Dari jendela, Vintari dapat melihat langit sudah gelap.
Kamar yang telah terang karena lampu, tak menampakkan keberadaan Duncan. Tanpa menutup tubuhnya, Vintari turun dari ranjang dan keluar kamar.
Udara dingin bagai akrab membelai kulit tubuh Vintari yang enggan dibalut pakaian. Saat Vintari melangkah ke lantai dasar, angin mulai menerbangkan rambut cokelat gelapnya. Ia sedikit mendesah saat puncak payudaranya seakan digoda angin. Reflek, wanita itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Menuruti naluri, Vintari masuk ke sebuah kamar yang tak terkunci.
“Duncan?” panggilnya lirih hingga menyerupai bisikan.
Langkah tanpa suara Vintari terus masuk ke dalam ruangan remang-remang. Di sana ada satu tempat tidur seperti pada ruang pengobatan di rumah Duncan sebelum diledakkan. Ia menoleh ke arah sudut dan melihat pria itu di sana. Duncan gemetaran bagai menahan rasa sakit. Seluruh tubuhnya berkeringat dan ia meringik pelan.
“Duncan, apa yang terjadi? Kau kenapa?” Vintari mendekati pria yang bertelanjang dada itu.
Saat Vintari menyentuh lengan Duncan, pria itu balas mencengkeram kedua lengan Vintari, menariknya mendekat hingga Vintari jatuh berlutut di hadapan Duncan. Raut wajah Vintari kian cemas saat Duncan mengerang panjang.
“Aku … aku semakin menginginkanmu di setiap waktu.”
“Apa maksudmu?” tanya Vintari sambil berusaha melepaskan tangan Duncan.
“Aku harus melakukan ini,” desis Duncan lalu beranjak dari tempat duduknya hingga Vintari turut berdiri.
“Duncan!” pekik Vintari saat pria itu membopong tubuh mungilnya.
Duncan meletakkan tubuh pasangannya di tempat tidur yang terletak di tengah kamar. Ia mengambil suntikan yang berbentuk pistol. Wajah Vintari menunjukkan raut cemas dengan apa yang dilakukan pria itu.
“Itu… itu apa?” tanya Vintari dengan takut-takut.
“Penawar kafein,” jawab Duncan. “Aku harus menyuntikkan ini padamu agar kau ternetralisir dari kafein. Kita sudah sering bertukar cairan tubuh. Aku … tak ingin kita saling menukar bibit virus D3V4 yang bersarang di tubuh masing-masing. Aku tak ingin kita mati seperti Riyu dan Martinez.”
“Duncan ….” Vintari tak melanjutkan kata-katanya karena ia memekik keras.
Duncan menembakkan penawar virus itu ke lambung Vintari. Tubuh telanjang Vintari mulai kejang-kejang. Seluruh raganya seakan sakit dan mulai terserang kelumpuhan. Mulut Vintari membuka karena ia kesulitan bernapas lewat hidung.
Penawar virus itu bekerja melunturkan seluruh kafein dalam tubuh. Vintari memang kebal dan konsumsi kafeinnya lebih banyak. Maka kesakitan yang ia dapat lebih menyiksa.
Mata wanita itu menatap langit-langit mansion milik Duncan. Seluruh tubuhnya terasa panas, ngilu, dan lemah. Sakit yang Vintari rasakan hampir merenggut kesadarannya. Air mata menetes dari sudut matanya karena lara ini melebihi saat ia sekarat terkena senjata laser di rumah sakit.
“Aku seperti kecanduan atas tubuhmu.” Tangan Duncan membelai paha Vintari dan jemarinya terus menjalar ke bagian paha dalam. “Di sini begitu nikmat hingga aku bagai hilang kewarasan.” Tangan kiri itu menangkup kewanitaan Vintari tapi wanita itu sedang mati rasa.
Sedangkan Vintari tak memedulikan kalimat yang keluar dari mulut Duncan karena ia sedang menahan ngilunya segala persendian, dada yang terasa terbakar, dan mual teramat sangat. Satu detik Vintari merasa hancur lalu ringan. Ia tak merasakan tempat tidur itu dan sepertinya ia dapat melompat ke awan sekali sentak.
Vintari segera duduk dan terengah. Ia merasa penuh tenaga. Matanya menatap mata biru Duncan yang tak menjauhkan wajah tampannya. Senyum kecil muncul di bibir Vintari hingga Duncan turut tersenyum padanya.
“Setakut itukah kau padaku?”
Duncan mendesah pelan. “Aku gila karena tubuhmu. Inginku bersamamu setiap waktu. Ya, aku teramat takut … kehilangan dirimu.”
“Aku ingin melihat seberapa menginginkannya dirimu padaku,” tantang Vintari lalu menarik tengkuk pria itu agar mendekat lalu diciumnya.
Duncan kembali bernafsu menyerang Vintari dengan ciuman-ciuman yang menuntut. Pria itu naik ke atas kasur dan mulai menindih tubuh indah tanpa balutan pakaian itu. Bibir Duncan mengecup tiap jengkal tubuh Vintari.
Menatap sebentar payudara kenyal itu, Duncan mengisap pelan di sana dan memberi beberapa tanda. Pria itu menuntun bibirnya hingga di antara paha Vintari.
“Aku bisa berlama-lama di sana. Kau terasa seperti surga,” aku Duncan lalu menghirup aroma khas Vintari sebelum mencecap manis madunya.
Duncan mabuk pada sensasi nikmat cairan cinta wanitanya hingga tanpa menunggu lama, pria itu melahap lipatan sensitif di hadapannya. Tak cukup dengan lidah, Duncan memainkan jemarinya. Desahan Vintari yang terdengar membuat ia semakin rakus menyantap hidangan spesialnya.
Sedangkan Vintari mulai menyerah pada siksaan Duncan. Kedua kakinya terus bergerak liar. Dadanya naik turun karena napasnya sesak dan ditambah detak jantung yang menghebat. Gelenyar asing yang berpusat pada kewanitaannya kini mengahncurkan wanita itu setelah menggapai puncak.
Ia salah menilai Duncan. Rupanya pria itu dapat bermain lebih gila dibanding Dean, tetapi ia tahan karena takut akan virus itu. Kini Duncan merasa bebas karena tubuh mereka sama-sama bersih dari virus mematikan yang membayang. Ngocoks.com
Tak hanya sekali Vintari berteriak saat percikan dari tubuh bawahnya mengalir deras tiap kali wanita itu menggapai puncak. Isakannya terdengar saat kelelahan membelenggunya. Mata Vintari yang masih berkabut menatap pria berambut pirang dengan seringai memuja terhadapnya.
Duncan menunduk dan mencium bibir Vintari yang terus mengeluarkan erangan. Pria itu membungkan tangisan si Cantik yang menyerah pada kelihaian lidah Duncan yang memabukkan. Pria itu membopong tubuh lemah Vintari untuk dibawa ke kamar dan dibaringkan perlahan.
Senyum Duncan semakin lebar saat Vintari membuka lebar kedua kakinya. Wanita itu menyebut nama Duncan tanda permohonan. Tak menyiksa pasangannya lebih lama, Duncan menanggalkan pakaiannya yang tersiksa lalu membuat Vintari kembali berteriak karena hujaman kasar yang mengobarkan lagigairah keduanya.
***
Mata Vintari mengamati raut tampan Duncan. Jemari lentiknya membelai ringan rambut pirang Duncan dan gumaman kecil Duncan terdengar.
Vintari memajukan tubuhnya dan mencium bibir pria itu hingga tidur nyenyak Duncan tak lagi terganggu. Perlahan Vintari bergerak mundur dan turun dari ranjang. Masih tak memakai pakaian, wanita itu keluar kamar menuju ruang penyimpanan.
Di ruang penyimpana itu, Vintari bergerak cepat mengambil segala tabung yang berisi penaar virus lalu menyimpannnya di sebuah kotak. Vintari mengambil satu tabung kafein lalu kembali ke kamar di mana Duncan tidur.
Bergegas Vintari berpakaian lengkap lalu menuang cairan kafein itu ke sprei dan lantai. Vintari menyimpan wadahnya dan mengaktifkan pelacak di pakaian Duncan. Ia keluar membawa kotak berisi serum. Sebelum meninggalkan mansion, Vintari mengaktifkan alat pnangkap sinyal di mansion Duncan dan memberi tanda darurat agar tentara Detroit City menemukannnya.
Vintari berlari kencang menuju padang rumput di mana di depan lift, ia mengaktifkan alat pelacak di anting-anting kanannya. Vintari melepas anting-anting sebelah kiri, menekan tombol di sana dan tampak sebuah hologram pria tak berambut.
“Bawa aku pulang,” perintah Vintari.
“Nona Vintari, untuk dapat pulang kau harus ….”
“Penawarnya ada padaku,” potong Vintari sambil menunjukkan kotak di tangannya.
“Pakailah lift untuk menuju perbatasan. Kami menyiapkan datamu dan kau akan melewati pemeriksaan imigrasi tanpa hambatan,” tutur Juan Daniel yang kini melalui sebuah hologram.
Di padang rumput itu, Vintari masuk ke sebuah kotak yang disebut lift. Dalam kotak lift itu Vintari menekan kemana tujuannya dan memasukkan kode identitas. Dari kode itu ia dapat membayra segala tagihan. Sekitar enam menit, pintu itu terbuka dan Vintari melihat sebuah ruang yang ia tebak sebagai tempat imigrasi.
Seorang petugas imigrasi memindai tubuh Vintari dan kotak yang dibawanya. Ia memerhatikan layar monitor dan melihat Vintari dengan raut ramah. “Terima kasih atas kunjungan Anda ke Detroit City. Kami harap perjalanan Anda menyenangkan.”
“Tentu. Aku suka souvenir dari Detroit City,” pungkas Vintari sambil menunjukkan kotak itu lalu pergi ke sebuah lift lain. Lift yang akan mengantarkan dirinya kembali pulang ke Kalimera.
Bersambung…