Aku terbangun oleh ketukan di pintu. Mama membuka pintu sedikit lantas mengintip. Aku mendengar suara seseorang. Mama seperti menolak. Dari ucapannya mama terdengar gusar.
Hingga entah bagaimana caranya, mama terdorong dari pintu dan ada pria masuk. Pria itu lantas melihatku. Kurus, dekil, terantai bagai teratai yang layu, tetapi terluka.
“Ya tuhan,” jelas pria itu terkejut, begitu terkejutnya seperti hingga tiada lagi yang bisa mengejutkannya saat ini. “Kenapa dia begitu?”
Mama berteriak, “Bukan urusanmu kalau kuhukum anak nakal itu.”
“Benarkah nak?” tanya pria itu padaku. “Apa yang terjadi hingga kamu memar semua. Hingga kontolmu pun ikut memar?”
Aku hanya mampu merintih, ingin kuteriak hatiku melara – lara, “gak ngapa – ngapain. Mama hanya suka nyiksa aja.”
“Serius? Dulu mamaku juga suka nyiksa. Sayang keburu kecelakaan sebelum aku gede.”
Mama berteriak, “pergi sekarang! Keluar!”
Tiba – tiba datang pria lain, yang baru kali ini kulihat, menghampiri mama dan menamparnya hingga mama terjatuh. “Lu mau ngancem gw hah? Gw baru keluar penjara kemarin. Gw gak keberatan masuk lagi pake kasus pembunuhan. Lu mau ngancem atau kerja sama?”
Pria pertama memandang mama, “dia gak jelek – jelek amat. Mungkin akhir tiga puluhan. Buka baju lu sambil joget, gw pingin liat. Gw dah bosen nyodomi orang.”
Aku yakin mama takkan mau melakukannya. Mama kembali teriak, “gak, gw gak mau. Sama lagi gw aja gak pernah.”
“Oh ya, trus di mana dia sekarang hah?”
Mama seharusnya bilang kalau ayah polisi dan akan pulang. Tapi tentu mama gak bisa berpikir jernih, sejernih mata air pegunungan, sekarang. “Dia pergi ninggalin anak sial itu.”
“Benar nak?” Pria pertama bertanya padaku, “kenapa?”
“Ayah tak suka caranya memukulku.”
“Dia pengecut kalah sama wanita. Wanita liar itu, gimana ngehukumnya?”
Aku ceritakan semua.
“Jadi pertama kamu dipukul pantat dulu, kita mesti kasih juga ke dia. Pake rotan lebih gak enak kan?”
“Iya kalau kena pantat. Tapi pecutnya lebih sakit kalau kena puting dan selangkangan.”
Mama terlihat pucat lantas berkata, “gak perlu. Biar aku nari sambil buka baju.”
“Oke, santai saja. Dah lama gw gak liat cewek.”
Mama lantas memunggungi mereka, namun langsung mereka larang hingga mama kembali menghadap mereka. Mama melepas kancing blusnya satu – satu. Lantas roknya. Setelah itu mama melipatnya dan menaruh di meja. Kini tinggal cd dan bh mama. Aku belum pernah lihat wanita telanjang sebelumnya kecuali memek dan pantat bu Rahma saat aku dipaksa menjilatinya.
Kini ku sadari mama masih menarik, saat hanya berbalut cd dan bh. Meski tidak cantik. Aku heran kenapa ayah malah pergi.
Pria yang lebih besar bilang, “jangan bengong aja. Ayo lepas juga.”
Mama terisak menangis lantas melepas cd dan bh nya menampilkan jembutnya yang jarang.
Pria besar tersenyum, “lumayan… lumayan… muter pelan!”
Mama benar – benar berputar dengan pelan, membuat yang lihat bisa lilhat seluruhnya.
“Gw demen nih liat susu sama pantatnya, kayak minta ditampar tuh pantat” kata orang besar.
Mama meringis dan berkata, “gak perlu. Kalian ingin seks kan. Saya gakkan melawan kok. Ayo.”
“Gw benci lonte yang cuma bisa ngentot buat nyenangin laki. Ntar gw bikin lu minta dientot.”
Orang yang lebih kecil berkata, “suruh yang lain aja.”
“Oke Rud, dia bakal mau lu suruh apain juga.”
“Iya Yan, lonte lu ngerangkak kesini. Seret tuh susu ke lantai trus buka celana gw dan isep kontol gw.”
Mama terlihat takut dan teriak, “gak. Cuma lonte yang lakuin kayak gitu, gw bukan lonte.”
“Susah bener disuruh nurut. Nak, berapa kali kamu dipukul kalau gak nurut?”
“Namaku Kiki. Biasanya dua puluh pukulan pake rotan. Tapi kayaknya mesti digandakan karena gak mau nurut sama kalian berdua.”
Mama berteriak lagi “dasar bajingan kecil. Akan mama balas ini.”
Yan bilang, “enggak. Lu bakalan baikin anak lu. Ki, ada tali gak di sini?”
“Ya, ada di garasi. Tapi dia,” kini kuberanikan menyebut mama dengan kata ‘dia’, “biasanya suruh aku memegang sisi meja, kalau lepas mulai lagi pukulan dari awal.”
“Ide bagus. Kita liat apa dia seberani kamu. Gini aja, kamu ambil barang – barang yang biasa diapakai nyiksa kamu.”
Aku pergi ke kamarnya lantas mengambil sisir, rotan, tali pecut dan kabel yang telah dipakai ke kontolku. Lantas aku ke halaman rumah dan memotong bunga mawar yang tangkainya banyak durinya. Aku buang bunga dan daun tinggal hanya menyisakan batang berdurinya saja. Saat mama melihat ini, mama kembali mencoba tawar – menawar.
“Kalian tentu gak mau menambah catatan buruk. Kalian bisa ambil mobil dan semua uang di sini lantas pergi.”
“Lu bodoh atau apa hah? Gw gak takut kembali lagi.”
Aku lantas bilang kalau gak ada masalah. Mama gak kerja jadi gak kan ada yang menyadarinya. Mama juga punya banyak uang hasil perceraian.
Mama menatapku dan berkata, “kamu akan nyesel bilang gitu!”
“Gak, dia gakkan nyesel. Sekarang ayo ke meja!”
Mama ke meja dan mencengkram sisinya. Mama lantas mengerang saat Yan bilang, “buka kakinya. Gw ingin liat memeku goyang saat pantatlu dipukul.”
Mama melebarkan kaki membuatku bisa melihat memeknya lebih baik dibanding saat mama berdiri. Pantatnya lantas dicambuk rotan membuat mama berjinjit dan berteriak. Mama lantas mengelus pantatnya yang kini merah.
“Lu bandel, yang tadi gak diitung.”
“Sebenernya mama selalu tambah lima kali tiap kali aku gitu.”
Mama mulai menangis meraung – raung, namun tangannya kembali memegang meja. Mama kembali dipukul sampai dengan empat puluh lima cambukan rotan. Pantatnya benar – benar merah matang hingga ke paha. Reaksi mama hanyalah berteriak dan mengangkat kaki seperti menari. Aku yakin mama akan muntah jika melihat memeknya yang terbuka tertutup saat mama menari.
Mereka membiarkan mama lantas orang yang disebut Yan bertanya padaku, “gimana reaksi mamamu menurutmu?”
“Caramu sebenarnya lebih keras. Tapi cara dia lebih lambat, hingga aku tak bisa merasa mati rasa. Kalau diperhatikan, dia gak menjerit di duapuluh akhir pukulan.”
“Wow, kamu bener – bener bisa ngajarin kita nih.”
Mama kini berlutut, terengah – engah dengan badan penuh peluh, seperti sehabis lari keliling kota, dipayungi lampu kota disekitarnya. Saat nafasnya kembali tenang, Rudi berkata, “merangkak sini, seret tuh susu hingga merah. Kalau gak merah, gw merahin.”
Mama mulai merangkak dan mengernyit saat susunya diseret ke karpet hingga sampai ke Rudi. Setelah itu mama berlutut dan susunya diperiksa.
“Bagus. Udah merah, meriah euy. Pentilnya juga keras kayak batu.”
Mama merintih, “itu karena sakit.”
Rudi berdiri lantas berkata, “terserah. Lepas celana gw hingga ke kaki.”
Mama melepas sabuk dan sleting lantas menurunkan celana. Kontol Rudi langsung tampil karena tak pakai apa – apa lagi selain celana itu. Mungkin lebih besar dibanding punya ayah karena mama menatap kagum.
“Mainin dulu pake lidah lu!”
Bagus, pikirku. Kini mama tahu rasanya saat aku harus menjilati memek bu rahma.
Rudi membuat mama menjilati seluruh batang, kepala bahkan testisnya setelah itu baru menyuruh mama menghisapnya. Helm Rudi dimasukan, lantas mama menghisap kuat – kuat. Setelah itu Rudi memegang kepala mama dan memasukan kontol hingga mentok. Mama tersedak dan tangannya memukul – mukul kaki Rudi.
“Lu mesti bayar itu,” kata Rudi sambil melepas celana dan melemparnya ke sudut.
“Giliran gw. Sini lu,” kata Yana.
Mama menangis namun tetap merangkak menuju yana. Begitu sampai, Yana langsung masukan kontol ke mulut mama. Kontol Yana tak sepanjang kontol Rudi, namun diameternya lebih besar. Membuat mulut mama mesti membuka lebih lebar lagi. Saat keluar, Yana memuntahkan peju ke wajah dan rambut mama, juga matanya.
“Bersihin pake jari terus jilat sampai habis.”
Mama seperti akan muntah. Tapi tentu aku tahu mama baru saja memuntahkan isi perutnya.
“Kamu suka swalayan gak ki?” tanya Yana padaku.
Aku memejamkan mata kiri dan memelototkan mata kanan, “apaan tuh?”
“Itu, kamu mainin kontolmu hingga keluar.”
Sambil malu – malu aku menjawab, “kadang.”
“Tiap anak laki pasti ngelakuinnya. Tapi kamu mesti tahu disepong rasanya lebih nikmat. Abis kita hukum dia karena muntah kita pake tiga jalan.”
“Pantatnya kemungkinan masih mati rasa. Coba pake pecut, rasanya sakit sekali apalagi saat kena 3P.”
“Apaan tuh tiga p?”
“Puting, paha dan perut.”
“Bener. Kita iket dulu dia.”
“Gak perlu. Suruh aja buka kakinya lebar – lebar dan tangan diletakan di kepala. Kalau dia menutup kaki, kita tambah lima hukuman.”
“Ide bagus. Oke lonte, siap ke posisi.”
“Gak adil,” rengek mama. “Tentu aku muntah. Kontolnya mentok hingga ke dalam.”
“Ke posisi.”
“Tunggu, kita siapin dulu. Biar ku bawa loofah dulu.”
“Apaan tuh loofah?”
“Tanaman kaya spons. Biasa dipake cewek buat bersihin kulit kering.”
“Trus buat apaan lagi?”
“Kita gosok dulu ke kulitnya biar lebih sensitif.
Mama menatapku tanpa berkata – kata.
Kuambil loffah dari kamar mandi dan kusuruh rudi memegang tangan mama di belakang punggung sementara aku menggosok susu dan pentilnya. Mama menangis.
“Liat, kulitnya makin merah, makin meriah dan makin sensitif. Sekalian juga makin magic.”
“Oh ya, paham nih.”
Rudi lantas mengambil loofah dan menggosok perut, memek dan paha mama hingga merah. Rudi lantas menyuruh mama muter hingga Rudi bisa menggosok pantat mama. Mama tetap menangis menahan perih. Akhirnya Rudi terlihat puas.
“Sepuluh kali di tiap susu, lima belas diperut, sepuluh di paha, sepuluh di belahan pantat, kamu sama rudi pegang dan lebarin pantatnya, sepuluh di memeknya, sepuluh di tiap bibir dan sepuluh di belahan pantat. Benar gak ki?”
Sebenarnya itu lebih dari yang kuterima, tapi kujawab kalau itu juga gak apa – apa.
Rudi melepaskan mama. Mama langsung menggosok tangannya. Lantas Yana berkata, “taruh tangan di kepala.”
Air mata mama jatuh tak tertahankan saat tangannya diletakan di kepala.
“Buka juga kaki lu,” kata Yana.
Mama membukanya sedikit, namun Yana terus menyuruh hingga akhirnya mama melebarkan paha sekitar empat langkah. Ngocoks.com
Satu pecutan di puting membuat tangan mama lepas. Otomatis puting itu dapat tambahan lima pecutan. Pada bagian perut dan paha dalam mama hanya terengah – engah kecil. Namun saat aku dan Rudi membuka pantatnya agar melebar, mama menurunkan tangan dan mencoba melepas tanganku dan tangan Rudi. Mama jadi dapat tambahan lima pecutan.
Yana lantas menyerahkan pecut padaku dan berkata, “nih ki. Selesaikan.”
Aku harusnya merasa kasihan pada mama karena aku tahu seberapa sakitnya dipecut. Namun yang muncul di pikiranku adalah tahun – tahun penuh penyiksaan. Seperti disuruh konsentrasi di kamp konsentrasi nasional sosialis.
Saat bibir luar memeknya dipecut, mama hanya berjinjit seperti menari. Namun saat Rudi dan Yana melebarkan bibir memeknya hingga memeknya terbuka bagi pecutanku, mama teriak saat menerima pecutan pertama. Mama menurunkan tangan lantas mencoba memukul kami.
Telinga Yana kena pukul. Andai telinga itu tak diasuransikan, seperti kaki pemain bola, atau dada artis, bisa – bisa jadi berabe kalau sampai putus. Yana terlihat marah, “udahlah. Kita lilit aja dia.”
“Kita bisa gantung dia di garasi.”
“Bagus. Kita ke garasi, kamu di depan.”
Mama tahu apa yang akan menimpanya hingga mama mencoba berontak sepanjang jalan kenangan. Di garasi, ujung tali kulempar ke mereka dan ujung lain kulempar ke atas, ke langit – langit sekitar yang tingginya kira – kira dua setengah meter.
Mama berdiri gemetaran sementara kakinya diikat Yana. Rudi melihat – lihat garasi. Memang tak ada poster grup ‘garasi’ namun tetap Rudi sepertinya terkesan. “Perkakas ayahmu banyak juga, ada alat – alat mancingnya juga.” katanya.
“Ya, ayah suka sama mancing juga perkakas.”
“Jadi ada ide nih.”
“Pegang lonte ini, gw mau iket tangannya. Dia loncat – loncat terus, kayak longcat.”
Rudi lantas meremas susu mama, “lu boleh gerak – gerak semaumu kalau mau ini gw tarik.”
Yana mengikat tangan hingga menyatu. Kepalan kanan di siku kiri. Kepalan kiri di siku kanan. Mama dibaringkan. Tangan dan kaki lantas diikat ke tali ke atas. Tubuh mama lantas diangkat, gak tinggi, hanya sampai kepalanya tak menyentuh lantai saja. Kira – kira sejengkallah.
“Memeknya mesti dibuka deh kayaknya,” kata Rudi.
Bersambung…