Rudi lantas menhampiri alat – alat mancing ayah dan mengambil empat kail untuk umpan ikan. Bibir memek kiri dan kanan mama dipasangi dua kail yang sudah berbenang. Tentu mama menjerit. Keempat benang lantas ditarik melingkari paha dan diikat membuat kedua bibir memeknya terbuka lebar.
Rudi kembali ke tempat perkakas dan membawa tang. Puting mama lantas dicubit oleh tang membuat mama kembali menjerit. Tang itu dikunci hingga menggantung.
Yana lantas mengambil joran (tongkat) pancing. “Kita bisa pake ini,” katanya. Lantas melecut – lecutkan ke udara hingga berbunyi. “Sini Ki.”
Aku mendekat ke Yana. Yana menunjukan suatu titik di bagian atas memek mama. “Itu itil. Gunanya kayak helm kontol kita. Liat efeknya kalau disentuh.”
Yana duduk di belakan mama dan dengan hati – hati mengarahkan pegangan joran pancing ke memek mama. Ujung joran itu mengenai itil mama. Ternyata efeknya nyata, meski tak sehebat efek bursa indonesia.
Mama melengking, tang di putingnya goyang – goyang seperti goyang lidah. Yana melakukannya lagi hingga kira – kira sembilan kali. Mama berkelejotan, kepalanya mengangkat untuk kemudian lunglai turun. Mulutnya tak henti menjerit.
Saat mama diturunkan, mama pingsan. Dibangunkan pun tak bisa. Akhirnya mereka mencabut tang. Mama dibawa ke rumah dan diikat ke sofa. Setelah itu kami semua tidur.
***
Esoknya aku bangun lantas ke ruang tamu melihat mama. Mama sedang berbaring, kakinya dilebarkan. Mungkit akibat sakit di selangkangan. Mama terlihat berantakan dengan memar di mana mana. Berdasar pengalamanku disika bertahun – tahun, aku yakin mama pasti akan sembuh dengan sendirinya.
Ada satu perbedaan di tubuh mama, dengan tubuhku dulu saat masih tersika. Memek mama terlihat sangat memar dan bengkak. Kemarin tak setembem itu. Karena tembem membuat memek mama terlihat sangat rapat dan singset. Kail pancing masih terpasang di bibir memek mama. Karena penasaran, kuelus belahan memek mama dengan jariku.
Elusanku membuat mama sadar. Secara reflek kakinya menutup dan tangannya mencoba menutupi susu mama. Namun ikatan pada tangan membuat mama tak bisa melakukannya.
“Jangan ditutupi. Biar kulihat tubuhmu.”
“Oh, nak. Bagaimana mungkin mama kamu perlakukan seperti ini?”
“Mungkin saja. Tinggal kuingat tahun – tahun penuh derita yang kamu lakukan padaku. Sekarang lu tahu gimana rasanya kan.
“Mama minta maaf nak. Bantu mama sayang. Mama janji gakkan menyakiti kamu lagi.”
“Tapi janji tinggal janji, pukul cambuk tetap jadi. Gw gak percaya. Gw tahu lu udah gatel pingin nyiksa gw lagi. Lagian, bisa apa gw? Gw masih kecil dan lu tau sendiri mereka gede – gede.”
“Ayahmu punya senapan angin di atas lemari mama. Bawa dan tembak mereka mumpung masih tidur.”
“Gila lu yah. Lu suruh gw jadi pembunuh? Ogah, mending gw ikut mlm daripada bunuh temen gw.”
“Dasar setan! Bunuh mereka atau mama janji akan mama siksa kamu saat mama lepas.”
Bukannya takut, aku malah kesal. Aku ke kamar tempat mereka tidur dan membangunkannya.
“Bangun. Mama bilang ada senapan angin di atas lemari. Bahkan mama nyuruh agar aku bunuh kalian pake senapan itu. Dia mesti dihukum.”
“Tentu, coba cek Rud.”
Rudi bangkit dan lantas memeriksa lemari mama. Ternyata benar ada senapan. “Senapan angin biasa. Tapi tetap bisa bunuh kita. Makasih Ki, udah nyelametin ini.”
“Bener bener mesti kita hukum. Tapi gw laper nih. Sarapan dulu yuk.”
Mereka melepas ikatan mama dan menyuruh mama masak. Setelah selesai, mama disuruh berlutut sedang kami makan. Lantas mama berkata dengan lirih, “aku masak banyak. Boleh minta makan dan minum?”
Yana lantas menuangkan kopi ke mangkuk dan menaruhnya di lantai. “Lu boleh minum, lebih daripada itu tidak. Gw gak mau lu muntah lagi. Minum langsung kayak anjing.”
Mama merengek, namun membungkuk lantas minum langsung dari mangkuk. Mama jelas haus.
“Waktunya tiga jalan,” kata Yana.
Aku penasaran, saat aku akan bertanya mama malah mendahuluti, “apa tuh tiga jalan?” kata mama.
“Tiga jalan adalah filosofi kehidupan yang muncul lebih dahulu dibandingkan jalan tengah. Seperti namanya, tiga jalan terbagi menjadi tiga. Pertama jalan depan, kedua jalan tengah dan ketiga jalan belakang.
“Terdapat empat orang pelaku. Pelaku pertama adalah jalan, pelaku kedua adalah pejalan satu. Pelaku ketiga adalah pejalan dua. Dan pelaku keempat adalah pejalan tiga.
Pejalan satu berbaring, lantas jalan berbaring di atasnya. Di atas jalan ada pejalan dua dan di belakang jalan ada pejalan tiga.”
Aku makin gak ngerti, bahkan Rudi lantas bicara, “lu mau ngomongin filsafat sekarang?”
“Intinya, seorang ngetot memek sementara lainnya ngentot pantat dan mulut lu,” kata Yana sambil menatap mama.
“Nah, kenapa lu gak langsung jelasin dari awal,” kata Rudi.
Mama meringis menyadari apa yang akan terjadi, “jangan sekarang. Selangkanganku masih sakit akibat cambuk dan kail.”
“Lu dapet dua puluh pukulan karena nolak. Berlutut, tangan di kepala!”
Mama masih memohon, namun sambil berlutut dan memengang belakang kepalanya.
“Bagus. Kalau lu sampai lepas, gw pukul terus.”
Yana mengambil susuk dari wajan lantas memukul susu, lebih tepatnya putingnya mama. Air mata mama mengalir namun mama tetap diam.
“Lu boleh gosok tubuh lu sambil istirahat,” kata Yana setelah selesai.
Mama mengelus putingnya yang mengeras.
“Karena lu tetep diam. Gw kasih kelonggaran. Ki, ada lotion gak?”
Aku mengambil lotion yang biasa dipakai mama. Saat kembali, Yana sedang mengikat kail pancing lagi melingkar paha mama membuat bibir memeknya terbuka lagi. Yana bilang mama boleh ngoles lotion di memek atau pantat kalau takut sakit.
Mama kembali berlutut melebarkan kaki, lantas mengoleskan lotion ke memek dan anusnya. Aku terkejut. Mama tak pernah renang dengan memakai bikini karena tak ingin memperlihatkan tubuhnya. Sedang kini mama memperlihatkan memek di hadapan orang lain.
Yana mengambil dua tusuk gigi. Salahsatunya dipotong hingga setengah. Kedua tusuk gigi itu lantas dipegangnya.
“Lu ambil satu. Kalau dapet yang pendek, gw dapet anuslu. Kalau dapet yang panjang, Rudi yang dapet anuslu. Anaklu bagian mulutlu.
Mama menarik tusuk gigi lantas merintih menyadari dapet yang pendek. Rudi lantas berbaring di lantai. Mama berjongok di atasnya dan memasukan kontol Rudi ke memeknya. Tangannya memegang pinggul, mama tak hentinya meringis. Yana lantas mendorong mama dan mulai memasukan kontolnya ke anus mama. Yana bahkan memegang pinggul mama saat mendorong kontolnya.
Aku berlutut. Mama bahkan tak perlu disuruh. Mama langsung memasukan kontol ke mulutnya dan mulai menjilati dan menghisapnya. Yana benar, rasanya lebih nikmat dari swalayan. Bahkan erangan mama membuatnya lebih menarik.
Beberapa saat kemudian mama mulai berubah. Tubuhnya mulai bergerak menyambut tiap tusukan di selangkangannya sambil tak hentinya menikmati kontolku di mulutnya. Begitu nikmatnya hingga saat aku keluar, kontolku tetap keras dan mama tetap menghisapnya hingga aku keluar lagi. Aku lantas menjatuhkan diri dan duduk.
Tanpa kontolku di mulutnya, mama mulai mengerang dengan wajah menahan nikmat. Hingga akhrinya mereka keluar.
Yana tersenyum dan berkata, “bener – bener lonte, jepitannya bikin nikmat.”
Mama tersipu mendengarnya lantas bicara, “Entahlah, tak pernah senikmat ini saat sama laki gw dulu. Mungkin karena lebih nikmat dibanding dicambuk.”
“Gw rasa lu memang jalang. Laki lu aja yang kelewat normal.”
Mama tersipu namun tetap diam. Lantas mama disuruh mejilati kontol kami hingga bersih. Mama menurut tanpa protes meski di kontol Yana terdapat sisa kotoran dan darah.
Kurasa mereka menyukai mama karena mereka membaringkan mama dipangkuan mereka, yang sedang duduk di sofa, sambil membelai dan meremas susu dan memek mama. Mama jelas sangat menikmati belaian itu.
Setelah beberapa menit, Yana berkata, “Ki, udah terpikir belum hukuman soal senapan itu?”
Mama lantas bicara, “jangan, tolong jangan hukum saya. Saya bisa ngentot lagi kalau suka.”
“Ya, lu udah bikin seneng sementara ini.”
Kukatakan kalau aku belum memikirkan sesuatu. Namun yang pasti aku tahu apa yang takkan disukainya. Lantas kujelaskan soal ember kecil yang pernah tergantung dikontolku. Bukankah kail juga bisa menahan ember?
Mama langsung panik, “jangan. Berat embernya bisa bikin robek kulit.”
“Bajingan, lu nolak lagi? Bener – bener gak pernah belajar ya. Bawa pecut sini!”
Mama merintih namun tetap mengambilnya, “tolong jangan terlalu keras. Saya tak bermaksud membantah.”
“Tenang, lu mau di mana? Susu, memek atau belahan pantat?”
“Udah pada sakit nih. Boleh di perut atau di pantat saja. Biar saya gandakan.”
“Jadikan enam puluh saja. Tiap perut, punggung dan pantat dapat dua puluh. Kita lakuin bareng biar cepet.”
“Oh Tuhan. Baiklah.”
“Oke Ki, ambil tiga ranting dari pohon!”
Aku ke dapur ambil gunting tanaman. Lantas keluar ke halaman belakang. Kupilih ranting yang menjulur agak panjang, kira – kira semeter. Kupotong cabang – cabangnya hingga menyerupai rotan.
Saat aku kembali, mama sudah berdiri dengan tangan di kepala. Mereka membelai pantat dan perut sambil menerangkan efek ranting di kulit.
Mama lantas berkata, “aku berubah pikiran. Dua puluh pukulan di susu saja.”
“Telat, Kiki udah ambil ranting.”
“Gimana kalau tiga puluh pukulan di susu?” mama mencoba menawar.
“Pake ranting?”
“Oh tuhan, iya.”
“Gimana Ki?”
“Boleh, masing – masing sepuluh, di susu hingga bener – bener merah.”
“Kita undi siapa yang duluan.”
Kami mengundi, aku kebagian terakhir. Aku senang karena, saat bagianku tentu susuny sudah sangat sakit.
Mama kembali menawar, “sekalian ikat aku saja.”
“Gak. Kita pingin lu lepasin tangan biar bisa nambah pukulan.”
Yana yang pertama. Mama menjerit tiap kali pecutan dan meninggalkan sepuluh tanda merah di tiap susu.
Rudi memecut bagian lain yang belum merah.
Kini bagianku. Mama terengah – engah dengan tubuh penuh peluh. Rudi lantas menyadari sesuatu, “liat susunya jadi gede,” katanya.
Rudi benar, susu mama jadi besar dan melorot. Kupecut keras berharap tangan mama lepas, namun mama tak melepas tangan, hanya terus menjerit tiap lecutan. Susunya telah jadi keras, lecutanku tak sedalam lecutan Yana.
Setelah selesai, kujatuhkan ranting. Mama langsung menurunkan tangan dan mengelus susunya sementara air matanya ikut membasahi susu.
Yana lantas menyuruhku mengambil handuk dan mengisinya dengan es. Saat kembali aku melihat mama berbaring, tangannya masih mengelus susu sementara memekny dientot Yana. Rudi memegang tangan mama dan handuk dingin kuletakan di susu mama. Mama berterimakasih padaku seolah – olah lupa kalau mama tak pelu es andai tak kami hukum.
Setelah Yana selesai ngntot, Rudi menggantikannya. Kuraih dan kuposisikan kontolku ke mulut mama. Mama langsung menghisapnya seperti bayi yang kelaparan yang diberi botol susu. Saat akan keluar, kutarik kontolku dan menyemburkan peju ke wajah mama. Tanpa perlu disuruh, mama meraih peju dengan tangan dan menghisapnya hingga bersih.
Kami biarkan mama berbaring di sana dengan anduk dingin. Yana buat makanan sementara aku membuat es teh manis. Kuberi mama teh manis dan mama berterimakasih, seolah – olah aku telah melakukan sesuatu yang sangat besar baginya. Kurasa mama perlu minum setelah berkeringat begitu banyak.
***
Yana datang lantas bicara, “lonte ini mulai bau. Kita mandikan saja.”
Kubawa mama ke kamar mandi dan kami mandikan sambil berdiri. Mama tak protes saat kusabuni memeknya, bahkan seperti menikmatinya. Saat akan kuraih handuk, Yana melarangnya.
“Biar dia basah dan kering sendiri.”
Mama dibawa kedapur dan diberi makan dan minum.
“Enakan sekarang?” tanya Yana.
“Iya, makan dan mandi bikin seger. Makasih.”
“Bagus. Jadi udah siap pake ember.”
“Oh, belum cukupkah aku disiksa? Aku telah berbuat baik dan melakukan apa yang disuruh.”
“Ya maaf aja. Lagian gak kan kami lakuin andai lu gak lakuin itu ke Kiki.”
Aku terkejut saat mama bilang, “iya, kurasa aku berhak mendapatkannya.”
Yana menyuruh mama berlutut lantas mengikat ember ke kail di memek mama. Mama tersentak saat berdiri meski ember itu tak berat – berat amat. Bahkan bibir memek mama agak tertarik sedikit.
Yana mengisi ember dengan air dan menyuruh mama jalan mengitari dinding ruangan. Kami tertawa melihat mama berjalan dengan lucu, kakinya dilebarkan agar pahanya tak menyentuh ember. Ngocoks.com
Mama mulai mengangis di putaran ke tiga, setelah embernya tiga kali diisi air. Pada putaran keempat aku mulai memperhatikan memeknya. Terdapat lubang kecil di tempat kail pancing. Bibir memek mama pun telah sangat lebar, kira – kira selebar lima jari melorot ke bawah.
Pada putaran kesembilan, salah satu kail merobek bibir memek mama menyisakan tiga kail yang masih mengait. Robekan itu menyebabkan mama berteriak dengan mengerikan. Mama lantas berlutut sambil menangis. Kami mendekat dan melihat darah mulai mengucur.
Kubilang Yana bahwa ayah punya sejenis serbuk untuk menghentikan pendarahan yang selalu digunakan ayah saat berdarah setelah bercukur. Aku lantas mengambilnya. Saat kembali, kulihat mama sedang berbaring menangis dengan kaki terbuka lebar. Yana lantas menaburi serbuk itu ke memek maka.
Mama langsung berteriak, “panas… panas… panas… pada diri …”
***
Kami biarkan mama istirahat selama beberapa hari hingga lukanya sembuh dengan sendirinya. Namun tetap ngentot anus atau mulut mama. Kami juga membuat mama memohon agar hanya dihukum susu, perut atau pantatnya saja.
Aku lantas bertanya kenapa mama sangat membenciku. Mama jawab karena aku tak lahir sebagai perempuan. Mama tak pernah suka anak lelaki. Mama juga menikah akibah hamil duluan, telat tiga bulan, gara – gara pacaran suka gelap – gelapan.
Akhirnya aku paham kenapa aku sangat dibenci, meski aku merupakan darah dagingnya sendiri.
Bersambung…