Setelah hari itu, pikiranku semakin jauh tenggelam dalam dunia syahwat. Bahkan hanya melihat beberapa santriwan yang tengah berkumpul di kantin sekolah sudah membuat memekku berkedut karena membayangkan tengah di garap rame-rame oleh mereka.
Di kelas pun sama, setiap guruu lelaki yang mengajarku pasti tak lepas dari fantasiku. Terlebih lagi guruu matematika, pak Anwar namanya yang punya postur tubuh idaman. Tinggi, besar, kencang, dan paras yang cukup ganteng menurutku.
“Ohh.. iya ya.. hari ini jadwal piket kamu ya Rit..?? Yaudah kita duluan yaa..”, kata Ani.
“Iyah.. nanti aku nyusul sih.. lagian ini aku nyalin belum kelar..”, jawabku yang masih menyalin catatan dari salah satu temanku.
“Ahahah.. udah ga usah rajin-rajin amat.. toh besok ga ditanyain malaikat di kubur..”, celetuk Ifah bercanda.
Sekitar jam 13.25 aku baru selesai dengan urusan bersih-bersih di sekolah. Kulihat awan sudah agak mendung kalau tidak bergegas khawatir akan kehujanan di jalan. Dengan buru-buru aku segera mengayuh sepedaku. Tak jauh dari sekolah, aku dikejutkan oleh suara pak Anwar yang memberiku salam sambil melambaikan tangannya.
Motor Yamaha X-Ride yang dia kendarai semakin membuatnya terlihat gagah di mataku. Ahh.. dadanya yang bidang semakin terlihat seksi dengan baju dinas PNS warna coklat susu yang ia kenakan. Gara-gara hal itu, niatku yang ingin langsung pulang ke pondok pun harus ku tunda karena ada ‘kewajiban’ yang harus kulakukan.
“Ahhh.. Ahhh.. Pak Anwarr.. Ahhh.. Ustad Hamzaahh.. Ahhh.. Enakkk.. Aahhh.. Mhhh..”, desahku cukup keras karena birahi yang sudah memuncak.
Kembali batu besar di hutan itu menjadi sandaran untukku yang tengah terbang dalam kenikmatan masturbasi membayangkan kontol besar Ustad Hamdan dan Pak Anwar sibuk menggilir selakanganku. Karena hari itu hari Rabu, jadi HP ku sudah kembali ke tim amanah pondok. Hanya imajinasiku yang begitu liar yang menjadi tuntunanku siang itu.
Khimar putih jumboku sudah bersandar di pundakku, sementara toket 36C ku yang dihias puting coklat muda sudah terlepas dari sangkarnya dan terbuka bebas menjadi sasaran remasan tangan kiriku. Tangan kananku sendiri terus aktif membelai, menggesek, membelah bibir memekku yang sudah banjir bandang oleh lendir.
“Aahhh.. Ahhh.. Ahhhh.. Ooohhhh.. Ssshhh.. Ahhhh.. Oooounnnghhhhhh..”, lenguhku kuat merasakan klimaksku.
Seluruh tubuhku mengejang hebat, mataku menatap nanar ke atas dengan mulutku yang agak terbuka. Toket kiriku ku remas kuat sementara tangan kanannku membuka bibir memekku saat kurasakan orgasme yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Entah kenapa orgasmeku siang itu begitu nikmat dan memekku menyemburkan cairan layaknya orang buang air kecil. Aju baru tau kalau itu yang disebut Squirting setelah beberapa hari berikutnya aku melihatnya di video bokep dari HPku.
Seluruh sendiku serasa ingin lepas karena lelah yang tak biasa. Aku pun duduk sebentar di batang pohon di depanku dengan posisi mengangkang sehingga menampilkan memekku yang mulus tanpa bulu karena rok panjangku yang kusingkapkan hingga pinggul.
Toketku yang bulat mulus itu pun bebas tanpa ada yang menutupinya. Saat aku tengah mencoba menstabilkan nafasku dan menatap ke langit, baru kusadari kalau awan sudah begitu gelap karena mendung. Dengan panik aku segera mengancingkan lagi bajuku tanpa sempat kembali membenahi bra dan tak sempat memakai CD.
Dengan sekuat tenaga aku mendorong sepedaku dan mengayuhnya. Jarak dengan pondok masih cukup jauh tapi suasana sudah terlalu gelap karena awan mendung. Dan benar saja, tetes hujan pun tak tertahankan dan mulai mengguyur deras diriku.
Meski sudah berusaha, aku pun terpaksa harus berteduh di salah satu pohon yang cukup rindang untuk mengurangi intensitas hujan yang mengguyurku. Bukan masalah aku basah kuyup, tapi lebih ke buku-buku pelajaran yang ada di dalam tas yang kukhawatirkan.
Sudah lebih dari 20menit aku berteduh, seluruh baju, khimar, cadar dan rokku basah kuyup. Tasku pun mulai terlihat basah yang membuatku semakin khawatir.
Bruuumm.. Ciiitt.. *Suara mobil di rem*
“Lohh.. Neng Charita kan?? Ngapain disini hujan-hujanan??”, tanya pak Ponijan yang mengenakan jas hujan dan juga tengah hujan-hujanan dengan motor megapro nya.
“Ahh.. pak Ponijan.. ini tadi keujanan.. Pakk.. Pakk.. boleh ikutan ngga..??”, tanyaku tanpa basa-basi karena sudah panik dengan kondisi tasku.
“Iya ayo.. keburu makin deras ujannya neng.. nanti sepedanya bapak ambil lagi aja..”, jawab pak Ponijan yang kemudian menarik bagian belakang jas hujannya.
Tanpa basa-basi aku segera naik ke jok belakang pak Ponijan padahal aku tau dia bukan mahramku. Tapi karena hujan yang tambah deras ditambah lagi aku yang sudah akrab dengan beliau sehingga membuatku tak malu-malu lagi.
Ku dekap tasku di dadaku yang sudah basah kuyup sementara tangan kiriku menarik bagian belakang jas hujan pak Ponijan supaya tidak berkibar kesana-kemari. Hawa dingin karena angin yang berhembus menerpa bajuku yang basah kuyup membuatku sedikit bergidik. Sepatuku pun bisa kurasakan seperti halnya tempat penampungan air.
“Neng.. tambah deres nih.. ke pos jaga dulu aja ya nunggu hujannya agak reda dikit..”, kata pak Ponijan.
“Haa..?? Ahh.. Iya deh pak..”, jawabku spontan meskipun tidak tahu apa yang pak Ponijan ucapkan.
Pak Ponijan semakin cepat mengendarai motornya dan terlihat lincah melewati jalan yang tergenang oleh air. Tak berselang lama, kami pun sampai di pos jaga yang biasa pak Ponijan berada. Dengan cepat pak Ponijan mengambilkan handuk dan untukku sambil kemudian ia kembali menyalakan motornya.
“Wah.. Bapak ga ada baju buat neng Charita.. pakai handuk dulu neng yaa biar agak keringan dikit.. bapak mau balik ambil sepeda neng Charita dulu..”, ucap pak Ponijan yang langsung kembali merangsek di derasnya hujan.
Aku pun hanya terdiam dan mengangguk saja dengan arahan cepat pak Ponijan. Mungkin karena beliau sudah terbiasa dengan perintah dari komandannya yang semua harus serba sat-set. Ku lihat-lihat bangunan pos jaga yang berukuran 4×6 meter itu.
Cukup luas dan tertutup oleh tembok dan kaca. Bahkan fasilitas nya pun cukup lengkap dengan musholla dan ruang istirahat. Bahkan ada ruangan kecil yang disulap menjadi dapur mini di sebelah musholla. Sebuah toilet minimalis berada di bangunan yang berbeda tapi menempel dengan pos jaga. Kuletakkan tasku di bawah bangku di pos itu dan sedikit kukeringkan pakaianku dengan handuk.
“Aahhh.. coba di pondok.. udah ganti baju ga pake kedinginan..”, gumamku sambil duduk dan menanti pak Ponijan.
Saat aku ingin melepas cadar putihku yang juga basah, tiba-tiba kudengar suara motor dari derasnya hujan. Kulihat pak Ponijan mengendarai motornya sambil tangan kirinya menggenggam stang sepedaku. Aku heran, padahal itu kan motor laki, tapi pak Ponijan bisa dengan mudahnya membawa sepedaku bahkan di bawah derasnya hujan.
“Ahhh.. lama neng yah..??”, ujar pak Ponijan sambil melepas jas hujannya setelah memarkirkan motornya di belakang.
“Ngga juga kok pak Pon..”, jawabku yang kini duduk tegap di kursi dengan kedua tanganku diatas kedua pahaku.
“Ahahah.. ga usah kaku gitu neng.. Ehh.. Ahh iya.. bapak bikinin teh anget yaa..”, jawab Pak Ponijan.
“Iyah pak.. aduhh jadi ngrepotin bapak..”, jawabku malu-malu.
Pak Ponijan pun hanya tersenyum kemudian segera menuju dapur. Sempat kulihat kalau mata pak Ponijan beberapa detik terpaku pada tubuhku. Aku pun tak mengindahkannya, tapi mungkin saat itu ia melihat bongkahan toketku yang nampak samar-samar dari balik khimar dan bajuku yang basah kuyup. Sekitar 5 menit kemudian pak Ponijan keluar dengan membawa 2 gelas teh panas.
“Ini neng.. Ati-ati panas ya..”, kata pak Ponijan sambil duduk di depanku.
“Iyah pak Pon.. makasih ya..”, jawabku yang tanpa ragu segera mengambil gelas itu dengan kedua tanganku.
“Srruupp.. Ahhh.. Ngomong-ngomong kok sendirian neng?? Neng Ifah sama yang lain kemana??”, tanya pak Ponijan yang berkumis tebal itu.
“Srrpp.. Ohh.. mereka udah balik pondok duluan pak.. tadi Charita ada piket bersih-bersih kelas..”, jawabku sambil menikmati hangatnya teh dengan suara guyuran hujan yang begitu deras sebagai background.
“Mmhh.. gitu ya.. soalnya ga biasa aja gitu liat santriwati pulang sendirian.. lagian bapak udah sering bilang kalo bahaya..”, jawab pak Ponijan.
“Ohh.. bahaya apa pak??”, tanyaku.
Kemudian pak Ponijan yang mengenakan kaos ketat warna biru muda dengan loreng-loreng biru tua itupun mulai bercerita tentang beberapa kali kasus penculikan disini dan juga serangan hewan liar seperti ular di dalam hutan, maka dari itu ia terus berpatroli hari-hari.
Ia juga bercerita kalau sudah hampir 2 tahun ini ia bertugas di daerah itu setelah sebelumnya dinas di daerah Kalimantan. Di umurnya yang sudah menginjak separuh abad, apalagi tinggal di daerah pedalaman seperti itu membuatnya rindu akan keluarganya.
Maka ia cukup terhibur saat tau kalau ada santriwati pondok yang sering lalu-lalang di dekat tempat ia bertugas. Hal itu mengingatkannya dengan beberapa anaknya dan juga cucunya.
“Ahahah.. yaa itulah neng konsekuensi dari tugas bapak.. jauh dari anak istri..”, jawab pak Ponijan yang sudah beberapa kali terlihat memandangi daerah dadaku.
“Ohh.. terus kalo lagi kangen gitu gimana dong pak??”, tanyaku polos.
“Emm.. kangen ya..?? Kangen siapa dulu nih neng?? Kangen anak apa istri..??”, tanya pak Ponijan menggoda.
“Emmm.. kalo kangen istri gimana tuh paakk?? Kan jauhh..”, jawabku yang juga balas menggoda pak Ponijan sambil terus menikmati tehku.
“Yaahh gimana yaa..?? Yaa gitu lah neng..”, jawab pak Ponijan sambil sesekali melirik ke pahaku.
“Gimana sih pak?? Charita gatau nihh.. “, jawabku yang semakin menggoda pak Ponijan dengan maksud bercanda.
“Duhh gimana ya jelasinnya.. itu lohh nengg.. gapapa nih bapak cerita sama santri pondok kayak neng..??”, jawab pak Ponijan sambil menahan malu sepertinya.
“Hem?? Gapapa kok pak.. hihihih..”, jawabku sambil tertawa kecil ke arah pak ponijan yang membuat pak ponijan agak salting.
“Itu neng.. kalo bapak pas kangen yaa.. Co.. Coli gitu..”, jawab pak Ponijan sambil menutupi wajahnya dengan tangan kanannya.
“Ehh.. apa tuh pak Coli..??”, tanyaku keheranan karena memang aku waktu itu belum tau soal istilah itu.
“Yaa itu tuh neng.. gimana ya?? Mainin itunya bapak..”, jawab pak Ponijan malu-malu.
“Ohh.. Ahahah.. Charita ga paham sih pak..”, jawabku singkat karena ingin menyudahi saja candaanku.
“Ehh ya neng.. bapak tuh penasaran.. mmm.. bentar ya..”, ucap pak Ponijan sambil sibuk dengan HPnya.
Tak lama kemudian pak Ponijan menunjukkan video di HP nya. Aku yang penasaran pun dengan santai melihat apa yang ditampilkan. Video bermula dari suasana hutan yang cukup rindang yang membuatku merasa seperti dejavu saat melihatnya.
Beberapa detik kemudian, aku dibuat tercengang. Jantungku berdetak kencang, harga diriku serasa hancur berantakan. Rasa panik dan bersalah seperti saat dulu abi menunjukkan video saat aku berzina dengan Ahsan kembali kurasakan siang itu.
“ini lagi ngapain neng..?? Hehehe..”, tanya pak Ponijan dengan senyum penuh makna tersirat di wajahnya.
Aku tak bisa menjawab pertanyaan pak Ponijan. Aku hanya terdiam terpaku melihat di dalam video itu menayangkan diriku yang tengah bermasturbasi ria di tengah hutan yang biasa ku datangi. Ingin rasanya aku berteriak, marah, sekaligus sedih di waktu yang sama.
Bukan pak Ponijan yang ku khawatirkan, tapi kalau video itu menyebar ke teman-temanku, atau ustadzah, atau bahkan sampai ke orangtuaku. Hancurlah sudah masa depan dan kehidupanku kalau itu terjadi.
“Ahhh.. Pakk Pon.. Hapus dong.. Hapus tolongg.. kok bisa dapet darimana paakk..??”, rengekku panik.
“Lohh.. kan tadi bapak nannya.. lagi ngapain nih neng..? Jawab dulu dong..”, ucap pak Ponijan yang duduk santai di hadapanku.
“Ahh.. aduhh pakk.. tapi hapus dulu videonya.. Charita maluu.. tolong paakk.. jangann..”, rengekku sambil sesenggukan.
“Kok malah nangis?? Kayaknya di video itu neng Charita keenakan.. coba dong, kasih tau bapak lagi ngapain nih neng Charita..?”, ujar pak Ponijan yang menekanku dengan kata-katanya.
“Tapi janji yaahh pak.. ga kasi tau siapa-siapa.. yaahh..??”, pintaku memelas.
“Yaa itu masalah nanti.. jawab dulu.. trus cerita.. kok bisa santriwati bercadar kayak neng Charita kayak gini..”, tanya pak Ponijan.
Aku pun tak punya pilihan lain selain menceritakan semua kisahku. Awal mula aku mengenal dunia lendir dari Ahsan waktu aku masih MTS. Meski malu, aku terpaksa melakukannya, aku tak punya pilihan lain. Semua detil kejadian yang ku alami dengan Ahsan kuceritakan pada pak Ponijan.
“Waahh.. nakal juga yaa neng Charitaa.. ahaha.. coba sekarang neng Charita lakuin lagi yang kayak di video ini..”, kata pak Ponijan.
“Ehh.. tapi kan Charita uda cerita pakk.. kan tadi ga disuruh kayak gitu..”, jawabku panik.
“Yaa terserah neng Charita aja.. ini ada.. mmm.. 30an video lohh.. ahahaha.. bapak tuh rajin patroli jadi tau banget jadwal onani neng Charita.. gimana? Pilih lakuin atau jadi viral nih..??”, ancam pak Ponijan.
“Ahh.. Iya pak Pon.. Jangan pak Pon..”, jawabku yang kembali panik.
Kuletakkan gelas tehku dan mulai melakukan apa yang pak Ponijan minta. Setelah kusibakkan khimarku, aku mulai melepas kancing bajuku dan plop.. kedua toket 36C ku melompat keluar dari nalik seragam MAN yang kukenakan dan disambut siulan pak Ponijan yang terpana melihat bulat dan indahnya toketku.
Kuubah posisi dudukku dengan bersandar di dinding sementara kedua kakiku kubuka lebar sehingga menampakkan kaki jenjangku yang putih mulus dan hanya ditutupi kaos kaki hitam sebetis. Kunaikkan rokku hingga pinggul dan kini tak ada lagi yang menutupi memek tembem coklatku yang mulus tanpa bulu untuk menjadi santapan mata pak Ponijan.
“Duuhh Nenngg.. emang bedaa yaa kalo bodynya santriwati tuh.. Ssshh.. Mmhh.. lanjutt neengg..”, ucap pak Ponijan yang tengah asik menikmati keindahan tubuhku sambil menghisap rokoknya.
“Mmhh.. Sshhh.. Aahhh.. Shhh..”, desahku yang mulai berfantasi membayangkan ustad Hamzah dan pak Anwar yang kembali menjamahi tubuhku.
Tangan kananku sudah mulai menari membelai bibir memekku yang mulai terlihat mengkilap oleh lendir syahwatku, sementara kedua gunung kembarku mendapat belaian penuh birahi dari tangan kiriku.
Secara naluriah jemariku menggilir antara memilin puting dan meremas toket secara bergantian. Sesekali kulihat ekspresi Pak Ponijan yang menahan nafas tiap kali melihat tanganku meremas kenyalnya kedua gunungku.
“Ahh.. Ustaad.. Ahhh.. Mmmhh.. Pakk Anwarhh.. Shhh.. Ohhh..”, desahku dan secara tak sengaja ku sebutkan nama pak Anwar dihadapan pak Ponijan.
“Wuuhh.. Jadi bayangin sama si Anwar yaa nengg..?? Boleh juga nih si Anwar itu.. udah diapain aja neng..??”, tanya pak Ponijan sambil meremas-remas sesuatu di balik celana jeans yang ia kenakan.
“Mmhh.. Shh.. Belum pakk.. Belum pernaahh.. Sshh..”, desahku yang mulai keenakan sendiri meskipun sebenarnya aku juga menahan malu disuruh melakukan hal itu apalagi di depan kamera.
Hampir sekitar 5 menit lamanya aku harus melakukan show di hadapan anggota TNI paruh baya berkumis tebal itu. Untungnya cadar masih ku kenakan jadi wajahku tak terlihat secara langsung di salam video. Suara gemuruh hujan yang turun justru semakin deras dan menutupi apa yang tengah aku perbuat.
Rasa bersalah beberapa kali menghampiriku ketika terlintas bayangan tentang kedua orangtuaku, tapi entah kenapa aku tak bisa berhenti, justru tanganku semakin liar menggesek memekku yang sudah belepotan dengan lendir putih kental.
Tak hanya disitu saja, pak Ponijan yang sudah terangsang kini berdiri di sebelah kiriku. Aku yang tengah dilanda birahi dan sedang memejamkan mataku menikmati masturbasiku sendiri, terkejut saat tiba-tiba wajahku yang terturup cadar ditampar sesuatu.
“Naahh.. ini nengg.. sekalian di manjain punya bapak..”, kata pak Ponijan sambil mencengkram kepalaku dengan tangan kanannya yang besar dan kuat.
Aku terbelalak saat melihat ukuran kontol Pak Ponijan yang luar biasa besarnya dan berwarna hitam legam. 18cm dan dimeter 4cm, berurat, dengan bulu selakangan yang sangat lebat seperti tak pernah dicukur seumur hidupnya.
Yang lebih membuatku kaget adalah bentuk kontol pak Poniajn yang meskipun sudah tegang tapi semuanya tertutup kulit, tak seperti milik Ahsan yang ada kepala diujung kontolnya. Aku mencoba menghindar tapi apalah dayaku melawan kekuatan seorang lelaki terlatih sepertinya.
“Udahlah neng.. ga usah berontak.. mau viral beneran?? Bapak kasih tau yaa.. neng Charita tuh sekarang milik bapak.. kalo ga bisa turuti apa mau bapak yaa siap-siap aja viral.. ahahah..”, ucap pak Ponijan yang sudah tak mengenakan celananya.
“Awhh.. Ahh.. Ampun pakk.. tapi kan tadii Cuma disuruh kayak tadi aja.. ahh.. tolong pak.. Charita masih perawan..”, jawabku yang panik karena aku tau apa yang akan terjadi berikutnya.
“Lhohh.. kan sudah bapak bilang.. nurut aja!! Wahh.. bagus dong kalo masih perawan.. temenmu itu kebanyakan udah pada gak perawan.. hahah.. Nahh, sekarang manjain kontol bapak yang gak disunat ini..”, jawab pak Ponijan sambil terus menekan kepalaku ke selakangannya.
Wajahku yang tertutup cadar dan masih mengenakan khimar putih jumbo kini tengah tenggelam di lebatnya bulu kemaluan pak Ponijan. Meski tertutup cadar, namun aroma pekat khas selakangan lelaki begitu kuat menyodok hidungku, apalagi kini pak Ponijan menekan-nekan kepalaku semakin kuat di zakarnya, rasa mual pun mulai kurasakan. Pak Ponijan terlihat begitu menikmati saat wajah bercadar seorang santriwati tengah terbenam di selakangan dan kontol kafirnya.
“Nah.. sekarang mulai pake itu mulut suci kamu neng.. kan emang mulut santriwati kayak kamu tuh di ciptakan tuhan buat disumpalin kontol..”, kata pak Ponijan yang begitu bersemangat melecehkanku.
Kaki kanan pak Ponijan kini menapak di bangku tempat aku duduk dan menekan kepalaku agak kebawah sehingga kini sebagian besar wajahku di tutupi zakarnya yang berbulu lebat. Ia terus menekan wajahku karena sudah tak sabar yang membuatku terpaksa menyibakkan cadarku dan mulai mengulum zakar pak Ponijan sambil kedua tanganku terus aktif meremas toketku dan menggesek memekku.
“Ohhh.. Shhh.. Gituhh Nenngg.. Wuuhh.. Shhh..”, Desah pak Ponijan sambil membelai kepalaku.
Rasa asin bercampur aroma selakangan lelaki mulai membuatku mual. Meski bukan pertama kalinya bagiku melakukannya, tapi mungkin karena pak Ponijan jarang membersihkan selakangannya sehingga menghasilkan aroma yang sangat kuat.
“Mmhh.. udah lama banget ga ngrasain sepongan santriwati.. ahhh.. nahh sekarang masukin kontol bapak neng..”, kata pak Ponijan sambil menyodorkan kontolnya yang jumbo itu.
“Mmfhh.. Ahh.. Ga muat pak mulut Charita.. kegedean..”, ucapku spontan saat kembali di suguhi batang kafir pak Ponijan.
“Gapapa neng.. santai aja.. pelan-pelan dulu.. tadi aja bisa kok sama yang bawah..”, kata pak Ponijan membujukku.
Ahh.. ku paksa diriku untuk menuruti perintah pak Ponijan meski dalam hati kecilku ingin berteriak. Aku masih belum terbiasa dengan aroma kontol pak Ponijan yang begitu tajam. Tapi pilihan apa yang kupunya? Aku pun perlahan mulai menciumi batang kejantanan berurat anggota TNI itu.
Ku mulai dari ujungnya yang masih tertutup kulup dan terus berakhir di pangkalnya. Secara berulang dan perlahan ku ciumi dan kujilati batang kontol Pak Ponijan. Setelah beberapa lama, entah kenapa aku mulai merasa ketagihan.
“Ouuhh.. iyaahh nengg.. ohhh.. angetnyahh.. ssshhh.. terushh nengg..”, Desah pak Ponijan keenakan saat merasakan kontolnya melesak masuk ke mulutku.
Kubuka mulutku selebar mungkin karena diameter 4cm masih terlalu besar untukku. Beberapa kali kulihat pak Pon meringis saat gigiku tak sengaja menyentuh kulit kontolnya yang berurat. Sedikit demi sedikit akhirnya aku berhasil menaklukkan sepertiga bagian kontol pak Ponijan. 18cm masihlah sesuatu yang mustahil bagiku. Ku gerakkan kepalaku maju mundur seperti dulu saat aku melayani Ahsan.
“Ahh.. lumayan juga rasanya.. Mmhh.. enak sihh..”, gumamku dalam hati saat mulai merasakan lezatnya kontol pak Pon.
Desahan dan erangan pak Ponijan semakin kuat saat aku mulai lihai mengulum kontolnya. Terlebih lagi saat kulesakkan kontol pak Ponijan sedalam mungkin di mulutku dan kumainkan lidahku membelai bagian bawah kontolnya membuat Pak Pon terlihat begitu puas.
“Mhhh.. Mfhhh.. Ockkhh.. Ockkhhh.. Mfhh.. Srrpp.. Mfhhh..”, suara decak becek mulutku yang tengah menangani garangnya kontol pak Ponijan.
Hanya perasaanku atau memang kontol yang tidak disunat itu terasa lebih gurih. Aku pun tak bisa berpikir jernih. Kubayangkan saat itu aku tengah mengulum kontol ustad Hamzah ataupun pak Anwar yang Sudah pasti membuatku semakin terangsang hebat.
Kalau boleh digambarkan, aku saat itu tengah duduk dibangku bersandarkan tembok dengan kedua kakiku mengangkang dan masih mengenakan kaos kaki hitam dan sepatu. Memek coklatku tengah menjadi bulan-bulanan jemariku yang menggesek cepat karena terbakar oleh birahi yang menggebu. Sementara dadaku tak lagi tertutup baju Osis sehingga menampilkan kedua toketku yang bulat dan ranum.
Khimar jumboku kusingkap agar tak mengganggu kenikmatan tangan kiriku meremasi toketku sendiri. Tak berakhir disitu, kepalaku yang masih terbalut khimar dan tertutup cadar pun aktif mengocok kontol pak Ponijan di mulutku.
“Aaanghh.. Aaahh.. Sshh.. Mmhhh.. Oooohh.. Sshhh.. Mhhh..”, Desahku lepas saat merasakan jilatan lidah kasar pak Ponijan membelah labia mayoraku.
Setelah cukup lama aku melayani kontol Pak Pon di mulutku, kini berganti pak Ponijan yang jongkok di hadapanku. Kedua kakiku kini kutekuk mengangkang dan ditahan oleh tangan kekar pak Pon. Yang mengherankan adalah tak keluarnya sedikitpun kata-kata penolakan dariku saat tiba-tiba pak Pon mencabut kontolnya dan beralih jongkok untuk siap-siap menikmati beceknya memekku, seperti aku sedang dihipnotis saja.
Aku tak bisa menggambarkan apa yang kurasakan saat itu. Permainan lidah Ahsan tak bisa dibandingkan dengan nikmatnya lidah pak Pon saat menari memanjakan setiap mili bagian dari bibir kewanitaan suciku. Ahhh.. aku benar-benar dibuatnya melayang dalam dekapan syahwat.
Mataku terpejam, kepalaku mendongak ke atas dan hanya keluar desahan nikmat dari mulutku yang tertutup sehelai kain cadar putih. Tak pernah kurasakan kenikmatan seperti ini, bahkan masturbasiku selama ini pun tak bisa menandingi kenikmatan yang dihantarkan oleh lidah terampil anggota TNI itu.
Orgasmeku semakin tak tertahankan saat kedua tangan pak Pon kini memilin manja kedua putingku yang mencuat keras sementara kedua tanganku berganti menahan kedua kakiku agar tetap mengangkang.
“Ahhh.. Ahhhhh.. Aaahh.. Paakk.. Ampunnhh.. Oohhh.. Paaakk.. Aaahhh.. Charita mau pipiss.. Aahhh.. Udahh Paakk.. Aaaaaaaahhhhhhhhhnnnggggggg..”
Aku pun melenguh panjang melepas orgasme pertamaku yang begitu nikmat dari permainan lidah pak Ponijan. Seluruh tubuhku mengejang hebat bahkan hingga tersentak beberapa kali. Parahnya lagi pak Ponijan tak menghentikan jilatannya dan malah menghisap kuat kelentit ku yang membuatku kelojotan.
CRRRR…. CRRRRRR… Glup.. Glupp.. Glupp..
Aku tak mampu menahan cairan orgasmeku yang menyembur. Tapi pak Ponijan langsung menenggaknya tanpa rasa jijik sedikitpun bahkan oa terlihat begitu lahap menenggak setiap tetesnya. Beberapa detik tubuhku terus mengejang.
Seluruh sendiku terasa lemas serasa tak memiliki tenaga sama sekali. Pak Pon masih saja menyedot dan menjilati bibir memekku tanpa henti. Barulah setelah nafasku mulai stabil, Pak Pon pun berhenti.
“Nahh.. Dah siap nih neng..”, kata pak Pon yang berdiri sambil menyeka pipinya yang basah oleh lendirku.
“Ahh.. Shh.. Siap apa paakk..??”, tanyaku lemah.
“Siap buat diperawanin dong..”, kata Pak Pon sambil mengocok kontolnya di hadapanku.
Mendengar kata-kata pak Ponijan, hatiku seperti disambar petir. Tak kuduga kalau pak Ponijan benar-benar akan merenggut keperawananku. Ku kira kalau aku sudah orgasme dan dia merasa puas, maka akan selesai.
Tapi aku lupa kalau lelaki itu tidak sampai ejakulasi, maka mereka akan tetap berusaha bagaimanapun juga. Ingin rasanya aku berteriak dan melawannya, tapi tubuhku seperti tak bertenaga karena baru saja orgasme, ditambah lagi lawanku adalah seorang anggota terlatih, sudah tentu aku tak punya kesempatan sedikitpun.
“Ampunn paakk.. tolong.. apa saja selain yang ituu.. Charita belum mauhh.. tolongg..”, rengekku yang hanya terdengar seperti angin lalu bagi pak Pon.
“Mau minta ampun kayak apapun neng.. neng Charita tuh ga sedang ada di posisi bisa ngelawan.. ahahah.. udah pasrah aja..”, jawab Pak Ponijan yang kemudian menarik paksa baju osisku hingga terlepas.
Air mataku pun menetes sesaat setelah baju OSIS ku yang basah kuyup terlepas sehingga tak ada lagi yang menutupi tubuh bagian atasku hingga perut. Ingin rasaya ku berteriak, tapi derasnya hujan diluar sana seperti mendukung apa yang tengah dilakukan pak Ponijan padaku.
Aku hanya bisa pasrah saat pak Pon kemudian mengajakku berpindah tempat ke musholla. Perlahan aku dibaringkan di atas karpet hijau musholla yang cukup tebal bermotif sajadah. Pak Ponijan menatap keindahan tubuh putihku sebentar sebelum ia melanjutkan untuk melucuti rok abu-abu ku yang juga basah kuyup.
“Wuihh nenngg.. udah mirip-mirip sih sama si Shofi.. cakeppp bener..”, ujar pak Ponijan yang membuatku terkejut bukan main.
“Ehh.. Ustadzah Shofi Pak..?? Maksudnyaahh.. bapak juga udah pernah sama ustadzah Shofi..??”, tanyaku.
“Lohh neng Charita blum tau..?? Udah sering banget dulu ustadzah Shofi hafalan sambil bapak entot gitu.. yaa disini juga.. kadang di hotel.. tapi sekarang sibuk banget itu jadi yaa Cuma bisa sebulan sekali..”, jawab pak Ponijan santai sambil mulai mencumbui diriku.
Hancur sudah semuanya. Ku kira kalau Ustadzah Shofi bisa jadi tempat pengaduanku nantinya kalau siang ini selesai. Tapi ternyata Allah tunjukkan semuanya siang itu juga. Tidak hanya aku dan Zahra, bahkan sekelas Ustadzah Shofi pun rela menjual selakangannya untuk kenikmatan sesaat saja. Setelah mendengar hal itu aku tak punya lagi sesuatu yang ingin kupertahankan.
“Ustadzah Shofi aja gitu.. ahh udahlah.. aku yang Cuma santri baru juga bisa apa.. enjoy aja ahh..”, gumamku dalam hati.
Dan begitulah yang terjadi padaku. Ku pasrahkan tubuhku pada pak Ponijan siang itu juga. Desahanku pun mulai kembali datang dan lepas yang membuat pak Ponijan semakin bergairah. Leherku dan dadaku dipenuhi ruam merah karena cupangan kuat pak Ponijan. Cadarku pun basah kuyup oleh liur kami berdua saat ber French-kiss ria. Nafas pak Pon yang berbau rokok tak membuat kebinalanku berkurang.
“Ahhh.. Ahhh.. Pak Ponn.. Ahhh.. Shhh.. Ooohhh.. Geli Pakkk.. Ahhh..”, desahku keenakan bercampur geli menikmati tangkasnya pak Ponijan menggilir kedua toket 36C milikku.
Mataku dibuatnya merem melek keenakan. Kedua tanganku sesekali meremasi rambut pak Ponijan yang dIpotong cepak. Sensasi yang luarbiasa, terlebih lagi saat pak Pon mengulum putingku dan lidahnya menari secara bersamaan. Mhhh.. desahanku pun pecah tak terbendung.
Bahkan pinggulku pun ku angkat-angkat ingin bergesekan dengan rudal gagah pak Pon padahal itu adalah sesuatu yang seharusnya tabu bagiku. Tapi syahwat yang sudah memuncak ditambah cerita dari pak Ponijan yang juga sudah menggagahi ustadzah Shofi membuatku tak ingin untuk menahan rasa di dalam diri.
Seluruh tubuhku tak lepas dari liur kental pak Ponijan yang begitu intens memandikan diriku. Mulai dari jemari lentik tanganku hingga pundak bahkan ketiak pun ia libas juga. Dari tengkuk ku hingga belahan bokongku pun sudah ia rasakan kelezatannya.
Belum lagi pangkal leher hingga pusarku pun terlihat mengkilap karena liur. Kaki? Sudah jelas menjadi bulan-bulanan lelaki kekar paruh baya itu. Justru kakiku yang masih terbalut kaos kaki hitam sebetis terlihat seperti menu utama bagi foreplay yang pak Ponijan lakukan. Ia begitu menikmati menjilati putih dan mulusnya kaki jenjangku.
Hanya desahan dan rintihan nikmat yang keluar dari mulutku. Meski bukan orgasme, tapi bisa kurasakan dengan jelas kalau lendir birahiku sadah meleleh keluar karena hantaman gelombang kenikmatan yang tiada henti.
“Mmhh.. Srrupphh.. Srrupphh.. Mmff.. Enak banget nengg.. Gurih banget nih..”, ucap pak Ponijan sesaat setelah puas menjilati memekku hingga kesat.
“Siap ya neng yaa.. tahan dikit abis itu enak kok..”, lanjut pak Pon sambil mengarahkan kedua kakiku agar mengangkang.
Nafasku tak beraturan, seluruh tubuhku didera syahwat yang memuncak. Belum lagi saat melihat kontol pak Pon yang begitu gagah menjulang, kedua tanganku justru membantu dengan menguak memekku semampuku. Pak Pon melihatku dengan senyuman karena telah berhasil meluluhkan pertahanan iman seorang muslimah bercadar, seperti halnya dulu saat ia menikmati ustadzah Shofi untuk pertama kalinya.
“Nnggghhhhh..!!! Aaaargghhh.. Paaakkk..!! Sshhh..”, pekikku tertahan saat merasakan kontol jumbo pak Pon memaksa masuk liang sempitku.
“Sabar neng.. dikit lagi kok.. tahan yaaahh..”, kata Pak Pon sambil mencumbu leherku.
Sakit, Perih, dan Nyeri yang tak terkira kurasakan saat penetrasi kontol pak Pon yang perlahan tapi pasti merobek sempitnya memek perawanku. Aku hanya bisa memejamkan mataku sambil menahan rasa sakit hingga tak terasa air mataku kembali mengalir.
Meski sedari tadi memekku sudah dibanjiri oleh lendir sebagai pelumas, tapi tetap saja ukuran kontol pak Pon masihlah terlalu besar bagi memekku yang mungil.
“Aaahhh.. Hhemmhhh.. Shhh.. Masuk Jugaahh..”, kata pak Pon sambil menghela nafas saat hampir seluruh kontolnya berhasil tenggelam di liang peranakanku.
Kedua tanganku hanya bisa mencengkram kuat punggung pak Pon karena rasa pedih yang tak tertahankan. Selama beberapa saat selakanganku serasa seperti terpisah. Rasa tersayat layaknya pisau menyayat kulit hampir-hampir membuatku trauma kalau pak Pon tidak terampil dalam merangsangku lagi.
“Ahh.. Shhh.. Perihh Paakk.. Bentarrhh..”, rengekku sambil terisak karena rasa sakit yang baru pertama kali kurasakan.
Pak Ponijan paham dan tidak menjawabku tapi ia tetap terus mencumbui seluruh tubuhku dengan kontolnya masih menancap dibawah sana. Dengan posisi Missionary membuat pak Ponijan hanya mampu menjangkau leher dan toketku saja, tapi itu sudah lebih dari cukup bagi pak Ponijan untuk kembali membakar birahiku hingga puncaknya.
“Mmhh.. Mhh.. cupphh.. Sruupphh.. Mhhh.. Hemm.. Knapa nengg..?? Udah enakan yaa..??”, tanya pak Pon yang masih sibuk menggilir putingku sementara kedua tangannya meremasi toketku dengan lembut.
Aku tak menjawab pertanyaan menggoda pak Pon. Meski rasa malu menyelimuti diriku saat itu, tapi entah kenapa pinggulku bergerak sendiri seakan ingin agar pinggul pak Pon segera melakukan operasi selanjutnya. Aku hanya bisa menutupi wajahku dengan kedua tanganku saat Pak Pon mulai menggenjot perlahan memekku yang sudah berhasil ia renggut keperawanannya.
“Aarghhh.. Mmmhh.. Ohhh.. Sempitnyaahh.. Bener-bener kualitas terbaik sih didikan si Shofii.. Ohhh.. Enak kan Nenng.. Udahh jujur aja..”, ucap pak Pon yang terlihat keenakan dengan nafasnya yang menderu.
“Aahhh.. Aahhhh.. Mmhhh.. Ngghh.. Shhhh.. Aahhh..”, desahku yang mulai menikmati sodokan perlahan pak Pon untuk menguak dinding liang kenikmatanku.
Semakin lama genjotan pak Pon semakin cepat. Begitu pula yang kurasakan, semakin lama semakin nikmat. Aku pun tak mampu lagi menahan desahanku dan akhirnya pasrah menerima kenikmatan zina yang selama ini coba kuhindari.
Tanganku berpegangan erat di lengan kekar pak Ponijan yang begitu intens dan mantap menghantamkan pinggulnya di selakanganku. Kulitku yang putih nampak begitu kontras dengan kulit coklat gelap pak Ponijan. Wajahku yang masih tertutup cadar tapi merem keenakan semakin membuat Pak Pon bergairah.
“Ahhh.. Ahhh.. Mmhhh.. Pakk.. Ahhh.. Pak Ponn.. Ahhh.. Enaakk.. Ahhh.. Enakk.. Ahhhh.. Ahhh..”, desahku yang tak terkontrol lagi karena sudah terhipnotis oleh kenikmatan rudal pak Ponijan.
Toketku terus berayun mengikuti irama sodokan pinggul pak Ponijan. Cukup lama pak Ponijan bertahan di posisi Missionary. Beberapa kali ia memadukan gerakannya dengan gerakan memutar yang memberiku sensasi kenikmatan yang lain. Ritme sodokannya yang madang cepat dan pelan justru membuatku semakin keenakan dan tak mampu menahan orgasmeku.
“Ahhh.. Ahhh.. Aahhh.. Paakk.. Nnghhhhhhh..”, erangku tertahan saat merasakan sengatan cepat orgasme yang menjalar ke seluruh tubuhku.
Selama beberapa detik tubuhku mengejang dan pak Ponijan memelukku erat sambil mencumbu mulutku yang masih tertutup cadar.
“Ahhh.. jadi inikah yang namanya ngentot.. nikmatnyaa..”, gumamku dalam hati.
“Keluar yah neng..?? Gimana?? Enak kann..??”, tanya pak Ponijan sambil ia mencabut kontolnya dan duduk di karpet masjid.
“Sshhh.. Aaahhh.. Mmhh.. E’emhh..”, jawabku pelan.
Bisa kurasakan ada yang menganga di selakanganku saat kontol pak Ponijan terlepas. Dengan sigap Pak Pon membersihkan kontol dan memekku yang belepotan darah keperawananku. Aku masih terdiam dan tak banyak berbicara dengan pak Pon. Meski aku menikmati perzinaan itu, tapi tetap saja aku merasa bersalah karena sudah membiarkan orang lain menikmati kesucian tubuhku.
“Nah neng.. coba posisi lain yuk.. pasti neng Charita suka nanti..”, kata Pak Ponijan yang sudah bugil sehingga menunjukkan tubuhnya yang berotot.
Aku pun hanya menurut saja saat pak Ponijan menarik tanganku dan mengarahkanku untuk ganti posisi jadi doggy. Posisi ini mengingatkanku dengan Zahra saat ia melayani ustad Hamzah dan seorang ikhwan lain di bekas mushola dulu.
“Aaahh.. Ahhh.. Shhh.. Oohhh.. Pakkk.. Ahhhh..”, desahku merasakan jemari pak Ponijan masuk dan mengobok-obok memekku.
Ini pertama kalinya aku merasakan memekku di colok oleh jemari. Terasa nikmat meskipun ukurannya tak sebesar kontol, tapi justru itulah yang membuat jemari pak Ponijan bisa dengan leluasa menjangkau dan fokus merangsang titik paling sensitif di liang memekku.
Tak pernah kukira kalau pak Ponijan akan seahli ini. Semakin lama kocokan jemari pak Pon semakin cepat, kadang kala maju-mundur, kadang kala diputar. Aku dibuat mabuk kepayang saat jemari pak Ponijan mengocok dengan cara diputar sehingga menggesek keseluruhan dinding liang kenikmatanku. Dan..
Crrrrr.. Crrrr.. Crrrrrr..
“Aaaaahhh.. Nghhhhhh..”, rintihku nikmat saat aku kembali mengalami squirting.
“Weehh neng Charitaa.. Cuma dari jari malah bisa muncrat yaa.. ahahah.. beda banget sama si Shofi.. kalau ustadzah neng itu mesti muncrat kalo bapak genjot kenceng..”, kata pak Ponijan yang kemudian mengarahkan kontolnya ke memekku.
Prrrtt.. Blesshhh..
“Aaaahhh.. Aahhh.. Ohhh.. Mhhh.. Ahhh.. Ahhh..”, lenguhku panjang saat merasakan kontol 18cm pak Pon kembali menyesaki memekku.
PLOK! PLOKK!! PLOKK!!
Suara hantaman pinggul pak Pon yang kuat dan mantab menghantam bokongku begitu indah terdengar. Ditambah diluar sana hujan yang terus mengguyur tanpa henti membuat persenggamaan kami sepertinya akan berlangsung lama.
Kurasakan toketku berayun-ayun karena goncangan tubuhku menahan gempuran pak Pon. Tubuhku yang kecil sebenarnya tak sanggup menahan besarnya tenaga pak Pon, untungnya kedua tangan pak Pon mencengkram erat bokongku sehingga membantuku bertahan selama sekitar 5 menitan sebelum akhirnya aku kembali orgasme.
“Ahhh.. Ahhh.. Pakk.. Ahh.. Ahhh.. Aaaaannghhhhh..”, erangku saat klimaks menerpa.
Seluruh tubuhku mengejang kembali karena nikmat orgasme meski lelah menyelimuti. Pak Ponijan juga menghentikan sodokannya saat aku tengah mengejang karena orgasme meskipun tidak sampai squirting. Kurasakan seluruh sendiku benar-benar lemas dan seperti tenagaku hilang seluruhnya. Aku pun tak mampu menahan tubuhku dan akhirnya terjerembab lemas dengan posisi nungging layaknya orang sujud.
“Huuffhh.. Sshhh.. Nikmatnya memek neng Charitahh.. Bikin bapak ketagihan.. Ahhh.. udah capek neng..??”, tanya pak Ponijan yang masih berlutut sambil mengelus bongkahan bokong putihku.
“Hhh.. Hhh.. Mhhh.. Capek pakk.. Udah yahh.. Pak Pon udah.. puass.. kaannhh..??”, tanyaku sambil terpejam karena letih yang tak terkira.
“Waahh.. Yaudah bapak pake aja.. ahahah.. sama persis kayak Shofi waktu dulu.. Gak kuaatt!! Ahhh.. Nghhh.. Ahh.. Shh.. Mhh..!!”, ujar pak Pon sebelum kemudian ia kembali menggenjotku dengan cepat.
Aku hanya bisa pasrah mendesah dan mengerang menikmati liang peranakanku yang disodok cepat kontol jumbo pak Ponijan. Bagian bawah perutku terasa begitu penuh saat kontol pak Pon melesak masuk seluruhnya dan menghantam ujung rahimku.
Sensasi benar-benar membuatku ketagihan meski aku tak lagi bertenaga. Khimar dan cadar putih yang kukenakan sudah acak-acakan. Beberapa helai rambutku pun keluar dari sela-sela khimarku. Tubuhku semakin terlihat mengkilap karena peluh yang bercucuran. Kurang lebih sekitar 40menit lamanya kami memacu kadar dosa sebelum akhirnya pak Ponijan mencapai klimaksnya.
“Ahh.. Ahh.. Keluarhh.. Aahhhh..!!!”, geram pak Ponijan.
Croot.. crroott.. croott..
Ia segera mencabut kontolnya dan menyiram punggungku dengan sperma kentalnya yang terasa begitu hangat. Pak Pon terduduk lemas setelah puas menggagahi selakanganku dan memuntahkan seluruh syahwatnya. Aku pun tak mampu lagi menahan kantukku karena lelah dan tertidur tengkurap di atas karpet musholla dengan memekku yang menganga.
“Neng.. Neng Charita.. Bangun.. udah sore lhoo..”, kata pak Ponijan membangunkanku.
“Ahh.. Mhhh..”, jawabku sambil mencoba bangun.
Aku pun terkejut saat mendapati tubuhku hanya tertutup sarung bekas yang biasa di pakai rekan anggota yang lain untuk sholat di musholla itu. Pak Ponijan pun terkejut yang melihat ekspresiku seperti orang panik dan ketakutan.
Tapi setelah beberapa detik, aku pun teringat kembali apa yang sudah terjadi. Aku pun menangis sesenggukan karena membayangkan kekecewaan orangtuaku jika tahu apa yang telah terjadi padaku.
“Udah neng.. ngapain nangis?? Toh tadi neng Charita juga doyan.. tenang aja neng.. privasi neng Charita aman kok sama Bapak.. yaa tapi neng Charita juga harus bisa buat Bapak betah sama neng Charita pastinya..”, kata pak Ponijan sambil mengambilkan baju dan rok OSIS yang sudah agak kering.
Aku tak bisa berkata-kata. Aku tahu benar maksud dari perkataan pak Ponijan. Bahkam senyum pak Ponijan yang dihias kumis tebalnya sama sekali tak menutupi maksud inti dari kata-katanya tadi. Pak Ponijan menawarkan untuk mengantarkan aku kembali ke pondok namun aku menolaknya karena bisa jadi heboh satu pondok nantinya.
Aku pun memutuskan untuk pulang sendiri dengan mengendarai sepedaku. Bahkan meskipun ia sudah begitu banyak mendapatkan kenikmatan tubuhku, pak Ponijan masih sempat-sempatnya meminta paksa Bra dan CD ku yang membuatku harus pulang tanpa mengenakan dalaman.
“Ehh.. Kok baru nyampe Rit..?? Kemana aja?? Keujanan ya..??”, tanya Ifah yang baru saja selesai mandi dan hanya mengenakan kaos dan celana training panjang.
“Iya..”, jawabku singkat.
“Hem?? Kamu sakit Lis?? Kok lesu gitu..??”, tanya Ifah yang penasaran padaku.
“Ahh.. Ngga.. Cuma butuh istirahat aja..”, jawabku yang segera menuju toilet sambil membawa baju ganti setelah meletakkan tasku.
Setelah kejadian itu, aku mencoba untuk tetap seperti biasanya. Tapi bukan hal yang mudah bagiku untuk menjaga diriku agar tetap seperti Charita yang dulu. Terlebih setiap hari Rabu, Sabtu, Ahad, aku harus mendatangi pak Ponijan untuk menjadi pemuas birahinya.
“Ohh.. Owhh.. Ooowhh.. Mffhh.. Mffuaahh.. Udahh pakk.. nanti kalo kelamaan Charita dicariin..”, kataku yang tengah jongkok sambil mengocok kontol Pak Ponijan dengan tanganku.
“Udahh.. kalau mau cepet yaa buruan buat bapak ngecrot!!”, jawab pak Pon sambil kembali menekan kepalaku.
Sabtu siang itu aku harus meladeni kontol pak Ponijan hanya dengan menggunakan mulutku saja. Pak Pon tanpa ampun terus menggenjot mulutku layaknya itu adalah memek. Meski beberapa kali tersedak aku harus tetap bertahan hingga pak Pon mencapai klimaks.
Air liurku menetes dan membasahi jilbab serta cadarku tiap kali pak Pon menarik mundur kontolnya. Rindangnya pepohonan hutan dan batu besar yang menjadi tempatku bersandar adalah saksi bisu perzinaan kami siang itu.
“Ahhh.. enak banget mulut kamu neng.. Ahh.. Bikin bapak makin ketagihannhh.. Ahhh.. Ahhh.. Aaahhhhhhhh..!!!”, kata pak Pon sebelum ia mengerang dan menyemburkan spermanya di mulutku.
“Ockk.. Ockk.. Mff.. Uhukk.. Ockkk.. Mfffffhhh!!!”
Aku berupaya memundurkan kepalaku, tapi kedua tangan kekar pak Ponijan yang mencengkram kepalaku bukanlah tandingan tangan mungilku. Bahkan pak Pon justru melesakkan kontolnya hingga separuhnya masuk ke mulutku saat ia klimaks. Itu adalah pengalaman pertamaku merasakan sperma kental lelaki. Mual dan jijik, itulah kesan pertamaku siang itu. Ingin rasanya aku muntah, tapi pak Pon membungkam mulutku dengan tangannya.
“Eeitss.. jangan sampai muntah.. wajib ditelan pelan-pelan.. kalau muntah dikit aja.. Virall!!!”, ancam pak Ponijan.
Aku pun tak ada pilihan lain selain menelan sperma kental itu. Dengan sudah payah akhirnya aku berhasil menelan sperma pak Pon. Dan sesaat setelahnya rasa mual yang tak terkira pun kurasakan, tapi lagi-lagi aku harus menahannya karena kembali di ancam pak Ponijan.
Bersambung…