Cerita Sex Sudah Nikah Masih Jajan – Tia memberikan HP-nya kepada kakak iparnya untuk memperlihatkan foto-foto yang diambilnya dari HP suaminya, Bram. Citra, kakak ipar Tia, menyandarkan punggung ke kursi salon yang didudukinya sambil membuka satu per satu foto-foto itu. Di cermin terlihat pantulan muka Tia yang cemberut.
“Oo,” gumam Citra tanpa ekspresi, “Beginian. Dasar Bram. Penyakit lama, nih”.
Tia agak kesal melihat kakak iparnya—merangkap pemilik salon tempat mereka berdua ngobrol—‘biasa saja’ melihat foto-foto perempuan lain yang membikin Tia dan Bram bertengkar dua hari lalu. Waktu itu Tia makin marah ketika Bram mengakui bahwa perempuan-perempuan itu PSK.
“Penyakit lama, Kak Citra? Apa dari dulu Mas Bram memang suka jajan?” “Emmm…” gumam Citra sambil mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang ada di meja, “Iya sih. Lho kamu kok malah baru tahu. Gimana. Kamu kan istrinya.”
Ngocoks Tia malu sendiri. Tapi dia memang tidak bisa disalahkan, karena pernikahannya dengan Bram baru berjalan setahun, dan sebelumnya mereka berdua tidak pernah pacaran.
Keduanya memang dijodohkan oleh orangtua masing-masing yang rekanan bisnis, dan sekarang mereka sama-sama disiapkan jadi penerus usaha keluarga besar mereka.Tia dan Bram sudah kenal sejak kecil, tapi mereka baru mulai saling mengakrabkan diri setelah menikah.
Satu yang Tia tahu, keluarga Bram memang longgar dalam mendidik anak-anaknya. Jadi seharusnya dia tidak heran kalau Bram ketahuan punya kebiasaan buruk seperti itu. Sama saja dengan kakak Bram, Citra.
Citra yang sekarang berumur 30-an tadinya malah disiapkan untuk dijodohkan dengan seorang saudara Tia, tapi karena terbiasa bergaul sangat bebas, Citra dihamili temannya waktu kuliah dan terpaksa dinikahkan dan selanjutnya diusir karena bikin malu keluarganya.
“Terus gimana nih?” Citra bicara sambil menjepit rokok yang baru dinyalakan dengan bibirnya yang tersaput lipstik merah jambu tebal. “Kamu udah dua hari nggak ngomong sama Bram. Apa mau terus-terusan? Ah, tapi kamu kan anak baik. Pasti kamu mikirin keluarga besar kita. Gak enak sama mereka kalau sampai… cerai.”
“Nggak!” jerit Tia. “Bram emang salah sih, tapi Kak, aku nggak niat cerai sama dia. Aku udah mulai belajar sayang dia Kak. Dan aku juga baru tahu kebiasaan dia yang ini. Makanya aku datang minta saran Kak Citra, gimana baiknya aku hadapi masalah ini. Kak Citra kan lebih kenal Bram,” suara Tia mengecil karena malu, “…lagian aku nggak mau nyusahin orangtua kita semua.”
Baik banget ini anak, pikir Citra. Cuma saat itu juga Citra merasa dapat satu lagi alasan yang bisa dia kasih kalau ada orang tanya pendapat dia tentang menikah tanpa pacaran. Tia, yang tidak pernah pacaran dengan Bram, kaget waktu kebiasaan buruk Bram ketahuan sekarang.
Kalau Tia pacaran dulu sama Bram, pastinya mereka bisa lebih saling ngerti, atau bisa putus tanpa repot kalau memang Tia nggak suka. Citra mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu menyemburkan asap dari mulut.
Tia menghindar sambil mengipas-ngipas di depan muka. Kakak iparnya itu sudah merokok sejak SMA, dan kadang-kadang Tia mengira Citra selalu bermake-up tebal (seperti saat mereka ngobrol sekarang) untuk menutupi penuaan dini di mukanya yang sudah belasan tahun kena asap rokok.
Citra memang tidak pernah tampil tanpa riasan lengkap, rambut tertata, dan pakaian mencolok; tidak hanya sejak dia membuka salon, tapi sejak dia remaja. Tia melihat Citra seperti berpikir sambil merokok, lalu membetulkan tali sackdressnya yang melorot dari bahu.
Sackdress hitam agak transparan itu gagal membuat bra merah yang ada di bawahnya tidak kelihatan. Citra lalu menaruh rokoknya di asbak, tersenyum, berdiri, lalu mendekati Tia.
“Kalau menurutku sih begini saja…”
……. ….. … .. . . .
“KOK GITU SIH CARANYA???” Tia tidak bisa menahan volume suaranya setelah mendengar saran Citra sampai habis. Yang memberi saran dengan santainya mengambil lagi rokok yang tadi ditinggal lalu meneruskan menyedot batang rokok.
“Terserah kamu sih. Saranku ya gitu. Kalau mengingat sifatnya Bram sih kupikir cara itu mempan. Kalau kamu mau coba tanya orang lain, silakan.”
“…” Tia diam saja.
“Kalau kamu mau, aku siap bantu. Gratis,” kata Citra, sambil nyengir. “Bukan cuma sekali, tapi seterusnya juga boleh. Hitung-hitung balas budi sama kalian yang udah bantu aku selama ini.”
“…Sebentar. Aku pikir-pikir dulu,” bisik Tia, menimbang-nimbang.
Ternyata dia perlu waktu lama sekali buat menimbang-nimbang. Berkali-kali dilihatnya lagi foto-foto yang diambilnya dari HP Bram.
“Mas, aku mau bicara sama kamu nanti malam.” SMS itu Tia kirim ke HP Bram.
Bram, yang sudah uring-uringan sejak bertengkar dengan Tia setelah ‘foto-foto kenangan’nya ketahuan, menarik nafas lega di kantor.
Menjelang sore.
Sesudah memastikan jalanan di luar kosong, Tia langsung keluar dari salon Citra dan secepatnya menuju rumah besar di sebelahnya. Rumah itu rumah Bram dan Tia; Citra tinggal dan buka usaha di sebelah rumah mereka berdua.
Sewaktu mau membuka pagar rumahnya sendiri, Tia kalang-kabut ketika melihat mobil Mercedes-Benz hitam muncul di ujung jalan. Tapi dia sempat masuk ke rumah sebelum Mercy itu lewat. Mercy itu tidak berhenti di rumahnya, karena memang itu mobil orang lain; mobil mewah itu berhenti di depan salon Citra.
Dari balik pintu supirnya keluar seorang laki-laki, yang lantas mengunci Mercy itu, lalu masuklah dia ke salon Citra. Semua itu tidak sempat diperhatikan Tia. Tia sendiri sudah cukup lega karena tidak kepergok siapapun dalam perjalanan yang cuma beberapa meter saja dari tempat kakak iparnya.
“Aku pulang kira-kira sejam lagi.” SMS dari Bram masuk ke HP Tia.
Tia duduk sendirian di dalam kamar di depan cermin. Normalnya dia bakal melihat rona mukanya sendiri berubah merah karena perasaannya yang campur aduk, tapi kali ini agak susah bagi dia. Rumah itu baru terisi mereka berdua, Bram dan Tia, yang menikah tahun lalu. Belum ada anak.
Selama ini kehidupan mereka lancar-lancar saja. Tia ‘si anak baik’ menerima saja ketika orangtuanya dan orangtua Bram memutuskan perjodohan mereka. Bram juga bukan suami brengsek. Setidaknya sampai belangnya ketahuan beberapa hari lalu. Hanya saja Tia sering merasa Bram seperti bosan dengan dirinya.
Tia masih muda. Bram lebih tua sedikit. Setelah lulus kuliah keduanya dijodohkan dan tak lama sesudahnya menikah. Karier mereka berdua terjamin karena mereka berdua akan meneruskan usaha yang dirintis orangtua-orangtua mereka, dan mereka sama-sama sedang bekerja di sana, hanya di bagian yang berbeda.
Tia punya banyak waktu luang dan bisa bekerja di rumah, sedangkan Bram banyak bepergian keliling kota dan kadang-kadang ke daerah. Sebenarnya Bram tidak bisa dibilang rugi dijodohkan dengan Tia, yang berwajah lumayan menarik.
Citra, yang sudah kenal duluan dengan Tia sebelum Tia mengenal Bram, pernah bilang dia iri dengan tubuh Tia yang lebih sintal daripada tubuhnya sendiri.
Tapi kalau keduanya berjejer, orang bakal lebih banyak yang menengok ke arah Citra daripada Tia, karena Citra selalu tampil ‘meriah’ dengan dandanan cenderung menor dan pakaian seksi, sementara Tia selalu terlihat polos dan biasa berpakaian konservatif.
Tia masih tidak percaya kenapa akhirnya dia setuju mencoba saran Citra. Tapi, pikirnya, dicoba sajalah… tidak ada salahnya.
***
Bram menyetir pulang membawa oleh-oleh kue coklat untuk istrinya yang dia kira masih ngambek, tapi sudah beritikad baik mengajak berdamai. Dia sadar, dia sendiri salah. Sudah nikah kok masih doyan jajan.
Tapi, yah, kebiasaan lama susah luntur. Dan ada hal-hal yang dia kira tidak bakal dia dapat dari Tia. Bunyi SMS datang di antara bunyi radio mobil.
Pesan dari seorang perempuan yang fotonya sampai tadi pagi ada di HP Bram. Sekarang semua foto itu sudah hilang dari HP Bram (tapi pindah ke tempat-tempat lain, tentu saja). Dan Bram tidak menanggapi ajakan dalam SMS itu.
“Jangan dulu deh”, pikir Bram.
***
Tia mendengar bunyi mobil Bram dan sesudahnya bunyi pintu rumah dibuka. Dia menenangkan diri, mengulang lagi semua yang mau dia lakukan (atas saran Citra), dan bersiap-siap. Tangannya dingin.
Berjam-jam sudah dia habiskan untuk persiapan dengan dibantu Citra tadi. Dalam hati dia berusaha membenarkan pilihannya dengan mengatakan, mungkin ini memang perlu, demi kami berdua, dan demi keluarga.
Tapi dalam hatinya berkali-kali terselip rasa penasaran. Dia ingin tahu, bagaimana jadinya nanti. Bagaimana kira-kira reaksi Bram. Bagaimana kira-kira reaksi dia sendiri.
“Sudah waktunya.” pikirnya
***
Bram melongo di pintu, memelototi Tia yang berdiri di depannya. Malam itu, Tia berubah. Tia yang sederhana dan terkesan baik-baik sedang tidak hadir. Sebagai gantinya…Tia tampil beda.
Dia memakai gaun mini ketat berbahan satin berwarna hitam yang panjangnya tidak sampai menutupi setengah pahanya, sehingga memperlihatkan stocking jala hitam yang membungkus kedua kakinya sampai berujung ke sepasang stiletto hak tinggi.
Di atas pinggang, gaun mini itu mendesak sepasang payudara Tia sampai nyaris tumpah ke luar, sementara pundaknya terbuka. Kebetulan warna kulit Tia coklat muda. Bukan putih atau kuning atau sawo matang, tapi warna di antaranya.
Itu juga yang membuat lapisan bedak yang membuat mukanya lebih putih terkesan lebih kentara, karena kontras antara warna muka dan badan. Ketika Tia berkedip, tampak rona biru muda di kelopak matanya, di bawah alis yang dibentuk dan dipertegas.
Kedipannya juga menunjukkan bulu mata palsu yang menempel di kedua mata. Pipinya bersemu merah, tapi karena polesan.
“Kok bengong aja, Mas? Kamu suka yang kayak gini, kan?”
Kata-kata itu meluncur dengan nada menantang dari sepasang bibir Tia yang kali ini tidak telanjang. Biasanya Tia paling-paling hanya memakai lip gloss, namun malam itu mata Bram tidak bisa lepas dari bibir Tia yang tampak lebih penuh dan sensual. Merah, mengilap, menantang. Seperti itulah saran Citra untuk Tia.
“If you can’t beat ‘em, join ‘em.” Citra kenal benar dengan Bram. Adiknya itu tidak bisa dibilang ganteng, malah tampangnya terhitung pas-pasan. Maka itu sejak dulu Bram selalu kurang mujur dalam percintaan; biarpun dia anak pengusaha, tetap saja jarang ada cewek yang mau dengannya.
Jadi dia terbiasa lewat jalan pintas dengan jajan. Dan seleranya jadi terbentuk ke arah penampilan ‘khas’ cewek-cewek penjaja cinta: dandanan seksi tapi terkesan murahan. Perempuan-perempuan macam itulah yang fotonya Tia temukan di HP Bram.
“Tia… kamu… ini maksudnya…?”
Melihat Bram bengong saja, Tia mengingat-ingat lagi apa kata Citra mengenai bagaimana dia harus bersikap. Jadi dia segera maju mendekati Bram dan menarik dasi Bram. Bram melihat istrinya menatap tajam matanya, sambil mencium bau parfum yang lumayan keras.
“Kenapa? Gak seneng kalo aku kayak gini?”
Bram kewalahan, takut salah ngomong di depan istrinya yang entah kesambet apa sampai mendadak makeover jadi seperti WP langganannya. Dia cuma bisa menjawab pelan-pelan.
“Bukan… bukan gitu… tapi kamu… Aku… nggak…”
Tia tambah sewot. Maksudnya apa itu? Apa dia malah gak suka aku jadi seperti ini? Melihat muka Bram yang tambah panik, Tia memberanikan diri untuk agresif. Dipepetnya Bram ke tembok, sambil masih memegang pangkal dasi Bram—seperti siap mau mencekik.
Bram lebih besar dari Tia, tapi saat itu seperti tidak punya kekuatan untuk melawan Tia. Sementara tangan kanannya siap membuat Bram susah bernafas, tangan kiri Tia mencari-cari bagian tubuh Bram yang paling jujur.
Tuh, kan… pikir Tia. Dia merasakan kemaluan Bram mengeras di balik celana.
Tia meremas pelir Bram. “Masih mau bohong?” katanya sengit. “Aku udah tahu. Kamu paling suka ngelihat cewek dandan sampe kelihatan murahan kayak gini kan? Itu kan alasannya kamu masih terus aja jajan di luar biarpun kamu udah punya aku kan?”
Bram mau menjawab, sekaligus merasa agak nyeri di bijinya yang ada di cengkeraman Tia. Tia sudah kelihatan marah sekarang. Tapi Bram tidak bisa menyangkal bahwa dia terangsang melihat Tia berani tampil seperti itu. Cuma dia tidak berani bilang.
“Gak usah nyangkal,” desis Tia. “Aku udah tahu seperti apa kamu sebenarnya, Mas. Tapi aku gak senang kalau kamu gak terus terang aja. Aku kan istri Mas Bram? Apa susahnya sih ngasih tau aku apa yang kamu suka?”
“Habisnya…” Bram meringis. “…ya, kupikir dibilangin juga kamu ga bakal mau…”
“Jadi kamu ga nanya dulu, nyangka aku ga mau, makanya kamu milih ngentot sama lonte? Gitu? Apa ga pernah kepikiran kalau aku bisa aja mau ngikutin kemauan Mas?” Ngocoks.com
Bram menunduk, tidak berani bicara. Pada saat yang sama, dia tambah terangsang mendengar Tia berani ngomong jorok seperti itu. Tambah sempit saja celananya terasa. Tia juga merasakan itu.
“Tuh, yang di bawah situ udah ngaku,” sindir Tia. “Bilang aja kalo suka, Mas. Jujur aja.”
“Eh… i… iya… kamu… em… cantik?” Bram merasa salah ngomong, tapi tidak tahu yang benarnya seperti apa.
“Cih. Kaya’ gini yang dianggap cantik? Seleramu payah amat, Mas,” maki Tia, walaupun dalam hati kecilnya dia senang juga dipuji seperti itu. “Tapi daripada kamu gak mau berhenti jajan…”
Sudah waktunya, pikir Tia. Lanjut…
“…mending kukasih aja.”
Didorongnya Bram ke sofa ruang depan sampai Bram terduduk. Dengan tidak sabaran Tia langsung naik ke pangkuan Bram dan memaksa mencium bibir Bram. Bram awalnya kelabakan, tapi langsung menyerah pada desakan Tia. Hampir 10 menit bibir mereka bertempur, lidah mereka saling serang.
Buat Tia sendiri, perlu kekuatan tekad sangat besar untuk bisa berpenampilan dan bersikap seperti saat itu. Seumur hidup belum pernah dia seagresif itu, jadi dia deg-degan sendiri waktu akhirnya berani bicara keras di muka Bram.
Tapi itu baru permulaan. Dia sudah berniat mau habis-habisan malam itu, dan meyakinkan Bram untuk seterusnya bahwa dia tidak mau lagi Bram main-main di luar. Artinya, dia sendiri harus melakukan semuanya supaya Bram tidak lagi punya alasan.
Bersambung…