Tangan kiri Tia membuka kancing dan resleting celana Bram. Tia belum pernah melakukan seks oral dengan Bram sebelumnya, karena Bram tak pernah minta, dan Tia sendiri kurang inisiatif. Tapi malam itu Tia tidak ragu-ragu dan tidak menunggu Bram.
Setelah penis Bram yang sudah mengeras terbebas dari celana, Tia langsung menggarapnya. Jilat dan sedot. Bram terpana melihat bibir merah Tia naik-turun mengelus anunya. Bukan pertama kali dia disepong; cewek-cewek langganannya lebih kenal dengan rasa kemaluan Bram daripada Tia.
Karena itu juga Bram mulai bisa tenang lagi, menghilangkan kaget sambil memikirkan apa yang sedang terjadi. Sambil menjilati ereksi Bram, Tia terus menahan rasa malu dan segan. Dia sudah tidak merasa jadi diri sendiri sejak pertama kali Citra selesai mempermak habis penampilannya dan dia melihat sendiri mukanya di cermin.
Wajah perempuan bermake-up tebal yang asing itu terlihat norak sekaligus menggoda. Tia sempat terpikir bahwa itu sudah berlebihan, tapi dia mencoba menerima saja hasil karya Citra di mukanya. Perempuan di cermin itu tidak terlihat seperti dia, tapi itu memang dia.
Pakaian yang dipinjamkan Citra pun tidak mencerminkan kepribadiannya yang biasa, tapi Tia diam saja. Biarpun harus menahan malu, dia harus mencoba dulu. Demi Bram. Demi dia sendiri…Berhubung Tia baru pertama kali mempraktekkan fellatio, aksinya masih canggung.
Dia tidak tahu apakah Bram suka atau tidak. Dia berhenti lalu melirik ke arah muka Bram. Bram sudah merasa pegang kendali. Satu hal yang tidak diceritakan Citra ke Tia, karena Citra sendiri tidak tahu: kalau bersetubuh dengan wanita bayaran, Bram terbiasa dominan dan cenderung melecehkan lawan mainnya.
Itu juga salah satu alasan Bram ragu-ragu meminta Tia mengikuti kemauannya. Bram tidak yakin istrinya bakal mau, dan kuatir kalau Tia tahu apa kesukaannya, masalah bisa muncul. Beda kalau dengan PSK; dia tinggal bayar lebih supaya mereka mau meladeni permintaannya, atau cari cewek lain yang mau.
Sekarang ternyata Tia sendiri memberi sinyal bahwa sebenarnya dia mau mengikuti kemauan Bram. Dan Bram mulai sadar bahwa justru itulah yang dia tunggu-tunggu.
“Kok berhenti?” kata Bram, dengan nada tegas. “Udahan, nih?”
Sekarang gantian Tia yang kaget. Dia menganggap apa yang dia lakukan itu semacam akting, role-playing, bermain peran. Dia tidak menyangka Bram bakal secepat itu mengerti dan ikut ‘bermain’. Gara-gara salah perhitungan itu, perannya buyar. Dia merasa konyol karena bengong sementara bibirnya masih di seputar burung Bram.
“Jangan dipaksain kalo emang gak bisa,” kata Bram, mulai yakin bahwa dia sudah membalik keadaan. “Tapi kamu sendiri yang ‘masang’. Ya udah. Sekalian.”
Tia melihat sekilas Bram nyengir jahat lalu merasakan kedua tangan Bram mencengkeram kedua sisi kepalanya. Sebelum Tia sempat bicara, Bram berdiri, lalu dengan gencar memaksa kepala Tia bergerak maju-mundur menyervis anunya.
Tia kelabakan sendiri, dan cuma bisa mengeluarkan bunyi-bunyi tak jelas selagi mulutnya berubah jadi alat masturbasi Bram. Bram memutar tubuh sambil menarik Tia sehingga sekarang Tia membelakangi sofa. Lalu Bram menundukkan badan sehingga kepala Tia terdorong sampai berbantalkan jok sofa.
Setelah dalam posisi itu, Bram langsung menggerakkan pinggulnya membabi-buta, penisnya mengaduk-aduk seisi mulut Tia yang tidak bisa apa-apa selain menerima. Beberapa genjotan kemudian, Bram melenguh keras dan muncrat di dalam mulut Tia. Setelah ejakulasi, Bram keluar dari mulut Tia. Tia terbatuk, berusaha mengeluarkan mani Bram dari dalam mulutnya. Bram melihat itu dan langsung menghardik.
“Heh. Siapa suruh muntahin? Telan.” Tia yang masih kaget tidak sempat berpikir apa-apa lagi, secara refleks diikutinya perintah Bram.
Tia memalingkan muka selagi menelan. Dia berusaha bangun, sementara Bram berdiri mengangkang di atas badannya. Tia beringsut ke sofa. Bram tersenyum penuh kemenangan sambil membuka dasinya.
Dilihatnya Tia meringkuk di sofa. Sekarang istrinya itu terlihat ketakutan. Memang. Tia seperti baru melepaskan anjing galak dari ikatan, dan sekarang anjing galak itu malah mengancamnya.
Ganti Bram yang mendesak Tia di sofa. Kedua tangan Bram memegangi kedua pundak Tia sementara tubuhnya merapat ke tubuh Tia. Dilihatnya lagi wajah Tia yang sedang main pura-pura jadi sundal itu.
Walau ada yang cemong sedikit gara-gara mukanya tadi digagahi, bibir Tia masih merah, maskaranya belum luntur, bedaknya masih ketebalan. Topeng wanita murahan-nya masih ada. Cuma ekspresinya memang berubah; kalau tadi ekspresi PSK cari mangsa, sekarang tampang PSK kena razia.
Tapi Bram yang mulai menikmati perubahan istrinya tidak mau membiarkan Tia balik lagi seperti yang dulu. Bram terpikir untuk bersikap gentleman dengan langsung melepas Tia, meminta Tia menghapus semua rias wajahnya dan ganti baju biasa, lalu meminta maaf dan kembali bersikap mesra.
Tapi Bram tidak mau buru-buru melepas kesempatan. Mumpung istrinya lagi ingin bergaya binal, kenapa tidak dimanfaatkan sepuasnya?
“Mestinya dari dulu kamu begini,” kata Bram di depan muka Tia, “Tapi kalo udah susah-susah dandan kayak gini, jangan setengah-setengah dong! Terusin aja.” Tia seperti berusaha meraih mukanya—maksudnya mau minta french kiss dari Bram, tapi Bram berkelit. Dia belum lupa tadi habis membuang apa di mulut Tia.
Selagi Tia kecewa, Bram menyerang sasaran lain. Dibuatnya leher, pundak, dan bagian atas payudara Tia berbekas cupang merah. Lalu diangkatnya ujung bawah gaun mini Tia. Di situ Bram mendapati Tia tidak pakai celana dalam.
“Niat banget, ya? Sengaja ga pake CD?” goda Bram. “Atau sedari tadi kamu udah gak tahan jadi self service dulu?” Yang digoda membuang muka karena malu.
Dengan leluasa Bram melalap selangkangan istrinya. Hingga malam itu kehidupan seks Tia dan Bram relatif monoton; mereka biasanya cuma berhubungan seks biasa, sekadar bermesraan, petting, setubuh dengan posisi normal, tak banyak variasi.
Tia tidak mempermasalahkan; Bram merasa kurang tapi tidak mau bilang ke Tia dan memilih melampiaskannya di luar. Jadinya, ya, baru kali itu juga Tia menikmati memeknya dimakan Bram. Sensasinya langsung membuat Tia mendesah-desah keenakan sambil menjepit kepala Bram dengan kedua pahanya.
Tia sampai lupa terpikir untuk membalas perlakuan Bram tadi dengan tindakan yang sama, berhubung posisinya sekarang kebalikan yang tadi. Bram berkali-kali menyenggol G-spot Tia dengan lidahnya.
“Mmmhhh…. Aaa!! Brammm!!”
Tia terengah-engah karena kenikmatan melanda badannya. Tangannya gemetaran, mulutnya menganga. Tapi tiba-tiba Bram berhenti dan berdiri.
“Yahh??” Tia merengek kecewa. Bram menatapnya dengan pandangan lapar… dan iseng. Bagaimana kalau kita main-main dulu… pikir Bram.
“Mas Bram… terusin dong…” pinta Tia. Bram cuek.
“Gak mau.”
“Mas Braamm…”
Bram maju. Tangannya memegang tangan Tia. Bibirnya mendekati bibir Tia, seolah mau mencium, tapi sekali lagi Bram berkelit dan malah mengulum telinga Tia. Sementara itu tangannya membawa tangan Tia ke arah kemaluan Tia.
“Main sendiri. Sana. Di depanku. Aku pengen lihat lonteku ngobok mekinya sendiri. Gih.”
Bram lalu mundur dan melepas tangan Tia. Tia diam sejenak, lalu dengan ragu-ragu mulai. Entah kenapa, biarpun kata-kata Bram tadi sangat melecehkan kalau dalam keadaan normal, Tia justru malah terangsang mendengarnya. Dia membebaskan buah dadanya dari balik baju dan mencubit-cubit pentilnya yang mengencang. Tangan satunya lagi mengelus-elus bibir vagina.
“Kayak gini Mas?… Gimana… ah… ahhh… Lihat aku Mas…”
Bram sendiri sibuk mengocok anunya, sambil terus ngomong.
“Ya. Terus. Gitu. Masukin jarimu ke sana. Jangan cuma satu, tapi dua sekalian. Kobel terus. Gimana. Udah tahu gimana rasanya jadi sundal? Enak?”
“Ah… ah… Mas lihatin aku… enak mas…“
“Mainin terus tuh pentilmu… jepit, cubit. Ah, sayang susumu gak segede itu. Kalo lebih gede kamu bisa gigit-gigit sendiri tuh pentil. Remas terus. Pencet terus.”
“Maafin kalo kurang gede Mas… uh, ungh… Mas aku jangan dibiarin sendiri terus dong… isep toketku Mas…”
“Gak. Pokoknya aku mau lihat kamu sampe klimaks. Terusin aja ngentot jari-nya.”
“Ah… ah… iya Mas… ini kuterusin… engh…” Erangan Tia diseling suara becek dari vaginanya yang dia obok-obok sendiri.
“Gimana Tia? Suka gak jadi lonte? Tau nggak, aku langsung ngaceng begitu lihat kamu yang dandan abis tadi. Sampe sekarang juga masih. Biarpun tadi udah, kayaknya sebentar lagi aku ngecrot lagi.” Bram terus memancing-mancing Tia.
“Auhhh…. Engg… Hahh, iya, iya Mas, ah… ah…”
“Ini baru di dalam rumah. Coba kalo kamu tadi keluar. Bayangin orang banyak ngelihat kamu. Apa nggak konak semua mereka.”
Kata-kata Bram memancing khayalan Tia. Bram tidak tahu tadi Tia sempat ada di luar sebentar, waktu buru-buru pergi dari salon Citra ke rumah. Tadi Tia bersyukur tidak kepergok siapapun—termasuk orang di mobil Mercy hitam yang lewat.
Sekarang dia membayangkan sendiri andai dia tadi kepergok. Bukan cuma oleh satu orang, tapi banyak. Dan mereka semua terangsang melihat penampilannya yang menggoda. Dan dia dikerubuti oleh mereka, dipegangi, ditelanjangi, dipaksa…
“AHH~!!” Bibir merah Tia menganga, mengerang tertahan, selagi kepalanya tersentak ke belakang dan sekujur tubuhnya gemetar. Dia orgasme gara-gara khayalan tadi.
“Ah… hah… ah…” nafas Tia tersengal-sengal setelah mencapai klimaks. Bram mendekati Tia, setengah mati berusaha menahan semburan dalam penisnya, menarik Tia, dan dengan lega menyemprotkan spermanya ke muka Tia yang bermake-up tebal itu.
CROTT…. CROTT…
Tia terduduk di lantai. Dia mau mengusap cairan lengket di mukanya, tapi Bram menahan tangannya.
“Biarin dulu! Aku mau lihat mukamu kayak gini!”
Bram melihat maninya berleleran melintang di pipi dan hidung Tia. Muka pelacur yang habis dientot. Dia merasa lebih suka istrinya yang versi ini.
“Ahh… Maass…” Tia merengek. Entah karena apa. Dan Bram merasa masih kuat melanjutkan. Tapi dia perlu istirahat sebentar—
“Gak pernah aku lihat kamu seseksi ini,” kata Bram. “Tuh, yang di bawah udah pengen lagi.”
“Kamu juga jadi lain, Mas…” Tia bilang, “Aku baru tahu… apa ini yang Mas dapat dari cewek-cewek lain itu?”
Bram agak kesal karena Tia masih juga mengungkit-ungkit kebiasaannya, dan tidak menjawab. Dia malah menyuruh Tia menungging di depannya. Tia menurut, berharap Bram melanjutkan ronde 3. Biarpun sudah orgasme satu kali, Tia masih ingin vaginanya dipenetrasi. Dia merasakan tangan Bram di pinggangnya, sementara penis Bram yang mulai tegang lagi menggosok-gosok bibir bawahnya.
“…masukin dong Mas…” bisik Tia.
“Apa?” Bram pura-pura nggak mendengar.
“Masukin dong Maaas,” rengek Tia.
“Masukin apa ke mana? Yang jelas dong?”
Tia terdiam sebentar lalu berkata, “Masukin kontolmu ke memekku Mas…” dengan malu-malu.
“Bagus… kamu udah bisa ngomong kayak mereka,” celetuk Bram, sambil menyodok memek istrinya.
Tia tidak menjawab, dan cuma mendesah karena nikmat. Tapi Bram masih terus berniat menggoda istrinya. Sambil merapat ke punggung Tia, Bram berbisik.
“Becek amat di dalam sana, licin. Hayo ngaku. Udah dipake berapa orang kamu hari ini, lonte?”
Tia menggigit bibir, malu karena diledek Bram. Dia mendengking waktu Bram menampar pantatnya. Tapi ternyata beberapa lama kemudian Bram mencabut burungnya dari kemaluan Tia.
Sebelum Tia sempat protes, Bram menggenggam satu tangannya dan mendorong Tia ke arah sofa sampai kepalanya bersandar di sofa. Tia bertanya-tanya apa mau Bram, tapi dia langsung sadar ketika Bram menowel-nowel lubang anusnya…
“Mas? Mas Bram mau apa…?”
“Mau merawanin pantatmu…”
Sesudahnya, ada jeritan yang sampai terdengar oleh Citra di rumah sebelah. Citra tersenyum puas mendengar suara berisik di rumah adik dan adik iparnya. Sarannya kepada Tia untuk coba berubah menjadi seperti perempuan-perempuan yang fotonya ada di HP Bram sepertinya manjur.
Baguslah, pikirnya. Daripada Bram bawa pulang penyakit atau anak haram, mendingan dengan Tia. Orang yang tadi datang dengan Mercy hitam baru saja pergi dari salon Citra, puas dengan pelayanan Citra dan memberi tips cukup banyak.
Citra kembali memulaskan lipstik di bibirnya; tadi lipstiknya terhapus ketika dia memberi servis blowjob kepada si pengendara Mercy. Satu jam sudah berlalu sejak Bram pulang. Sekarang dia terlentang telanjang, mandi keringat, di ruang tamu.
Di dadanya bersandar Citra yang awut-awutan, make-up tebalnya luntur setelah entah berapa ronde berperan sebagai pelacur demi Bram. Dari lubang duburnya yang terasa agak nyeri, mengalir sedikit benih Bram yang tadi dikeluarkan Bram di sana.
Dua-duanya terlalu capek untuk ngobrol ataupun merasa bersalah. Yang jelas, Tia merasa tambah yakin Bram tidak akan perlu lagi jajan di luar. Dan sepertinya, Tia sendiri juga menemukan sisi baru dalam dirinya…
Menjelang tengah malam di rumah Bram dan Tia. Bram belum pulang; tapi sore sebelumnya dia sudah mengontak Tia, meminta Tia ‘bersiap-siap’. Tia tahu apa artinya itu, jadi sebelumnya Tia mampir ke salon milik Citra dulu.
Citra yang sebelumnya sudah janji mau terus membantuTia dengan senang hati merias Tia. Persis seperti pertama kali. Tia kembali menunggu Bram dengan sabar di rumah. Malam itu Tia memilih mengenakan gaun tidur sutra tipis pendek berwarna hijau, tanpa bra.
Tia mendengar bunyi mobil masuk garasi. Lalu suara langkah orang mendekati pintu. Suaminya tersayang sudah datang…Pintu terbuka.
“Puuunten.”
Ternyata bukan cuma Bram yang datang. Tia tertegun melihat empat orang yang ada di depan pintunya. Bram ada, tapi dalam keadaan tak sadar dan dipapah dua orang. Sedangkan yang memberi salam dalam bahasa daerah tadi adalah seorang laki-laki tua botak berperut buncit.
“Mang Enjup?” tanya Tia.
“Euleuh-euleuh, Neng Tia… Apa kabar? Ini, tadi kita habis ketemu klien, si Aden Bram kebanyakan minum, sampai mabuk berat terusnya ketiduran,” jawab si laki-laki tua.
Laki-laki tua itu nyengir memperlihatkan sebaris gigi menguning. Namanya Jupri, tapi Tia mengenalnya sebagai “Mang Enjup”, orang sekampung orangtuanya yang sudah bekerja untuk orangtuanya sejak awal mereka memulai usaha.
Mang Enjup awalnya pesuruh, tapi lama-lama bapakTia mendapati bahwa bawahannya itu pintar membujuk dan meyakinkan orang, sehingga karier Mang Enjup pun lancar sebagai juru runding perusahaan.
Di perusahaan keluarga mereka, Mang Enjup kini menempati jabatan manajer; Bram ditempatkan sebagai bawahannya, dengan harapan bisa menyerap ilmu Mang Enjup untuk kariernya kelak di posisi lebih tinggi. Maka itu Bram sering mendampingi Mang Enjup, menemui rekan bisnis dan ikut bernegosiasi.
“Baik, Mang. Aduh, maaf kalo Bram ngerepotin Mang. Ayo, masuk dulu.”
Mang Enjup kenal baik dengan keluarga Tia dan Bram sejak lama, sejak keduanya masih kecil. Waktu kecil, Tia senang bermain-main dengan Mang Enjup yang lucu dan suka menggendong-gendongnya.
Tapi setelah Tia agak besar, orangtuanya sempat melarang dia bermain dengan Mang Enjup. Waktu itu Tia sedih, tapi tak lama kemudian dia lupa karena sudah akrab dengan teman-teman sekolahnya.
Mang Enjup sendiri tak pernah jauh dari Tia karena dia terus bekerja sebagai bawahan orangtua Tia. Bram yang ketiduran dipapah oleh dua orang bawahan Mang Enjup: asistennya, Danang, dan supir merangkap pengawalnya, Reja. Danang bertubuh sedang, berkulit gelap dengan muka jerawatan.
Biarpun pekerjaannya kantoran, tapi Danang lebih sering berpenampilan urakan. Rambutnya yang agak gondrong dicat kemerahan, walaupun dia tidak jadi tambah keren karenanya. Dia keponakan Mang Enjup yang sebelumnya nganggur dan disuruh ikut pamannya supaya belajar kerja, tapi sebenarnya dia tidak punya keahlian selain menghabiskan duit.
Sementara Reja mantan prajurit yang dipecat karena indisipliner, dan selanjutnya bekerja sebagai bodyguard plus supir Mang Enjup. Penampilannya masih khas tentara dengan rambut cepak dan badan berotot—ditambah bekas luka sabetan pisau di pipi kirinya, peninggalan perkelahian dengan sesama prajurit yang membuat dia dipecat.
Reja dan Danang membawa Bram ke dekat sofa, lalu pelan-pelan menaruh Bram di sofa. Tia mencoba membangunkan Bram, tapi suaminya itu malah ngorok keras, menyemburkan hawa beralkohol dari mulutnya.
“Mas Bram, kubilang juga apa, Mas tuh nggak kuat minum…” kata Tia kepada Bram yang tentu saja tidak menjawab. Tia menyadari Bram bakal tertidur sampai besok pagi, jadi dia beralih ke tamu-tamunya.
Tanpa dipersilakan, Mang Enjup sudah duduk di salah satu kursi tamu. Dia menghela nafas lega ketika bisa mendesakkan pantatnya yang besar di sofa.
“Mau minum dulu, Mang?” sapa Tia, berbasa-basi.
“Jangan repot-repot, Neng. Mang juga sebentar lagi pulang. Udah malam.”
“Nggak apa-apa, Mang, sebentar aja Tia bikinin. Kopi?”
“Boleh, boleh.”
Tia tersenyum, lalu meninggalkan ruang tamu. Mang Enjup memperhatikan Tia dengan penuh minat. Salah satu penyebab orangtua Tia dulu sempat melarang Tia terlalu dekat dengan pegawai mereka itu, adalah karena mereka tahu sifat Mang Enjup yang ‘cunihin’.
Mereka takut Tiajadi mangsa kebiasaan buruk Mang Enjup yang suka bergenit-genit dengan perempuan. Di satu sisi, gaya bergaul Mang Enjup yang supel dan cepat akrab sangat memudahkan dia malang-melintang di ajang bisnis. Di sisi lain, sifat itu juga membuat Mang Enjup bereputasi agak jelek di perusahaan.
Sudah agak lama Mang Enjup tidak bertemu Tia, walaupun Bram sudah jadi bawahannya cukup lama. Mang Enjup juga biasanya mengenal Tia yang berpenampilan sederhana, polos, dan baik-baik. Jadi, ketika yang membuka pintu rumah Bram tadi adalah perempuan bermake-up tebal dengan baju seksi, Mang Enjup sempat heran sebelum menyadari bahwa itu Tia.
Rasa penasarannya berlanjut. Selain itu…Tia kembali dari dapur membawa tiga cangkir kopi di atas nampan untuk tamu-tamunya. Mang Enjup memperhatikan anak bosnya itu. Hampir tumpah liurnya melihat bentuk tubuh Tia yang samar-samar terlihat di balik gaun malam sutra yang dipakai Tia.
Matanya tak melewatkan kesempatan mengintip belahan dada Tia ketika Tia membungkuk untuk menaruh cangkir kopi di depannya. Tia lalu duduk menemani Mang Enjup, mengobrol ringan mengenai Bram dan perusahaan.
Mang Enjup tidak henti-hentinya memuji-muji orangtua Tia dan Bram yang berhasil mengembangkan bisnis bersama menjadi cukup maju.
“Omong-omong,” celetuk Mang Enjup sambil tersenyum lebar, memandangi wajah Tia, “meni geulis pisan Neng Tia ini malam. Apa baru pulang dari kondangan?”
“Ah, si Mang bisa aja,” Tia tersipu, “Enggak ada apa-apa, Mang, ini sih… buat suami aja.” Mukanya memerah.
“Euleuh-euleuh…. Buat si Aden? Baguuusss… Itu baru namanyah istri yang baik, mau dandan secantik-cantiknya buat suami. Jangan kayak si Kokom sama si Lilis, boro-boro mau dandan buat Mang, kerjanya di rumah cuma molor sama ngomel.”
Kokom dan Lilis adalah istri tua dan istri muda Mang Enjup, keduanya tinggal di kota asalnya, di rumah yang berbeda. Mang Enjup sendiri tidak memperhatikan istri-istrinya karena dia sendiri punya banyak selingkuhan: karyawati bawahannya, klien, rekanan, dan lain-lain.
Tapi begitu dia melihat Tia, anak bosnya yang sudah dia kenal sejak kecil, yang sedang berpenampilan seksi ‘demi suami’, semua perempuan itu tersingkir dari kepala Mang Enjup. Bukan tanpa alasan dulu dia berakrab-akrab dengan Tia kecil.
Tia sudah diincarnya sejak lama. Tapi lalu Tia menikah dengan Bram. Biar begitu, Mang Enjup orang yang tidak suka melewatkan kesempatan. Bram sedang teler. Tia ada di depannya…
“Ah, tapi si Aden ketiduran gitu, Neng? Kasihan, sudah dandan cantik-cantik, eeh malah ditinggal tidur. Kumaha atuh, Neng?” sindir Mang Enjup, sambil terus memperhatikan wajah Tia.
Tia melengos. “Yah… ya udah, nggak pa-pa, tinggal cuci muka terus tidur.”
Mang Enjup bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah Tia. Tia tidak beranjak. Dia merasa tidak perlu bereaksi. Mang Enjup duduk di sofa, di samping Tia; lengannya merangkul pundak Tia.
“Sayang atuh. Gimana kalau sama Mang saja?”
Tia tidak mampu menolak kata-kata Mang Enjup.
Selain keluwesannya dalam bergaul, yang membuat Mang Enjup sangat hebat dalam mempengaruhi orang juga adalah semacam aji-ajian ilmu gendam yang dikuasainya. Ilmu itu mirip dengan hipnotis tingkat tinggi.
Kalau sudah bisa menguasai pandangan dan perhatian sasarannya, Mang Enjup bisa membuat pertahanan mental sasarannya runtuh dengan menghilangkan rasa curiga dan tak percaya.
Selanjutnya, sasaran ilmunya akan menurut saja kepada semua kata Mang Enjup. Biasanya Mang Enjup baru akan menggunakan gendam kalau cara biasa sudah buntu, dan hanya untuk kasus-kasus yang “harus menang”.
Itu untuk pekerjaan utamanya sebagai negosiator, dan dia jarang sekali harus perlu melakukannya; Mang Enjup cukup jago bersilat lidah dan melobi, sehingga dengan mengajak klien atau rekanan pelesir ke tempat hiburan, dan membayari ongkos makan + minum + cewek, urusan bisa beres.
Tapi untuk urusan pribadi, Mang Enjup tidak segan-segan menggunakan ilmu gendamnya. Apalagi untuk yang satu ini. Ketika perempuan yang dia incar bertahun-tahun sudah di depan mata. Sejak Tia membawakan kopi, Mang Enjup sudah melancarkan serangan.
Sambil ngobrol, dia terus memandangi mata Tia, menguasai perhatian dan mengendorkan konsentrasi Tia. Ketika tadi dia bangun dan pindah duduk ke sebelah Tia, Tia sudah jatuh ke tangannya, makanya Tia tidak bergerak. Kesadaran Tia sudah digenggam Mang Enjup.
Sekarang Tia ada dalam rangkulan Mang Enjup, tatapannya kosong. Mang Enjup tersenyum penuh kemenangan. Kedua bawahannya, Danang dan Reja, duduk diam sambil menyeruput kopi masing-masing, tidak berani berbuat apapun.
“Heheheheheh,” Mang Enjup terkekeh. Tangannya mulai beraksi mengelus-elus leher Tia, bahu Tia, terus ke pinggang dan paha. Mang Enjup tersenyum lebar ketika menyadari Tia tidak pakai celana dalam.
Sebelumnya, dia sudah melihat bahwa Tia tidak memakai beha ketika mengintip belahan dada Tia yang tampak waktu Tia menyuguhkan kopi tadi. Ngocoks.com
Sungguh senang dia melihat Tia kecil yang dulu digendong-gendong dan dipangku-pangkunya (dengan niat tersembunyi, tentunya) sekarang tumbuh jadi perempuan cantik yang bertubuh lumayan bagus, dan entah kenapa, gaya berdandannya di rumah mirip kupu-kupu malam.
“Tia. Bisa jawab pertanyaan Mang?” kata Mang Enjup sambil mengelus-elus paha Tia.
“Bisa,” suara Tia datar, tanpa ekspresi.
“Sedang apa kamu tadi, Tia?”
“Aku nunggu Mas Bram pulang.”
“Kamu pakai apa sekarang, Tia?”
“Sekarang aku cuma pakai gaun malam pendek, yang dulu dibelikan Mas Bram.”
“Terus apa lagi?”
“Nggak pakai apa-apa lagi.”
“Kamu pakai beha? Celana dalam?”
“Nggak. Aku nggak pakai beha, nggak pakai celana dalam…”
“Begitu. Terus. Ada apa dengan mukamu?”
“Tadi aku ke salon Kak Citra. Minta didandani seperti kemarin-kemarin.”
“Didandani… seperti gimana, Tia?”
“Yang lengkap… tebal, menor, seperti dandanan Kak Citra.”
Mang Enjup juga ingat Citra. Dia tersenyum sendiri mengingat-ingat masa lalu. Kemudian dia melanjutkan interogasi. Sekarang satu tangannya mulai menjamah ke balik gaun tipis Tia. Ditemukannya kemaluan Tia, dan mulailah dia mengelus-elus bagian luarnya.
“Coba lihat mukamu Tia… bedak tebal, lipstik merah… bajumu juga seperti itu. Kenapa kamu dandan seperti ini, Tia?”
“Buat Mas Bram…”
“Kenapa?” Mang Enjup menemukan klitoris Tia dan mulai menjepit-jepitnya di sela jari. Tia mendesah tertahan.
“Hahh… karena… saran Kak Citra. Aku mesti jadi seperti yang Bram suka, katanya.”
“Bram suka yang seperti ini? Apa dia minta?”
“Tidak… tapi aku lihat foto-foto di HP-nya… foto wanita panggilan… dandanan mereka seperti itu… ehh… ah…” Mang Enjup menjolokkan satu jarinya ke celah kewanitaan Tia. Sementara itu, Mang Enjup juga menjilati tengkuk Tia, sehingga Tia mulai terangsang.
“Terus gimana Tia… Bram suka?”
“Bram suka…”
“Kamu sendiri?”
Tia terdiam, tidak menjawab. Mang Enjup sekarang sudah memasukkan dua jarinya, dan mulai mengobel vagina Tia, sambil mencubit-cubit klitoris Tia. Daerah yang dijelajahi jari Mang Enjup mulai terasa basah.
“Ayo jawab Tia… Jawab yang jujur.”
“Aku… ah!” Tia mengerang sedikit setelah Mang Enjup mencubit itilnya agak keras, lalu melanjutkan, “…malu…”
“Kenapa malu, Tia?”
“Malu… soalnya harus berpakaian dan berdandan seperti ini… Seperti pelacur yang jual diri… nggak biasa… rasanya bukan seperti aku… aku bukan perempuan murahan…”
Bersambung…