Mang Enjup terus menggerayangi tubuh Tia, meremas payudara Tia, menjilati tengkuk Tia. Tia tersandar tak berdaya pada badan Mang Enjup, matanya kosong, bibirnya terus mengeluarkan erangan dan desahan kenikmatan. Dari pengakuan Tia, Mang Enjup tahu apa alasan dia bergaya seperti pelacur. Muncul satu ide di kepala Mang Enjup.
“Kenapa harus malu, Tia?”
“Soalnya…”
“Dengar kata-kata Mang sesudah ini, Tia. Dengar dan ikuti untuk seterusnya. Ngerti?”
“Mengerti…”
“Kamu tahu seperti apa penampilanmu sekarang, Tia?”
“Tahu…”
“Seperti apa?”
“Seperti pelacur… seperti perempuan murahan…”
“Tapi kamu nggak suka, kan?”
“Iya… aku nggak suka… tapi demi Bram.”
“Salah, Tia.”
“Salah…?”
“Kamu salah, Tia. Kamu sebenarnya diam-diam suka berpenampilan seperti itu. Kamu sebenarnya suka berdandan secantik-cantiknya, seseksi-seksinya. Iya kan, Tia?”
“Iya…”
Mang Enjup nyengir. Lebar sekali. Lalu dia melanjutkan membisikkan sugestinya ke telinga Tia.
“Kamu harus sadar, Tia. Kamu harus sadar kamu itu seksi, dan diam-diam kamu mau dikagumi. Iya kan, Tia?”
“Iya…”
“Mulai sekarang, kamu suka berdandan seksi. Ulangi.”
“Mulai sekarang, aku suka berdandan seksi.”
“Mulai sekarang, kamu ingin menggoda semua laki-laki. Ulangi.”
“Mulai sekarang, aku ingin menggoda semua laki-laki.”
“Bagus, Tia. Jangan pernah lupa yang kamu bilang tadi. Ngerti?”
“Mengerti.”
Mang Enjup menengok ke arah Bram yang masih ngorok di atas sofa, dan tidak tahu kehidupan istrinya sedang diubah untuk seterusnya. Sambil terus menjamah seluruh tubuh Tia, Mang Enjup membisikkan berbagai sugesti ke telinga Tia. Sementara itu, sentuhan demi sentuhan Mang Enjup membuat tubuh Tia makin tak mampu menahan gelora nafsu.
“Ahh… ah… ah! Ahnggg!!”
Terdengar erangan panjang Tia, mengiringi orgasme pertamanya malam itu di tangan Mang Enjup.
“Bagaimana rasanya yang tadi Tia?”
“Hahh… enak sekali Mang…”
“Sekarang giliran kamu bikin enak Mang. Ayo sini Tia, Mang pangku.”
Tia menurut, berdiri, lalu duduk di pangkuan Mang Enjup. Bokongnya bersandar di perut gendut Mang Enjup. Burung Mang Enjup yang mengeras di balik celana tergencet belahan pantat Tia. Mang Enjup menyibak rambut panjang Tia ke depan, sehingga lidahnya tak terhalang ketika menjelajahi punggung Tia.
Kedua tangannya memegang pinggang Tia dan menggerak-gerakkan tubuh Tia maju-mundur, sehingga bokong Tia jadi mengelus-elus ereksinya. Lalu Mang Enjup menggeser Tia ke depan supaya dia bisa membuka resleting celana, membebaskan kejantanannya.
Penis Mang Enjup tak terlalu besar dan nyaris tenggelam di bawah perutnya yang gendut, tapi sekarang tegak dan keras setelah menikmati sentuhan bokong Tia. Mang Enjup merogoh ke arah kemaluan Tia, merangsang vagina Tia lagi. Tia mulai keenakan, dan menyandarkan diri ke perut dan dada Mang Enjup; Mang Enjup terus menjilati dan menggigiti telinga, tengkuk, dan pundak Tia.
Mang Enjup tersenyum jahat. Tia, anak bosnya, yang sudah diincarnya sejak kecil, sekarang sudah ada di tangannya. Dulu, ketika memangkuTia yang masih anak-anak, dia sudah membayangkan memerawani Tia, merebut kehormatan gadis kecil yang dipangkunya, membuat Tia jadi wanita dewasa.
Tentu saja, Tia kecil belum tahu bahwa Mang Enjup yang ramah dan lucu itu selalu konak bila memangku atau menggendongnya. Sekarang, Tia yang sudah besar, sudah bahenol, kembali ada di pangkuannya. Setelah bertahun-tahun menunggu dan berencana. Sayang Bram sudah menduluinya membobol keperawanan Tia. Tapi yang penting sekarang Tia sudah di tangannya…
“Nah, Neng Tia, sekarang Mang mau masuk…”
Setelah merentangkan kedua paha Tia, Mang Enjup mendorong kepala burungnya masuk ke vagina Tia. Tia meringis sedikit; Mang Enjup sendiri langsung kelabakan, tidak siap menghadapi ketatnya himpitan dinding dalam vagina Tia.
“Addeuhhh… Neng! Sempit amat inih!”
Mang Enjup amat puas, bisa melakukan sesuatu yang sudah diimpikannya bertahun-tahun. Dia tak buang-buang waktu dengan segera menggenjot Tia. Tapi sayang, fisiknya yang sudah tua tak mendukung…
“Uuuh… !! Anjing siah!“
Mang Enjup memaki-maki karena burungnya terlalu cepat ejakulasi. Impiannya bertahun-tahun untuk menyetubuhi Tia terwujud… dan berakhir setelah beberapa menit saja dengan tumpahnya cairan putih di dalam vagina Tia. Tak lama kemudian penisnya melembek dan menciut. TapiTia malah belum berhenti bergerak, pinggulnya terus geal-geol seperti penari jaipong di pangkuan Mang Enjup.
Meski Tia masih di pangkuannya, burung Mang Enjup belum bangun lagi. Maklumlah, dia sudah tua, dan belum lama ini ahli pengobatan tradisional spesialis kejantanan langganan Mang Enjup meninggal dunia sehingga andalan Mang Enjup itu tidak lagi selalu siap bertempur. Ingin ronde dua pun Mang Enjup harus menunggu lama. Sementara Tia di pangkuannya belum puas.
“Aahmm… mau lagi dong…”
“Hehehe…” Mang Enjup terkekeh mendengar permintaan manja Tia tadi. Tia masih dalam pengaruh hipnotisnya… dan masih akan mendengar kata-katanya. Dia memutuskan untuk menjerumuskan Tia lebih lanjut.
“Mau apa, Tia?”
“Mau… dientot lagi…”
Mang Enjup menoleh ke arah Danang dan Reja. Kedua anak buahnya itu terlihat melongo setelah menonton adegan porno langsung di depan mereka.
“Danang!” seru Mang Enjup. Yang dipanggil tersentak dari keadaan mupeng.
“HP kamu bisa rekam video kan? Ayo keluarin.”
Danang nyengir dan langsung ngerti apa maksud atasan merangkap pamannya itu. Segera dia keluarkan ponsel miliknya dengan fungsi perekam video yang sudah beberapa kali memberi kontribusi 3gp kepada ajang video porno amatir di internet.
Mang Enjup mendorong pelan Tia dari pangkuannya, lalu membuat Tia berlutut di lantai. Kemudian dia berdiri, mengambil HP Danang, dan menyuruh Danang serta Reja mendekat. Danang dan Reja berdiri di depan Tia yang bersimpuh, menghadapkan jendulan di balik celana mereka ke arah muka Tia.
Sementara Mang Enjup sendiri duduk di kursi tamu, di belakang Danang dan Reja, matanya tak lepas menatap mata Tia. Dia menyalakan fungsi kamera video HP Danang. Danang yang sudah horny berat sudah mau membuka celana dan menerkam Tia, tapi Mang Enjup lebih dulu memperingatkannya. “Tahan dulu.
Tunggu komando.” Kemudian Mang Enjup memulai menyorot Tia. Wajah Tia yang tertutup tata rias tampak bengong; mulutnya yang setengah terbuka dan matanya yang setengah tertutup memberi kesan
“Tia,” perintahnya, “Coba kamu bilang, siapa kamu.”
Tia, tak berdaya di bawah pengaruh tatapan penjerumus Mang Enjup, menjawab. Suaranya kembali datar tanpa ekspresi.
“Saya Tia… “
“Bagus Tia. Sedang jadi apa kamu sekarang?”
“Saya sedang jadi…” Tia berhenti; bawah sadarnya masih belum bisa mengungkapkan dengan jelas.
“Hee… Apa kamu tidak tahu Tia? Sekarang kamu sedang jadi pelacur. Sedang jadi apa, Tia?”
“Saya sedang jadi pelacur…”
“Benar Tia. Kamu sedang jadi lonte. Kamu dandan menor, pake baju seksi. Buat siapa?”
“Buat Mas Bram…”
“Bukan.”
“Bukan?”
“Lihat siapa yang ada di sini, Tia. Kamu tahu? Sebenarnya kamu dandan bukan buat Bram saja. Kamu pengen dilihat semua orang. Dianggap cantik dan seksi oleh orang. Karena kamu sebenarnya lonte yang suka nggoda laki-laki.”
“Iya…” Mang Enjup melihat sedikit perubahan ekspresi, seolah Tia agak enggan. Mungkin bawah sadar Tia sedang berusaha menolak sugestinya.
“Jangan dilawan, Tia. Akui saja.”
“…”
“Lihat Tia. Lihat gara-gara kamu, dua orang ini jadi konak nggak ketulungan. Kasihan kan.”
“Konak…”
“Sebagai lonte, kamu jangan diam aja melihat orang konak. Hayo bantu mereka. Isap kontol mereka.”
Mang Enjup mengangguk ke arah Danang dan Reja. Keduanya dengan senang hati membuka resleting celana dan menodongkan ‘senjata’ mereka ke muka Tia. Danang sedikit iri melihat punya Reja yang lebih besar daripada punya dirinya sendiri.
Kedua tangan Tia masing-masing menggenggam penis yang diacungkan ke arahnya, lalu mulai mengocok. Lalu seperti lonte berpengalaman Tia mulai menggilir kedua penis itu dengan bibirnya. Danang terkekeh merasakan bibir empuk merah Tia melumat batangnya. Dielusnya rambut panjang Tia.
Kemudian ganti giliran Reja, Tia memiringkan kepala lalu menggigit lembut pangkal batang Reja sebelum menjilatnya dari bawah ke atas. Mang Enjup memfilmkan itu sambil terbahak-bahak dalam hati.
Salah satu kenikmatan hidup yang paling dia sukai adalah perempuan, namun sayang penyakit ejakulasi dini-nya sangat mengganggu dia merasakan kenikmatan itu. Kadang dia frustrasi ketika hanya bisa bertahan beberapa menit menggarap gadis-gadis yang sudah menyerahkan diri kepadanya.
Frustrasinya itu akhirnya dia salurkan dengan cara merusak kepribadian para sasarannya dengan ilmu hipnotis; perempuan yang jatuh ke tangannya dia ubah menjadi lebih binal. Selanjutnya dia akan puas apabila perempuan-perempuan itu terjerumus akibat perubahan yang dia tanamkan.
Pernah Mang Enjup membuat seorang perempuan mantan rekanannya yang sudah menikah menjadi membenci suaminya, sehingga akhirnya bercerai. Kali lain, Mang Enjup mengacau pemikiran seorang gadis yang diwawancaranya untuk lamaran kerja, sehingga gadis yang awalnya alim itu kini melacurkan diri di suatu kawasan hiburan malam terkenal (karena tidak diterima kerja sebagai karyawatinya). Dan sekarang, dia pun sedang mengubah Tia.
Tia berganti-ganti menyepong Danang dan Reja; lipstik merahnya mulai celemotan setelah bibirnya naik-turun dua batang kejantanan. Kedua anak buah Mang Enjup mulai tak tahan, dan Danang yang duluan ejakulasi, ketika posisi anunya sedang di dalam rongga mulut Tia.
Ketika itu juga Danang langsung refleks mencengkeram dan menekan kepala Tia ke selangkangannya, sehingga seluruh semburannya tidak ada yang tumpah di luar.
“Uehh… gile enak banget!” teriak Danang. Tia mundur setelah kepalanya dilepaskan Danang, sambil menutup bibirnya dengan tangan, seolah menahan agar dia tidak memuntahkan mani Danang. Mang Enjup maju dan menyorot muka Tia dengan kamera video HP Danang.
“Gimana, Tia? Enak kan? Jangan ditelan dulu. Buka mulutnya.”
Tia membuka mulutnya, memperlihatkan sisa sperma Danang yang belum sempat tertelan. Dimain-mainkannya cairan lengket itu dengan lidahnya, sebelum akhirnya ditelan juga.
“Enak, Tia?”
“Enak…”
“Enak kan ngisap kontol?”
“Iya… kontol enak…”
Semua itu terekam oleh kamera HP Danang. Mang Enjup sengaja merekam semuanya dalam video, untuk jaga-jaga. Barangkali kelak ada yang tidak beres, dia bisa menyelamatkan diri dengan memeras Tia. Tapi kata-kata Tia yang terakhir itu sungguh tidak terduga. Bisa aja si Neng ngomong begitu…
“Nah, ingat itu Tia. Kamu suka ngisap kontol. Coba ulangi.”
“Aku suka ngisap kontol.”
Sementara Danang memulihkan diri, amunisi Reja masih penuh. Reja tidak banyak bicara, tapi dari wajahnya terlihat dia tidak puas karena Tiaberhenti.
“Bagus,” kata Mang Enjup kepada Tia, “nah, Tia, karena kamu sekarang sudah jadi lonte, kamu harus ingat baik-baik. Lonte itu nggak cuma ngentot sama suaminya. Lonte itu mau ngentot sama semua orang.
Gak peduli sejelek apapun orangnya, se-ancur apapun orangnya, lonte harus mau. Mulai sekarang, kamu nggak akan menolak ngentot sama siapapun. Biarpun kamu nggak suka, kamu nggak akan nolak. Ngerti, Tia?”
“Mengerti.”
“Nah, sekarang kamu ngentotlah sama dia.”
Reja menghampiri Tia yang duduk di lantai, membuat Tia dalam posisi seperti mau merangkak. Gaun pendek Tia disibaknya sehingga terlihatlah pantat Tia yang mulus dan sekal. Tidak cuma Reja, Mang Enjup yang jadi juru kamera pun tergiur melihat bokong bulat-montok Tia yang tadi sempat mengulek kejantanannya.
Mang Enjup memang paling suka pantat bahenol khas perempuan kampung halamannya. Dengan antusias ditontonnya dari balik kamera bagaimana kejantanan Reja yang besar dan menakutkan itu melesak masuk ke kewanitaan Tia, sementara Tiameringis keenakan selagi tubuh Reja menindihnya.
Sebelumnya, baru Bram yang pernah mencicipi tubuh Tia. Tapi malam itu Tia tadi telah dijamah Mang Enjup (biar hanya sebentar), lalu Danang (baru di mulut), dan sekarang Reja—barangnya-lah yang paling besar di antara semua yang pernah mempenetrasi Tia.
Si nyonya muda itu merintih dan mengerang, kelopak matanya yang dipercantik eyeshadow senada warna bajunya terpejam ketika dia merasakan ukuran luarbiasa onderdil Reja memaksa liang kenikmatannya merentang lebih lebar daripada biasa.
Reja menggenjot dengan buas dalam posisi doggy style, tanpa basa-basi atau pelan-pelan dulu, dan ketika Tia menjerit, makin kencanglah aksinya. Entah Tia menjerit kesakitan atau keenakan, Reja tidak peduli.
“AA!! AH! Ah! Ah!” Tia menggigit bibir, berteriak, menganga, menyentakkan kepala. Tiap tusukan Reja membuatnya tersentak ke depan, kedua payudaranya berguncang, gairahnya membara.
Tak lama kemudian Tia mengalami orgasme kedua malam itu, di tengah gempuran gencar Reja. Mang Enjup merekam lolongan panjang yang muncul ketika Tia tersungkur, mencium lantai, rambutnya tergerai di sekeliling kepala, ditaklukkan klimaks.
Tapi Reja benar-benar tahan lama. Walaupun disiksa jepitan vagina Tia, dia masih tetap dapat mempertahankan kekerasan anunya. Didengarnya Mang Enjup berkata sesuatu.
“Ja! Cabut, terus kamu bawa dia ke kursi, hajar pantatnya.”
Agak susah Reja melepaskan burungnya dari sempitnya memek Tia. Supir mantan tentara itu lantas mencekal pinggang Tia, lalu duduk dan menarik Tia ke pangkuannya. Tia yang baru saja orgasme tidak mampu melawan ketika ditarik Reja. Ketika Tia sudah berada di pangkuan Reja, Mang Enjup kembali mengajak bicara Tia.
“Dasar nakal, Tia. Sudah ngentot sama sembarang orang, keenakan pula. Dasar lonte.”
Tia cuma terengah-engah menerima penghinaan dari Mang Enjup.
“Hei Tia. Sudah pernah main belakang? Lubang pantatmu sudah pernah ada yang nyodok belum? Ayo dijawab.”
“Sudah…”
Ternyata si Bram doyan pantat juga, pikir Mang Enjup.
“Kamu suka dibegitukan, Tia?”
“Enggak…”
“Kenapa nggak suka?”
“Sakit… jijik… malu…”
“Oh… gitu. Tapi mulai sekarang kamu nggak keberatan lagi dientot di pantat. Ngerti?”
“Mengerti…”
“Bagus. Sekarang buka tuh lubang biar kontol bisa masuk.”
Tia mengangkang di atas pangkuan Reja. Tangannya menjulur ke arah selangkangan, meregangkan bagian sekitar lubang duburnya. Kemaluan jumbo Reja yang basah dengan cairan vagina Tia bersiap masuk.
“Eughhh…” Wajah Tia berubah meringis ketika kepala penis Reja berusaha menerobos saluran sempit yang baru satu kali ditembus dari luar itu. “Ah! Haah! Haduhh!!” Ketika beberapa malam lalu Bram memerawani anusnya, Tia juga menjerit-jerit, tapi senjata Bram tidak sebesar punya Reja.
Bisa dibayangkan perbandingan kekuatan desakannya dan rasa sakit yang ditimbulkannya. Sampai-sampai air mata Tia mengalir selintas. Susah payah Reja mendorong, memaksa dinding dalam dubur Tia agar mau menerima benda tumpul keras berukuran ekstra.
Hampir pingsan Tiaketika seluruh penis Reja berhasil dimasukkan sampai pangkal. Tia merasakan refleks normal bagian tubuhnya yang itu untuk mendorong keluar benda-benda yang ada di dalamnya membuat jepitannya terhadap batang Reja makin kencang.
Dia mengeluh lemah, merasakan sensasi ‘terisi penuh’ yang tak wajar. Tubuh atasnya ambruk ke dada Reja; Reja langsung menyambut dengan ciuman-ciuman ke tengkuk dan bahu serta gerayangan ke dada dan perut, sementara pinggulnya mulai memompa.
Kemarin-kemarin Tia sudah memutuskan tidak mau disodomi lagi setelah pengalaman pertamanya dengan Bram. Tapi keputusannya itu sudah dibatalkan pengaruh hipnotis Mang Enjup.
Nyeri yang Tia rasakan ketika Reja memasukkan penisnya sedikit mereda, dan Tia merasakan bahwa di antara rasa sakit itu terselip kenikmatan. Tia merintih lembut ketika Reja menarik anunya sampai hampir keluar. Sejenak dia merasa kosong, ingin diisi kembali; keinginan itu segera terpenuhi dengan kembalinya batang Reja ke dalam anusnya.
Reja awalnya tidak bisa bergerak cepat, karena begitu sempitnya jalan belakang Tia yang jarang dipakai itu, tapi lama-lama gerakan maju-mundurnya makin cepat. Dengan tiap tusukan, Tia merasakan tubuhnya mulai menuju klimaks.
Tia mulai menikmati setiap gesekan batang Reja di dinding saluran duburnya, setiap desakan kepala kontol Reja dalam lubangnya. Nafas Reja mulai memburu, jepitan lubang anus Tia benar-benar menguji ketahanannya.
Mang Enjup sangat puas melihat wajah Tiayang kelihatan sangat mesum, terengah-engah keenakan selagi anusnya disodok kontol besar seorang laki-laki yang bukan suaminya. Anak bosnya itu benar-benar kelihatan seperti lonte murahan.
Dan Mang Enjup juga tahu, PSK betulan saja banyak yang tidak mau melayani seks anal; artinya dia sudah berhasil merubah Tia menjadi lebih parah. Tak perlulah semua bagian video yang direkamnya dipertahankan, pikir Mang Enjup. Cukup bagian si Tia dibo’ol saja.
“Woi, Ja! Ikutan!” Danang memutuskan untuk tidak bengong saja. Kemaluannya sudah bertenaga lagi. “Memeknya buat gua, ya!?”
Posisi Tia yang mengangkang di pangkuan Reja dengan pantat tertembus senjata tumpul Reja jelas sangat mengundang. Dengan terburu-buru Danang mendekati Tia dari depan, dan tanpa basa-basi menempatkan kepala penisnya di bibir vagina perempuan yang bukan haknya itu. Sekali dorong, dan kehormatan Tia sebagai seorang istri kembali tercemar oleh bagian tubuh orang lain.
Tia mendesah, mengerang, merasakan sensasi baru ketika dua orang memasuki tubuhnya sekaligus—double penetration yang baru pertama kali dialaminya sendiri. Memeknya langsung membanjir karena diterpa rangsangan demi rangsangan.
Reja dan Danang mengeroyok kedua lubang Tiadari depan dan belakang, kadang berbarengan, kadang bergantian. Tia sendiri balas menggoyang pinggulnya, kadang melawan tusukan Danang dari depan, kadang menggilas coblosan Reja dari bawah.
Yang keluar dari mulut Tia hanya aneka jerit kenikmatan yang tak jelas artinya. Lalu sekujur tubuh Tia serasa meledak ketika dia orgasme untuk ketiga kalinya, lebih hebat dibanding yang sebelumnya.
Reja melenguh keras ketika akhirnya kehilangan kendali, dicengkeramnya pinggul Tia keras-keras ketika penis besarnya memuncratkan mani ke dalam ujung saluran pencernaan Tia.
Lama sekali dia mengosongkan muatannya di dalam pantat Tia. Ketika semburannya selesai dan Reja menarik keluar penisnya, dubur Tia menganga dengan tak senonohnya dan cairan putih keruh mengalir keluar—sekali-sekali alirannya berubah jadi muncratan akibat refleks normal bagian tubuh itu.
Mang Enjup tak lupa mengabadikannya dalam sorotan close-up. Melihat Reja mesti istirahat, Danang tidak berhenti. Reja menggeser tubuh Tia sehingga bisa menyingkir dari bawah Tia. Sekarang Danang ada di atas Tia yang terduduk tanpa daya di sofa.
Sambil menggerayangi payudara Tia dan mencupangi leher Tia, dia terus merangsek lubang sanggama Tia. Terus begitu sampai akhirnya Danang pun ejakulasi, di dalam rahim Tia. Tia yang akalnya sedang kacau tak mampu menolak benih asing tertumpah dalam dirinya.
Mang Enjup mulai kesal akan keadaan dirinya yang sudah tak muda lagi ketika setelah cukup lama pun kejantanannya belum mampu bertempur lagi. Sementara itu kedua asistennya yang masih muda hanya perlu waktu tak seberapa lama sebelum mereka kembali siap menyetubuhi lonte mereka malam itu, Tia.
Sejam kemudian, Reja dan Danang akhirnya tak kuat lagi. Mereka berdua menggeletak kecapekan di kiri-kanan Tia yang juga terkapar. Sungguh mengenaskan keadaan Tia; wajahnya ternoda cipratan mani yang tadi sempat ditumpahkan di sana, sementara liang vagina dan duburnya yang babak belur dipenuhi sperma Reja dan Danang yang sedikit-sedikit mengalir keluar.
Dada dan pundaknya penuh bekas cupangan dan gigitan. Benar-benar seperti seorang wanita tuna susila yang habis dibayar untuk pesta seks semalaman. Setelah memotret Tia dalam keadaan seperti itu beberapa kali, Mang Enjup menggoyangkan tubuh Tia untuk meminta perhatiannya. Mang Enjup hendak menyelesaikan tindakannya terhadap Tia malam itu.
“Tia, bangun. Tatap mata Mang dan dengarkan semua kata Mang. Mengerti?”
“Mengerti…” suara Tia terdengar lemah.
“Sehabis ini, kamu akan lupa semua yang terjadi malam ini. Kamu tidak akan ingat pernah diberitahu segala macam oleh Mang, tapi semua itu tetap akan kamu patuhi dan ikuti.
Tidak akan kamu kaitkan perubahan perilakumu dengan kata-kata Mang. Sesudah Mang menjentikkan jari, kamu akan tidur selama satu jam, lalu bangun dan tidak ingat apa-apa. Kalau di badanmu ada bekas-bekas bersetubuh, itu karena kamu habis bersetubuh dengan Bram. Ngerti, geulis?”
“Ya…”
CTAK.
Tia memejamkan mata untuk tidur selama satu jam ke depan sesuai perintah Mang Enjup. Mang Enjup tersenyum puas. Biarpun tidak bisa maksimal menikmati tubuh Tia, dia puas bisa mengubah Tia untuk seterusnya. Pikirannya sudah membayangkan berbagai hal yang bakal dialamiTia kelak.
“Danang! Reja! Hayoh jangan pada molor di sini. Kita pergi!”
Dua orang yang dipanggil itu bangun dengan susah payah. Danang merasa pinggangnya sakit dan dengkulnya tak bertenaga setelah entah beberapa ronde tadi merasakan semua lubang yang bisa dientot di tubuh Tia.
Reja berdiri, menutup celananya, dan terus berjalan seperti tidak terjadi apa-apa. Mang Enjup dan rombongannya kemudian meninggalkan Tia yang terkapar dan ternoda di ruang tamu, ditemani Bram yang masih terbaring tak sadar di sofa.
Ketika Mang Enjup dan kedua bawahannya keluar pagar rumah Bram dan Tia untuk menuju mobil mereka yang diparkir di luar, satu suara menyapa mereka.
“Baru pulang, Mang?”
Mang Enjup menoleh, melihat api rokok menyala di arah suara tadi datang. Rokok dengan filter terjepit bibir merah seorang perempuan yang wajah cantiknya kurang jelas terlihat di bawah lampu luar rumah yang kurang terang.
“Euleuh-euleuh, Neng Citra, masih bangun? Ikutan ngeronda, atau sekarang salonnya buka dua puluh empat jam?”
Citra yang sedang duduk-duduk sambil merokok di luar salonnya itu menghampiri Mang Enjup.
“Ah si Mang bisa aja. Tumben mampir ke sebelah. Ada urusan sama Bram atau Tia?” kata Citra sambil melirik genit. Mang Enjup tidak bisa tidak memperhatikan itu.
“Mang cuma ngobrol-ngobrol sebentar sama Neng Tia. Kan sudah lama tidak ketemu. Neng Tia sekarang berubah, ya? Jadi pangling. Tambah cantik dia.”
Citra terkikik. Berbeda dengan Tia, Citra sudah lama tahu kebiasaan buruk laki-laki tua pegawai orangtua adik iparnya itu.
“Nah, sekarang Mang mau pulang dulu. Sudah malam, dan kepala Mang agak pusing. Biasa, kerjaan. Perlu konsentrasi. Capek.”
“Nggak mampir dulu, Mang?” goda Citra. “Citra pijatin deh Mang biar gak pusing.”
Kenapa tidak, pikir Mang Enjup. Dia mengangguk dan kemudian mengikuti Citra masuk ke salon. Kedua anak buahnya membuntuti.
Bram membuka mata dengan berat. Dia merasa kepalanya sakit, dan dia mengingat-ingat apa yang baru terjadi. Jelas tadi dia terlalu banyak menenggak minuman keras ketika menemani Mang Enjup menjamu tamu di satu pub. Setelah tamu itu pergi, dia terus minum-minum dengan Mang Enjup, dan dia tidak ingat lagi apa saja yang dia obrolkan dengan atasannya itu.
Mungkin dia menyebut-nyebut Tia.
Berikutnya dia ambruk karena mabuk, lalu sepertinya dia ketiduran dan diantar pulang oleh Mang Enjup, karena dia sekarang terbaring di sofa di ruang tamunya sendiri. Ngocoks.com
Dan tadi dia bermimpi aneh sekali, dia bermimpi Tia yang menunggunya malah dipangku oleh Mang Enjup, lalu Tia menuruti kata-kata Mang Enjup, dan Tia menyerahkan dirinya untuk disetubuhi dua orang yang tidak bisa dia ingat siapa…
Di mana Tia? Bram bangkit pelan-pelan, mengangkat kepalanya yang puyeng, dan dilihatnya Tia meringkuk di sofa, dengan baju dan dandanan acak-acakan. Dilihatnya bekas mani yang mulai mengering di pipi Tia.
Siapa yang…
Bram berguling sehingga turun dari sofa, lalu beringsut mendekati Tia. Digenggamnya bahu Tia lalu diguncang-guncangnya perlahan agar istrinya bangun.
“Tia? Sayang, bangun yang…”
“Uuhhh… Mas… Bram?”
“Duh… sakit banget ni kepala. Kayaknya aku tadi kebanyakan minum… auw… apa… tadi aku diantar pulang?”
Tia terdiam, bingung karena ingatan jangka pendeknya sudah dikacaukan. Tia tidak ingat bagaimana Bram pulang, siapa yang mengantar Bram pulang, apa yang terjadi barusan.
Yang dirasakannya cuma letih, pegal di sekujur tubuh, dan nyeri di sekitar selangkangan. Bram mengelus pipi istrinya yang tergeletak lemah di sofa. Tanpa sengaja dia menyentuh peju kering yang tertempel di sana.
“Tia… apa tadi kita…”
Tatapan Tia lemah, tapi kali ini dia menjawab.
“Iya, Mas…”
Tia tersenyum lemah. Bram masih tidak percaya. Apa tadi dia bercinta dengan istrinya? Dia tidak ingat sama sekali. Dilihatnya sekali lagi wajah istrinya yang begitu dekat. Pastilah Tia tadi berdandan habis-habisan seperti biasa; sisa-sisanya masih terlihat, walaupun sebagian sudah terhapus akibat apapun yang tadi terjadi.
Aroma tubuh Tia bercampur bau asing yang tak Bram kenal. Ribuan pertanyaan mengganggu pikiran Bram. Tapi dia terlalu pusing akibat hangover untuk menanyakannya. Dia ambruk lagi, tertidur di samping wajah istrinya. Entah bagaimana perasaan Bram kalau saja dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tia telah terjerumus.
Bersambung…