Citra juga seperti itu.
Citra
Sejak dulu, Citra suka menggoda laki-laki. Siapapun. Teman sekolah, teman kuliah, karyawan orangtuanya—sembarang orang. Tia tahu itu. Entah sudah berapa laki-laki yang menikmati tubuh kakak iparnya.
Sampai akhirnya satu di antara mereka menghamili Citra. Lamunan Tiaterhenti karena dia mendengar bunyi pintu dibuka. Masuklah seorang laki-laki setengah baya ke dalam salon.
Laki-laki itu bertubuh besar dan berpakaian rapi ala pebisnis, dengan kemeja mahal, dasi, dan celana bahan yang necis. Rambutnya yang dibelah pinggir mengkilap karena minyak rambut, matanya kecil dan bibirnya lebar.
“Halo halo,” sapanya sok akrab.
“Eh Pak Bernardus. Ke mana aja, kok jarang ke sini?” jawab Citra, juga dengan akrab.
“Waduh, baru juga minggu lalu aku ke sini, manggilnya kok udah jadi formal lagi gitu?” kata Pak Bernardus.
“Iya deh… Om Bernard,” balas Citra dengan centil.
“Tadi ada yang SMS aku katanya Widy udah masuk lagi, jadi kangen sama pijatannya.”
“Emang siapa yang ngabarin?… Oh.” Pertanyaan Citra langsung terjawab ketika melihat Widy nyengir sambil mengacungkan HP-nya.
Citra mendekati Tia yang masih duduk di kursi salon. “Tia, sori, kamu pulang dulu yah? Aku ada customer nih.”
“Iya Kak,” jawab Tia, yang segera berdiri dan meninggalkan ruangan. Ketika berpapasan dengan Bernard, Tia mengangguk dan tersenyum, yang dibalas dengan tindakan yang sama oleh laki-laki necis itu. Bernard terus memandangi Tia sampai Tia keluar dari salon.
“Ayo Om,” Citra dan Widy menghampiri Bernard, membawanya ke satu ruangan lain dalam salon.
Ketika Tia keluar, dilihatnya mobil Mercedes-Benz hitam terparkir di depan salon. Pasti mobil Pak Bernardus yang tadi, pikirnya. Tia ingat sesuatu: sesudah pertama kali dia di-makeover Citra dan terburu-buru pulang karena masih tidak pe-de akan penampilan barunya, dia melihat mobil itu.
Jadi waktu itu, dia yang datang…
***
Dua puluh menit kemudian, di rumahnya, Tia menyadari dompetnya ketinggalan di salon Citra. Dia langsung beranjak kembali ke salon Citra.
***
“Gimana kabar bisnisnya, Om?”
Pak Bernardus alias Om Bernard sudah berbaring nyaman di atas tempat tidur dalam ruang belakang salon Citra. Bagaimana tidak nyaman, kepalanya berbantalkan paha Widy, sedangkan Citra mengelus-elus tubuhnya yang sudah telanjang. Widy, yang tadi bertanya, sedang memijat dahi Bernard.
“Apa ndak ada pernyataan lain tho Wid, wis pusing aku sama bisnisku, ee di sini malah ditanyai bisnis lagi. Mumet aku Wid, pesaing tambah buanyak. Aku ke sini mau refreshing, jangan tanya yang serius gitu yo?”
“Maaf deh Om,” kata Widy. “Widy kasih nenen aja biar Om ga marah ya?”
Serta-merta Widy membuka kaosnya dari bawah sehingga Bernard yang di pangkuannya bisa melihat jelas BH hitam berenda yang menutupi sepasang gundukan yang sejahtera.
Widy menarik BH-nya ke atas sehingga bagian bawah teteknya bergandulan tepat di depan muka Bernard. Pebisnis itu langsung menengok dan menowel-nowel dasar tetek Widy dengan hidungnya.
“Widy… asu tenan iki susumu… ini nih yang orang sebut tobrut… toket brutal… heeheehee…” Bernard kegirangan, langsung saja dengan nakalnya dia menjulur-julurkan lidah berusaha menjangkau ranumnya buah dada Widy. Widy terkikik kegelian ketika lidah Bernard mengenai sasaran.
Tangan Citra yang tadi memijati paha sekarang sudah pindah ke batang dan biji Bernard. Beberapa usapan kemudian, tegaklah kejantanan Bernard. Si pebisnis menghentikan sebentar wisata lidahnya di bawah tetek Widy untuk menengok ke arah Citra.
Sore itu Citra tampil glamor walaupun hanya untuk kerja di salonnya, dalam blus biru muda tanpa lengan dan rok mini hitam. Seperti biasa, dia memakai make-up tebal, kulit wajahnya nyaris tanpa cela berkat foundation, bibirnya merah darah, garis matanya tajam oleh maskara.
“Eh, Cit, kapan kamu mau upgrade toket biar kayak Widy, biar gak jomplang, kan mukamu udah full modif gitu?” Bernard memberi saran tanpa diminta. Jawaban Citra adalah senyum disertai tatapan tajam ke arah Bernard, dan Bernard pun merasakan cengkeraman keras dan tajam di pelirnya. Rupanya Citra main kuku…
“Becanda, becanda. Ampun Mbakyu, biji saya jangan dipites, kasihan Widy ntar…” Bernard langsung berhenti membanyol… atau tidak. “Tapi kalo sampeyan mau operasi bikin gede, bilang aja, nanti Om bayarin.”
Memang bijinya tidak dipites Citra, tapi kena sentil-lah batang Om Bernard yang terlanjur tegak itu!
***
Tia mendapati pintu salon Tia tidak dikunci. Dilihatnya dompetnya tergeletak di meja rias yang tadi dihadapinya ketika dipijat Widy. Tapi ke mana Citra, Widy, dan Pak Bernardus? Tadinya Tia kira, paling-paling Pak Bernardus datang untuk cukur rambut atau semacamnya.
Mercy hitamnya juga masih ada di depan. Tia melihat sekeliling, memperhatikan ruangan salon Citra. Memang salon tersebut tidak besar. Hanya tiga set kursi, plus satu tempat cuci rambut, dan satu tempat tidur di ruang belakang untuk luluran.
Tahun lalu, sesudah ditinggal suaminya yang kabur entah ke mana, Citra datang ke Bram dan Tia meminta tolong. Walau Citra sudah diusir oleh keluarga, Bram tetap sayang dengan kakak kandungnya itu, dan Tia yang lama mengenal Citra juga peduli.
Bram dan Tia membantu Citra dengan pinjaman modal dan sewa tempat untuk bisa berusaha sendiri, dan Citra memilih membuka salon di sebelah rumah Tia dan Bram. Didengarnya suara-suara dari arah ruangan belakang yang dipisahkan tembok dari ruang utama salon dan berpintu tirai. Tia mendekat…
***
Agaknya candaan Bernard tadi tidak sampai membuat Citra sakit hati, karena Citra kini sedang menjilati penis Bernard yang tadi disentilnya, bersama-sama Widy. Tambah ngaceng Bernard melihat dua muka penuh nafsu menyervis kejantanannya. Tapi ada satu lagi yang mau dia tanyakan kepada Citra.
“Cit, yang tadi itu siapa? Bempernya gede tuh, tampangnya cakep lagi.”
Citra menjawab, “Adik iparku tuh.”
“Oo, adik ipar. Wuih. Sayang baru kenal. Adikmu mujur juga, ya?”
Citra terkikik. “Awas jangan diembat juga dia Om, udah ada yang punya!”
“Heeheehee, gimana ya? Kayaknya asyik tuh diulek bokongnya…”
“Sentil lagi nih,” ancam Citra sambil menyiapkan jarinya di samping kepala kontol Bernard.
“Iya deh, iya deh, ampun Ndoro Putri Ayu, kulo jangan disenthil lagi, atit…”
***
Tia mendekat ke tirai yang menjadi pintu ruang belakang salon Citra. Disibaknya sedikit tirai itu untuk mengintip. Dan dia sungguh tak siap mendapati pemandangan di baliknya.
Laki-laki perlente tadi—Pak Bernardus—telanjang bulat di atas tempat tidur, Widy yang kaosnya sudah dilepas dan buah dadanya sedang dilahap mulut lebar Pak Bernardus, dan… Citra, bersimpuh telanjang di depan Pak Bernardus, menyepong senjata Pak Bernardus.
Ternyata… Kak Citra…?
Tia terus menonton tanpa terlihat orang-orang yang berada di ruang belakang. Widy tertawa-tawa kegelian ketika susunya yang sensitif dipermainkan oleh Pak Bernardus dengan tangan, bibir, dan lidah.
Pak Bernardus sesekali mengeluarkan komentar manja dan nakal, membuat Widy tersipu. Citra menggarap seluruh titik yang bisa dirangsang di bagian bawah tubuh Pak Bernardus mulai dari batang zakar, pelir, bahkan sampai ke lubang duburnya.
Sekali-sekali Pak Bernardus berusaha menjamah tubuh Citra, tapi karena posisinya agak jauh, dia hanya dapat mengelus rambut Citra. Akhirnya Widy juga yang jadi sasaran gerayangan tangan Pak Bernardus. Pelan-pelan, tangan Tia bergerak ke arah selangkangannya sendiri.
***
“Cit, Wid… Om pengen nih…” pinta Bernard yang sudah tak tahan dengan rayuan fisik kedua penggoda yang mencumbunya. “Siapa nih yang mau… apa dua-duanya mau?”
“Hih, ge-er,” cela Citra, “Siapa juga yang mau sama Om…”
“Aduh Citra sayang, jangan nolak Om gitu dong, kan hancur hati Om?”
“Nggak ah, habis Om gak asyik hari ini,” Citra jual mahal. “Dari tadi ngeledekin aku terus.”
“Ayo dong Cit, kamu gak kasihan sama Om, dari tadi masuk juga Om udah nafsu banget dari ngelihatin mukamu aja, kalo gak dikasih Om bisa-bisa ntar merkosa anak orang…”
Walaupun alasan Bernard jelek sekali, Citra tidak mau mengulur terlalu lama.
“Oke deh Om… tapi ada syarat. Tiduran telentang dulu ya Om. Wid, bangun dulu,” atur Citra. Bernard tiduran telentang, tapi tongkat sakti-nya tidak ikut tiduran. Widy turun dari ranjang dan memberi jalan ke Citra. Citra naik dan kemudian mengambil posisi mengangkangi muka Bernard. Yang dikangkangi nyengir dan langsung tahu apa yang dimaui Citra.
“Om mesti jilatin memekku sampe aku puas ya, baru ntar kukasih,” perintah Citra. Tanpa disuruh pun Bernard sudah tahu apa yang harus dilakukan. Mulut lebarnya segera bergerak, melahap kenikmatan di selangkangan Citra yang bebas jembut.
***
Tia terus menonton, dan dalam hatinya terbersit sedikit rasa kagum akan sikap Citra yang berani pegang kendali. Sambil terus mengintip, dia bermasturbasi. Kalau tadi pagi alat bantunya terong, maka kali ini yang dipakai adalah barang yang sedang ada di tangannya—dompet yang tadi ketinggalan.
Tia menggesek-gesekkan sudut dompetnya ke celana dalamnya selagi melihat Citra menggelinjang keenakan ketika memeknya dimakan Pak Bernardus. Dilihatnya lidah laki-laki itu menjilat, menjolok ke dalam, memain-mainkan klitoris; untuk urusan jilat-menjilat kemaluan wanita, rupanya orang ini sudah ahli.
Terbukti dari reaksi yang ditunjukkan Citra. Kakak ipar Tia itu tak henti-hentinya merintih dan mendesah karena kenikmatan, kedua tangannya mencengkeram hampir menjambak kepala Pak Bernardus, wajahnya yang bermake-up tebal tampak sangat mesum dan bernafsu.
“Aah… emm.. uh… enak banget Om… aduh gila… Omm… terusshh…” bibir merah Citra gelagapan meracau.
Tidak hanya Citra. Di luar, Tia ikut terangsang. Khayalannya mulai liar. Dia tidak lagi melihat Citra dioral oleh Pak Bernardus. Malah dia membayangkan dirinyalah yang sedang dikangkangi Citra, didominasi oleh kakak iparnya yang binal itu, dan sebagai budak yang patuh dia harus menuruti, kalau tidak, Citra akan menghukumnya dengan berbagai siksaan.
Makin gencarlah masturbasi Tia karena khayalan tadi, dia membayangkan ditundukkan oleh Citra, digerayangi, dikemplangi, mukanya diduduki dan dipaksa makan memek…
“Aughhh!!” Terdengar jeritan erotis dari Citra yang takluk, jurus-jurus silat lidah Pak Bernardus membuat si pemilik salon yang seksi itu orgasme sampai kelojotan. Tidak tanggung-tanggung, yang dialami Citra bukan orgasme biasa, tapi dia sampai memuncratkan cairan dari kemaluannya yang lantas membasahi muka Pak Bernardus.
***
Citra ambruk ke belakang, terkapar di atas tubuh Bernard, gemetar dan terengah-engah.
“Haduh… ampun Om… gila enak banget tadih…” Citra harus mengakui keahlian Bernard. Bernard senyum-senyum sambil mengingatkan, “Yo wis, gantian, Om udah bikin kamu merem melek tadi, sekarang giliran anunya Om masuk sono ya Cit?”
Kepala Citra bersandar di paha kanan Bernard, rambutnya yang tergerai menutupi penis Bernard yang sedari tadi tidak ada yang mengurusi. Citra mengelus-elus batang yang tegang itu, menciumnya, lalu bangun dari ranjang.
Dia mengambil sesuatu dari laci meja yang ada di dalam ruangan itu, ternyata sebungkus kondom. Dibukanya bungkus kondom itu, lalu dengan profesionalnya dia pasangkan kondom itu ke burung Bernard.
Dengan memakai mulutnya, tentu saja. Bernard tidak berubah posisi, tetap telentang. Citra kembali naik ke ranjang dan mengangkangi tubuh Bernard, kali ini di selangkangan, bermaksud bersetubuh dengan posisi perempuan di atas. Sambil memasukkan penis Bernard ke vaginanya, Citra memanggil Widy, “Wid, ayo ikutan.”
“Om aku mau juga dong dijilmek kayak Mbak Citra tadi…” pinta Widy. Bernard oke-oke saja, dan Widy pun ikut naik ke ranjang setelah melepas semua pakaiannya, mengangkangi muka Bernard tapi dengan arah berkebalikan dengan posisi Citra tadi sehingga dia berhadapan dengan Citra yang mulai bergerak naik-turun menunggangi kemaluan Bernard.
Sambil tertawa-tawa kegelian merasakan hidung dan bibir Bernard bermain di daerah pribadinya, Widy mengedip genit ke arah bosnya, Citra. Citra tersenyum mesem melihat asistennya yang keganjenan itu, lalu memberi ciuman bibir yang hangat kepada Widy.
Berbeda dengan mulut dan lidahnya, penis Bernard tidak istimewa, apalagi untuk Citra yang sudah pernah merasakan berbagai bentuk, warna, dan ukuran alat kelamin laki-laki. Makanya dia bersetubuh dengan Bernard hanya demi formalitas saja, dan mencari kenikmatan pribadi dari Widy.
Sambil menindih Bernard di bawah, kedua pekerja salon itu saling cium dan pagut. Citra meremas-remas dada Widy yang tak bisa ditandingi payudaranya sendiri itu dengan gemas, seolah iri dengan kelebihan Widy itu.
Dari bawah, tangan Bernard juga ikut main. Widy yang memang mudah kegelian lebih banyak tertawa menanggapi serbuan cabul dari bawah dan depan.
***
Semua itu terus diperhatikan dari celah tirai oleh Tia, yang sampai terduduk karena tak kuat menahan gelora nafsu. Tia sudah tidak memperhatikan betapa tak senonoh posisi tubuhnya sekarang: duduk mengangkang dengan daster tersingkap dan celana dalam basah akibat kemaluannya terus-menerus dirangsang sendiri.
Makin lama Tia mengintip, makin ingin Tia masuk dan ikut dalam permainan tiga orang di dalam. Dan di antara mereka bertiga, Tia ternyata jadi paling ingin menggumuli kakak iparnya, Citra.
Melihat apa yang sedang Citra perbuat, Tia jadi ingin dibegitukan juga oleh kakak iparnya: merasakan bibir merah Citra melumat bibirnya, merasakan kuku-kuku Citra mencengkeram buah dadanya.
Citra memang cukup terbuka dalam orientasi seksual, umumnya dia suka laki-laki, tapi Citra tidak segan mencoba pengalaman dengan perempuan juga. Sedangkan Tia selama ini merasa dirinya biasa-biasa saja, belum pernah mencoba mencari tahu apakah tidak hanya laki-laki saja yang bisa membangkitkan gairahnya.
“…agh… ahm… mm… mmm…” Tahu dirinya tak seharusnya berada di sana, Tia berusaha keras meredam suara-suara penuh nafsu yang lolos dari mulutnya dengan cara menggigit ujung dasternya. Tentu saja tindakannya itu membuat posisinya tambah vulgar, karena celana dalamnya dan perutnya jadi terungkap. Tia tak peduli, yang menguasai dirinya hanya kenikmatan dan fantasi. Akhirnya sampai juga dia ke klimaks.
“MmMMmmMMm!”
***
Pada saat yang hampir bersamaan, Bernard juga mencapai orgasme, dia ejakulasi di dalam kondom yang membungkus penisnya ketika sedang berada di dalam Citra. Sebelumnya lidah sakti Bernard sudah membuat Widy klimaks sehingga si ahli pijat berdada subur itu terhempas ke depan, sepasang payudaranya menimpa perut Bernard.
Citra tersenyum puas. Sepanjang hidupnya dia mencari kenikmatan demi kenikmatan, dan menurutnya cara hidupnya sekarang sebagai seorang pelacur berkedok pemilik salon sudah nyaman.
Bernard hanyalah satu dari banyak laki-laki hidung belang, tidak semuanya bisa memberikan kenikmatan fisik kepadanya karena banyak juga yang ukuran alat kelaminnya kecil, atau ejakulasi dini, atau memang tidak becus saja.
Tapi yang jelas semuanya memberikan kenikmatan dalam bentuk lain, berupa penghasilan dan rasa kagum mereka terhadap dirinya. Citra bukan orang yang bisa betah dengan satu pasangan saja untuk waktu lama, jadi dia tak mempermasalahkan suaminya yang kabur.
Yang dia inginkan sekarang hanyalah menjalani kehidupan, sambil menyambar kenikmatan yang bisa didapat. Pengamatan Citra cukup jeli. Dia bukannya tidak tahu ada orang sedang mengintip kegiatannya dengan Widy dan Bernard.
Dia melihat kelebatan tubuh orang yang bergegas berdiri lalu pergi menjauhi tirai. Dia tahu itu Tia, dan dia bisa mengira sedang apa Tia di sana. Ngocoks.com
Beberapa hari lalu, ketika Mang Enjup dan rombongan mampir untuk memakai jasanya, Citra sedikit-sedikit memancing informasi dari mereka, dan meski Mang Enjup tidak banyak mengungkapkannya, Citra bisa menduga apa yang baru saja terjadi.
Sejak saat itu Citra dilanda perasaan aneh, seolah-olah dia jadi partner tak langsung Mang Enjup dalam mengubah penampilan dan kepribadian Tia. Tapi dia menganggap, pada akhirnya yang menentukan adalah Tia sendiri, apakah dia mau menerima perubahan itu atau tidak. Citra tak mau menghakimi. Dia sudah kenyang dihakimi.
***
Tia pulang dengan perasaan campur-aduk. Setelah tadi mengintip dan terangsang sampai orgasme, Tia tidak berani lama-lama, dan langsung bergegas meninggalkan salon Citra sebelum kepergok.
Walau kakinya masih lemas, dia merasa tak enak kalau sampai ketahuan ngintip. Kepalanya masih penuh dengan pertanyaan. Siapa sebenarnya Pak Bernardus? Mengapa dia bisa sampai berhubungan seks dengan Citra dan Widy? Apa sebenarnya yang selama ini dilakukan Citra?
Bagi Tia, hari itu benar-benar penuh kejadian.
SMS masuk ke HP Tia. Dari Bram.
“Yang, aku sudah di jalan, ya.”
Bersambung…