Tia
“Mas Bram sayang…”
“Ya?”
Adegan romantis di suatu pagi. Cahaya matahari menyusup dari sela tirai di kamar tidur pasangan muda Bram dan Tia. Keduanya sudah terbangun namun enggan meninggalkan posisi saling mengeloni di balik selimut. Kepala Tia bersandar di dada telanjang Bram, menengadah memandangi suaminya tersayang. Bram berposisi agak tegak, sambil membelai rambut istrinya tercinta.
“Aku lagi bingung…” ungkap Tia. “Beberapa hari ini kok rasanya aku berubah ya, Mas…”
“Emm, ya emang sih,” kata Bram sambil tersenyum. “Kamu tambah cantik,” rayunya sambil mengecup kening Tia.
“Ah, Mas,” Tia tersipu, “Bukan itu maksudnya… Menurut Mas aku berubah nggak?”
Bram terlihat berpikir keras. “Nggak tuh kayaknya… selain ya… selain yang tadi itu?”
Tia terdiam. Bram belum tahu beberapa hari yang lalu dia berpetualang seks dengan tukang sayur langganannya dan dua orang pengamen, kemudian bermasturbasi sambil mengintip threesome Citra-Widy-Pak Bernardus di salon Citra.
Setelah semua itu berlalu, baru Tia merasakan betapa tak pantasnya kelakuannya. Perempuan baik-baik tidak akan melakukan itu. Apa itu semua disebabkan keputusannya untuk berubah demi Bram? Apakah secara tidak sadar, kepribadiannya ikut berubah menjadi jalang?
“Udah waktunya siap-siap nih yang… mandi dulu yuk?” kata Bram sambil menyibak selimut.
Mereka berdua kemudian memasuki kamar mandi dan mandi bersama. Tak lama kemudian acara mandi bersama berubah menjadi persetubuhan yang mesra antara keduanya.
“Ahh… Mas Bramm…. Ah… jangan godain kayak gini mas… assh…” Tia merintih nikmat ketika Bram mengarahkan shower sehingga menyemburkan air ke bibir kemaluan Tia, sambil menciumi payudara Tia yang montok.
“Kamu juga yang ngegodain aku duluan… mmh mmh…” celetuk Bram sambil melalap payudara Tia dan mengelus punggung istrinya itu. “Mungkin itu yang… hmmMmm… berubah. Kamu jadi lebih jago nggoda.”
Begitukah? Sulit bagi Tia untuk memikirkan itu selagi muka Bram kini berpindah ke selangkangannya, menjilati dan melahap vaginanya.
Tapi mungkin Bram ada benarnya… bukankah kemarin itu dia berhasil menggoda si tukang sayur dan kedua pengamen? Untungnya Bram tidak berlama-lama menggarap kemaluannya, dan kini kembali berdiri menghadapinya, sambil memegang penis yang sudah siap tempur. Ketika Bram menariknya mendekat, Tia bertanya, “Apa benar aku sekarang jadi lebih menggoda, Mas?”
“Ya,” kata Bram sambil nyengir dan memasukkan penisnya ke vagina Tia.
Entah kenapa, jawaban itu berefek ganda bagi Tia. Di satu sisi ada bagiannya yang terangsang karena pengakuan Bram. Di sisi lain timbul rasa gundah. Tia merasa perubahan yang dia rasakan itu tak wajar, dan yang lebih gawat, bisa merugikan dirinya maupun Bram.
Dirasakannya batang zakar Bram yang begitu dikenalnya bergerak keluar-masuk menggesek dinding dalam vaginanya, berulangkali, dan akhirnya menyemprotkan benih di dalam rahimnya. Namun Tia merinding juga mengingat beberapa hari lalu, dia sudah memegang, mengulum, dan merangsang alat kelamin beberapa orang laki-laki yang bukan suaminya.
Untungnya aku tidak bersetubuh dengan mereka, pikir Tia. Mulai hari ini aku harus bisa mengendalikan diriku. Sayang, Tia belum juga tahu mengenai malam jahanam yang menjadi akar keadaannya sekarang. Malam ketika Mang Enjup menodai dirinya dan menyisipkan bisikan-bisikan yang mengubah kepribadiannya. Sayang, Tia belum tahu itu.
***
Hari itu Tia ikut Bram ke kantor. Karena keduanya sama-sama dipersiapkan sebagai penerus usaha bersama keluarga, maka tidak hanya Bram yang dilibatkan dalam pengelolaan.
Tia juga memegang jabatan di perusahaan, hanya saja atas keinginan orangtuanya yang berpandangan relatif tradisional, Tia tidak diarahkan untuk memegang tanggungjawab langsung terhadap jalannya perusahaan seperti Bram. Sesuai keahliannya, Tia menjabat auditor internal untuk cabang-cabang perusahaan.
Meski tidak harus selalu hadir di kantor, sekali-sekali dia harus datang untuk menyerahkan hasil kerjanya dan mengikuti rapat. Kantor pusat perusahaan tempat mereka bekerja menempati satu gedung bertingkat tujuh.
Tia tampil seperti wanita karier pada umumnya, dengan blus biru muda dengan hiasan renda di dada, blazer abu-abu sederhana, celana panjang putih, dan rambut dikuncir di belakang kepala. Wajahnya terlihat segar dan cantik dengan make-up natural.
Tidak ada yang tahu bahwa tadi pagi, hampir saja Tia berangkat ke kantor dengan mengenakan bedak tebal, lipstik merah, dan eyeshadow biru—muka “ranjang”nya untuk Bram. Sebenarnya Bram melihat, tapi entah sengaja atau tidak dia membiarkan saja, sampai Tia melihat mukanya sendiri dan sadar bahwa dia sudah berniat mau menahan diri.
Jadilah keberangkatan mereka berdua tadi pagi tertunda sebentar karena Tiaperlu menghapus make-upnya. Tia sendiri sempat kaget karena kebiasaannya berubah sendiri tanpa dia sadari. Sebelumnya, dia jarang memakai make-up, tapi sekarang bersolek malah sudah jadi kebiasaan.
Dia tidak tahu apa penyebab perubahan itu. Dia sedang berusaha melawan kecenderungan baru itu. Tentu saja, Bram tidak berbuat apa-apa karena dalam hati dia senang dengan perubahan Tia itu.
Sepanjang hari itu Bram dan Tia lebih banyak bekerja terpisah: Bram di kantornya sebagai wakil Pak Jupri, atau yang kita kenal juga sebagai Mang Enjup, sementara Tia berkeliling ke berbagai bagian kantor, mengumpulkan bahan untuk pekerjaannya dan berbicara dengan beberapa manajer.
Namun ternyata pertemuan dengan banyak orang sekarang menjadi tantangan baru bagi Tia. Tia mulai menyadari bahwa ke manapun dia melangkah, ada saja yang memperhatikannya.
Mungkin dari dulu selalu begitu, tapi baru sekarang dia menyadarinya. Mulai dari petugas cleaning service yang dia sapa selagi berpapasan, sampai manajer produksi yang normalnya galak tapi entah kenapa jadi lebih jinak ketika bertemu dia.
***
Menjelang siang…
Tia keluar dari ruangan manajer produksi di lantai 4 setelah menyampaikan hasil auditnya terhadap bagian produksi. Terlalu banyak inefisiensi dan kebocoran, serta ada beberapa pengeluaran tak jelas.
Si manajer produksi harus mengawasi stafnya dengan lebih baik, karena dicurigai ada penyimpangan. Tia juga memastikan si manajer produksi tahu laporan audit juga akan dibaca direksi. Tapi yang jelas, ketika Tiameninggalkan ruangan, si manajer produksi tetap masih bisa tersenyum. HP Tia berbunyi…Citra.
“Hei, Ti! Lagi di mana?”
“Di kantor, Kak.”
“Ooo di kantor. Yah, kirain kamu di rumah. Tadinya mau ngajakin kamu belanja ntar sore. Yaudah… aku jalan sendiri aja deh.”
“Gapapa Kak, kalau nanti sore aku bisa nyusul kok. Barangkali Mas Bram juga mau diajak, kan lumayan biar ada mobil.”
“Oke dehhh… ntar kabarin aku lagi yah. Bye.”
Tia tersenyum, lalu menuju ruangan tempat Bram bekerja. Bram duduk di belakang satu meja, tampak serius menghadapi komputer, sementara di seberangnya ada Danang, keponakan Mang Enjup, yang duduk sangat santai dengan kaki naik ke meja sambil mengotak-atik HP.
Ketika Tialewat, mata Danang tak lepas-lepasnya mengamati, sementara liurnya hampir menetes. Danang masih ingat betapa panasnya Tia malam itu. Tapi dia sudah disuruh tutup mulut oleh Mang Enjup. Jadi ketika Tia menyapanya ramah, Danang hanya nyengir sambil dalam hatinya bertanya-tanya, kapan dia bakal berkesempatan menikmati istrinya Bram itu lagi.
Satu orang lagi di sana yang Tia kenal adalah Febby, sekretaris Mang Enjup. Perempuan cantik berkacamata dengan rambut megar sebahu dan hidung mancung yang seumuran dengan Tia itu duduk di meja di ujung ruangan, di sebelah pintu menuju ruang pribadi Mang Enjup. Febby sedang menerima telepon, sehingga dia cuma melambaikan tangan kepada Tia ketika Tia menyapanya.
“Makan siang dulu?” ajak Tia.
“Ayo,” jawab Bram sambil berdiri dari tempat duduknya. Keduanya kemudian keluar kantor untuk makan siang.
Sementara itu, Danang mencolokkan headphone ke kedua telinganya dan mulai menyetel video porno di HP-nya. Yang mana lagi kalau bukan yang dibintangi dirinya, Reja, dan Tia.
***
Pekerjaan Bram dan Tia berlanjut tanpa banyak gangguan hari itu. Ya setidaknya tanpa gangguan bagi Bram. Sementara ketika mampir menemui manajer bidang IT dan pengelolaan,Tia mengalami sedikit gangguan. Di bagian IT, Tia bertemu Lesmana, adik kelasnya waktu mahasiswa yang baru mulai bekerja di sana.
Tia menyapanya dan mengajak bicara Lesmana setelah menemui manajer di sana. Lesmana dulu menyukai Tia, karena itu sikapnya selalu manis kepada Tia, hanya saja dia tidak bisa berbuat apa-apa karena Tia sudah dijodohkan dengan Bram.
Sampai saat itu pun Lesmana masih bersikap manis kepada Tia… dan hampir saja Tia menanggapinya dengan cara yang tak pantas. Mereka ngobrol sebentar. Tia merapat ke meja Lesmana, dan sudah akan duduk di atas meja agar bisa mendekat ke adik kelasnya yang memang ganteng itu.
Tapi Tia segera tersadar, dan buru-buru menyudahi pembicaraan lalu meninggalkan ruangan dengan muka merah karena malu. Selagi keluar dari ruangan IT, Tia merasakan dirinya ditatap tajam oleh seorang petugas cleaning service perempuan yang tadi mengepel di pojok. Tidak jelas apa alasannya, tapi yang jelas si petugas cleaning service menyaksikan dia mengobrol dengan Lesmana…
***
Sore…
“Gimana, udah semua?” tanya Bram ketika melihat Tia datang lagi ke mejanya.
“Udah. Mau langsung pulang apa mampir dulu? Tadi siang Kak Citra telpon, ngajakin aku belanja.”
“Oh, boleh juga tuh…” ujar Bram. Tapi kemudian dari seberang ruangan terdengar suara Danang. “Oi, Bram, dipanggil Bos di ruangannya tuh!”
“Oke…” Bram bangkit dari kursi, menuju pintu ke ruangan Mang Enjup. Tia mengikuti. Meja di sebelah pintu kosong. Ke mana Febby? Di dalam?
Bram dan Tia memasuki ruang kerja Mang Enjup. Laki-laki tua yang sepanjang hidupnya bekerja pada orangtua Tia itu duduk santai di balik meja besar dan terlihat letih. Tapi begitu melihat Tia, Mang Enjup tersenyum lebar.
“Eee… aya si Neng. Tumben ke kantor,” selorohnya.
“Biasa Mang, lagi laporan hasil audit,” jawab Tia pendek.
“Bram,” Mang Enjup mengalihkan pembicaraan. “Jangan pulang dulu ya. Habis ini temenin Mang. Sore ini juga kita bisa dapat waktunya Pak Walikota dan beberapa anggota DPRD, jadi kita mau nego sama mereka.”
Tia menengok ke arah Bram dan melihat raut muka Bram berubah kecewa, tapi apa boleh buat, Bram belum bisa pulang.
“Ya,” jawab Bram pendek.
“Ya sudah, sana siap-siap. Tia mau ikut?” ajak Mang Enjup.
“Emm… aku ada janji sama Kak Citra, Mang. Mungkin lain kali,” kata Tia.
Bram dan Tia kemudian keluar dari ruangan Mang Enjup. Sesudah mereka keluar, Mang Enjup menoleh ke bawah mejanya. Tanpa terlihat Bram dan Tia tadi, Febby sekretarisnya berjongkok di sana, menjilati kemaluannya. Seperti biasa, Mang Enjup tidak tahan lama.
“Heungh!” seciprat mani Mang Enjup mendarat di kacamata Febby. Sekretaris itu menjilati sisanya yang mendarat di atas bibir.
***
“Jadi, gimana nih?” tanya Bram. “Kayaknya aku gak bisa nganterin kamu ketemu Kak Citra.”
“Gak apa-apa Mas, aku jalan sendiri aja. Kamu temanin lah Mang Enjup, lagipula kan mau ketemu orang-orang penting, bagus kan buat luasin pergaulan,” kata Tia.
“Iya deh. Kamu hati-hati ya,” kata Bram sambil mengecup kening Tia. Tia kemudian pergi meninggalkan ruangan.
***
Sore.
Satu pusat perbelanjaan besar di kota…
“Kak Citra!”
“Heii!”
Masih mengenakan baju kerja, Tia menghampiri Citra yang berdiri di depan sebuah butik yang memajang gaun malam. Kalau Tia tampak seperti karyawati yang mampir ke mall untuk belanja sepulang kantor, Citra terlihat seperti… biasanya Citra.
Tia melihat di sekitar Citra ada beberapa orang laki-laki yang jelas-jelas sedang mengamati Citra. Citra selalu jadi pusat perhatian. Sore itu dia mengenakan kaos tanktop hitam pendek dan legging abu-abu ketat tiga perempat.
Dengan pakaian seperti itu, wajar saja banyak yang menengok untuk mengagumi lekuk-lekuk tubuhnya yang masih aduhai biarpun relatif rata. Namun memang yang paling menarik perhatian pada Citra adalah wajahnya.
Dengan riasan mata berwarna gelap yang seksi, sapuan blush pink di pipi, dan lipgloss pucat mengkilat, pesona paras Citra makin memancar. Rambutnya digerai saja, setengah menutupi sepasang anting panjang modis yang menghias telinganya.
Keduanya berjalan-jalan sambil memperhatikan etalase, kadang-kadang masuk ke satu toko untuk melihat-lihat. Dan setelah setengah jam, tidak banyak laki-laki pengunjung mall itu yang tidak teralihkan perhatiannya ketika Citra lewat.
Yang paling parah sejauh ini, seorang bapak yang mendorong kereta belanja dan meleng sampai menabrak orang karena tidak bisa lepas matanya dari Citra. Citra cuma terkikik ketika mendengar ribut-ribut antara orang yang ditabrak dan bapak itu.
“Kak…” bisik Tia.
“Hihihi, salah sendiri bapak itu meleng,” kata Citra.
Citra dan Tia masuk ke satu toko sepatu, dan Citra langsung mencoba-coba beberapa. Lagi-lagi ada yang memperhatikannya—seorang laki-laki muda yang sepertinya mengantar pacar atau istrinya berbelanja, di toko yang sama.
“Yang ini bagus nggak?” tanya seorang perempuan yang sedang mencoba sepasang sepatu berhak tinggi kepada laki-laki itu.
“Cakep…” kata laki-laki itu, bukan memandangi pasangannya tapi malah melirik Citra. Citra balik melirik sambil tersenyum genit.
“Apanya yang cakep, heh? Kamu ngelihatin apa tadi?” perempuan tadi menyikut si laki-laki yang terpesona, lalu buru-buru menariknya keluar toko.
Setelah mencoba beberapa pasang, Citra dan Tia meninggalkan toko sepatu tanpa membeli. Tia baru sadar betapa Citra tampak begitu menarik. Dari dulu mereka sering jalan bareng, tapi baru kali ini Tia merasakan sesuatu yang lain…iri.
Melihat Citra mampu menarik perhatian banyak sekali laki-laki, Tia entah kenapa merasa iri. Sekaligus dia bingung karena merasa iri. Buat apa iri karena Citra lebih menarik?
Sebenarnya itu efek program bawah-sadar yang ditanamkan Mang Enjup dalam kepala Tia. Yang menyuruhnya menjadi wanita cantik penggoda. Citra dan Tia masuk ke satu toko serba-ada besar.
Di sana keduanya melihat-lihat pakaian. Citra mulai memilihkan baju untuk Tia; sengaja atau tidak, Citra mulai menyarankan baju-baju yang lebih seksi untuk adik iparnya itu.
“Ini bagus buat kamu,” kata Citra sambil menyodorkan gaun pendek merah dengan belahan amat rendah.
Tia yang dulu akan menampik saran Citra itu langsung, tapi Tia yang sekarang menerimanya, melihat gaun merah itu, lalu memajangnya di depan tubuhnya untuk membayangkan cocok tidak gaun itu dipakainya.
“Coba yang ini juga deh,” Tia disodori kaos putih ketat polos. “Kalau aku yang pake, biasa aja,“ kata Citra sambil menengok ke bawah, ke dadanya yang tak seberapa membusung, “kalau kamu, ngisinya lebih bagus.”
Begitu terus. Selanjutnya Citra menyodorkan rok super mini, celana pendek, babydoll transparan, dan berbagai macam pakaian lain yang kalau dipakai dijamin membangkitkan gairah laki-laki.
Pertahanan Tia luluh juga dan dia membeli tiga potong: gaun pendek merah, rok mini hitam, dan babydoll transparan. Citra tersenyum-senyum ketika Tia menerima tas plastik berisi belanjaannya.
“Hitung-hitung bikin adikku senang, ya gak?” Tia tersipu malu mendengar komentar Citra.
Ya, ini semua buat Bram…ya, kan?
Mereka berdua kemudian melewati satu counter kosmetik. SPG di counter itu, seorang perempuan muda seumuran mereka dengan riasan lengkap, langsung menawarkan produknya.
“Mbak… sudah coba lipstik warna fuchsia ini?”
“Hmm… boleh lihat?”
“Silakan, silakan.” Tia dan Citra jadi bertanya mengenai beberapa produk di sana. Tia memuji make-up si SPG; si SPG balik memuji Tia.
“Ah, Mbak ini juga cantik kok. Tapi… saya rasa blush-on yang dipakai nggak cocok sama warna kulit Mbak. Kalau mau, saya bisa dandanin Mbak, sekalian Mbak bisa coba beberapa produk kami. Mau kan Mbak?”
Tia menengok ke Citra, yang mengangguk. Tia pun duduk di kursi counter itu, menghadap cermin. Si SPG menghampirinya, bersenjatakan sejumlah produk yang akan dia cobakan.
“Saya Haula, Mbak. Boleh kenalan?”
“Saya Tia.”
Pertama-tama Haula dengan cekatan membersihkan wajah Tia dari riasan tipis yang sudah dipakai seharian. Kebetulan rambut Tia hari itu dikuncir ke belakang menjauhi muka, sehingga memudahkan kerja Haula. Haula melanjutkan dengan membubuhkan foundation, lalu bedak.
Tia memejamkan mata ketika Haula mengoleskan eyeshadow keemasan di kedua kelopak matanya, dan menyapukan maskara ke bulu matanya. Dirasakannya tekanan pensil di alisnya dan sentuhan kuas lebar menyapu pipinya.
“Bibir Mbak bagus ya…” terlintas pujian dari Haula.
Tia kaget juga dipuji seperti itu oleh sesama perempuan… Bagian terakhir yang disentuh tangan ahli Haula adalah bibir Tia. Tadi Tia sempat memperhatikan bahwa Haula, yang aslinya berbibir tipis, memakai lip liner sedikit di luar garis alami bibirnya sehingga bibirnya tampak lebih penuh. Rupanya itu juga yang dia lakukan ke bibir Tia.
“Mbak Haula, ini apa nggak terlalu…” Tia mau memprotes, tapi Haula bekerja tanpa mengindahkannya dan Tia terpaksa tutup mulut.
Citra memandangi cara kerja Haula sambil melipat tangan di depan dada dan mengangguk-angguk seperti guru melihat muridnya mengerjakan soal dengan benar.
“Maaf ya Mbak,” kata Haula sebelum memegang dagu Tia agar bisa berkonsentrasi memberi warna ke dalam bibir Tia yang sudah dibingkai lipliner.
Tia melihat kuas kecil bersaput lipstik berwarna fuchsia bermain-main di permukaan bibirnya. Entah kenapa, dia merasa bergairah membayangkan hasilnya. Haula rupanya benar-benar gemas dengan bibir Tia, sampai-sampai beberapa kali mengulaskan warna fuchsia di tempat yang sama.
Hasil akhirnya: Tia dengan wajah glamor seolah akan ke pesta, dengan kulit mulus tanpa cela, mata tajam karena eyeliner dan maskara dibingkai eyeshadow keemasan, dan bibir merah terang keunguan yang lebih ranum daripada biasanya—karena “dipertebal” oleh Haula. Haula memandangi “hasil karya”-nya dengan puas. Citra ikut mengomentari,
“Mbak Haula hebat juga ya? Aku aja yg punya salon belum tentu bisa makeover dia sebagus ini. Kapan-kapan aku minta diajarin yah.”
Setelah membeli beberapa produk, Citra dan Tia meninggalkan counter kosmetik itu. Citra sempat bertukar nomor HP dengan Haula. Tiaberjalan dengan penampilan baru yang lebih wah. Hanya memang rias wajahnya agak kontras dengan pakaiannya yang masih pakaian kerja. Puas berbelanja, kedua perempuan itu kemudian melepas lelah di salah satu kafe.
Hari sudah beranjak senja. Sambil menyeruput kopi, keduanya berbincang tentang kejadian-kejadian hari itu. Citra memesan cappuccino hangat sementara Tia sedang menyeruput es kopi karamel dalam gelas tinggi.
“Emangnya Bram lagi ngapain sekarang, Ti?” tanya Citra.
“Mas Bram… tadi waktu mau pulang dia dipanggil Mang Enjup. Katanya dia suruh ikut, mau ketemu Pak Walikota dan beberapa anggota DPRD,” jawab Tia. Ngocoks.com
“Whuih. Orang penting semua tuh. Yah, lumayan juga kan. Pastinya buat ngelobi proyek gede,” lanjut Citra.
“Yah, tapi biasanya terus Mas Bram dibawa Mang Enjup ngelobi orang sampai malam, di restoran atau pub atau klub malam,” kata Tia. “Moga-moga dia nggak diajak minum-minum lagi.”
Tiba-tiba telepon Tia berbunyi. SMS. Ketika Tia menggerakkan tangan untuk meraih teleponnya, tanpa sengaja dia menyenggol gelas kopinya sampai terguling. Isinya tumpah mengguyur pangkuannya.
“Ehhh!?” Tia menjerit kaget.
Cairan dingin berwarna coklat muda mengguyur celana putihnya. Citra langsung bangkit dan mengambil tisu untuk menyeka. Seorang pelayan kafe yang tidak jauh dari sana juga ikut membantu membereskan.
Tia melihat ke pangkuannya yang bekas tersiram es kopi. Citra kemudian membayarkan pesanan mereka dan segera mengajak Tia ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Citra menyarankan Tia untuk ganti pakaian.
“Daripada kamu jalan-jalan dengan celana celemotan begitu, gak enak dilihat, udah ganti aja sama rok yang tadi kamu beli,” kata Citra.
Tia kemudian masuk ke salah satu bilik dalam kamar mandi, dan beberapa menit kemudian keluar dengan mengenakan rok mini hitam yang tadi dibelinya. Celana panjang putihnya yang ternoda dilipat dan dimasukkan ke dalam tas belanja.
“Hmm… buka aja blazernya Ti, gak cocok sama roknya,” Citra menambah saran.
Blazer kantoran Tia pun ikut menemani celana putihnya di dalam tas belanja. Sekarang Tia jadi mengenakan kombinasi blus berenda biru muda tanpa lengan dan rok mini hitam.
Citra tersenyum melihat adik iparnya yang jadi terlihat lebih menarik itu. Bagaimanapun, Tia yang tadi ditemuinya masih berpenampilan kantoran, tapi yang sekarang, dengan blus tanpa lengan, rok mini, dan juga riasan lengkap hasil karya Haula si SPG kosmetik, terlihat lebih menggoda. Dan efeknya memang terlihat.
Ketika mereka berdua meneruskan berjalan-jalan lagi sesudahnya, orang-orang tidak lagi hanya memperhatikan Citra, tapi juga Tia.
Diam-diam Tia merasa puas karena bisa menarik perhatian juga… tekadnya tadi pagi untuk bisa mengalahkan kecenderungan barunya untuk lebih genit sudah buyar. Ketika hari sudah cukup malam, Citra dan Tiamemutuskan untuk pulang. Mereka menyetop taksi di depan mall.
Bersambung…