Tiga orang anak buah Gde berdiri mengelilingi Tia yang terduduk di dekat Citra. Penis mereka jelas berdiri tegak lagi melihat seorang lagi perempuan cantik yang sudah bersedia di depan mereka. Mereka merasa tak salah menduga ketika tadi menangkap Tia juga.
Di mata mereka, perempuan bermake-up tebal, dengan bibir merah ranum, mengenakan blus tanpa lengan dan rok mini, dan berada di pinggir jalan, apa lagi namanya kalau bukan perempuan gampangan? Ditambah lagi mereka punya wewenang menegakkan suatu peraturan yang memandang buruk terhadap perempuan.
“Hoy, jangan bengong aja, isep kontol gue nih,” suruh salah satunya. Tia dengan ragu-ragu mendekatkan wajahnya ke penis orang itu, namun akhirnya dia memasrahkan diri dan menggenggamnya. Dia mulai menjilati ujungnya, dan terus menjilati sekujur batang itu.
Satu lagi penis tegak milik seorang aparat teracung, dan pemiliknya menyodok-nyodokkan ujungnya yang agak basah ke pipi mulus Tia. Tia menangkap maksudnya dan mengalihkan perhatian, pertama mengulum ujung penis kedua lalu mulai menyepongnya, sementara tangan kanan Tia tetap di penis pertama, memberi kenikmatan lewat sentuhan dan elusan.
Orang ketiga di sekeliling Tia langsung meraih tangan kiri Tia dan menyuruh Tia mengocok penisnya. Jadilah kini Tia melayani tiga orang sekaligus dengan mulut dan kedua tangannya. Tia berganti-ganti memberi perhatian kepada tiga kejantanan yang mengelilinginya.
Tanpa dia sadari, dia sebenarnya sudah ahli melakukan fellatio, karena sudah banyak latihan sejak dia pertama kali memutuskan untuk berubah penampilan demi Bram dulu. Tak heran ketiga orang itu bisa sampai merem melek disepongnya.
Bahkan kata-kata mereka yang melecehkannya seperti “Dasar pecun, udah jago ya lu nyedot peju” dan “Kontol gue tadi abis masuk pantat kakak lu, enak ngga rasanya?” tidak membuatnya jijik, dan malah membuatnya terangsang. Gara-gara tempelan pemrograman mental dari Mang Enjup, Tia jadi suka dilecehkan dengan kata-kata mesum seperti itu.
CROTT! “Aih!” Tia kaget ketika satu penis yang sedang dikocoknya agak dekat ke muka tiba-tiba ejakulasi, melontarkan mani kental yang mendarat di pelipis dan dekat matanya. Ejakulasinya berlanjut mendarat di bagian dada blus tanpa lengan Tia.
“Gue juga nih…!” Seorang lagi, yang sedang dikenyotnya, tidak tahan, dan segera menarik penisnya dari dalam mulut Tia untuk muncrat tepat di depan muka Tia. Tia memejamkan mata agar tidak kena—satu cipratan ejakulasi mendarat dekat pangkal hidungnya, dan sisanya berleleran ke bawah.
Sesudahnya, orang ketiga juga mau menyemprotkan cairan kelelakiannya. Dia sengaja menggenggam wajah Tia dan mengarahkan semburannya untuk menodai wajah yang tadi siang dijadikan kanvas tempat berkarya si SPG kosmetik, Haula. Warna merah dan emas rias wajah Tia tercoreng warna putih cairan kental buangan si aparat.
Gde sudah menunggu-nunggu kesempatan untuk menikmati tubuh Tia sejak tadi. Dia memang terbiasa menyalahgunakan wewenangnya sebagai aparat. Kalau bukan menarik upeti tidak resmi dari para pengusaha bisnis lendir seperti Citra, dia memanfaatkan orang-orang yang ditangkapnya atas dasar peraturan pemerintah yang rawan penyelewengan itu.
Disuruhnya ketiga anak buahnya menyingkir dari Tia yang terduduk. Dia mengambil saputangan dari kantong, berjongkok, lalu menyeka ceceran mani tiga orang di muka Tia dengan hati-hati agar tidak terlalu banyak merusak rias wajah Tia. Tia hanya diam saja menerima perlakuan itu; wajah Gde yang besar dan hitam menyengir mesum di depan wajahnya.
“Cantik juga ya kamu,” puji Gde. “Buka baju.”
Tia ragu apakah harus menuruti permintaan itu atau tidak. Melihat keraguan, Gde mendorongnya lagi.
“Buka baju, atau aku yang buka bajumu.” Tangan Gde meraih ke arah deretan kancing blus Tia.
Gerak refleks membuat Tia bergeser mundur, menjauh dari Gde, tapi ternyata di belakangnya ada seorang aparat. Tia menggigil ketika Gde melepas kancing blusnya satu per satu. Semua kancing blus Tia pun akhirnya terbuka, memperlihatkan kutangnya, yang tak lama kemudian juga dilepas oleh Gde.
Setelah Tia bugil setengah badan, Gde menyuruh Tia melepas roknya. Kali ini dengan takut-takut Tia membuka sendiri resleting rok mini hitamnya dan memelorotkannya. Tia melakukan itu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menutupi kedua payudaranya yang sudah tak terlindung.
“Wuih, gedean toket kamu daripada Citra,” komentar Gde. “Citra gak pernah cerita kalo adiknya montok seksi gini. Eh… nanggung nih. Itu celana dibuka juga dong. Ngapain masih dipake?”
Tinggal satu potong pakaian yang masih melekat di tubuh Tia—celana dalamnya. Gde tidak menunggu Tia, dia sendiri dengan kasar memelorotkan celana dalam Tia. Selanjutnya anak buahnya yang berada di belakang Tia menarik tubuh Tia dan memindahkannya sehingga Tiakini berada di matras yang tadi menjadi tempat Citra digarap berulangkali.
Tia telentang, telanjang, tanpa daya… Dia memalingkan muka melihat tubuh besar hitam Gde yang telanjang di hadapannya. Gde tadi cuma sekali menyetubuhi Citra, dan sekarang penisnya yang berukuran lumayan sudah tegak lagi. Si komandan aparat itu nyengir, lalu menurunkan tubuhnya menindih Tia.
Kalau dilihat dari atas, tubuh Tia nyaris sepenuhnya tertutupi tubuh gempal Gde. Tia tak bisa menghindar ketika Gde memaksa mencium bibirnya. Rupanya itu alasan tadi Gde membersihkan muka Tia, dia ingin merasakan bibir indah Tia.
Lidah Gde yang lebar dan basah dengan tak sopannya menerobos masuk rongga mulut Tia, mengajak bergulat lidah Tia. Sepasang bibir tebal Gde melahap bibir Tia, dan juga beraksi di garis rahang dan leher Tia selagi Tiamenahan jijik.
Sementara itu kedua paha Gde bergerak membuka kedua paha Tia. Batang kejantanan Gde yang sudah ereksi itu mulai menempel dan menggesek bagian luar alat vital Tia. Sekali lagi sesuatu di dalam pikiran Tia menolak keadaannya sekarang, dan Tia berusaha meronta untuk melepaskan diri, tapi sudah terlambat, tubuh Gde terlalu berat untuk digeser.
Tia hanya bisa menjerit pasrah ketika akhirnya kewanitaannya tertusuk penis Gde. Gde melihat wajah Tia yang tak rela, dan tak mempedulikannya sama sekali. Satu dorongan berhasil mendesakkan seluruh penisnya sampai ke pangkal.
Dia kembali menciumi wajah Tia selagi tubuhnya bersatu dengan tubuh Tia, sementara Tia memalingkan wajah karena jijik. Liang kenikmatan Tia yang sempit dan sudah basah setelah terangsang akibat aksi oralnya terhadap tiga aparat tadi rupanya memberi sensasi baru bagi Gde.
Nafas Gde menjadi memburu dan dia mulai mempercepat dorongannya menggenjot Tia. Tia tak kuasa menahan erangan bercampur ratapan, selagi penis Gde mengaduk-aduk vaginanya. Namun suara Tia malah makin lama makin terdengar nyaring dan bernafsu.
“Oh! Ah! OHHH!!” Bisa dilihat bahwa tubuh Tia sendiri bingung, antara menyerah kepada nafsu atau mempertahankan harga diri dengan terus bersikap tak rela.
Tapi mana mungkin Tia mampu berpura-pura tak rela, ketika sebagian pikirannya yang telah teracuni terus-menerus mengingatkannya untuk menerima saja bahwa dia sebenarnya pelacur yang mau tidur dengan laki-laki mana saja?
“Huhh… ehh… Enak gak? Mau terus gak?” kata Gde di sela-sela gerakannya.
“Auhh…huhh… ahh…” Tia berusaha menahan jangan sampai dia mengatakan sesuatu yang akan menjerumuskannya lebih jauh…
“Mau lagi gak? AYO BILANG!”
“AHH… IYA PAKHH!! LAGI PAK… TERUSIN PAK…” Jebol juga pertahanan Tia. Tangisnya pecah lagi karena malu, malu telah gagal menahan gempuran nafsu yang berusaha meruntuhkan harga dirinya. Apa bedanya dia sekarang dengan pelacur betulan yang menjajakan diri di pinggir jalan?
Malah mungkin aku lebih parah! Pelacur masih dibayar, sedangkan aku menyerahkan diri untuk disetubuhi dengan sukarela!
Ciuman penuh nafsu Gde, lidah Gde yang menjilati wajah Tia, kejantanan Gde yang terbenam sampai pangkal dalam kemaluan Tia… dan laki-laki bertubuh gempal itu bukan pasangan sah Tia. Apakah dia memperkosa Tia? Tidak. Tia sendiri yang tadi bersedia menggantikan Citra.
Nafsu binatang sudah menguasai Gde yang makin buas menghantam selangkangan Tia, tanpa peduli Tia terdesak hebat di bawah tindihan tubuh besar dan berkeringat itu. Tia hanya dapat meringis kesakitan selagi serangan Gde datang tanpa henti.
Di sebelah mereka, terlupakan untuk sejenak, Citra yang tadi pingsan sudah memperoleh sedikit kesadarannya. Dia merasa sekujur tubuhnya sakit, terutama selangkangan dan duburnya, dan dia tak kuasa menggerakkan tubuhnya.
Tapi pandangannya tepat tertuju kepada dua sosok manusia yang tindih-menindih di sebelahnya, tubuh hitam besar Gde yang berulangkali menghantam tubuh Tia yang telanjang di bawahnya. Citra hanya bisa menyaksikan wajah Tia yang nelangsa tanpa daya.
Tapi… dan Citra kenal benar ekspresi itu, dia tidak mungkin tidak hafal, Citra melihat bahwa nafsu birahiTia seolah tak padam. Citra menyaksikan sedikit ekspresi kenikmatan menyelip di wajah adik iparnya tiap kali kejantanan Gde yang besar itu bolak-balik lenyap dan muncul di selangkangan Citra. Dan tentunya, Citra tak bisa tidak mendengar kata-kata yang diteriakkan Tia.”
“YAH! AHH! LAGIHH!! PAK!! ENTOT SAYA PAK! TERUS PAKHH… OH!”
Gde menegakkan tubuh dan memegang kedua pergelangan kaki Tia, merentang kaki Tia selebar mungkin, dan menggoyang pinggulnya untuk mengaduk-aduk kemaluan Tia dengan penisnya. Pinggul Tia ikut bergerak tanpa dapat ditahan, seolah membalas segala gerakan Gde dalam pertandingan saling memberi kenikmatan itu.
Citra ingin menutup telinga ketika lenguhan dan jeritan kedua insan itu makin kencang.
“AAKKK….. NGHHAAA!!” Tia menjerit nikmat ketika dia mencapai orgasme, matanya terpejam dan air matanya bercucuran, perasaannya campur aduk antara terseret kenikmatan dan tertohok penyesalan.
Gerungan keras dari Gde menandakan bahwa dia juga mencapai puncak, menimpali bunyi tubuh beradu dengan tubuh yang sudah sedemikian kencangnya. Gde ambruk menimpa Tia, pinggangnya kejang beberapa kali.
Citra memejamkan mata biarpun apa yang dikhawatirkannya memang tak terlihat karena tertutup tubuh Gde. Ya, saat itu juga Gde menyemburkan bahan pembuat calon-calon bayinya di dalam rahim Tia.
“Huehh… enak kan itu? Gue paling suka ngecrot dalam memek…” kata Gde lemah.
Tubuh besarnya menindih Tia yang terkapar.
“Memek lu top… gak kayak memek jablay lain yang kendor…”
Tia sendiri gemetaran setelah menerima orgasme hebat. Gde langsung bangkit dari atas Tia sehingga Tia bisa bernafas lega lagi. Vagina Tiayang tadinya rapat tampak merekah dan belepotan sperma Gde. Tapi Gde baru orang pertama.
Selanjutnya Julfan dan seorang aparat yang tadi belum sempat mendapat kenikmatan mendekati Tia. Julfan, sedari tadi sudah telanjang, mengangkang di atas muka Tia, lalu berjongkok. Dia memaksa Tia membuka mulut lalu memasukkan penisnya ke mulut Tia.
Tia yang sudah ternoda itu tak melawan, malah menuruti keinginan Julfan dengan merapatkan bibir merahnya di seputar batang Julfan. Tak lama kemudian Julfan mengoceh keenakan ketika sedotan Tia mulai memberikan efek yang diharapkan.
Kawannya, yang berada dekat selangkangan Tia, memilih bermain-main dengan klitoris Tia, dan tanpa disangka, Tia malah menggerak-gerakkan pinggulnya menanggapi rangsangan itu.
Setelah beberapa kali bibir Tia naik-turun mengelus kemaluan Julfan, Julfan mendesakkan pinggulnya ke bawah sehingga Tia terpaksa menelan seluruh penisnya. Tia panik karena merasa akan tercekik, tapi Julfan menahan posisi. Sedetik kemudian Tia merasaka cairan kental asin memenuhi rongga mulutnya.
Setelah membuang isi buah pelirnya di dalam mulut Tia, barulah Julfan membebaskan mulut Tia. Tia sendiri terbatuk-batuk sehingga sebagian hasil ejakulasi Julfan termuntahkan keluar. Sementara itu kawannya tidak lama-lama memainkan kewanitaanTia dengan tangan. Dia segera mengambil kesempatan untuk mempenetrasi vagina Tia. Tia mengernyit sedikit, vaginanya terasa agak nyeri.
“Eh, cepetan, masih banyak yang ngantri nih,” seru seorang aparat lagi.
Sungguh mereka ini tak ada puasnya.
“Daripada tunggu-tungguan, embat pantatnya aja tuh,” usul Gde.
Tia mau menjerit protes, tapi saat itu seorang lagi sudah meniru tindakan Julfan tadi, mengangkangi mukanya dan membuat mulut Tia sibuk dengan penisnya. Satu orang lagi memutuskan untuk menuruti usul si komandan dan segera memposisikan diri di belakang kawannya yang menggenjot vagina Tia.
Dia mengatur posisi supaya bisa mendapat jalan menuju pintu belakang Tia, lalu menyodok lubang dubur Tia dengan jari tengahnya yang dibasahi liur untuk mempermudah penetrasi. Sejenak mulut Tia bebas, namun yang saat itu juga keluar adalah jeritan,
“Auuw…Auhh! Pe…lan-pelann!!” Baru kepala penis yang masuk ke lubang pengeluaran Tia, tapi orang yang memasukkannya kurang sabar sehingga Tia cuma merasakan sakit. Tapi pelan-pelan masuk juga seluruh batang itu ke saluran belakang Tia.
Kini ganti Citra yang menjadi penonton selagi dia melihat Tia, adik iparnya, seorang perempuan baik-baik dan istri setia, menjadi bulan-bulanan tiga orang aparat yang mencabuli mulut, vagina, dan anus. Tia yang mengerang dan mendesah penuh nafsu seperti seorang pelacur.
Citra tahu dia sendiri sudah gagal melindungi Tia… tadi dia sudah menawarkan diri untuk melayani mereka semua supaya mereka tak menyentuh adik iparnya, tapi ternyata mereka begitu cepat menguras staminanya dan kini mereka sudah menjamah adiknya.
Dia merasa bersalah. Tapi rupanya dia tak diberi kesempatan untuk berlama-lama merenung, karena orang-orang di ruangan itu menyadari dia sudah sadar lagi.
“Udah bangun, Cit?” kata Gde yang berjongkok di sebelahnya. “Payah lu, masa’ empat ronde udah pingsan. Kalau udah bisa lagi, lanjutin yuk.”
“Eh…” protes Citra tak terdengar selagi Gde menjauh untuk memberi kesempatan kepada dua lagi anak buahnya menggumuli Citra.
Tanpa belas kasihan mereka menggerayangi dan menjamah tubuh Citra, sekali lagi menjadikan Citra mainan seks mereka. Tia menerima gempuran dari tiga sisi, tanpa dapat menghindar. Dan sialnya, satu kali lagi orgasme melandanya. Jerit kenikmatan yang menyertainya tak terdengar teredam satu batang di mulutnya.
“Gue… keluarr!” Orang yang sedang menyodomi Tia menambah jumlah cairan asing di dalam tubuh Tia, mengisi saluran pembuangan Tia dengan benihnya. Kawannya yang sedang menyetubuhi liang sanggama Tia mendapat giliran klimaks berikut, ikut menambah isi rahim Tia.
Keduanya langsung menyingkir dari tubuh Tia. Tinggal satu orang yang sedang menikmati mulut Tia; dia segera pindah ke vagina Tia, dan menyetubuhiTia dengan posisi gunting. Karena sudah cukup lama menyodoki mulut Tia, dia tidak begitu lama menggenjot Tia, dan bertambahlah isi rahimTia dengan benih satu lagi laki-laki yang tak dia kenal.
Kini Tia tertelungkup dengan kedua paha mengangkang, cairan berleleran dari kedua lubangnya. Gde memutuskan untuk menyicip lubang yang tadi belum sempat dicobanya. Si komandan aparat meninggalkan Citra yang sedang disusupi organ tubuh laki-laki dari depan dan belakang, lalu kembali menindih Tia dan menusukkan penisnya ke lubang pantat Tia.
Penis Gde lebih besar daripada yang barusan memasuki anus Tia; Tiamembelalak dan ternganga ketika saluran pembuangannya mendapat desakan benda besar tumpul yang masuk dari arah yang tidak seharusnya.
Sementara itu, seorang lagi aparat yang tadi dioral Tia rupanya keburu ingin muncrat lagi setelah menonton pesta gila yang begitu panas antara sembilan laki-laki melawan dua perempuan, dan mengocok kemaluannya sendiri untuk mengeluarkan lendir nafsunya, kali ini menodai rambut Tia.
“Uahh! Gila sempit banget pantat lu! Ungh! Enak banget tau! Enak banget ngentot pantat lu!” ceracau Gde selagi menggenjot lubang duburTia.
Sampai habis suara Tia karena berkali-kali menjerit selagi anusnya diterobos gempuran demi gempuran dahsyat dari si komandan aparat. Namun sekali lagi, entah kenapa, ia kembali dilanda gelombang kenikmatan.
Emosi Tia yang campur-aduk tak mampu menjelaskan mengapa dia tetap saja merasakan kenikmatan badani menjalar ke sekujur tubuhnya, padahal dia seharusnya tak menyukai apa yang sedang diperbuat terhadapnya.
Sekali lagi Gde meninggalkan bukti pelanggarannya di dalam tubuh Tia. Namun malam itu sungguh terasa sangat panjang. Tiadan Citra terus terpaksa meladeni lelaki demi lelaki…
***
Mince, si banci, yang tadi ketiduran di sebelah Tia, sudah bangun lagi dan menyadari dua perempuan yang tadi sama-sama diciduk tidak ada di tempat. Dia sendirian di ruangan depan kantor aparat itu. Bukan sendirian—berdua, dengan seorang aparat muda yang dapat tugas berjaga di depan. Mince mendekati si penjaga.
“Eh bo’,” seru Mince. “Cewek yang berdua tadi itu ke mana?”
“Di dalam,” kata si penjaga muda itu, agak ngeri melihat Mince yang lebih jangkung daripada dirinya.
“Ya ampun, bo’, di dalam?” ujar Mince dengan sikap pura-pura terperanjat. “Aduh kasian banget deh mereka, pasti dipaksa suruh kasih gratisan. Yei gak kebagian, bo’? Kasiaan deh lu.”
Si penjaga diam saja. Dia tambah ngeri ketika Mince malah mendekatinya lalu bersikap sok akrab dengan merangkulnya.
“Eike kasian ama yei, bo’. Ama Mince aja yuk? Jilatan Mince asoy loh…” kata Mince sambil menjilat kuping si aparat, sementara tangannya gentayangan ke tempat-tempat yang tidak seharusnya.
Si aparat muda itu langsung ngibrit menyelamatkan diri, dia sudah tak peduli lagi dengan tugasnya… daripada keperjakaannya direnggut banci…
***
Jam 11 malam.
Gde dan anak buahnya sudah berpakaian lagi. Mereka capek sekali, tapi senang. Di tengah ruangan, dua perempuan tergeletak lemah. Citra terlentang, pingsan kelelahan.
Tia meringkuk, masih sadar, tapi sudah tak berdaya. Lubang dubur Tia masih sedikit menganga, seolah tak mau kembali tertutup seperti semula. Sedikit cairan putih masih mengalir dari sana. Rias wajahnya sudah acak-acakan, ternoda mani yang mulai mengering.
“Eh, bantuin mereka pake baju lagi sana,” perintah Gde.
Untungnya tidak ada pakaian keduanya yang rusak atau robek. Selanjutnya Gde menyuruh anak buahnya memapah kedua perempuan itu keluar. Gde memeriksa barang-barang Citra dan Tia, lalu mencari alamat Tia.
Dia sudah tahu di mana salon Citra, dan dia baru mengetahui bahwa rumah Tia tepat di sebelah salon Citra. Gde dan anak buahnya keluar dari bangunan kantor menuju garasi di samping. Si komandan mendekati satu mobil berwarna abu-abu—mobil pribadinya—membuka kunci, dan membuka pintu.
Dia menyuruh anak buahnya memasukkan Citra dan Tia di kursi belakang. Kemudian dia menyuruh yang lain kembali ke kantor kecuali Julfan. Gde menyalakan mobilnya. Julfan duduk di sebelah. Ngocoks.com
Di kursi belakang ada dua orang perempuan, satu tergolek tak sadar, satu lagi duduk tegak dengan mata terbuka tapi dalam keadaan syok. Sepanjang perjalanan dari kantor aparat, Tia hanya bisa terpaku. Dia merasa tersakiti dan ternoda.
Dia pun merasa bersalah kepada dirinya sendiri, kepada Bram, kepada Citra. Andai saja tadi dia tidak menuruti keinginannya sendiri untuk berpenampilan lebih seksi… Andai tadi dia bisa lebih tenang menghadapi para aparat yang salah paham menganggap dia pelacur jalanan… Andai dia tidak sampai berkata rela menyerahkan kehormatannya kepada manusia-manusia bejat tadi demi menyelamatkan Citra…
Tapi, bukankah dirimu memang seperti itu, Tia? Sudah, akui saja, Tia. Kamu memang pelacur. Kamu sengaja berdandan seksi demi menggoda laki-laki. Kamu bersedia tidur dengan siapa saja.
“Bukan… bukan… aku bukan seperti itu… aku Tia, istri Mas Bram… bukan perempuan seperti itu…” bisik Tia, tak terdengar oleh siapapun kecuali dirinya sendiri.
Hahaha. Kenapa nyangkal, Tia sayang? Kamu senang kan waktu mata semua laki-laki tertuju kepadamu? Kamu menikmati dihimpit tubuh si komandan itu kan? Kamu orgasme waktu disetubuhi tiga orang sekaligus kan tadi?
“Bukan… tidak…”
Kamu wanita murahan, Tia! Kamu pelacur! Akui saja dan terima!
Tia ingin menangis, tapi air matanya tak mau keluar. Siapa sebenarnya yang berbicara dalam kepalanya? Apakah itu dirinya sendiri? Siapa sebenarnya dirinya? Apakah dia memang seperti itu?
“Udah sampe, nih,” kata-kata Gde menghentikan lamunannya.
Mobil Gde sudah berhenti di depan rumah Tia. Julfan dan Gde membantu Tia memapah Citra ke dalam rumah. Bram belum pulang. Sebelum pergi, Gde mengatakan sesuatu kepada Tia.
“Kalau saya jadi kamu, saya gak akan bilang siapa-siapa soal kejadian malam ini. Kalau ada ribut-ribut, kamu sendiri yang rugi… saya nggak tau apa jadinya ya kalau nama kamu malah jadi masuk koran di halaman kriminalitas. Apalagi kalau bisnis kakak iparmu kebawa-bawa.”
Si komandan aparat itu lantas pergi sambil tersenyum lebar, bersama Julfan.
***
Citra tertidur seperti orang mati di sofa ruang tamu rumah Tia. Tia duduk lemas, terus merenung. Tia sudah berusaha menenangkan diri dengan mencuci muka, mandi, membersihkan diri, dan mengenakan pakaian tidur yang nyaman, tapi hatinya tetap gundah. Jam 1 malam, terdengar suara pintu garasi dibuka, lalu mobil masuk garasi. Tia tak beranjak dari kursinya. Beberapa menit kemudian pintu rumah terbuka, dan masuklah Bram.
“Yang, aku pulang, maaf kemalaman…”
“MAS BRAM…!!”
Tia langsung menubruk Bram, memeluknya, dan menangis sejadi-jadinya di dada Bram. Segala perasaannya baru bisa tumpah di sana… tapi dia tak mampu menjelaskan apa yang terjadi.
“Eh, ada apa nih… Sayang, ada apa… kenapa kamu nangis?”
Tia memandangi wajah suaminya dengan mata basah. Dia hendak membuka mulut untuk bercerita, tapi semua peristiwa yang baru dia alami berkelebat di dalam benaknya, membuat dia ngeri dan malu sehingga dia pun tak mampu mengungkapkannya kepada Bram. Saat itu Bram tak menyadarinya… tapi kehidupan Tia sesudahnya tak akan sama lagi.