SUAMI DAN ISTRI PERGI BERLIBUR
Begitu Elliot sampai di lantai 15, dia berhenti di hadapan meja Sean Thompson. “Sean, besok aku akan melakukan perjalanan bisnis untuk mendatangi pameran arsitektur di Swiss. Aku berpikir akan membawa satu anak magang agar dia bisa mempelajari bidang arsitektur dengan lebih baik.”
Elliot tidak benar – benar berbohong karena di Swiss memang ada pameran arsitektur besar yang biasa didatangi oleh banyak orang dari segala penjuru dunia.
Sean sedikit terkejut, tidak menyangka bila Elliot akan mengajak seorang anak magang untuk pergi ke pameran. “Siapa yang ingin Anda ajak? Bagaimana dengan Morgan Peterson?”
Sean mengira mungkin Elliot akan lebih nyaman pergi bersama pria juga. Tapi ternyata tebakannya salah karena Elliot berkata, “Aku ingin mengajak Nona Baxter. Setelah melihat portofolio Nona Baxter, aku berpikir dia memiliki banyak potensi di masa depan, jadi aku ingin mengajaknya pergi.”
“Anda tidak keberatan membawa wanita?” tanya Sean memastikan. Sejujurnya dia juga enggan membiarkan Charlotte pergi begitu jauh dengan Elliot, apalagi dia pernah mendengar reputasi Elliot yang sering bermain dengan banyak wanita di masa lalu.
“Kenapa harus keberatan?” Elliot berkata, “Nona Thompson tidak perlu khawatir, aku akan memastikan keselamatan Nona Baxter di luar negeri.”
Sean tentu tidak bisa menolak, lagipula dia juga tidak mungkin menyuarakan keraguannya terhadap Elliot.
Setelah berbicara dengan Sean, Elliot juga berbicara dengan Erland untuk melakukan perjalanan bisnis ke Swiss sementara dia pergi ke Maldives. Di saat itulah, Erland berpikir ingin meminta kenaikan gaji karena harus memainkan peran untuk menutupi hubungan atasannya.
*****
Semenjak bangun tidur, Charlotte tidak bisa berhenti tersenyum saat ingat bila dirinya dan Elliot akan pergi jauh ke luar negeri. Seumur hidupnya, Charlotte bahkan belum pernah naik pesawat karena tidak pernah diikut sertakan setiap kali Keluarga Baxter berlibur ke luar negeri.
Ketika Elliot dan Charlotte menunggu kedatangan pesawat di ruang tunggu VIP. Charlotte tidak mampu mengalihkan pandangannya dari tempat parkir pesawat yang berada di balik jendela besar, pesawat – pesawat itu terlihat begitu besar sehingga membuat Charlotte merasa kagum.
“Apa kita akan naik itu?” tanya Charlotte entah untuk keberapa kali.
Elliot tertawa kecil seraya membuka bungkusan kue kering di tangannya. “Bukan, pesawat kita akan datang 20 menit lagi.”
Kue kering tersebut lantas disodorkan ke depan mulut Charlotte, “Makan ini, rasanya manis.”
Charlotte membuka mulutnya, tidak menolak saat Elliot berusaha menyuapinya dengan kue kering. Rasa manis seketika menguar di dalam rongga mulut Charlotte, tekstur kue yang lembut juga membuat Charlotte tidak kesulitan saat memakannya.
“Apa dulu kamu sering pergi menggunakan pesawat?” tanya Charlotte.
Elliot mengangguk sembari membukakan kue kering yang baru. “Ya, kadang untuk perjalanan bisnis, kadang hanya untuk berlibur.”
Jika diingat, sepertinya Elliot juga sering pergi berlibur dengan Irene di masa lalu. Saat mengingat wanita itu, Elliot sedikit merinding karena tidak habis pikir dengan kebodohannya sendiri yang mau memadu kasih dengan wanita penuh tipu daya itu.
Charlotte, “Pasti menyenangkan. Aku belum pernah pergi jauh sebelumnya.”
Elliot terhenyak saat mendengar hal itu, kemudian berpikir bila Keluarga Baxter memang bajingan sampai tidak pernah mengajak salah satu anaknya untuk berlibur.
Pria itu mengusap kepala Charlotte, jepit rambut yang terbuat dari mutiara bergoyang setiap kali Elliot menyisirkan jarinya ke helaian rambut Charlotte. “Sekarang kamu bisa sering pergi jauh denganku mulai hari ini.”
Charlotte memejamkan matanya, merasa hatinya berdesir setiap kali Elliot mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang.
Beberapa saat kemudian, pesawat yang akan mereka tumpangi datang. Elliot lantas menarik koper dengan tangan kiri, sedangkan tangan kananya ia gunakan untuk menggandeng Charlotte. Setelah melalui pengecekan tiket, keduanya melangkah masuk ke dalam tangga belalai yang terhubung dengan koridor pesawat.
“Selamat datang di penerbangan XX, Tuan dan Nyonya Landegre. Semoga perjalanan kalian menyenangkan,” ucap seorang pramugari yang khusus melayani penumpang first class.
Pramugari itu kemudian mengarahkan Elliot dan Charlotte ke area first class yang berbentuk ruangan – ruangan yang saling bersebelahan.
Pramugari menarik pintu geser dari salah satu ruangan, lalu mempersilahkan Elliot dan Charlotte untuk masuk. Kedua mata Charlotte berbinar tatkala melihat interior dari ruangan tersebut. Permukaan lantainya ditutupi oleh karpet berwarna abu – abu, bagian kabin serta meja di dalam ruangan itu terbuat dari kayu yang mengkilap, sehingga menimbulkan kesan hangat untuk penumpang.
Di hadapan pintu masuk, terdapat dua buah kursi pesawat yang harus mereka gunakan saat pesawat sedang take off dan landing. Di samping kursi – kursi itu, ada sebuah lorong panjang yang ternyata menghubungkan ruang depan dengan sebuah kamar tidur yang dilengkapi dengan satu tempat tidur besar, satu televisi, dan sebuah kamar mandi kecil.
Alih – alih merasa naik pesawat, Charlotte malah berpikir dia sedang berkunjung ke sebuah kamar hotel mewah.
“Tuan dan Nyonya bisa memanggil kami apabila membutuhkan sesuatu, kami pasti dengan cepat akan langsung datang dan berusaha memenuhi permintaan Tuan dan Nyonya.”
Elliot tersenyum dan mengangguk, “Kami mengerti.”
Setelah pramugari itu meninggalkan ruangan, Charlotte segera melompat untuk memeluk Elliot dengan erat. Senyumannya terangkat begitu tinggi sampai deretan giginya terlihat. “Elliot, tempat ini sangat bagus. Bahkan kita bisa berbaring di tempat tidur saat sedang terbang.”
Elliot membalas pelukan Charlotte, lalu tertawa. “Kamu senang?”
“Tentu saja senang,” Charlotte mencium leher Elliot yang ada di samping wajahnya, kemudian berbisik. “Aku pasti pernah melakukan sesuatu yang sangat baik di kehidupan lalu sampai bisa menikah dengan kamu.”
Elliot tertegun, matanya sedikit meredup saat mendengar ucapan Charlotte. “Ya, kamu sangat baik di kehidupan lampau.”
Terlalu baik sampai Elliot masih tidak mampu melunturkan rasa bersalahnya hingga sekarang.
Karena merasa intonasi suara Elliot agak aneh, Charlotte akhirnya melepaskan pelukan mereka dan bertanya. “Ada apa?”
Buru – buru Elliot tersenyum dan mencium bibir Charlotte. “Tidak apa – apa. Sekarang duduklah di kursi, pesawatnya akan segera terbang sebentar lagi.”
Sekitar 15 menit kemudian, pesawat yang mereka tumpangi meninggalkan landasan bandara, terbang melintasi gumpalan awan putih dan bergerak secara konstan tatkala sudah mencapai ketinggian 36.000 kaki dari permukaan tanah.
Karena langit sedang cerah, Charlotte bisa melihat hamparan langit biru dengan sangat jelas. Matanya lantas mengarah ke bawah, memperhatikan gedung – gedung di kota yang sekarang terlihat begitu kecil.
“Kupikir kamu akan takut saat pertama kali naik pesawat,” kata Elliot seraya melepaskan seat belt miliknya dan milik Charlotte, sehingga dia bisa memeluk Charlotte dari belakang.
Elliot meletakkan dagunya di atas bahu Charlotte, matanya turut memperhatikan langit biru yang ada di luar jendela. Suasana hati Elliot sekarang ini sedang tidak menentu semenjak dia mengingat kenangannya di masa lalu dan mengingat segala perilaku buruknya terhadap Charlotte.
Elliot memang tidak pernah melakukan kekerasan fisik seperti memukul ataupun memaksa Charlotte untuk melayaninya di tempat tidur. Tapi dia selalu mengabaikan Charlotte selama bertahun – tahun di masa lalu, bertingkah seolah istrinya hanyalah sebuah bunga pajangan yang tidak penting untuk dilihat.
Dan pada dasarnya, manusia tidak akan sanggup diabaikan selama bertahun – tahun. Tindakan yang dilakukan oleh Elliot pastinya membuat Charlotte merasa sangat tidak dihargai dan terus menyalahkan dirinya sendiri yang tak mampu mempunyai anak.
Charlotte tidak pernah kabur bukan karena dia tidak bisa, tetapi karena Charlotte tidak mempunyai keluarga lain yang mau menampungnya di rumah mereka.
Ketika Elliot tersandung kasus pegelapan dana di kehidupan lalu, semua pelayan serta teman – temannya meninggalkan Elliot. Mereka semua keluar dari ambang pintu rumah dan tidak pernah kembali.
Akan tetapi, Charlotte tidak mengikuti mereka. Wanita itu tidak keluar dari rumah dan meninggalkan Elliot.
Ketika Elliot bertanya, “Kenapa kau tidak pergi?”
Charlotte langsung menjawab dengan pandangan kosong. “Kemana lagi aku bisa pergi selain mengikuti kamu?”
“Elliot,” panggilan dari Charlotte membuat Elliot tersadar dari lamunannya. “Kamu terlihat tidak baik. Apa kamu merasa lelah?”
Elliot tidak lekas membalas, dia menguburkan wajahnya di pundak Charlotte dan berbisik begitu pelan. “Charlotte, apa kamu pernah membenciku saat aku pergi meninggalkan rumah dan mengabaikan kamu?”
Bersambung…