ISTRIKU SEBAIK MALAIKAT
Charlotte terkejut, “Kenapa bertanya begitu?” “Hanya ingin tahu sudah sejauh mana aku menyakiti perasaan kamu.”
Charlotte memperhatikan arakan awan di balik jendela, tangannya mengetuk – ngetuk pegangan kursi saat dia berkata. “Aku tidak pernah membencimu.”
Elliot membeku, kedua tangannya yang sedang memeluk pinggang Charlotte bergetar ketika mendengar jawaban dari Charlotte. “Kenapa kamu tidak membenciku?”
Harusnya Charlotte membenci Elliot, begitu benci sampai ingin membakar tulangnya hingga menjadi abu. Harusnya Charlotte merasa kesal setengah mati dengan perbuatan Elliot. Tapi, kenapa wanita itu tidak pernah membencinya?
“Aku bisa mengerti alasanmu membenci pernikahan kita. Bagaimanapun juga, aku adalah duri yang menghalangi langkahmu untuk menjadi ahli waris utama. Aku tidak bisa mempunyai anak, jadi aku memang tidak berharap kamu akan mencintaiku setelah menikah. Semua tingkah lakumu di masa lalu sesuai dengan perkiraanku, jadi aku tidak begitu kecewa.”
Seketika Elliot mengingat kata – kata yang pernah dilontarkan oleh Charlotte sebelum wanita itu meninggal. Ucapannya hampir mirip, baik Charlotte di masa lalu dan di masa sekarang sama – sama lebih memilih untuk menyalahkan kekurangannya sendiri daripada orang lain.
“Tidak apa – apa, aku bisa mengerti alasanmu membenciku selama bertahun – tahun. Bagaimana pun juga, aku tidak mampu memberikan kamu keturunan sehingga kamu tidak bisa mendapatkan ahli waris penuh.”
Charlotte sudah terlalu lama hidup dalam sebuah keluarga yang tak pernah memujinya dan kerap membenci eksistensinya di dunia. Sehingga tak heran apabila dia selalu mempunyai kepercayaan diri yang rendah.
Charlotte tidak pernah membenci Elliot bukan karena dia berhati malaikat, tetapi karena dia lebih memilih untuk membenci ketidakmampuannya sendiri alih – alih membenci sikap buruk orang lain.
“Maaf, Charlotte,” Elliot berkata pelan, “Aku benar – benar minta maaf.”
Charlotte perlahan mengusap kepala Elliot. “Kenapa meminta maaf terus? Kamu hanya mengabaikanku selama satu minggu, bukan sepuluh tahun. Jadi tidak perlu begitu merasa bersalah. Lagipula, tinggal di rumahmu juga tidak buruk, aku bisa makan dengan lebih layak dan mendapatkan kamar tidur pribadi.”
Tapi, Elliot memang pernah mengabaikannya selama sepuluh tahun.
“Bagaimana jika aku mengabaikanku selama sepuluh tahun?”
“Entahlah, sesungguhnya aku berpikir untuk mengajukan cerai apabila kamu terus mengabaikanku sampai tahun depan.”
Secara reflek Elliot membalikkan tubuh Charlotte sehingga mereka saling bertatapan. “Kamu ingin menggugat cerai?”
Tatapan mata Elliot dipenuhi oleh kebingungan dan hal itu membuat Charlotte merasa heran. “Itu hanyalah pemikiran masa lalu, kenapa kamu begitu kaget?”
Tentu Elliot terkejut.
Jika Charlotte di kehidupan sekarang pernah berpikir untuk meminta cerai, maka Charlotte di kehidupan lampau juga menginginkan hal yang sama. Namun, Charlotte di masa lalu tidak bisa mengajukan perceraian karena tidak dapat berbicara dengan Elliot.
Jika seandainya Elliot dan Charlotte bercerai di masa lalu, bukankah artinya penderitaan Charlotte tidak begitu panjang?
Tapi itu hanyalah masa lalu, tidak bisa berubah dan seharusnya tidak perlu berandai – andai.
Charlotte kembali berbicara saat melihat Elliot yang diam. “Sekarang aku tidak pernah berpikir untuk bercerai, jadi tidak perlu khawatir.”
Elliot memeluk Charlotte, menghirup aroma parfum beraroma citrus yang menguar dari tengkuk dan pakaiannya. “Aku juga akan menolak jika kamu mengajukan cerai sekarang.”
*****
Usai terbang menggunakan pesawat selama 17 jam lebih, pesawat yang mereka tumpangi akhirnya mendarat di bandara. Karena lokasi bandara dan pulau maldives berada di dua pulau terpisah, maka Elliot dan Charlotte harus menumpangi kapal terlebih dahulu untuk sampai ke penginapan yang mereka tuju.
Hembusan angin laut menerpa wajah Charlotte, menerbangkan helaian rambutnya yang dibiarkan tergerai begitu saja. Dia tidak bisa berhenti merasa kagum dengan hamparan laut berwarna hijau kebiruan di hadapannya. Laut di dekat Pulau Maldives sangat tenang, ombaknya tidaklah kencang sehingga para pengunjung pulau bisa berenang tanpa takut akan terbawa oleh arus laut.
Setidaknya butuh waktu sekitar satu jam bagi Charlotte dan Elliot sampai di pelabuhan dan sampai di resort penginapan mereka. Charlotte segera berlari kecil ke dalam resort tatkala seorang pegawai membukakan pintu untuknya.
Bagian dalam resort itu sangat luas, terdapat sebuah meja dan sofa berbentuk bundar yang diletakkan di tengah ruangan. Kebanyakan dinding dari bangunan resort menggunakan jendela – jendela besar yang membuat pengguna dapat melihat ke arah laut dengan jelas. Area kamar tidur mengarah ke kolam renang dan pemandangan laut yang paling jelas, sehingga mereka bisa memandangi lautan meski hendak beranjak tidur.
Charlotte berlarian ke sana dan ke mari, menelusuri setiap ruangan yang ada di dalam resort. Ia sempat berhenti tatkala melihat permukaan lantai yang terbuat dari kaca. “Elliot, lihatlah! Kita bisa melihat laut yang ada di bawah lantai kaca ini.”
Elliot meletakkan koper – koper mereka ke ruang penyimpanan, kemudian berjalan mendekati Charlotte yang sedang berlutut di dekat lantai kaca. “Sepertinya ada beberapa area di resort ini yang lantainya menggunakan kaca. Seperti di bawah meja dan di dekat kolam renang.”
Charlotte mendongakkan kepalanya dan tersenyum kepada Elliot, “Biasanya aku hanya mendesain lantai yang seperti ini menggunakan 3d model. Aku tidak menyangka bisa melihatnya secara langsung.”
Elliot kemudian membantu Charlotte untuk berdiri dan berkata, “Apa kamu lapar? Kamu hanya makan snack tadi di pesawat.”
Charlotte memegang perutnya, “Lumayan.”
Mereka sampai di Pulau Maldives begitu pagi, sehingga mereka belum sempat sarapan sebelum ini.
Elliot, “Bagaimana bila kita makan di restoran dekat pantai? Atau kamu ingin memesan makanannya ke resort?”
“Di pantai! Aku ingin berjalan di atas pasir pantai.”
*****
Suara deburan ombak mengalun di telinga Charlotte, hembusan angin laut bertiup cukup kencang sampai membuat meja makan bergoyang sedikit. Suasana pantai yang seperti ini benar – benar membawa ketenangan untuk Charlotte, melunturkan seluruh pikiran negatif yang sebelumnya berkerak di benaknya.
Charlotte membenamkan telapak kakinya ke dalam pasir putih yang hangat, merasakan tekstur butiran – butiran pasir yang tidak terlalu kasar tapi juga tak lembut.
Tss..
Charlotte terlonjak kaget saat gelas berisikan jus dingin menempel di pipinya. “Nona Baxter, tampaknya kamu begitu terlena dengan laut sampai mengabaikan panggilan suamimu.”
“Kamu memanggilku?”
Elliot duduk di hadapan Charlotte. “Tadi aku bertanya, kamu lebih suka jus mangga atau strawberry?”
Charlotte menatap gelas berisikan jus mangga di tangannya, “Mangga juga tidak apa – apa.”
“Tadi aku sudah memesan lobster dan makanan laut lainnya. Tapi pelayan bilang kita harus menunggu sekitar 20 menit, apa kamu ingin memesan sesuatu yang bisa langsung dimakan? Aku bisa membatalkan pesanan kita.”
“Jangan! Aku mau makan lobster, jadi jangan dibatalkan.”
Elliot tersenyum, “Baiklah.”
Selama beberapa saat, Charlotte mengaduk – aduk jus di gelas menggunakan sedotan, sedangkan Elliot sedang memainkan ponselnya untuk melihat pesan dari Erland.
“Elliot,” panggil Charlotte.
“Mhm, kenapa?” balas Elliot.
“Jangan memanggilku Nona Baxter lagi saat kita sedang berdua. Rasanya sangat asing, aku tidak menyukainya.”
Charlotte juga merasa seolah dia bukan istri Elliot jika nama gadisnya dipanggil oleh Elliot.
Elliot akhirnya mematikan ponselnya dan menaruh perhatian kepada Charlotte. Perlahan dia memegang tangan Charlotte sambil sesekali mengelusnya. “Benar, kamu adalah Nyonya Landegre. Maaf jika aku membuatmu tidak nyaman.”
“Ah, tidak perlu meminta maaf. Aku tahu kamu hanya bercanda, mungkin aku saja yang berlebihan dalam menanggapinya.”
“Kamu tidak berlebihan,” Elliot berkata, “Bila tidak suka, kamu memang harus bilang tidak suka. Jadi, panggilan apa yang sebaiknya aku gunakan saat kita hanya berdua?”
Charlotte menatap Elliot dengan bingung, “Panggilan seperti apa? Tentu kamu bisa memanggil namaku seperti biasa.”
Elliot, “Semua orang juga memanggilmu Charlotte, apa bedanya aku dengan orang lain?”
“Nah, bagaimana bila aku memanggilmu baby? Honey? Ma cherie? Mi amor?”
Telinga Charlotte langsung memerah saat mendengarnya. Dia belum pernah dipanggil seintim itu oleh orang lain, jadi wajar bila Charlotte merasa malu. “Jangan aneh – aneh.”
Elliot bangkit dari kursinya, lalu mendekatkan bibirnya di samping telinga Charlotte. “My .. Love.”
Seketika jantung Charlotte berdetak dengan sangat cepat sebagai respon dari panggilan itu. Entah mengapa, rasanya dia begitu dicintai saat mendengar Elliot memanggilnya dengan sebutan itu.
“Mana yang kau inginkan?”
Charlotte menggigit bibirnya, dia menundukan kepala seraya berbisik. “Hmm … panggilan terakhir sepertinya tidak apa.”
“Panggilan yang mana?” goda Elliot.
“Yang terakhir.”
“Aku tidak akan tahu jika kamu tak menyebutkannya.”
Charlotte akhirnya berkata dengan ragu. “My .. My Love.”
Elliot tersenyum puas saat mendengar jawaban Charlotte. “Baiklah, aku akan sering – sering memanggilmu itu.”
Sebelum Charlotte membalas, Elliot sudah berbicara lagi. “My Love, bagaimana bila kita mandi bersama setelah kembali?”
“Elliot! Jangan membicarakan hal yang memalukan di depan umum.”
Bersambung…