SUAMI MEMUJI ISTRINYA
Dikarenakan kasus mengenai Johan mengalami jalan buntu. Elliot akhirnya berhenti mencari ribut dengan Johan, lalu menunggu Ian untuk mencari bukti-bukti lain terkait kejahatan Johan. Bukti-bukti itu pun terbilang sulit untuk ditemukan, mengingat Johan juga merupakan orang yang sangat hati-hati. Jadi, Elliot dan Ian sepakat untuk mencari secara sembunyi-sembunyi supaya Johan lengah.
Setelah tiga minggu, keadaan Divisi Infrastruktur III mulai tenang seperti biasanya. Para karyawan berhenti membicarakan Renold karena sudah lelah menggosipi pria itu selama berminggu-minggu. Lagi pula, sekarang ada karyawan baru yang menggantikan Renold. Jadi, rasanya tidak etis apabila karyawan baru sampai tahu masalah itu.
“Charlotte, berhenti kerja, sekarang sudah jam makan siang,” peringat Sean. Wanita itu kemudian meluruk jendela kantor. “Hari ini hujan, bagaimana kalau kita makan di kantin kantor saja hari ini.”
Charlotte mematikan komputernya dalam mode sleep, lalu membalas, “Kantin juga tidak masalah.”
Sean menghela napas. “Tapi makanan di kantin agak membosankan, aku jadi muak memakannya.”
“Bagaimana kalau delivery makanan?”
Sean semakin menghela napas. “Tak perlu, restoran pasti akan menunda pesanan kita karena hujan. Sudahlah, aku bisa makan di kantin untuk hari ini.”
Demi mempererat hubungannya dengan karyawan lain, Charlotte seringkali makan siang bersama Sean dan yang lainnya. Lagi pula, jika dia terlalu sering makan bersama Elliot, karyawan lain pasti akan mencurigai dia mempunyai hubungan gelap dengan atasan.
Namun, Charlotte tidak menduga Elliot akan selalu mencari kesempatan untuk ikut makan bersama para karyawan. Awalnya, para karyawan merasa tidak nyaman untuk makan bersama atasan mereka. Tapi, lama-kelamaan, mereka jadi terbiasa dan bahkan bisa mengobrol dengan santai.
Seperti sekarang, Elliot tiba-tiba datang ke kantin dan duduk di hadapannya. Meja kantin itu cukup luas, bisa menampung sekitar 10 karyawan sekaligus. Jadi, ada banyak orang yang kini dengan antusias mengajak ngobrol Elliot.
“Sir, tidak biasanya Anda makan di kantin. Kadang makanan di sini agak hambar, jadi mungkin tidak sesuai selera Anda.” kata Benedict Cooper.
Elliot, “Tidak masalah, aku tidak begitu pilih-pilih makanan.”
Charlotte memutar matanya diam-diam, pelayan di rumah padahal memiliki catatan makanan yang tidak disukai oleh Elliot, dan daftar itu cukup panjang sampai Charlotte pernah memarahi Elliot karena terlalu pilih-pilih makanan.
Elliot sempat tersenyum kepada Charlotte, kemudian melirik ke arah karyawan baru bernama Rico Hills, yang kini sedang membuka bekal makanannya. “Jarang sekali ada karyawan yang membawa bekal. Apa mungkin itu buatan istrimu?”
Rico tersenyum malu. “Iya, istriku sering memaksaku untuk membawa bekal. Dia bilang, makanan buatan rumah lebih sehat daripada makanan di luar.”
Pengakuan Rico sontak membuat para pria disekelilingnya ricuh, terutama para lajang seperti Lino. “Aku juga mau punya istri yang pandai memasak! Pasti rasanya menyenangkan saat pulang mencium aroma makanan harum, lalu besoknya pergi sambil membawa makanan khas rumah.”
“Maka carilah satu.”
Lino, “Kalau semudah itu, aku pasti sudah menikah sekarang!”
“Sir, bukankah kamu juga punya istri? Apa dia sering masak di rumah?” tanya seorang karyawan, yang langsung membuat semua orang memakukan pandangan mereka kepada Elliot.
Hingga hari ini, istri dari Elliot Landegre masih menjadi misteri. Mereka berusaha mencari informasi dari Erland, tapi asisten itu menutup mulutnya rapat seperti anjing patuh.
Elliot sempat bertemu pandang dengan Charlotte sebelum menjawab. “Masakan istriku juga enak. Tapi, dia begitu sibuk, jadi aku sering melarangnya untuk memasak apabila dia lelah.”
Kali ini, giliran karyawan wanita yang mulai ricuh. “Dengarlah itu baik-baik! Kalian para pria bahkan tidak pernah mau mengerti kelelahan istri! Walau para wanita juga bekerja, kalian masih memaksanya untuk memasak?!”
Sean ikut menimpali. “Siapapun istri Tuan Elliot, dia sangat beruntung.”
“Dia pasti sangat cantik sampai Anda jatuh cinta dengan istri Anda.”
“Tentu, dia sangat cantik. Istriku tidak pernah buruk sekali pun,” kata Elliot.
“Sir, kenapa Anda tidak pernah membawanya ke kantor? Kami pasti akan menjamu Nyonya Landegre dengan baik.”
Elliot tersenyum. “Istriku sangat pemalu. Dia masih belum siap tampil di hadapan umum, jadi mungkin butuh waktu untuk meyakinkan dia. Tapi, suatu hari nanti aku pasti akan mengenalkannya kepada kalian.”
Sepanjang pembicaraan, Charlotte hanya menunduk sambil memakan makanannya. Pipinya sedikit merah karena merasa malu setelah mendengar Elliot terus memujinya.
Karena Charlotte terlalu diam, Sean tiba-tiba berbicara dengannya. “Charlotte, apa kamu tidak sehat? Wajahmu terlihat agak merah.”
Elliot ikut memandangi Charlotte, dia tahu istrinya sangat berkulit tipis [1], karena itu dia sengaja memujinya di depan orang lain. “Nona Baxter, kalau kamu demam, kamu bisa pulang lebih dulu hari ini.”
[1] Berkulit tipis, artinya orang yang mudah malu.
Charlotte sempat menendang kaki Elliot di bawah meja sebelum membalas. “Aku tidak apa-apa, mungkin karena cuacanya dingin, wajahku jadi mudah merah.”
*****
Mereka menghabiskan waktu selama setengah jam untuk berbincang di kantin. Setelah semuanya selesai makan, satu-persatu karyawan mulai kembali ke ruangan mereka, begitu pun dengan Charlotte.
Saat kembali, Elliot dan Charlotte sengaja berjalan di paling belakang. Ketika tidak ada yang melihat, Elliot mencari kesempatan untuk mencubit pipi Charlotte karena gemas. “Nona Baxter, wajahmu masih merah.”
Charlotte menurunkan tangan Elliot dan berbisik, “Itu karena cuaca dingin, Sir.”
Elliot hanya menanggapi dengan tawa. Saat mereka menunggu elevator, Charlotte melihat Aria Moore baru saja turun dari elevator. Sontak keduanya bertegur sapa dan melemparkan senyuman.
Charlotte masih ingin berbincang dengan Aria, jadi dia meminta Elliot dan karyawan lainnya pergi lebih dahulu.
“Aria, sudah lama sekali aku tidak melihat kamu,” kata Charlotte.
Aria membawa Charlotte ke Coffe Shop di dekat kantin. “Kamu juga tidak pernah keliatan! Aku padahal ingin membicarakan banyak hal denganmu!”
“Masih ada waktu 30 menit sebelum masuk kerja lagi, kita bisa ngobrol sebentar,” balas Charlotte.
Setelah mereka duduk di café, Aria segera menarik Charlotte dan berbisik. “Tadi itu Tuan Elliot, kan?”
“Mhm, itu Elliot.”
“Kalian benar-benar bertingkah seperti atasan dan karyawan di kantor?” tanya Aria.
“Tentu saja, lebih baik memang begitu. Tapi, kadang-kadang aku sering ke ruangannya saat para karyawan sudah pulang.”
Aria tertawa. “Ohh … Charlotte sekarang pandai berkencan sembunyi-sembunyi. Apa kalian bahkan bermain di kantor?”
Charlotte jelas tahu maksud ‘bermain’ yang dikatakan oleh Aria. Dia jadi ingat, saat mereka bermain-main di dalam ruangan Elliot di hari pertamanya kerja.
Sungguh memalukan, Charlotte akan menutup itu sampai mati.
“Mana mungkin! Kami tidak seliar itu,” sanggah Charlotte.
Aria sangat paham sahabatnya itu sangat pemalu. Walau memang pernah pun, pasti tidak akan diberitahu kepada Aria. Jadi, Aria tidak lagi melanjutkan.
“Omong-omong, aku punya hadiah pernikahan untukmu dan Tuan Landegre. Sejak kemarin, kita belum sempat bertemu, jadi aku terus membawanya di mobil. Pulang kerja nanti, aku akan memberikannya kepadamu.”
“Hadiah apa?”
Aria tersenyum penuh arti, “Buka saja nanti. Hadiahku bisa mempererat kedekatan kalian.”
Charlotte menjadi curiga, tapi dia yakin teman dekatnya tidak akan memberikan sesuatu yang aneh.
Usai bercakap-cakap begitu lama, keduanya memutuskan untuk kembali bekerja. Charlotte melambaikan tangannya saat mereka berpisah di elevator. “Nanti sore aku akan menghubungi kamu.”
“Oke! Sampai jumpa lagi,” balas Aria.
Hari ini, kebetulan Elliot bisa pulang lebih cepat dari biasanya. Jadi, dia bisa pulang bersama Charlotte. Keduanya menunggu para karyawan pergi lebih dahulu, sebelum berjalan ke parkiran bersama.
“Aria ingin memberikanku sesuatu, jadi kita harus menunggunya dulu.”
Elliot kembali menutup pintu mobil dan berdiri di samping Charlotte. “Memberikan apa?”
“Dia bilang hadiah pernikahan. Aku jadi merasa bersalah karena tidak mengundangnya ke pernikahan kita.”
Saat mendengar acara pernikahannya sendiri, ekspresi Elliot langsung muram. “Bagus dia tidak datang, pernikahan kita juga tidak begitu bagus.”
Elliot bahkan meninggalkan Charlotte begitu upacara pernikahan mereka selesai. Jadi, ada baiknya tidak perlu mengingat pernikahan yang dipenuhi tragedi itu.
Charlotte menanggapi dengan senyum, “Jangan dipikirkan lagi. Anggap saja kita menikah di Jembatan Brooklyn.”
Mereka sudah mengucapkan sumpah pernikahan ulang di Jembatan Brooklyn. Sumpah yang lebih tulus dan lebih membahagiakan.
Elliot lantas melingkarkan tangannya di pundak Charlotte. “Benar! Tidak perlu mengingat upacara pernikahan yang diatur para orang tua itu. Kita menikah di Jembatan Brooklyn, hanya berdua.”
Keduanya sontak tertawa bersama. Memang lebih baik mengingat hal-hal yang baik saja dan membuang segala sesuatu yang buruk.
Beberapa saat kemudian, Aria datang menemui mereka sambil membawa kotak yang lumayan besar. Ketika dia berdiri di depan Elliot, Aria segera menyapa dengan sopan. “Tuan Landegre, selamat sore.”
Elliot tersenyum. “Kamu teman istriku, jadi tidak perlu begitu sopan.”
Aria lantas memberikan kotak itu kepada Charlotte. “Ini, untuk kalian berdua. Semoga pernikahan kalian bisa bertahan sampai akhir!”
“Apa ini? Kenapa kotaknya begitu besar?” tanya Charlotte dengan heran.
“Jangan membukanya di sini. Kamu bisa membukanya di rumah. Aku jamin, kalian pasti akan menyukainya!”
Bersambung…