MAINAN DEWASA
Untuk pertama kalinya dalam hidup, Charlotte begitu menyesali keputusannya. Karena, ternyata melakukan hal yang belum pernah dia coba itu terasa memalukan, begitu memalukan sampai Charlotte ingin mengubur kepalanya di dalam tanah.
Saat ini, kedua tangannya diikat menggunakan sebuah tali merah yang terhubung dengan sudut ranjang. Kemudian, salah satu kaki Charlotte turut diikat ke ujung ranjang, sementara kaki yang satu sudah terikat dalam keadaan tertekuk hingga lututnya mencapai dada. Tubuh Charlotte yang hanya mengenakan lingerie tipis berwarna merah itu terlihat begitu menggoda dan membuat Elliot menahan napas.
Bagian bawah lingerie yang berlubang memperlihatkan inti Charlotte yang masih merekah malu-malu, seolah sedang menanti sentuhan hangat dari suaminya.
“Sayangku, Charlotte, kamu harusnya melihat dirimu sendiri sekarang,” kata Elliot, sengaja menggoda Charlotte yang kian malu.
Wanita itu mengalihkan pandangannya, tidak berani menatap Elliot yang terus memandanginya seperti hidangan pembuka. “Jangan melihatku.”
Elliot tertawa, “Lalu aku harus melihat ke mana, selain ke arahmu?”
Sebelum Charlotte membalas, Elliot mengambil sebuah penutup mata dari dalam kotak, kemudian mengikatnya ke kepala Charlotte. “Jika kamu malu, lebih baik tidak perlu melihat.”
Begitu kegelapan menyambut indra penglihatan Charlotte, indra lainnya mulai menajam. Dari telinganya, Charlotte bisa mendengar Elliot tengah mengeluarkan beberapa mainan dari dalam kotak. Entah itu mainan apa, tapi Charlotte bisa mendengar ada suara getar yang mendengung.
Charlotte menahan napasnya. “Apa yang mau kamu lakukan?”
“Hmm … Coba kamu tebak sendiri,” balas Elliot sambil tertawa, dia sepertinya sangat menikmati ekspresi kebingungan yang ditampilkan oleh istrinya.
Secara tiba-tiba, Charlotte merasa ada cairan dingin yang jatuh ke atas intinya, meleleh turun hingga membasahi bagian bawahnya. Sontak Charlotte ingin menarik kakinya untuk melarikan diri, tetapi tali yang mengikat pergelangan kaki membuat Charlotte terkunci di tempat.
Ketika dia tak mampu melihat apa-apa, tubuh Charlotte tanpa sadar menjadi lebih sensitif, dan ada rasa kesenangan tersendiri di dalam hatinya. Charlotte tidak bisa menebak di mana Elliot akan menyentuhnya, sehingga setiap sentuhan Elliot akan membawa kejut yang mendebarkan di hati Charlotte.
Elliot meratakan pelumas dingin ke dalam bagian inti Charlotte, memastikan istrinya cukup basah sehingga dia tak akan tersakiti. Begitu Charlotte sudah siap, Elliot segera membawa masuk sebuah mainan seukuran kejantanan pria ke dalam inti Charlotte, membuat istrinya itu melenguh dan menengadahkan kepalanya ke atas.
“Charlotte, ternyata kamu memang menyukai hal seperti ini?” Elliot berbisik dengan suara rendah di samping telinga Charlotte, menghantarkan sensasi asing yang mampu menambah kesensitifan tubuh Charlotte.
Tanpa Charlotte duga, Elliot menekan tombol pada remot yang terhubung ke mainan itu. Hal itu membuat mainan tersebut bergetar dan berputar-putar di dalam tubuh Charlotte, terasa seolah sedang mengaduk bagian bawah Charlotte sampai tubuh wanita itu melengkung dan menggelinjang penuh kenikmatan.
Suara desahan yang keluar dari mulut Charlotte perlahan terdengar seperti teriakan parau tatkala Elliot sengaja menambah kecepatan dari mesin tersebut. Tali yang terikat pada tangan dan kaki Charlotte tertarik-tarik saat wanita itu terus menggeliatkan tubuhnya.
Elliot merasa dia bisa gila saat menyaksikan Charlotte bertingkah begitu. Pria itu meraih dagu Charlotte, kemudian mencium bibir istrinya yang sejak tadi terus terbuka. Ia melesakkan lidahnya masuk ke dalam seraya menghisap lembut lidah milik Charlotte. Tangan Elliot lantas menarik lingerie di tubuh Charlotte dengan kasar, sampai tali lingerie yang melingkari leher Charlotte putus dan membuat kedua dadanya terpampang jelas di hadapan Elliot.
Jari-jemari Elliot lantas mempermainkan puncak dada Charlotte, memilinnya sambil sesekali menarik-nariknya membuat kedua puncaknya mengeras.
Pada saat itu, Charlotte memiliki keinginan yang kuat untuk memeluk punggung Elliot atau ingin menjambak rambut suaminya hingga helaian rambut kecokelatan itu berantakan. Namun, tangan dan kakinya masih terikat kuat, sehingga dia tidak mampu memenuhi keinginan besarnya.
Permainan seperti ini memang menaikkan gairah Charlotte hingga ke taraf puncak, tetapi memeluk tubuh suaminya adalah sebuah keharusan yang ia sukai. Karena, ketika tubuh mereka saling melekat satu sama lain, Charlotte merasa seluruh tubuhnya dibanjiri oleh ribuan cinta dan kasih sayang dari Elliot, dan kini Charlotte mendambakan hal itu.
“Elliot, keluarkan itu … Aku hanya ingin kamu.”
Elliot tersenyum, dia mengecup lembut pipi dan sudut bibir Charlotte. “Apa milikku masih lebih menyenangkan daripada sebuah mainan?”
Charlotte mengangguk malu, pipinya dipenuhi semburat merah yang kontras dengan kulitnya yang pucat. “Aku juga ingin memelukmu, ingin mencium kamu lagi, dan bersatu dengan kamu.”
Sudah cukup, Elliot tidak tahan lagi.
Charlotte-nya terlalu manis, sehingga Elliot berpikir dia bisa mati karena diabetes apabila terus melihat wajah istrinya.
Elliot akhirnya melepaskan benda yang masih bergetar itu dari tubuh Charlotte, meninggalkan jejak cairan cinta yang mengalir deras hingga sedikit membasahi seprai tempat tidur. Begitu Elliot sudah melepaskan ikatan di tangan dan kaki Charlotte juga, dia segera menghujamkan kejantannya yang sudah mengeras ke dalam kelopak Charlotte yang merekah merah.
Charlotte sontak melingkarkan kakinya ke pinggul Elliot, membuat tubuh mereka terkunci dan tak bisa menjauh. Sementara kedua tangannya memeluk tubuh Elliot begitu erat, seolah mengharapkan perlindungan dari suaminya.
Napas keduanya memburu tatkala Elliot mempercepat tempo permainan mereka, sampai Charlotte tidak bisa berhenti mengerang dan meneriakkan nama Elliot tepat di samping telinga suaminya sendiri.
“Elliot, aku mencintaimu … sangat, sangat mencintai kamu.”
Elliot membenamkan wajahnya pada ceruk leher Charlotte, kemudian menggigitnya sampai meninggalkan beberapa jejak kemerahan. “Aku juga mencintai kamu, melebihi apapun.”
Bibir mereka kembali bersatu, keduanya saling melumat dan menggigit satu sama lain. Charlotte bahkan merasa bila bibirnya sudah sangat bengkak sekarang usai terus-menerus dihisap oleh Elliot.
Mereka terus mencurahkan cinta melalui sentuhan-sentuhan panas yang dipenuhi oleh gairah. Elliot terus menghujani tubuh Charlotte, setiap sentakannya menghantarkan kesenangan yang tak terhingga. Ketika hampir mencapai puncak, Charlotte mengangkat pinggulnya, membiarkan Elliot menghujaninya semakin dalam dan semakin kuat. Sampai akhirnya benih cinta Elliot memenuhi bagian dalamnya, menghangatkan setiap milimeter intinya, dan membuat Charlotte hampir berteriak.
Begitu seluruh cintanya terlepas, Elliot segera menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Charlotte, membiarkan permukaan kulit mereka yang dipenuhi oleh keringat menyatu. Napas keduanya memburu, terdengar putus-putus saat berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya.
Sambil mengelus pipi Charlotte, Elliot kembali mencium bibir istrinya beberapa kali, berusaha menyesap rasa manis yang tak pernah hilang dari bibirnya.
“Bagaimana? Kamu masih ingin melakukannya lain kali?” tanya Elliot seraya mencolek hidung Charlotte.
Charlotte mendorong tubuh Elliot ke samping, lalu melesakkan tubuhnya ke dalam pelukan hangat pria itu. “Sesekali tidak masalah, tapi aku lebih suka terus memelukmu.”
Dengan kata lain, Charlotte tidak suka diikat karena dia jadi tidak bisa menyentuh tubuh Elliot.
Tidakkah istrinya itu begitu manja sekarang?
Elliot, “Kalau begitu, kita bisa menggunakan mainannya tanpa perlu mengikatmu lain kali.”
Charlotte tidak menjawab, karena sudah terlalu malu untuk mengingat permainan tadi.
Malam sudah semakin larut, dan keduanya terlalu lelah untuk sekedar beranjak dari tempat tidur. Pada akhirnya, mereka segera terlelap usai Elliot mematikan lampu dan menyelimuti tubuh mereka yang tak berbusana.
“Bagaimana hadiahku? Kalian menyukainya?!” Aria bertanya dengan antusias dari seberang telepon. Hari ini libur, jadi mereka tidak akan bisa bertemu di kantor.
Charlotte yang masih dalam balutan jubah mandi segera meneriakkan protesnya kepada Aria. “Jangan memberikanku hal-hal yang aneh lagi!”
Mengabaikan protesan Charlotte, Aria kembali bertanya, “Apa kamu mencobanya?”
“Mhm,” jawab Charlotte singkat.
Sontak Aria tertawa. “Ha ha ha! Kau terus mengomel tapi ternyata sudah mencobanya! Charlotte, aku tidak bisa membayangkan ekspresimu saat mencoba mainan-mainan itu!”
Charlotte, “Aku tidak mencoba semuanya! Hanya beberapa!”
“Sungguh, kenapa kamu harus mengomel padahal merasa senang tadi malam. Katakan padaku, apa kamu terus digempur sampai pingsan oleh Tuan Elliot kemarin?”
“Tentu saja tidak! Elliot bukan maniak seperti itu,” elak Charlotte.
Obrolan mereka kian lama semakin rancu, sehingga Charlotte dengan paksa mengakhiri sambungan mereka. Temannya itu memang benar-benar tidak bisa disadarkan, Aria pasti sekarang sedang memikirkan hadiah memalukan apalagi yang bisa dia berikan kepada Charlotte.
“Sudah selesai menelepon?” tanya Elliot seraya membawa sarapan mereka ke kamar.
“Kenapa membawa makanan kemari? Kita bisa sarapan di ruang makan.”
Setelah meletakkan nampan berisikan sarapannya ke meja, Elliot segera memeluk tubuh Charlotte. “Kita jarang menikmati momen berdua akhir-akhir ini, jadi hari ini aku tidak ingin diganggu oleh orang lain.”
Charlotte membalas pelukan Elliot, “Pekerjaanmu sudah selesai sekarang?”
Elliot menghela napas. “Sejak kapan kerjaanku pernah selesai? Kerjaan-kerjaan itu terus menggunung setiap harinya meski aku sudah bekerja lembur sampai malam. Tapi, beruntung pekerjaanku minggu ini tidak begitu banyak, jadi aku tidak perlu ke kantor di hari libur.”
Setelah pergantian tahun, biasanya setiap departemen akan begitu sibuk karena harus menyiapkan proposal pembangunan proyek baru. Oleh karena itu, Elliot kadang kala harus bekerja lembur untuk mengecek laporan keuangan, data analisis perusahaan, dan pekerjaan lainnya. Bahkan dia juga harus pergi ke kantor atau ke lahan pembangunan di hari libur.
“Kalau tahu menjadi ketua departemen sesibuk ini, aku lebih baik menjadi pengangguran dan terus menghabiskan waktu bersamamu setiap hari.”
Charlotte menatap Elliot dengan pandangan penuh penghakiman. “Lalu setelah itu apa? Menjadi gelandangan bersama karena kamu berhenti bekerja?”
Elliot meringis, seolah tengah mengingat kenangan buruknya di kehidupan lampau. “Tidak. Tidak. Aku akan terus bekerja sampai mati! Sehingga istriku tidak perlu jatuh ke dalam jurang kemiskinan di kehidupan ini.”
Bersambung…